|
Agama Islam
ISLAM - Keislaman
Pemahaman dan Tafsir Al-Quran
|
|
Tidak mudah mendefinisikan agama, apalagi di dunia ini kita menemukan
kenyataan bahwa agama amat beragam. Pandangan seseorang terhadap agama,
ditentukan oleh pemahamannya terhadap ajaran agama itu sendiri.
Apakah manusia dapat melepaskan diri dari agama?" Atau, "Adakah
alternatif lain yang dapat menggantikannya?"
Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fithrah (sesuatu yang melekat
pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya):
Fitrah Allah yang menciptakan manusia atas fitrah itu
(QS Ad-Rum [30]: 30)
Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan
menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Memang
manusia dapat menangguhkannya sekian lama --boleh jadi sampai dengan
menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum ruh rmeninggalkan
jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu. Memang, desakan pemenuhan
kebutuhan bertingkat-tingkat. Kebutuhan manusia terhadap agama dapat
ditangguhkan, tetapi tidak untuk selamanya.
Tadinya manusia menjadikan "hati nurani" sebagai alternatif pengganti
agama. Namun tidak lama kemudian mereka menyadari bahwa alternatif ini,
sangat labil, karena yang dinamai "nurani" terbentuk oleh lingkungan dan
latar belakang pendidikan, sehingga nurani Si A dapat berbeda dengan Si
B, dan dengan demikian tolok ukur yang pasti menjadi sangat rancu.
Setelah itu lahir filsafat eksistensialisme, yang mempersilakan manusia
melakukan apa saja yang dianggapnya baik, atau menyenangkan tanpa
mempedulikan nilai-nilai.
Namun, itu semua tidak dapat menjadikan agama tergusur, karena seperti
dikemukakan di atas ia tetap ada dalam diri manusia, walaupun
keberadaannya kemudian tidak diakui oleh kebanyakan manusia itu sendiri.
Beberapa ilmuwan berpandangan bahwa, "Selama manusia masih memiliki
naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama (berhubungan
dengan Tuhan)." Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan salah
satu dorongan yang terbesar untuk beragama.
Ilmu mempercepat kita sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang
dituju. Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama
menyesuaikan dengan jati dirinya. Ilmu hiasan lahir, dan agama hiasan
batin. Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, dan agama memberi
harapan dan dorongan bagi jiwa. Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai
dengan "bagaimana", dan agama menjawab yang dimulai dengan "mengapa."
Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya, sedang agama selalu
menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.
Demikian Murtadha Muthahhari menjelaskan sebagian fungsi dan peranan
agama dalam kehidupan ini, yang tidak mampu diperankan oleh ilmu dan
teknologi.
Manusia terdiri dari akal, jiwa, dan jasmani. Akal atau rasio ada
wilayahnya. Tidak semua persoalan bisa diselesaikan atau bahkan dihadapi
oleh akal. Karya seni tidak dapat dinilai semata-mata oleh akal, karena
yang lebih berperan di sini adalah kalbu. Kalau demikian, keliru
apabila seseorang hanya mengandalkan akal semata-mata.
Akal bagaikan kemampuan berenang. Akal berguna saat berenang di sungai
atau di laut yang tenang, tetapi bila ombak dan gelombang telah
membahana, maka yang pandai berenang dan yang tidak bisa berenang
sama-sama membutuhkan pelampung.
Dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
agama sesungguhnya sangat berperan, terutama jika manusia tetap ingin
jadi manusia. Ambillah sebagai contoh bidang bio-teknologi. Ilmu manusia
sudah sampai kepada batas yang menjadikannya dapat berhasil melakukan
rekayasa genetika. Apakah keberhasilan ini akan dilanjutkan sehingga
menghasilkan makhluk-makhluk hidup yang dapat menjadi tuan bagi
penciptanya sendiri? Apakah ini baik atau buruk? Yang dapat menjawabnya
adalah nilai-nilai agama, dan bukan seni, bukan pula filsafat.
Jika demikian, maka tidak ada alternatif lain yang dapat menggantikan
agama. Mereka yang mengabaikannya, terpaksa menciptakan "agama baru"
demi memuaskan jiwanya.
Dalam pandangan sementara pakar Islam, agama yang diwahyukan Tuhan,
benihnya muncul dari pengenalan dan pengalaman manusia pertama di pentas
bumi. Di sini ia memerlukan tiga hal, yaitu keindahan, kebenaran,
dan kebaikan. Gabungan ketiganya dinamai suci. Manusia ingin mengetahui
siapa atau apa Yang Mahasuci, dan ketika itulah dia menemukan Tuhan, dan
sejak itu pula ia berusaha berhubungan dengan-Nya bahkan berusaha untuk
meneladani sifat-sifat-Nya. Usaha itulah yang dinamai beragama, atau
dengan kata lain, keberagamaan adalah terpatrinya rasa kesucian dalam
jiwa beseorang. Karena itu seorang yang beragama akan selalu berusaha
untuk mencari dan mendapatkan yang benar, yang baik, lagi yang indah.
