Sabtu, 18 Februari 2012

Manusia


Manusia
Manusia dan Masyarakat
Pemahaman dan Tafsir Al-Quran

Dalam bukunya, Man the Unknown, Dr. A. Carrel menjelaskan tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia. Dia mengatakan bahwa pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya ia menulis:

Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuwan, filosof, sastrawan, dan para ahli di bidang keruhanian sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia --kepada diri mereka-- hingga kini masih tetap tanpa jawaban.

Keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya itu disebabkan oleh:

1. Pembahasan tentang masalah manusia terlambat dilakukan, karena pada mulanya perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi. Pada zaman primitif, nenek moyang kita disibukkan untuk menundukkan atau menjinakkan alam sekitarnya, seperti upaya membuat senjata-senjata melawan binatang-binatang buas, penemuan api, pertanian, peternakan, dan sebagainya sehingga mereka tidak mempunyai waktu luang untuk memikirkan diri mereka sebagai manusia. Demikian pula halnya Pada Zaman Kebangkitan (Renaisans) ketika para ahli digiurkan oleh penemuan-penemuan baru mereka yang disamping menghasilkan keuntungan material, juga menyenangkan publik secara umum karena penemuan-penemuan tersebut mempermudah dan memperindah kehidupan ini.

2. Ciri khas akal manusia yang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks. Ini disebabkan oleh sifat akal kita seperti yang dinyatakan oleh Bergson tidak mampu mengetahui hakikat hidup.

3. Multikompleksnya masalah manusia.

Dari penjelasan di atas, agamawan dapat berkomentar, bahwa pengetahuan tentang manusia demikian itu disebabkan karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh Ilahi sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh, kecuali sedikit (QS Al-Isra' [17]: 85).

Jika apa yang dikemukakan oleh A. Carrel itu diterima, maka satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah merujuk kepada wahyu Ilahi, agar kita dapat menemukan jawabannya.

Untuk maksud tersebut tentu tidak cukup dengan hanya merujuk kepada satu dua ayat, tetapi seharusnya merujuk kepada semua ayat Al-Quran (atau paling tidak ayat-ayat pokok) yang berbicara tentang masalah yang dibahas, dengan mempelajari konteksnya masing-masing, dan mencari penguat-penguatnya baik dari penjelasan Rasul, maupun hakikat-hakikat ilmiah yang telah mapan. Cara ini dikenal dalam disiplin ilmu Al-Quran dengan metode maudhu'i (tematis).

Istilah Manusia dalam Al-Quran
Ada tiga kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia.

l. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin, semacam insan, ins, nas, atau unas.
2. Menggunakan kata basyar.
3. Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.


Uraian ini akan mengarahkan pandangan secara khusus kepada kata basyar dan kata insan.
Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.
Al-Quran menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk menyampaikan bahwa,

Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu (QS Al-Kahf [18]: 110).

Dari sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat Al-Quran yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah) menciptakan kamu dari tanah, kemudian ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran (QS Al-Rum [30]: 20).

Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak atau bertebaran mencari rezeki. Kedua hal ini tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Karena itu pula Maryam a.s. mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak, padahal dia belum pernah disentuh oleh basyar (manusia dewasa yang mampu memberikan keturunan) (QS Ali 'Imran [3]: 47).
Demikian terlihat basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Dan karena itu pula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar (QS Al-Hijr 115): 28 menggunakan kata basyar), dan QS Al-Baqarah (2): 30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitaan Allah kepada malaikat tentang manusia.

Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandang Al-Quran lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dan kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu (berguncang).
Kitab Suci Al-Quran --seperti tulis Bint Al-Syathi' dalam Al-Quran wa Qadhaya Al-Insan-- seringkali memperhadapkan insan dengan jin/jan. Jin adalah makhluk halus yang tidak tampak, sedangkan manusia adalah makhluk yang nyata lagi ramah.
Kata insan, digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan.

