Pakaian Hukum (Ketetapan/Peraturan) Pemahaman dan Tafsir Al-Quran |
Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu libas, tsiyab, dan sarabil. Kata libas ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan sebanyak delapan kali, sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat.
Libas pada mulanya berarti penutup (apa pun yang ditutup). Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, perlu dicatat bahwa ini tidak harus berarti "menutup aurat", karena cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya.
Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14 menyatakan bahwa,
Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara
lain mutiara) yang kamu pakai.
Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide pertamanya.
Ungkapan yang menyatakan, bahwa "awalnya adalah ide dan akhirnya adalah kenyataan", mungkin dapat membantu memahami pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan harus dikembalikan kepada ide asal, karena kenyataan adalah cerminan dari ide asal.
IDE DASAR tentang PAKAIAN
Ar-Raghib Al-Isfahani (seorang pakar bahasa Al-Quran) menyatakan bahwa
pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide dasar adanya bahan-bahan
pakaian adalah agar dipakai. Jika bahan-bahan tersebut setelah dipintal
kemudian menjadi pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide
dasar keberadaannya. Menurut Quraish Shihab, ide dasar juga dapat
dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia pertama tentang
dirinya.
Al-Quran surat Al-'Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika Adam dan Hawa berada di surga:
Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk
menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya,
dan setan berkata, "Tuhan kamu melarang kamu mendekati pohon ini,
supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang
yang kekal (di surga)."
Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:
...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang)
itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya
menutupinya dengan daun-daun surga...
Terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri manusia adalah "tertutupnya aurat", namun karena godaan setan, aurat manusia terbuka. Dengan demikian, aurat yang ditutup dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya. Wajarlah jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti "sesuatu yang mengembalikan aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.
Dan ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah ide setan, dan karenanya "tanda-tanda kehadiran setan adalah "keterbukaan aurat".
Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:
Wahai putra-putra Adam, janganlah sekali-kali kamu
dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu orang tuamu Adam
dan Hawa) sehingga ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga.
Ia menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya
aurat mereka berdua (QS Al-A'raf [7]: 27).
Kata ketiga yang digunakan Al-Quran untuk menjelaskan
perihal pakaian adalah sarabil. Kamus-kamus bahasa mengartikan kata ini
sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya. Hanya dua ayat yang menggunakan
kata tersebut. Satu di antaranya diartikan sebagai pakaian yang
berfungsi menangkal sengatan panas, dingin, dan bahaya dalam peperangan
(QS Al-Nahl [16]: 81). Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang
siksa yang akan dialami oleh orang-orang berdosa kelak di hari kemudian:
pakaian mereka dari pelangkin. Dari sini terpahami bahwa pakaian ada
yang menjadi alat penyiksa. Tentu saja siksaan tersebut karena yang
bersangkutan tidak menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang diamanatkan
oleh Allah SWT
PAKAIAN DAN FITRAH
Dari ayat yang menguraikan peristiwa terbukanya aurat Adam, dan
ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan bahwa pada hakikatnya
menutup aurat adalah fitrah manusia jrang diaktualkan pada saat ia
memiliki kesadaran.
Seperti dikemukakan ketika menjelaskan arti tsaub,
manusia pada mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal ini
menggunakan istilah li yubdiya lahuma ma~ wuriya 'anhuma min sauatihima
(untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu
auratnya) (QS Al-A'raf [7]: 20).
Penggalan ayat itu bukan saja mengisyaratkan bahwa sejak semula Adam dan Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka, melainkan juga berarti bahwa aurat masing-masing tertutup sehingga mereka sendiri pun tidak dapat melihatnya.
Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan akibatnya adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi terbuka, dan mereka menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha menutupinya dengan daun-daun surga. Usaha tersebut menunjukkan adanya naluri pada diri manusia sejak awal kejadiannya bahwa aurat harus ditutup dengan cara berpakaian.
Perlu diperhatikan pula kalimat yang dipergunakan Al-Quran untuk menyatakan usaha kedua orang tua kita, "Wa thafiqa yakhshifan 'alaihima min waraq al-jannah."
Kata yakhshifan terambil dari kata khashf yang berarti menempelkan sesuatu pada sesuatu yang lain agar menjadi lebih kokoh. Contoh yang dikemukakan oleh pakar-pakar bahasa adalah menempelkan lapisan baru pada lapisan yang ada dari alas kaki, agar lebih kuat dan kokoh.
Adam dan Hawa bukan sekadar mengambil satu lembar daun untuk menutup auratnya (karena jika demikian pakaiannya adalah mini), melainkan sekian banyak lembar agar melebar, dengan cara menempelkan selembar daun di atas lembar lain, sebagai tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal, sehingga tidak transparan atau tembus pandang.
Hal lain yang mengisyaratkan bahwa berpakaian atau menutup aurat merupakan fitrah manusia adalah penggunaan istilah "Ya Bani Adam" (Wahai putra-putri Adam) dalam ayat-ayat yang berbicara tentang berpakaian.
Panggilan semacam ini hanya terulang empat kali dalam Al-Quran. Kesan dan makna yang disampaikannya berbeda dengan panggilan ya ayyuhal ladzina amanu yang hanya khusus kepada orang-orang mukmin, atau ya ayyuhan nas yang boleh jadi hanya ditujukan kepada seluruh manusia sejak masa Nabi saw hingga akhir zaman. Panggilan ya Bani Adam jelas tertuju kepada seluruh manusia. Bukankah Adam adalah ayah seluruh manusia?