Mencari yang benar menghasilkan ilmu, mencari yang baik menghasilkan
akhlak, dan mencari yang indah menghasilkan seni.
Jika demikian, agama bukan saja merupakan kebutuhan manusia, tetapi juga
selalu relevan dengan kehidupannya. Adakah manusia yang tidak
mendambakan kebenaran, keindahan dan kebaikan?
PERDAMAIAN
Agaknya, cukup dengan memahami makna nama agama ini yakni Islam,
seseorang telah dapat mengetahui bahwa ia adalah agama yang mendambakan
perdamaian. Cukup juga dengan mendengarkan ucapan yang dianjurkan untuk
disampaikan pada setiap pertemuan. "Assalamu 'Alaikum" (Damai untuk
Anda), seseorang dapat menghayati bahwa kedamaian yang didambakan bukan
hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk pihak lain. Kalau demikian,
tidak heran jika salah satu ciri seorang Muslim, adalah seperti sabda
Nabi Muhammad saw : "Siapa yang menyelamatkan orang lain (yang
mendambakan kedamaian) dari gangguan lidahnya dan tangannya".
Perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Ia lahir dari
pandangan ajarannya tentang Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, alam, dan
manusia.
Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah Maha Esa, Dia yang menciptakan segala
sesuatu berdasarkan kehendak-Nya semata. Semua ciptaan-Nya adalah baik
dan serasi, sehingga tidak mungkin kebaikan dan keserasian itu mengantar
kepada kekacauan dan pertentangan. Dari sini bermula kedamaian antara
seluruh ciptaan-Nya.
Makhluk hidup diciptakan dari satu sumber: "Kami menciptakan semua
yang hidup dan air" (QS Al-Anbiya' [21]: 22). Manusia, yang
merupakan salah satu unsur yang hidup itu, juga di ciptakan dari satu
sumber yakni thin (tanah yang bercampur air) melalui seorang ayah dan
seorang ibu, sehingga manusia, bukan saja harus hidup berdampingan dan
harmonis bersama manusia lain, tetapi juga dengan makhluk hidup lain,
bahkan dengan alam raya, apalagi yang berada di bumi ini. Bukankah
eksistensinya lahir dari tanah, bumi tempat dia berpijak, dan kelak ia
akan kembali ke sana?
Demikian ide dasar ajaran Islam, yang melahirkan keharusan adanya
kedamaian bagi seluruh makhluk.
Benar bahwa agama ini memerintahkan untuk mempersiapkan kekuatan guna
menghadapi musuh. Namun persiapan itu tidak lain kecuali --menurut
istilah Al-Quran-- adalah untuk menakut-nakuti mereka (yang bermaksud
melahirkan kekacauan dan disintegrasi) (QS Al-Anfal [8]: 60). Peperangan
--kalau terjadi-- tidak dibenarkan kecuali untuk menyingkirkan
penganiayaan, itu pun dalam batas-batas tertentu. Anak-anak, orang tua,
kaum lemah, bahkan pepohonan harus dilindungi, dan atas dasar ini,
datang petunjuk Tuhan yang menyatakan:
Kalau mereka cenderung kepada perdamaian, maka
sambutlah kecenderungan itu, dan berserah dirilah kepada Allah (QS
Al-Anfal [8]: 61).
KERUKUNAN DAN DEMOKRASI
Biasanya yang paling berharga bagi sesuatu adalah dirinya sendiri. Ini
berarti yang paling berharga buat agama adalah agama itu sendiri.
Karenanya setiap agama menuntut pengorbanan apa pun dari pemeluknya demi
mempertahankan kelestariannya. Namun demikian, Islam datang tidak hanya
bertujuan mempertahankan eksistensinya sebagai agama, tetapi juga
mengakui eksistensi agama-agama lain, dan memberinya hak untuk hidup
berdampingan sambil menghormati pemeluk-pemeluk agama lain.
Jangan mencerca yang tidak menyembah Allah (penganut
agama lain) ... (QS Al-An'am [6): 108).
Tiada paksaan untuk menganut agama (Islam) (QS Al-Baqarah [2]: 256).
Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-kafirun [109]: 6)
Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian orang
atas sebagian yang lain (tidak mendorong kerja sama antara manusia),
niscaya rubuhlah biara-biara, gereja~gereja, rumah-rumah ibadah orang
Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
(Surat Al-Hajj (22): 40)
Ayat ini dijadikan oleh sebagian ulama, seperti Al-Qurthubi (w. 671 H),
sebagai argumentasi keharusan umat Islam memelihara tempat-tempat ibadah
umat non-Muslim. Memang, Al-Quran sendiri amat tegas menyatakan bahwa,
Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan
seluruh manusia menjadi satu umat saja (QS Al-Nahl [16]: 93).