Produksi dan Reproduksi Manusia
Al-Quran menguraikan produksi dan reproduksi manusia. Ketika berbicara tentang penciptaan manusia pertama, Al-Quran menunjuk kepada sang Pencipta dengan menggunakan pengganti nama berbentuk tunggal:

Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dan tanah (QS Shad [38]: 71). Apa yang menghalangi kamu (iblis) sujud kepada apa yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? (QS Shad [38]: 75).

Tetapi ketika berbicara tentang reproduksi manusia secara umum, Yang Maha Pencipta ditunjuk dengan menggunakan bentuk jamak. Demikian kesimpulan kita kalau membaca surat At-Tin ayat 4:

Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Hal itu untuk menunjukkan perbedaan proses kejadian manusia secara umum dan proses kejadian Adam a.s. Penciptaan manusia secara umum, melalui proses keterlibatan Tuhan bersama selain-Nya, yaitu ibu dan bapak. Keterlibatan ibu dan bapak mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik dan psikis anak, sedangkan dalam penciptaan Adam, tidak terdapat keterlibatan pihak lain termasuk ibu dan bapak.

Al-Quran tidak menguraikan secara rinci proses kejadian Adam, yang oleh mayoritas ulama dinamai manusia pertama. Yang disampaikannya dalam konteks ini hanya:
a. Bahan awal manusia adalah tanah.
b. Bahan tersebut disempurnakan.
c. Setelah proses penyempurnaannya selesai, ditiupkan kepadanya ruh Ilahi (QS Al-Hijr [15]: 28-29; Shad [38]: 71-72).


Apa dan bagaimana penyempurnaan itu, tidak disinggung oleh Al-Quran. Dari sini, terdapat sekian banyak cendekiawan dan ulama Islam, jauh sebelum Darwin melakukan penyelidikan dan analisis sehingga berkesimpulan bahwa manusia diciptakan melalui fase atau evolusi tertentu, dan bahwa ada tingkat-tingkat tertentu menyangkut ciptaan Allah. Nama-nama seperti Al-Farabi (783-950 M), Ibnu Miskawaih (Wafat 1030 M), Muhammad bin Syakir Al-Kutubi (1287- 1363 M), Ibnu Khaldun (1332-1406 M) dapat disebut sebagai tokoh-tokoh paham evolusi sebelum lahirnya teori evolusi Darwin (1804-1872 M). Perlu ditambahkan bahwa kesimpulan ulama-ulama tersebut tidak sepenuhnya sama dalam rincian teori evolusi yang dirumuskan oleh Darwin.

Dari sini pula dapat dimengerti uraian pakar tafsir Syaikh Muhammad Abduh yang menyatakan bahwa seandainya teori Darwin tentang proses penciptaan manusia dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, maka tidak ada alasan dari Al-Quran untuk menolaknya. Al-Quran hanya menguraikan proses pertama, pertengahan, dan akhir. Apa yang terjadi antara proses pertama dan pertengahan, serta antara pertengahan dan akhir, tidak dijelaskannya, dan menjadi tugas manusia untuk menelitinya.

Abbas Al-Aqad, seorang ilmuwan dan ulama Mesir kontemporer, dalam bukunya Al-Insan fi Al-Quran (Manusia dalam Al-Quran) mempersilakan setiap Muslim, untuk --menerima atau menolak teori itu-- berdasarkan penelitian ilmiah, tanpa melibatkan Al-Quran sedikit pun, karena Al-Quran tidak berbicara secara rinci tentang proses kejadian manusia pertama.

Potensi Manusia
Yang banyak dibicarakan oleh Al-Quran tentang manusia adalah sifat-sifat dan potensinya. Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat yang memuji dan memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya (QS Al-Tin [95]: 5), dan penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibanding dengan kebanyakan makhluk-makhluk Allah yang lain (QS Al-Isra' [17]: 70) Tetapi, di samping itu sering pula manusia mendapat celaan Tuhan karena ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (QS Ibrahlm [14]: 34), sangat banyak membantah (QS Al-Kahf [18]: 54), dan bersifat keluh kesah lagi kikir (QS Al-Ma'arij [70]: l9), dan masih banyak lagi lainnya.

Ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu dengan lainnya, akan tetapi ayat-ayat tersebut menunjukkan beberapa kelemahan manusia yang harus dihindarinya. Disamping menunjukkan bahwa makhluk ini mempunyai potensi (kesediaan) untuk menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji, atau berada di tempat yang rendah sehingga ia tercela.
Seperti dikemukakan di atas, Al-Quran menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah dan setelah sempurna kejadiannya dihembuskanlah kepadanya Ruh Ilahi (QS Shad [38]: 71-72) .

Dari sini jelas bahwa manusia merupakan kesatuan dua unsur pokok, yang tidak dapat dipisahkan karena bila dipisahkan maka ia bukan manusia lagi. Sebagaimana halnya air yang merupakan perpaduan antara oksigen dan hidrogen dalam kadar-kadar tertentu. Bila kadar oksigen dan hidrogennya dipisahkan, maka ia tidak akan menjadi air lagi.
Potensi manusia dijelaskan oleh Al-Quran antara lain melalui kisah Adam dan Hawa (QS Al-Baqarah [2]: 30-39).

Dalam ayat itu dijelaskan bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan Ruh Ilahi (akal dan ruhani), makhluk ini dianugerahi pula:

a. Potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam.

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang berkemampuan untuk menyusun konsep-konsep, mencipta, mengembangkan, dan mengemukakan gagasan, serta melaksanakannya. Potensi ini adalah bukti yang membungkamkan malaikat, yang tadinya merasa wajar untuk dijadikan khalifah di bumi, dan karenanya mereka bersedia sujud kepada Adam.

b. Pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akibat buruknya.

Pengalaman di surga adalah arah yang harus dituju dalam membangun dunia ini, kecukupan sandang, pangan, dan papan, serta rasa aman terpenuhi (QS Thaha [20]: 116-ll9), sekaligus arah terakhir bagi kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan godaan Iblis, dengan akibat yang sangat fatal itu, adalah pengalaman yang amat berharga dalam menghadapi rayuan Iblis di dunia, sekaligus peringatan bahwa jangankan yang belum masuk, yang sudah masuk ke surga pun, bila mengikuti rayuannya akan terusir.

c.Petunjuk-petunjuk keagamaan.

Masih banyak ayat-ayat lain yang dapat dikemukakan tentang sifat dan potensi manusia serta arah yang harus ia tuju.
Dari kitab suci Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw diperoleh informasi serta isyarat-isyarat yang boleh jadi dapat mengungkap sebagian misteri makhluk ini. Namun demikian, pemahaman atau informasi dan isyarat tersebut tidak dapat dilepaskan dari subjektivitas manusia, sehingga ia tetap mengandung kemungkinan benar atau salah, seperti halnya yang dikemukakan oleh tulisan ini.

Secara tegas Al-Quran mengemukakan bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi melalui proses yang tidak dijelaskan rinciannya, sedangkan reproduksi manusia, walaupun dikemukakan tahapan-tahapannya, namun tahapan tersebut lebih banyak berkaitan dengan unsur tanahnya.
Isyarat yang menyangkut unsur immaterial, ditemukan antara lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia, dan dari uraian tentang fithrah, nafs, qalb, dan ruh yang menghiasi makhluk manusia. Berikut dicoba untuk memahami istilah-istilah tersebut.

Fithrah (Fitrah)
Dari segi bahasa, kata fithrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain antara lain "penciptaan" atau "kejadian".
Konon sahabat Nabi, Ibnu Abbas tidak tahu persis makna kata fathir pada ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan langit dan bumi sampai ia mendengar pertengkaran tentan kepemilikan satu sumur. Salah seorang berkata, "Ana fathar tuhu". Ibnu Abbas memahami kalimat ini dalam arti, "Saya yang membuatnya pertama kali." Dan dari situ Ibnu Abbas memahami bahwa kata ini digunakan untuk penciptaan atau kejadian sejak awal.

Fithrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahirnya.
Dalam Al-Quran kata ini dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak dua puluh delapan kali, empat belas diantaranya dalam konteks uraian tentang bumi dan atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu pada surat Al-Rum ayat 30:

Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.


Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiannya, membawa potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
Selanjutnya dipahami juga, bahwa fitrah adalah bagian dan khalq (penciptaan) Allah.

Kalau kita memahami kata la pada ayat tersebut dalam arti "tidak", maka ini berarti bahwa seseorang tidak dapat menghindar dari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini, ia berarti bahwa fitrah keagamaan akan melekat pada diri manusia untuk selama lamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui atau diabaikannya.
Tetapi apakah fitrah manusia hanya terbatas pada fitrah keagamaan? Jelas tidak. Bukan saja karena redaksi ayat ini tidak dalam bentuk pembatasan tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan tentang penciptann potensi manusia --walaupun tidak menggunakan kata fitrah, seperti misalnya:

Telah dihiaskan kepada manusia kecenderungan hati kepada perempuan (atau lelaki), anak lelaki (dari perempuan), serta harta yang banyak berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang (QS Ali 'Imran [3]: 14).

Karena itu agaknya tepat kesimpulan Muhammad bin Asyur dalam tafsirnya tentang surat Al-Rum (30): 30, yang menyatakan bahwa: "Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya)."
Manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadiahnya, sementara menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fitrah akliahnya. Senang menerima nikmat dan sedih bila ditimpa musibah juga adalah fitrahnya.

Nafs
Kata nafs dalam Al-Quran mempunyai aneka makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia, seperti antara lain maksud surat Al-Maidah ayat 32, di kali lain ia menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku seperti maksud kandungan firman Allah.

Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan satu masyarakat, sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka (QS Al-Ra'd [13]: 11)

Kata nafs digunakan juga untuk menunjuk kepada "diri Tuhan" (kalau istilah ini dapat diterima), seperti dalam firman-Nya dalam surat Al-An'am {6): 19:

Allah mewajibkan atas diri-Nya menganugerahkan rahmat.(QS. Al-An'am {6): 19)

Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia, menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.
Dalam pandangan Al-Quran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dari keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-Quran dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.

Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwann (QS Al-Syams [91]: 7-8).

Mengilhamkan berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
Di sini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata ini menurut Al-Quran dengan terminologi kaum sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa, "Nafs dalam pengertian kaum sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk." Pengertian kaum sufi ini sama dengan penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang antara lain, menjelaskan arti kata nafsu, sebagai "dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik".

Walaupun Al-Quran menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya,

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikannya dan merugilah orang-orang yang mengotorinya (QS Al-Syams [91]: 9-10)

Bahwa kecenderungannya kepada kebaikan lebih kuat dipahami dari isyarat beberapa ayat, antara lain firman-Nya:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Nafs memperoleh ganjaran dan apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa yang diusahakannya (QS Al-Baqarah [2]: 286)

Kata kasabat yang dalam ayat di atas menunjuk kepada usaha baik sehingga memperoleh ganjaran, adalah patron yang digunakan bahasa Arab untuk menggambarkan pekerjaan yang dilakukan dengan mudah, sedangkan iktasabat adalah patron yang digunakan untuk menunjuk kepada hal-hal yang sulit lagi berat. Ini --menurut pakar Al-Quran Muhammad Abduh-- mengisyaratkan bahwa nafs pada hakikatnya lebih mudah melakukan hal-hal yang baik daripada melakukan kejahatan, dan pada gilirannya mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya diciptakan Allah untuk melakukan kebaikan.
Ayat lain yang sejalan dengan isyarat di atas, adalah firman-Nya :

Wahai manusia! Apa yang memperdayakanmu (berbuat dosa) terhadap Tuhanmu yang telah menciptakan engkau, menyempurnakan kejadianmu, dan menjadikan engkau "adil" (seimbang atau cenderung kepada keadilan) (QS Al-Infithar [82): 6-7).

