Kebangsaan Manusia dan Masyarakat Pemahaman dan Tafsir Al-Quran |
Kebangsaan terbentuk dari kata "bangsa" yang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, diartikan sebagai "kesatuan orang-orang yang bersamaan asal
keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri."
Sedangkan kebangsaan diartikan sebagai "ciri-ciri yang menandai golongan
bangsa."
Para pakar berbeda pendapat tentang unsur-unsur yang harus terpenuhi
untuk menamai suatu kelompok manusia sebagai bangsa. Demikian pula
mereka berbeda pendapat tentang ciri-ciri yang mutlak harus terpenuhi
guna terwujudnya sebuah bangsa atau kebangsaan. Hal ini merupakan
kesulitan tersendiri di dalam upaya memahami pandangan Al-Quran tentang
paham kebangsaan.
Di sisi lain, paham kebangsaan --pada dasarnya-- belum dikenal pada masa
turunnya Al-Quran. Paham ini baru muncul dan berkembang di Eropa sejak
akhir abad ke-18, dan dari sana menyebar ke seluruh dunia Islam.
Memang, keterikatan kepada tanah tumpah darah, adat istiadat leluhur,
serta penguasa setempat telah menghiasi jiwa umat manusia sejak dahulu
kala, tetapi paham kebangsaan (nasionalisme) dengan pengertiannya yang
lumrah dewasa ini baru dikenal pada akhir abad ke-18.
Yang pertama kali memperkenalkan paham kebangsaan kepada umat Islam
adalah Napoleon pada saat ekspedisinya ke Mesir. Lantas, seperti telah
diketahui, setelah Revolusi 1789, Perancis menjadi salah satu negara
besar yang berusaha melebarkan sayapnya. Mesir yang ketika itu dikuasai
oleh para Mamluk dan berada di bawah naungan kekhalifahan Utsmani,
merupakan salah satu wilayah yang diincarnya. Walaupun penguasa-penguasa
Mesir itu beragama Islam, tetapi mereka berasal dari keturunan
orang-orang Turki. Napoleon mempergunakan sisi ini untuk memisahkan
orang-orang Mesir dan menjauhkan mereka dari penguasa dengan menyatakan
bahwa orang-orang Mamluk adalah orang asing yang tinggal di Mesir. Dalam
maklumatnya, Napoleon memperkenalkan istilah Al-Ummat Al-Mishriyah,
sehingga ketika itu istilah baru ini mendampingi istilah yang selama ini
telah amat dikenal, yaitu Al-Ummah Al-Islamiyah
Al-Ummah Al-Mishriyah dipahami dalam arti bangsa Mesir. Pada
perkembangan selanjutnya lahirlah ummah lain, atau bangsa-bangsa lain.
WAWASAN KEBANGSAAN DALAM AL-QURAN
Untuk memahami wawasan Al-Quran tentang paham kebangsaan, salah satu
pertanyaan yang dapat muncul adalah, "Kata apakah yang sebenarnya
dipergunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan konsep bangsa atau
kebangsaan? Apakah sya'b, qaum, atau ummah?"
Kata qaum dan qaumiyah sering dipahami dengan arti bangsa dan
kebangsaan. Kebangsaan Arab dinyatakan oleh orang-orang Arab dewasa ini
dengan istilah Al-Qaumiyah Al-'Arabiyah. Sebelumnya, Pusat Bahasa Arab
Mesir pada 1960, dalam buku Mu'jam Al-Wasith menerjemahkan "bangsa"
dengan kata ummah.
Kata sya'b juga diterjemahkan sebagai "bangsa" seperti ditemukan dalam
terjemahan Al-Quran yang disusun oleh Departemen Agama RI, yaitu ketika
menafsirkan surat Al-Hujurat (49): 13.
Apakah untuk memahami wawasan Al-Quran tentang paham kebangsaan perlu
merujuk kepada ayat-ayat yang menggunakan kata-kata tersebut,
sebagaimana ditempuh oleh sebagian orang selama ini? Misalnya, dengan
menunjukkan Al-Quran surat Al-Hujurat (49): 13 yang bisa diterjemahkan:
Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telahi
menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan Kami
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat (49): 13)
Apakah dari ayat ini, nampak bahwa Islam mendukung paham kebangsaan
karena Allah telah menciptakan manusia bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa?