Tetapi Allah tidak menghendaki yang demikian, karena itu Dia memberikan
kebebasan kepada manusia untuk memilih sendiri jalan yang dianggapnya
baik, mengemukakan pendapatnya secara jelas dan bertanggung jawab. Di
sini dapat ditarik kesimpulan bahwa kebebasan berpendapat, termasuk
kebebasan memilih agama, adalah hak yang dianugerahkan Tuhan kepada
setiap insan.
Yang dikemukakan ayat Al-Quran tersebut merupakan salah satu benih dari
ajaran demokrasi, hal mana kemudian akan nampak dengan jelas dalam
petunjuk-petunjuk Kitab Suci. Salah satu yang dapat dikemukakan di sini
adalah pengalaman Nabi saw dalam peperangan Uhud serta kaitannya dengan
ayat yang memerintahkan musyawarah. Sejarah menginformasikan bahwa
ketika terdengar berita rencana serangan musuh-musuh Nabi saw dari
Makkah ke Madinah, Nabi saw berpendapat bahwa lebih baik menunggu mereka
hingga sampai ke kota Madinah. Namun mayoritas sahabat-sahabatnya
dengan penuh semangat mendesak beliau agar menghadapi mereka di luar
kota, yakni di Uhud. Karena desakan itu, akhirnya Nabi menyetujui.
Tetapi, ternyata, puluhan sahabat Nabi gugur dalam peperangan tersebut
sehingga menimbulkan penyesalan. Setelah pengalaman pahit mengikuti
pendapat mayoritas ini, justu Al-Quran turun memberi petunjuk kepada
Nabi Muhammad saw, agar tetap melakukan musyawarah dan selalu bertukar
pikiran dengan sahabat-sahabatnya (baca QS Ali 'Imran [3]: 159).
Demikian terlihat kebebasan beragama, mengemukakan pendapat, dan
demokrasi, merupakan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Atas dasar itu pula, kitab suci umat Islam mengakui kenyataan tentang
banyaknya jalan yang dapat ditempuh umat manusia. Mereka
diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (QS Al-Baqarah [2]:
148), kesemuanya demi kedamaian dan kerukunan:
Allah memberi petunjuk melalui wahyu-Nya siapa yang
mengikuti keridhaan-Nya dengan menelusuri jalan-jalan kedamaian (QS
Al-Maidah [5]: 16).
Sekali lagi ditemukan bahwa kebhinekaan diakui atau ditampung selama
bercirikan kedamaian. Bahkan dalam rangka mewujudkan kedamaian dengan
pihak lain, Islam menganjurkan dialog yang baik (QS Al-Nahl [16]: 125).
Dan dalam dialog itu, seorang Muslim tidak dianjurkan untuk mengklaim
kepada mitra dialognya bahwa kebenaran hanya menjadi milik-Nya.
Katakanlah, Kami atau Anda yang berada dalam kebenaran
atau kesesatan yang nyata (QS Saba' [34]: 24).
Bahkan lebih jauh dari itu Kitab Suci umat Islam mengajarkan kata atau
kalimat-kalimat dialog yang pada lahirnya dapat dinilai "merugikan".
Perhatikan terjemahan ayat berikut:
Kamu sekalian tidak akan diminta untuk
mempertanggungjawabkan dosa-dosa kami. Kami pun tidak akan
mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kalian. (QS Saba' [34]: 25) .
Kita menamai perbuatan kita dosa, dan tidak menamakan perbuatan mitra
dialog non-Muslim sebagai dosa, tetapi menyebutnya sebagai "perbuatan".
Perdamaian dan kerukunan yang didambakan Islam, bukankah yang bersifat
semu, tetapi yang memberi rasa aman pada jiwa setiap insan. Karena itu, langkah
pertama yang dilakukannya adalah mewujudkannya dalam jiwa setiap
pribadi. Setelah itu ia melangkah kepada unit terkecil dalam masyarakat
yakni keluarga. Dari sini ia beralih ke masyarakat luas, seterusnya
kepada seluruh bangsa di permukaan bumi ini, dan dengan demikian dapat
tercipta perdamaian dunia, dan dapat terwujud hubungan harmonis serta
toleransi dengan semua pihak.
Demikian, sekelumit ajaran Islam. Kalau kenyataan di dunia Islam berbeda
dengan apa yang tersurat dalam petunjuk agama ini, maka yang keliru
adalah pelaku ajaran dan bukan ajarannya itu sendiri. Sungguh tepat
pernyataan Syaikh Muhammad Abduh, "Al-Islam mahjub bil muslimin" (Keindahan
ajaran Islam ditutupi oleh kelakuan sementara umat Islam).