Kata "menjadikan engkau adil" dipahami oleh sementara pakar seperti Yusuf Ali sebagai kecenderungan berbuat adil. Pendapat ini cukup beralasan, karena dengan pemahaman semacam itu, menjadi amat lurus kecaman Allah terhadap manusia yang mendurhakainya.
Al-Quran juga mengisyaratkan keanekaragaman nafs serta peringkat-peringkatnya, secara eksplisit disebutkan tentang an-nafs al-lawamah, ammarah, dan muthmainnah.

Di sisi lain ditemukan pula isyarat bahwa nafs merupakan wadah.Firman Allah dalam surat Al-Ra'd (13): 11 yang dikutip di atas, mengisyaratkan bahwa nafs menampung paling tidak gagasan dan kemauan. Suatu kaum tidak dapat berubah keadaan lahiriahnya, sebelum mereka mengubah lebih dulu apa yang ada dalam wadah nafs-nya. Yang ada di sini antara lain adalah gagasan dan kemauan atau tekad untuk berubah. Gagasan yang benar, yang disertai dengan kemauan satu kelompok masyarakat, dapat mengubah keadaan masyarakat itu. Tetapi gagasan saja tanpa kemauan, atau kemauan saja tanpa gagasan tidak akan menghasilkan perubahan.

Yang terdapat dalam wadah nafs bukan hanya gagasan dan kemauan yang disadari manusia, tetapi juga menampung sekian banyak hal lainnya, bahkan boleh jadi ada hal-hal yang sudah hilang dari ingatan pemiliknya.
Al-Quran mengisyaratkan hal tersebut,

Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguh nya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi (QS Thaha [20]: 7).

Yang lebih tersembunyi dan rahasia adalah yang terdapat dalam "bawah sadar manusia", sedangkan yang tersembunyi adalah "yang disadari manusia namun dirahasiakannya."
Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Tidak seorangpun menyembunyikan sesuatu kecuali tampak pada salah ucapnya atau air mukanya."

Apa yang ada dalam nafs dapat juga muncul dalam mimpi, yang oleh Al-Quran pada garis besarnya dibagi dalam dua bagian pokok. Pertamaa dinamainya ru'ya dan kedua dinamainya adhghatsu ahlam. Yang pertama dipahami sebagai gambaran atau simbol dari peristiwa yang telah, sedang, atau akan dialami, dan yang belum atau tidak terlintas dalam benak yang memimpikannya. Yang kedua lahir dan keresahan atau perhatian manusia terhadap sesuatu dan hal-hal yang telah berada di bawah sadarnya.

Dalam wadah nams terdapat qalb.

Qalb (Kalbu, Qalbu, Qolbu)
Kata qalb terambil dari akar kata yang bermakna membalik karena seringkali ia berbolak-balik, sekali senang sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak. qalb amat berpotensi untuk tidak konsisten. Al-Quran pun menggambarkan demikian, ada yang baik, ada pula sebaliknya. Berikut beberapa contoh.

Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki kalbu, atau yang mencurahkan pendengaran lagi menjadi saksi (QS Qaf [50]: 37)
Dia (Allah) menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menghiasinya indah dalam kalbumu (QS Al-Hujurat [49]: 7).

Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa kalbu adalah wadah dari pengajaran, kasih sayang, takut, dan keimanan. Dari isi kalbu yang dijelaskan oleh ayat-ayat di atas (demikian juga ayat-ayat lainnya), dapat ditarik kesimpulan bahwa kalbu memang menampung hal-hal yang disadari oleh pemiliknya. Ini merupakan salah satu perbedaan antara kalbu dan nafs. Bukankah seperti yang dinyatakan sebelumnya bahwa nafs menampung apa yang berada di bawah sadar, dan atau sesuatu yang tidak diingat lagi?
Dari sini dapat dipahami mengapa yang dituntut untuk dipertanggungiawabkan hanya isi kalbu bukan isi nafs,

Allah menuntut tanggungjawabmu menyangkut apa yang dilakukan oleh kalbu kamu (95 Al-Baqarah [2]: 225).