Mestikah untuk mendukung atau menolak paham kebangsaan, kata qaum yang
ditemukan dalam Al-Quran sebanyak 322 kali itu ditoleh? Dapatkah
dikatakan bahwa pengulangan yang sedemikian banyak, merupakan bukti
bahwa Al-Quran mendukung paham kebangsaan? Bukankah para Nabi menyeru
masyarakatnya dengan, "Ya Qaumi" (Wahai kaumku/bangsaku), walaupun
mereka tidak beriman kepada ajarannya? (Perhatikan misalnya Al-Quran
surat Hud (11): 63, 64, 78, 84, dan lain-lain!).
Di sisi lain, dapatkah dibenarkan pandangan sebagian orang yang
bermaksud mempertentangkan Islam dengan paham kebangsaan, dengan
menyatakan bahwa Allah SWT dalam Al-Quran memerintahkan Nabi saw untuk
menyeru masyarakat tidak dengan kata qaumi, tetapi, "Ya ayyuhan nas"
(wahai seluruh manusia), serta menyeru kepada masyarakat yang
mengikutinya dengan "Ya ayyuhal ladzina 'amanu?" Benarkah dalam Al-Quran
tidak ditemukan bahwa Nabi Muhammad saw menggunakan kata qaum untuk
menunjuk kepada masyarakatnya, seperti yang ditulis sebagian orang?
Catatan : Pernyataan terakhir ini dapat dipastikan tidak benar, karena
dalam Al-Quran surat Al-Furqan (25): 30 secara tegas dinyatakan, bahwa
Rasulullah saw mengeluh kepada Allah, dengan mengatakan, "Sesungguhnya
kaumku menjadikan Al-Quran ini sesuatu yang tidak diacuhkan."
Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab untuk menemukan wawasan Al-Quran
tentang paham kebangsaan, tidak cukup sekadar menoleh kepada kata-kata
tersebut yang digunakan oleh Al-Quran, karena pengertian semantiknya
dapat berbeda dengan pengertian yang dikandung oleh kata bangsa atau
kebangsaan. Kata sayyarah yang ditemukan dalam Al-Quran misalnya, masih
digunakan dewasa ini, meskipun maknanya sekarang telah berubah menjadi
mobil. Makna ini tentunya berbeda dengan maksud Al-Quran ketika
menceritakan ucapan saudara-saudara Nabi Yusuf a.s. yang membuangnya ke
dalam sumur dengan harapan dipungut oleh sayyarah yakni kafilah atau
rombongan musafir. (Baca QS Yusuf [12]: 10).
Kata qaum misalnya, pada mulanya terambil dari kata qiyam yang berarti
"berdiri atau bangkit". Kata qaum agaknya dipergunakan untuk menunjukkan
sekumpulan manusia yang bangkit untuk berperang membela sesuatu. Karena
itu, kata ini pada awalnya hanya digunakan untuk lelaki, bukan
perempuan seperti dalam firman Allah:
Janganlah satu qaum (kumpulan lelaki) mengejek qaum
(kumpulan lelaki) yang lain. Jangan pula (kumpulan perempuan) mengejek
(kumpulan) perempuan yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diejek)
lebih baik daripada mereka (yang mengejek) (QS Al-Hujurat [49]: 11).
Kata sya'b, yang hanya sekali ditemukan dalam Al-Quran, itu pun
berbentuk plural, dan pada mulanya mempunyai dua makna, cabang dan
rumpun. Pakar bahasa Abu 'Ubaidah --seperti dikutip oleh At-Tabarsi
dalam tafsirnya-- memahami kata sya'b dengan arti kelompok non-Arab,
sama dengan qabilah untuk suku-suku Arab.
Betapapun, kedua kata yang disebutkan tadi, dan kata-kata lainnya, tidak
menunjukkan arti bangsa sebagaimana yang dimaksud pada istilah masa
kini.
Hal yang dikemukakan ini, tidak lantas menjadikan surat Al-Hujurat yang
diajukan tertolak sebagai argumentasi pandangan kebangsaan yang direstui
Al-Quran. Hanya saja, cara pembuktiannya tidak sekadar menyatakan bahwa
kata sya'b sama dengan bangsa atau kebangsaan.
APAKAH YANG DIMAKSUD PAHAM KEBANGSAAN
Apakah yang dimaksud dengan paham kebangsaan? Sungguh banyak pendapat
yang berbeda satu dengan yang lain. Demikian pula dengan pertanyaan yang
muncul disertai jawaban yang beragam, misalnya:
Apakah mutlak adanya kebangsaan, kesamaan asal keturunan, atau bahasa?