AGAMA ISLAM DALAM KEHIDUPAN MODERN
Berbicara tentang agama Islam dalam kehidupan modern, terlebih dahulu
perlu digarisbawahi keharusan pemisahan antara agama dan pemeluk
agama seperti ucapan Syaikh Muhammad Abduh di atas, yaitu ajaran
Islam tertutup oleh perilaku kaum Muslim.
Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus mewarnai sikap dan
aktivitas pemeluknya. Puncak dari prinsip itu adalah tauhid. Di
sekelilingnya beredar unit-unit bagaikan planet-planet tata surya yang
beredar di sekeliling matahari, yang tidak dapat melepaskan diri dari
orbitnya. Unit-unit tersebut antara lain:
a. Kesatuan alam semesta.
Dalam arti, Allah menciptakannya dalam keadaan amat serasi, seimbang,
dan berada di bawah pengaturan dan pengendalian Allah SWT melalui
hukum-hukum yang ditetapkan-Nya.
b. Kesatuan kehidupan.
Bagi manusia ini berarti bahwa kehidupan duniawinya menyatu dengan
kehidupan akhiratnya. Sukses atau kegagalan ukhrawi, ditentukan oleh
amal duniawinya.
c. Kesatuan ilmu.
Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum, karena
semuanya bersumber dari satu sumber yaitu Allah SWT.
d. Kesatuan iman dan rasio.
Karena masing-masing dibutuhkan dan masing-masing mempunyai wilayahnya
sehingga harus saling melengkapi.
e. Kesatuan agama.
Agama yang dibawa oleh para Nabi kesemuanya bersumber dari Allah SWT,
prinsip-prinsip pokoknya menyangkut akidah, syariah, dan akhlak tetap
sama dari zaman dahulu sampai sekarang.
f. Kesatuan kepribadian manusia.
Mereka semua diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi.
g. Kesatuan individu dan masyarakat.
Masing-masing harus saling menunjang.
Islam --dalam hal urusan hidup duniawi-- tidak memberi rincian petunjuk,
karena "Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu (ketimbang aku)",
demikian sabda Nabi Muhammad saw sebagaimana diriwayatkan oleh Imam
Muslim.
Dari prinsip-prinsip semacam di atas, seorang Muslim dapat menyesuaikan
diri dengan perkembangan positif masyarakatnya, dan karena itu pula
Islam memperkenalkan dirinya sebagai "Agama yang selalu sesuai dengan
setiap waktu dan tempat."
Kitab suci Al-Quran mempersilakan umat Islam untuk mengembangkan ilmu,
menggunakan akalnya menyangkut segala sesuatu yang berada dalam wilayah
nalar, yaitu alam fisika ini. Namun harus disadari oleh manusia, bahwa
jangankan alam raya yang sedemikian luas, dirinya sendiri sebagai
manusia belum sepenuhnya ia kenal.
Islam tidak menghalangi umatnya untuk memperoleh kekayaan sebanyak
mungkin. Bahkan harta yang banyak dinamainya khair (baik) dalam arti
perolehan dan penggunaannya harus dengan baik. Islam juga tidak melarang
umatnya bersenang-senang di dunia, hanya digarisbawahinya bahwa
kesenangan duniawi bersifat sementara, dan karena itu jangan sampai ia
melengahkan dari kesenangan abadi, atau melengahan dari kewajiban kepada
Allah dan masyarakat.
Umat Islam diperkenalkan oleh Al-Quran sebagai ummattan wasathan (umat
pertengahan) yang tidak larut dalam spiritualme, juga tidak hanyut
dalam alam materialisme.
Seorang Muslim, adalah memenuhi kebutuhannya dan mewarnai kehidupannya
bukan ala malaikat, tetapi tidak juga ala binatang.
Manusia diakui sebagai makhluk yang amat mulia, dan jagat raya
ditundukkan Tuhan kepadanya. Ia diberi kelebihan atas banyak
makhluk-makhluk yang lain, tetapi sebagian kelebihan dan keistimewaannya
--material dan material-- diperoleh melalui bantuan masyarakat.
Bahasa dan istiadat adalah produk masyarakatnya. Keuntungan material,
tidak dapat diraihnya tanpa partisipasi masyarakat dalam membeli bagi
pedagang, dan adanya irigasi walau sederhana bagi petani, serta
stabilitas keamanan bagi semua pihak, yang tidak diwujudkan oleh seorang
saja.
Kalau demikian, wajar jika hak asasinya harus dikaitkan dengan
kepentingan masyarakatnya serta ketenangan orang banyak. Tuntutan
moral Al-Quran menyatakan: "Hendaklah Anda mengorbankan sebagian
kepentingan Anda guna kepentingan orang lain."
Referensi
- Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
- Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
- Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
- Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
- Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
|
0 komentar