Namun dinyatakan bahwa,

Allah lebih mengetahui (dari kamu sendiri) apa yang terdapat dalam nafs (diri kamu) (QS Al-Isra' [17]: 25)

Di sisi lain seperti dikemukakan di atas, bahwa nafs adalah "sisi dalam" manusia, kalbu pun demikian, hanya saja kalbu berada dalam satu kotak tersendiri yang berada dalam kotak besar nafs.
Dalam keadaannya sebagai kotak, maka tentu saja ia dapat diisi dan atau diambil isinya, seperti yang digambarkan ayat-ayat berikut ini:

Kami cabut apa yang terdapat dalam kalbu mereka rasa iri, sehingga mereka semua merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan (QS Al-Hijr [15]: 47)
Belum lagi masuk keimanan ke dalam kalbu kamu (QS Al-Hujurat [49]: 14).

Bahkan Al-Quran menggambarkan bahwa ada kalbu yang disegel: Allah telah mengunci mati kalbu mereka (QS Al-Baqarah [2]: 7), sehingga wajar jika Al-Quran menyatakan bahwa ada kunci-kunci penutup kalbu (QS Muhammad [47]:24). Wadah kalbu dapat diperbesar, diperkecil, atau dipersempit. Ia diperlebar dengan amal-amal kebajikan serta olah jiwa. Al-Quran mengatakan, "mereka itulah yang diperluas kalbunya untuk menampung takwa" (QS Al-Hujurat [49]: 3). Bukankah kami telah memperluas dadamu? (QS Alam Nasyrah [94]: 1). Dan siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, Dia menjadikan dada (kalbu)nya sempit lagi sesak (QS Al-An'am [6]: 125).

Perlu ditambahkan bahwa Al-Quran --sesuai dengan kaidah bahasa Arab-- seringkali menggunakan bagian dari sesuatu untuk menunjuk keseluruhan bagian-bagiannya, seperti menggunakan kata sujud dalam arti shalat yang mencakup berdiri, rukuk, dan lain-lain. Al-Quran juga biasa menyebut sesuatu yang menggambarkan keseluruhan bagian-bagian, tetapi yang dimaksud hanyalah salah satu bagiannya seperti firman-Nya "mereka memasukkan jari-jari mereka ke dalam telinganya" (QS Al-Baqarah [2]: 19) dalam arti ujung jari-jari. Al-Quran terkadang menggunakan kata nafs dalam arti kalbu. Biasa juga menyebut tempat sesuatu tetapi yang dimaksud adalah isinya, seperti "tanyakanlah kampung" (QS Yusuf [12]: 82), yang dimaksud adalah penghuninya, demikian seterusnya.

Kata dada dalam ayat di atas adalah tempat kalbu sebagai mana ditegaskan.

Sesungguhnya bukan mata yang buta, tetapi kalbu yang berada di dalam dada (QS Al-Hajj [22]: 46).

Dalam beberapa ayat, kata qalb yang merupakan wadah itu, dipahami dalam arti "alat" seperti dalam firman-Nya: Mereka mempunyai kalbu, tetapi tidak dõgunakan untuk memahami (QS Al-A'raf [7]: 179). Kalbu sebagai alat, seperti dalam firman-Nya:

Allah mengeluarkan kamu dan perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu. Maka Dia memberikanmu (alat-alat) pendengaran, (alat-alat) penglihatan, serta (banyak) hati agar kamu bersyukur (menggunakannya untuk memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl [16]: 78) .