Apakah yang dimaksud dengan keturunan dan bahasa? Apakah kebangsaan
merupakan persamaan ras, emosi, sejarah, dan cita-cita meraih masa
depan? Unsur-unsur apakah yang mendukung terciptanya kebangsaan? Dan
masih ada sekian banyak pertanyaan lain. Sehingga mungkin benar pula
pendapat yang menyatakan bahwa paham kebangsaan adalah sesuatu yang
bersifat abstrak, tidak dapat disentuh; bagaikan listrik, hanya
diketahui gejala dan bukti keberadaannya, namun bukan unsur-unsurnya.
Pertanyaan yang antara lain ingin dimunculkan adalah "Apakah unsur-unsur
tersebut dapat diterima, didukung, atau bahkan inklusif di dalam ajaran
Al-Quran? Dapatkah Al-Quran menerima wadah yang menghimpun keseluruhan
unsur tersebut tanpa mempertimbangkan kesatuan agama? Berikut ini akan
dijelaskan beberapa konsep yang mendasari paham kebangsaan.
1. Kesatuan/Persatuan
Tidak dapat disangkal bahwa Al-Quran memerintahkan persatuan dan
kesatuan. Sebagaimana secara jelas pula Al-Quran menyatakan bahwa
"Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu" (QS
Al-Anbiya' [2l]: 92, dan Al-Mu'minun [23]: 52).
Pertanyaan yang dapat saja muncul berkaitan dengan ayat ini adalah:
a) Apakah ayat ini dan semacamnya mengharuskan penyatuan seluruh umat
Islam dalam satu wadah kenegaraan?
b) Kalau tidak, apakah dibenarkan adanya persatuan/kesatuan yang diikat
oleh unsur-unsur yang disebutkan di atas, yakni persamaan asal
keturunan, adat, bahasa, dan sejarah?
Yang harus dipahami pertama kali adalah pengertian dan penggunaan
Al-Quran terhadap kata ummat. Kata ini terulang 51 kali dalam Al-Quran,
dengan makna yang berbeda-beda.
Ar-Raghib Al-Isfahani --pakar bahasa yang menyusun kamus Al-Quran
Al-Mufradat fi Ghanb Al-Quran-- menjelaskan bahwa ummat adalah "kelompok
yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat,
baik pengelompokan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri."
Memang, tidak hanya manusia yang berkelompok dinamakan umat, bahkan
binatang pun demikian.
Dan tiadalah binatang-binatang melata yang ada yang di
bumi, tiada juga burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya,
kecuali umat-umat seperti kamu ... (QS Al-An'am [6]: 38).
Jumlah anggota suatu umat tidak dijelaskan oleh Al-Quran. Ada yang
berpendapat minimal empat puluh atau seratus orang. Tetapi, sekali lagi
Al-Quran pun menggunakan kata umat bahkan untuk seseorang yang memiliki
sekian banyak keistimewaan atau jasa, yang biasanya hanya dimiliki oleh
banyak orang. Nabi Ibrahim a.s. misalnya disebut sebagai umat oleh
Al-Quran surat An-Nahl (16): 20 karena alasan itu.
Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (tokoh yang dapat
dijadikan teladan) lagi patuh kepada Allah, hanif dan tidak pernah
termasuk orang yang mempersekutukan (Tuhan) (QS An-Nahl [16]: 120).
Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata umat dalam Al-Quran
sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri. Tidak ada batas minimal atau
maksimal untuk suatu persatuan. Yang membatasi hanyalah bahasa, yang
tidak menyebutkan adanya persatuan tunggal.
Di sisi lain, dalam Al-Quran ternyata ditemukan sembilan kali kata ummat
yang digandengkan dengan kata wahidah, sebagai sifat umat. Tidak sekali
pun Al-Quran menggunakan istilah Wahdat Al-Ummah atau Tauhid Al-Ummah
(Kesatuan/ penyatuan umat). Karena itu, sungguh tepat analisis Mahmud
Hamdi Zaqzuq, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Mesir, yang
disampaikan pada pertemuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409 H/ 1988
M, bahwa Al-Quran menekankan sifat umat yang satu, dan bukan pada
penyatuan umat, ini juga berarti bahwa yang pokok adalah
persatuan, bukan penyatuan.
Perlu pula digarisbawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah
pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakikatnya menyatakan
bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam prinsip-prinsip
(ushul)-nya, tiada perbedaan dalam akidahnya, walaupun dapat
berbeda-beda dalam rincian (furu') ajarannya. Artinya, kitab suci ini
mengakui kebhinekaan dalam ketunggalan.
Ini juga sejalan dengan kehendak Ilahi, antara lain yang dinyatakan-Nya
dalam Al-Quran surat Al-Ma-idah (5): 48:
Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan
kamu satu umat (saja). (Al-Ma-idah (5): 48)
Tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. Sebagaimana terpahami dari perandaian
kata lauw, yang oleh para ulama dinamai harf imtina' limtina', atau
dengan kata lain, mengandung arti kemustahilan.
Kalau demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa Al-Quran menuntut penyatuan
umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan saja, dan tidak
dapat dibuktikan bahwa Al-Quran menolak paham kebangsaan. Yang terjadi
justru Al-Quran menjelaskan sebaliknya.
Jamaluddin Al-Afghani, yang dikenal sebagai penyeru persatuan Islam
(Liga Islam atau Pan-Islamisme), menegaskan bahwa idenya itu bukan
menuntut agar umat Islam berada di bawah satu kekuasaan, tetapi
hendaknya mereka mengarah kepada satu tujuan, serta saling membantu
untuk menjaga keberadaan masing-masing.
Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang
berkelompok-kelompok dan berselisih, setelah datang penjelasan kepada
mereka ... (QS Ali 'Imran [3]: 105).
Kalimat "dan berselisih" digandengkan dengan "berkelompok" untuk
mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokan yang
mengakibatkan perselisihan.
Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau
ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok,
asal keturunan, atau bangsa.
Kelenturan kandungan makna ummat seperti yang dikemukakan terdahulu
mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa dalam banyak hal
Al-Quran hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada
masyarakat manusia untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum itu.
Ini merupakan salah satu keistimewaan Al-Quran dan salah satu faktor
kesesuaiannya dengan setiap waktu dan tempat.
Dengan demikian, terjawablah pertanyaan pertama itu yakni Al-Quran tidak
mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah
kenegaraan. Sistem kekhalifahan --yang dikenal sampai masa kekhalifahan
Utsmaniyah-- hanya merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan,
tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu,
jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut
bentuk lain, hal itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang
diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan
Islam.
2. Asal Keturunan
Tanpa mempersoalkan perbedaan makna dan pandangan para pakar tentang
kemutlakan unsur "persamaan keturunan", dalam hal kebangsaan, atau
melihat kenyataan bahwa tiada satu bangsa yang hidup pada masa kini yang
semua anggota masyarakatnya berasal dari keturunan yang sama, tanpa
mempersoalkan itu semua dapat ditegaskan bahwa salah satu tujuan
kehadiran agama adalah memelihara keturunan. Syariat perkawinan dengan
syarat dan rukun-rukunnya, siapa yang boleh dan tidak boleh dikawini dan
sebagainya, merupakan salah satu cara Al-Quran untuk memelihara
keturunan.
Al-Quran menegaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia dari satu
keturunan dan bersuku-suku (demikian juga rumpun dan ras manusia), agar
mereka saling mengenal potensi masing-masing dan memanfaatkannya
semaksimal mungkin.
Ini berarti bahwa Al-Quran merestui pengelompokan berdasarkan keturunan,
selama tidak menimbulkan perpecahan, bahkan mendukungnya demi mencapai
kemaslahatan bersama.
Dari beberapa ayat Al-Quran, dapat ditarik pembenaran hal ini, atau
paling tidak "tiada penolakan" terhadapnya. Misalnya dalam Al-Quran
surat Al-A'raf (7): 160:
Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang
masing-masing menjadi umat, dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya
meminta air kepadanya, "Pukullah batu itu dengan tongkatmu!" Maka
memancarlah darinya dua belas mata air... (QS. Al-A'raf (7): 160)
Rasul Muhammad saw sendiri pernah diperintahkan oleh Al-Quran surat
AsyS-yu'ara' ayat 214 agar memberi peringatan kepada kerabat dekatnya.
Hal itu menunjukkan bahwa penggabungan diri ke dalam satu wadah
kekerabatan dapat disetujui oleh Al-Quran, apalagi menggabungkan diri
pada wadah yang lebih besar semacam kebangsaan.