Membersihkan kalbu, adalah salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan. Imam Al-Ghazali memberi contoh mengenai kalbu sebagai wadah pengetahuan, serta cara mengisinya. "Kalau kita membayangkan satu kolam yang digali di tanah, maka untuk mengisinya dapat dilakukan dengan mengalirkan air sungai --dari atas-- ke dalam kolam itu. Tetapi bisa juga dengan menggali dan menyisihkan tanah yang menutupi mata air. Jika itu dilakukan, maka air akan mengalir dari bawah ke atas untuk memenuhi kolam, dan air itu, jauh lebih jernih dari air sungai yang mengalir dari atas. Kolam adalah kalbu, air adalah pengetahuan, sungai adalah pancaindera dan eksperimen. Sungai (pancaindera) dapat dibendung atau ditutup, selama tanah yang berada di kolam (kalbu) dibersihkan agar air (pengetahuan) dari mata air memancar ke atas (kolam).
Al-Quran juga menegaskan bahwa Allah SWT dapat mendinding manusia dengan kalbunya.

Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dan hatinya (QS Al-Anfal [8]: 24).

Salah satu makna ayat ini adalah bahwa Allah menguasai kalbu manusia, sehingga mereka yang merasakan kegundahan dan kesulitan dapat bermohon kepada-Nya untuk menghilangkan kerisauan dan penyakit kalbu yang dideritanya. Ayat ini sangat berkaitan dengan firman-Nya dalam Al-Ra'd (13): 28:

Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah hati akan tenteram. (QS. Al-Ra'd (13): 28)


Demikian sekelumit dari pengertian dan peranan hati yang diperoleh dari isyarat-isyarat Al-Quran.

Ruh (Roh)
Berbicara tentang ruh, Al-Quran mengingatkan kita akan firman-Nya:

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, "Ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit" (QS Al-Isra' [17]: 85)

Apa yang dimaksud dengan pertanyaan tentang ruh di sini? Apakah substansinya? Kekekalan atau kefanaannya, kebahagiaan atau kesengsaraannya? Tidak jelas. Selain itu, apa yang dimaksud dengan "kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit"? Yang sedikit itu apa? Apakah yang berkaitan dengan ruh? Sehingga ada informasi sedikit tentang ruh, misalnya gejala-gejalanya? Ataukah "yang sedikit itu" adalah ilmu pengetahuan kita, tidak termasuk di dalamnya ruh, karena ilmu kita hanya sedikit.
Yang menambah sulitnya persoalan adalah bahwa kata ruh terulang di dalam Al-Quran sebanyak dua puluh empat kali dengan berbagai konteks dan berbagai makna, dan tidak semua berkaitan dengan manusia. Dalam surat Al-Qadar misalnya dibicarakan tentang turunnya malaikat dan ruh pada malam Lailat Al-Qadr. Ada juga uraian tentang ruh yang membawa Al-Quran.

Kata ruh yang dikaitkan dengan manusia juga dalam konteks yang bermacam-macam, ada yang hanya dianugerahkan Allah kepada manusia pilihan-Nya (QS Al-Mu'min [40]: 15) yang dipahami oleh sementara pakar sebagai wahyu yang dibawa malaikat Jibril, ada juga yang dianugerahkannya kepada orang-orang Mukmin (QS Al-Mujadilah [58]: 22) dan di sini dipahami sebagai dukungan dan peneguhan hati atau kekuatan batin; dan ada juga yang dianugerahkannya kepada seluruh manusia, kemudian Kuhembuskan kepadanya dan ruh-Ku.
Apakah di sini dia berarti nyawa? Ada yang berpendapat demikian, ada juga yang menolak pendapat ini, karena dalam Surat Al-Mu'minun dijelaskan bahwa dengan ditiupkannya ruh maka menjadilah makhluk ini khalq akhar (makhluk yang unik), yang berbeda dari makhluk lain. Sedangkan nyawa juga dimiliki oleh orang utan, misalnya. Kalau demikian nyawa bukan unsur yang menjadikan manusia makhluk yang unik.