Piagam Madinah (Kitabun Nabi) yang diprakarsai oleh Rasulullah saw
ketika beliau baru tiba di Madinah yang berisi ketentuan/kesepakatan
yang mengikat masyarakat Madinah justru mengelompokkan anggotanya pada
suku-suku tertentu, dan masing-masing dinamai ummat. Kemudian, mereka
yang berbeda agama itu bersepakat menjalin persatuan ketika membela kota
Madinah dari serangan musuh.
Nabi Luth a.s. sebagaimana dikemukakan Al-Quran, mengeluh karena kaum
atau bangsanya tidak menerima dakwahnya. Ia mengeluh sambil berkata:
Seandainya aku mempunyai kekuatan denganmu, atau kalau
aku dapat berlindung niscaya aku lakukan (QS Hud [11]: 80).
Yang dimaksud dengan "kekuatan" adalah pembela dan pembantu, yang
dimaksud dengan perlindungan adalah keluarga dan anggota masyarakat atau
bangsa.
Rasulullah saw sendiri dalam perjuangan di Makkah, justru mendapat
pembelaan dari keluarga besar beliau, baik yang percaya maupun yang
tidak. Dan ketika terjadi pemboikotan dari penduduk Makkah, mereka
memboikot Nabi dan keluarga besar Bani Hasyim. Abu Thalib yang bukan
anggota masyarakat Muslim ketika itu dengan tegas berkata, "Demi Allah'
kami tidak akan menyerahkannya (Nabi Muhammad saw) sampai yang terakhir
dari kami gugur."
Sejalan dengan kenyataan di atas Nabi saw pernah khutbah dengan
menyatakan: "Sebaik-baik kamu adalah pembela keluarga besarnya selama
(pembelaannya) bukan dosa" (HR Abu Daud melalui sahabat Suraqah bin
Malik).
Hanya saja pengelompokan dalam suku bangsa tidak boleh menyebabkan
fanatisme buta, apalagi menimbulkan sikap superioritas, dan pelecehan.
Rasulullah saw mengistilahkan hal itu dengan al-'ashabiyah.
Bukanlah dari kelompok kita yang mengajak kepada 'ashabiyyah, bukan juga
yang berperang atas dasar 'ashabiyah, bukan juga yang mati dengan
keadaan (mendukung) 'ashabiyyah (HR Abu Daud dari sahabat Jubair bin
Muth'im).
Rasulullah saw menggunakan ungkapan yang populer di kalangan orang-orang
Arab sebelum Islam, "Unshur akhaka zhalim(an) au mazhlum(an)" (Belalah
saudaramu yang menganiaya atau dianiaya), sambil menjelaskan bahwa
pembelaan terhadap orang yang melakukan penganiayaan adalah dengan
mencegahnya melakukan penganiayaan (HR Bukhari melalui Anas bin Malik).
Walaupun Al-Quran mengakui adanya kelompok suku, namun Al-Quran juga
mengisyaratkan bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan sifat dapat
digabungkan ke dalam satu wadah. Iblis yang dalam Al-Quran surat Al-Kahf
(18): 50 dinyatakan dari jenis jin. Sesungguhnya ia (Iblis) adalah dari
jenis Jin, dimasukkan Allah dalam kelompok malaikat yang diperintahkan
sujud kepada Adam. Karena, ketika itu, Iblis begitu taat beragama, tidak
kalah dari ketaatan para malaikat. Itu sebabnya walaupun yang
diperintah untuk sujud kepada Adam adalah para malaikat (QS Al-A'raf
[7]: 11) tetapi Iblis yang dari kelompok jin yang telah bergabung dengan
malaikat itu termasuk diperintah, karenanya ketika enggan ia dikecam
dan dikutuk Tuhan.
Dalam konteks paham kebangsaan, Rasulullah saw memasukkan sahabatnya
Salman, Suhaib, dan Bilal yang masing-masing berasal dari Persia,
Romawi, dan Habasyah (Etiopia) ke dalam kelompok orang Arab.
Ibnu 'Asakir dalam tarikhnya meriwayatkan, ketika sebagian sahabat
meremehkan ketiga orang tersebut, Nabi saw bersabda: "Kearaban yang
melekat dalam diri kalian bukan disebabkan karena ayah dan tidak pula
karena ibu, tetapi karena bahasa, sehingga siapapun yang berbahasa Arab,
dia adalah orang Arab".
Bahkan Salman Al-Farisi dinyatakan Nabi sebagai "minna Ahl Al-Bait (dari
kelompok kita [Ahl Al-Bait]), karena beliau begitu dekat secara pribadi
kepada Nabi dan keluarganya, serta memiliki pandangan hidup yang sama
dengan Ahl Al-Bait.
Keterikatan kepada asal keturunan sama sekali tidak terhalangi oleh
agama, bahkan inklusif di dalam ajarannya. Bukankah Al-Quran dalam surat
Al-Ahzab ayat 5 memerintahkan untuk memelihara keturunan dan
memerintahkan untuk menyebut nama seseorang bergandengan dengan nama
orang tuanya?
Panggillah mereka (anak-anak angkat) dengan
(menggandengkan namanya dengan nama) bapak-bapak mereka, itulah yang
lebih adil di sisi Allah (QS Al-Ahzab [33]: 5).
3. Bahasa
Al-Quran menegaskan dalam surat Al-Rum (30):
Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya, adalah penciptaan
langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasamu, dan warna kulitmu ...
Al-Quran demikian menghargai bahasa dan keragamannya, bahkan mengakui
penggunaan bahasa lisan yang beragam.
Perlu ditandaskan bahwa dalam konteks pembicaraan tentang paham
kebangsaan, Al-Quran amat menghargai bahasa, sampai-sampai seperti yang
disabdakan Nabi saw, "Al-Quran diturunkan dalam tujuh bahasa" (HR
Muslim, At-Tirmidzi, dan Ahmad dengan riwayat yang berbeda-beda tetapi
dengan makna yang sama).
Pengertian "tujuh bahasa" antara lain adalah, tujuh dialek. Menurut
sekian keterangan, ayat-ayat Al-Quran diturunkan dengan dialek suku
Quraisy, tetapi dialek ini --ketika Al-Quran turun-- belum populer untuk
seluruh anggota masyarakat. Sehingga apabila ada yang mengeluh tentang
sulitnya pengucapan atau pengertian makna kata yang digunakan oleh ayat
tertentu, Allah menurunkan wahyu lagi yang berbeda kata-katanya agar
menjadi mudah dibaca dan dimengerti. Sebagai contoh dalam Al-Quran surat
Al-Dukhan (44): 43-44 yang berbunyi, Inna syajarat al-zaqqum tha'amul
atsim, pernah diturunkan dengan mengganti kata atsim dengan fajir,
kemudian turun lagi dengan kata al-laim. Setelah bahasa suku Quraisy
populer di kalangan seluruh masyarakat, maka atas inisiatif Utsman bin
Affan (khalifah ketiga) bacaan disatukan kembali sebagaimana tercantum
dalam mushaf yang dibaca dewasa ini.
Pengertian lain dari hadis tersebut adalah Al-Quran menggunakan kosa
kata dari tujuh (baca: banyak) bahasa, seperti bahasa Romawi, Persia,
dan Ibrani, misalnya kata-kata: zamharir, sijjil, qirthas, kafur, dan
lain-lain.
Untuk menghargai perbedaan bahasa dan dialek, Nabi saw tidak jarang
menggunakan dialek mitra bicaranya. Semua itu menunjukkan betapa
Al-Quran dan Nabi saw sangat menghargai keragaman bahasa dan dialek.
Bukankah seperti yang dikemukakan tadi, Allah menjadikan keragaman itu
bukti keesaan dan kemahakuasaan-Nya?
Nah, bagaimana kaitan bahasa dan kebangsaan? Tadi telah dikemukakan
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir berkaitan dengan Salman,
Bilal, dan Suhaib. Pada hakikatnya, bahasa memang bukan digunakan
sekadar untuk menyampaikan tujuan pembicaraan dan yang diucapkan oleh
lidah. Bukankah sering seseorang berbicara dengan dirinya sendiri?
Bukankah ada pula yang berpikir dengan suara keras. Kalimat-kalimat yang
dipikirkan dan didendangkan itu merupakan upaya menyatakan pikiran dan
perasaan seseorang? Di sini bahasa merupakan jembatan penyalur perasaan
dan pikiran.
Karena itu pula kesatuan bahasa mendukung kesatuan pikiran. Masyarakat
yang memelihara bahasanya dapat memeliara identitasnya, sekaligus
menjadi bukti keberadaannya. Itulah sebabnya mengapa para penjajah
sering berusaha menghapus bahasa anak negeri yang dijajahnya dengan
bahasa sang penjajah.