Demikian terlihat Al-Quran berbicara tentang ruh dalam makna yang beraneka ragam, sehingga sungguh sulit untuk menetapkan maknanya apalagi berbicara tentang substansinya.
Dalam beberapa hadis, ada disinggung tentang ruh, misalnya sabda Nabi saw: "Ruh-ruh adalah himpunan yang terorganisasi, yang saling mengenal akan bergabung, dan yang tidak saling mengenal akan berselisih".

Hadis di atas seringkali dirangkaikan dengan ungkapan yang dikenal luas dalam literatur keagamaan: "Burung-burung akan bergabung dengan jenisnya".
Hadis ini, sekali lagi tidak membicarakan apa yang disebut ruh tersebut? Dia hanya mengisyaratkan tentang keanekaragamannya, dan bahwa manusia mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda, dan setiap pemilik kecenderungan jiwanya akan bergabung dengan sesamanya.

Demikian kembali kita bertanya, "Apa ruh itu dan bagaimana ia?" Katakanlah, "Ruh adalah urusan Tuhan-Ku." Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit.

'Aql (Akal)
Kata 'aql (akal) tidak ditemukan dalam Al-Quran, yang ada adalah bentuk kata kerja --masa kini, dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Quran menggunakannya bagi "sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa." Apakah sesuatu itu? Al-Quran tidak menjelaskannya secara eksplisit, namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata 'aql dapat dipahami bahwa ia antara lain adalah:

a. Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, seperti firman-Nya dalam QS Al-'Ankabut (29): 43.

Demikian itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami berikan kepada manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang alim (berpengetahuan) (QS Al-'Ankabut [29]: 43)

Daya manusia dalam hal ini berbeda-beda. Ini diisyaratkan Al-Quran antara lain dalam ayat-ayat yang berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, dan lain-lain. Ada yang dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah SWT bagi "orang-orang berakal" (QS Al-Baqarah [2]: 164), dan ada juga bagi Ulil Albab yang juga dengan makna sama, tetapi mengandung pengertian lebih tajam dari sekadar memiliki pengetahuan.
Keanekaragaman akal dalam konteks menarik makna dan menyimpulkannya terlihat juga dari penggunaan istilah-istilah semacam nazhara, tafakkur, tadabbur, dan sebagainya yang semuanya mengandung makna mengantar kepada pengertian dan kemampuan pemahaman.

b. Dorongan moral, seperti firman-Nya,

... dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak atau tersembunyi, dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah dengan sebab yang benar. Demikian itu diwasiatkan Tuhan kepadamu, semoga kamu memiliki dorongan moral untuk meninggalkannya (QS Al-'Anam [6]: 151).

c. Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta "hikmah"

Untuk maksud ini biasanya digunakan kata rusyd. Daya ini menggabungkan kedua daya di atas, sehingga ia mengandung daya memahami, daya menganalisis, dan menyimpulkan, serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan berpikir. Seseorang yang memiliki dorongan moral, boleh jadi tidak memiliki daya nalar yang kuat, dan boleh jadi juga seseorang yang memiliki daya pikir yang kuat, tidak memiliki dorongan moral, tetapi seseorang yang memiliki rusyd, maka dia telah menggabungkan kedua keistimewaan tersebut. Dari sini dapat dimengerti mengapa penghuni neraka di hari kemudian berkata,

Seandainya kami mendengar dan berakal maka pasti kami tidak termasuk penghuni neraka (QS Al-Mulk [67]: l0)

Demikian sekilas tentang pengertian kata-kata yang boleh jadi dapat menggambarkan sekilas tentang manusia dalam pandangan Al-Quran. Prof. Dr. M. Quraish Shihab sepenuhnya sadar bahwa uraian di atas amat terbatas. Uraian yang memadai mungkin dapat diperoleh dengan kerja sama pakar-pakar Al-Quran dengan Pakar dalam berbagai disiplin ilmu lain.


Referensi
  • Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
  • Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
  • Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
  • Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
  • Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
  • Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
  • alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
  • Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
  • Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
  • M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
  • Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
  • Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Duniaku Duniamu
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top