Al-Quran menuntut setiap pembicara agar hanya mengucapkan hal yang
diyakini, dirasakan, serta sesuai dengan kenyataan. Karena itu, tidak
jarang Kitab Suci ini menggunakan kata qala atau yaqulu (dia berkata,
dalam arti meyakini).,
Salah satu sifat Ibadur Rahman (hamba-hamba Allah yang baik) yang
dijelaskan dalam surat Al-Furqan (25): 65 adalah:
Mereka yang berkata, "Jauhkanlah siksa jahanam dari
kami". Sesungguhnya azab-Nya adalah kebinasaan yang kekal
Ucapan ini bukan sekadar dengan lidah atau permohonan, melainkan
peringatan sikap, keyakinan dan perasaan mereka, karena kalau sekadar
permohonan, apalah keistimewaannya? Bukankah semua orang dapat bermohon
seperti itu? Karena itu tidak menyimpang jika dinyatakan bahwa bahasa
pada hakikatnya berfungsi menyatakan perasaan pikiran, keyakinan, dan
sikap pengucapnya.
Dalam konteks paham kebangsaan, bahasa pikiran, dan perasaan, jauh lebih
penting ketimbang bahasa lisan, sekalipun bukan berarti mengabaikan
bahasa lisan, karena sekali lagi ditekankan bahwa bahasa lisan adalah
jembatan perasaan.
Bahasa, saat dijadikan sebagai perekat dan unsur kesatuan umat, dapat
diakui oleh Al-Quran, bahkan inklusif dalam ajarannya. Bahasa dan
keragamannya merupakan salah satu bukti keesaan dan kebesaran Allah.
Hanya saja harus diperhatikan bahwa dari bahasa harus lahir kesatuan
pikiran dan perasaan, bukan sekadar alat menyampaikan informasi.
4. Adat Istiadat
Pikiran dan perasaan satu kelompok/umat tercermin antara lain dalam adat
istiadatnya.
Dalam konteks ini, kita dapat merujuk perintah Al-Quran antara lain:
Hendaklah ada sekelompok di antara kamu yang mengajak
kepada kebaikan, memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar (QS
Ali 'Imran [3]: 104)
Jadilah engkau pemaaf; titahkanlah yang 'urf (adat
kebiasaan yang baik), dan berpalinglah dari orang yang jahil (QS
Al-A'raf [7]: 199).
Kata 'urf dan ma'ruf pada ayat-ayat itu mengacu kepada kebiasaan dan
adat istiadat yang tidak bertentangan dengan al-khair, yakni
prinsip-prinsip ajaran Islam.
Rincian dan penjabaran kebaikan dapat beragam sesuai dengan kondisi dan
situasi masyarakat. Sehingga, sangat mungkin suatu masyarakat berbeda
pandangan dengan masyarakat lain. Apabila rincian maupun penjabaran itu
tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama, maka itulah yang dinamai
'urf/ma'ruf.
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa suatu ketika Aisyah mengawinkan seorang
gadis yatim kerabatnya kepada seorang pemuda dari kelompok Anshar
(penduduk kota Madinah). Nabi yang tidak mendengar nyanyian pada acara
itu, berkata kepada Aisyah, "Apakah tidak ada permainan/nyanyian? Karena
orang-orang Anshar senang mendengarkan nyanyian ..." Demikian, Nabi saw
menghargai adat-kebiasaan masyarakat Anshar.
Pakar-pakar hukum menetapkan bahwa adat kebiasaan dalam suatu masyarakat
selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, dapat dijadikan
sebagai salah satu pertimbangan hukum (al-adat muhakkimah). Demikian
ketentuan yang mereka tetapkan setelah menghimpun sekian banyak rincian
argumentasi keagamaan.
5. Sejarah
Agaknya, persamaan sejarah muncul sebagai unsur kebangsaan karena unsur
ini merupakan salah satu yang terpenting demi menyatukan perasaan,
pikiran, dan langkah-langkah masyarakat. Sejarah menjadi penting, karena
umat, bangsa, dan kelompok dapat melihat dampak positif atau negatif
pengalaman masa lalu, kemudian mengambil pelajaran dari sejarah, untuk
melangkah ke masa depan. Sejarah yang gemilang dari suatu kelompok akan
dibanggakan anggota kelompok serta keturunannya, demikian pula
sebaliknya.
Al-Quran sangat menonjol dalam menguraikan peristiwa sejarah. Bahkan
tujuan utama dari uraian sejarahnya adalah guna mengambil i'tibar
(pelajaran), guna menentukan langkah berikutnya. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa unsur kesejarahan sejalan dengan ajaran Al-Quran.
Sehingga kalau unsur ini dijadikan salah satu faktor lahirnya paham
kebangsaan, hal ini inklusif di dalam ajaran Al-Quran, selama uraian
kesejarahan itu diarahkan untuk mencapai kebaikan dan kemaslahatan
6. Cinta Tanah Air
Rasa kebangsaan tidak dapat dinyatakan adanya, tanpa dibuktikan oleh
patriotisme dan cinta tanah air.
Cinta tanah air tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, bahkan
inklusif di dalam ajaran Al-Quran dan praktek Nabi Muhammad saw.
Hal ini bukan sekadar dibuktikan melalui ungkapan populer yang dinilai
oleh sebagian orang sebagai hadis Nabi saw, Hubbul wathan minal iman
(Cinta tanah air adalah bagian dari iman), melainkan justru dibuktikan
dalam praktek Nabi Muhammad saw, baik dalam kehidupan pribadi maupun
kehidupan bermasyarakat.
Ketika Rasulullah saw berhijrah ke Madinah, beliau shalat menghadap ke
Bait Al-Maqdis. Tetapi, setelah enam belas bulan, rupanya beliau rindu
kepada Makkah dan Ka'bah, karena merupakan kiblat leluhurnya dan
kebanggaan orang-orang Arab. Begitu tulis Al-Qasimi dalam tafsirnya.
Wajah beliau berbolak-balik menengadah ke langit, bermohon agar kiblat
diarahkan ke Makkah, maka Allah merestui keinginan ini dengan menurunkan
firman-Nya:
Sungguh Kami (senang) melihat wajahmu menengadah ke
langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu
sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid Al-Haram... (QS Al-Baqarah
[2]: 144).
Cinta beliau kepada tanah tumpah darahnya tampak pula ketika
meninggalkan kota Makkah dan berhijrah ke Madinah. Sambil menengok ke
kota Makkah beliau berucap: "Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah bumi
Allah yang paling aku cintai, seandainya bukan yang bertempat tinggal
di sini mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkannya".
Sahabat-sahabat Nabi saw pun demikian, sampai-sampai Nabi saw bermohon
kepada Allah: "Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami,
sebagaimana engkau mencintakan kota Makkah kepada kami, bahkan lebih."
(HR Bukhari, Malik dan Ahmad).
Memang, cinta kepada tanah tumpah darah merupakan naluri manusia, dan
karena itu pula Nabi saw menjadikan salah satu tolok ukur kebahagiaan
adalah "diperolehnya rezeki dari tanah tumpah darah". Sungguh benar
ungkapan, "hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri,
lebih senang di negeri sendiri."
Bahkan Rasulullah saw mengatakan bahwa orang yang gugur karena membela
keluarga, mempertahankan harta, dan negeri sendiri dinilai sebagai
syahid sebagaimana yang gugur membela ajaran agama. Bahkan Al-Quran
menggandengkan pembelaan agama dan pembelaan negara dalam firman-Nya:
Allah tidak melarang kamu berbuat baik, dan memberi
sebagian hartamu (berbuat adil) kepada orang yang tidak memerangi kamu
karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu
karena agama, mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain
mengusirmu (QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9).
Dari uraian di atas terlihat bahwa paham kebangsaan sama sekali tidak
bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah.
Bahkan semua unsur yang melahirkan paham tersebut, inklusif dalam ajaran
Al-Quran, sehingga seorang Muslim yang baik pastilah seorang anggota
suatu bangsa yang baik. Kalau anggota suatu bangsa terdiri dari beragam
agama, atau anggota masyarakat terdiri dari berbagai bangsa, hendaknya
mereka dapat menghayati firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
148:
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblat (arah yang
ditujunya), dia menghadap ke arah itu. Maka berlomba-lombalah kamu
(melakukan) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan
mengumpulkan kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu.
Referensi
- Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
- Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
- Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
- Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
- Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
- Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
- alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
- Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
- Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
- M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
- Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
- Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.
0 komentar