Hanya empat kali panggilan ya Bani Adam dalam Al-Quran, dan semuanya terdapat dalam surat Al-'Araf, yaitu:
1. Ayat 26 berbicara tentang macam-macam pakaian yang dianugerahkan Allah.
2. Ayat 27 berbicara tentang larangan mengikuti setan yang menyebabkan terbukanya aurat orang tua manusia (Adam dan Hawa).
3. Ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada saat memasuki masjid.
4. Ayat 35 adalah kewajiban taat kepada tuntunan Allah yang disampaikan oleh para rasul-Nya (tentu termasuk tuntunan berpakaian).
Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah SWT telah mengilhami manusia sehingga timbul dalam dirinya dorongan untuk berpakaian, bahkan kebutuhan untuk berpakaian, sebagaimana diisyaratkan oleh surat Thaha (20): 117-118, yang mengingatkan Adam bahwa jika ia terusir dari surga karena setan, tentu ia akan bersusah payah di dunia untuk mencari sandang, pangan, dan papan. Dorongan tersebut diciptakan Allah dalam naluri manusia yang memiliki kesadaran kemanusiaan. Itu sebabnya terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi apa yang dinilainya sebagai aurat.
Dari ayat yang berbicara tentang ketertutupan aurat, ditemukan isyarat bahwa untuk merealisasikan hal tersebut, manusia tidak membutuhkan upaya dan tenaga yang berat. Hal ini diisyaratkan oleh bentuk pasif yang dipilih Al-Quran untuk menyebut tertutupnya aurat Adam dan Hawa, yakni ayat 22 surat Al-A'raf yang dikutip pada awal uraian ini: "yang tertutup dan mereka yaitu aurat mereka."
Menutup aurat tidak sulit, karena dapat dilakukan dengan bahan apa pun yang tersedia, sekalipun selembar daun (asalkan dapat menutupinya).
FUNGSI PAKAIAN
Dari sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian, dapat
ditemukan paling tidak ada empat fungsi pakaian.
Al-Quran surat Al-A'raf (7): 26 menjelaskan dua fungsi pakaian:
Wahai putra putri Adam, sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan juga (pakaian)
bulu (untuk menjadi perhiasan), dan pakaian takwa itulah yang paling
baik.
Ayat ini setidaknya menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu penutup aurat dan perhiasan.
Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas berbicara tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa, dalam arti pakaian dapat menghindarkan seseorang terjerumus ke dalam bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.
Syeikh Muhammad Thahir bin 'Asyur menjelaskan jalan pikiran ulama yang berpendapat demikian. Ia menulis dalam tafsirnya tentang ayat tersebut:
Libasut taqwa dibaca oleh Imam Nafi' ibnu Amir, Al-Kisa'i, dan Abu Ja'far dengan nashab (dibaca libasa sehingga kedudukannya sebagai objek penderita). Ini berarti sama dengan pakaian-pakaian lain yang diciptakan, dan tentunya pakaian ini tidak berbentuk abstrak, melainkan nyata. Takwa yang dimaksud di sini adalah pemeliharaan, sehingga yang dimaksud dengannya adalah pakaian berupa perisai yang digunakan dalam peperangan untuk memelihara dan menghindarkan pemakainya dari luka dan bencana lain.
Ada juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga kata tersebut tidak berkedudukan sebagai objek penderita. Ketika itu, salah satu makna yang dikandungnya adalah adanya pakaian batin yang dapat menghindarkan seseorang dari bencana duniawi dan ukhrawi.
Betapapun, ditemukan ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga pakaian, yakni fungsi pemeliharaan terhadap bencana, dan dari sengatan panas dan dingin,
Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang
memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta pakaian (baju
besi) yang memelihara kamu dalam peperangan... (QS Al-Nahl [16]: 81).
Fungsi pakaian selanjutnya disyaratkan oleh Al-Quran surat Al-Ahzab (33): ayat 59 pada jaman peperangan antara orang-orang munafik dan orang-orang mukmin, yang menugaskan Nabi saw agar menyampaikan kepada istri-istrinya, anak-anak perempuannya, serta wanita-wanita mukmin agar mereka mengulurkan (memanjangkan) jilbab mereka sebagai penunjuk identitas pembeda antara seseorang dengan yang lain:
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan perempuan-perempuan mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak di ganggu. Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Terlihat fungsi pakaian sebagai penunjuk identitas pembeda antara seseorang dengan yang lain.
Fungsi Pakaian sebagai Penutup Sau-at (Aurat)
Sau-at terambil dari kata sa-a -yasu-u yang berarti buruk, tidak
menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan 'aurat, yang terambil dari
kata 'ar yang berarti onar, aib, tercela. Keburukan yang dimaksud tidak
harus dalam arti sesuatu yang pada dirinya buruk, tetapi bisa juga
karena adanya faktor lain yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun
dari bagian tubuh yang buruk karena semuanya baik dan bermanfaat
(termasuk aurat).
Tentu saja banyak hal yang sifatnya buruk, masing-masing orang dapat menilai. Agama pun memberi petunjuk tentang apa yang dianggapnya 'aurat atau sau-at. Dalam fungsinya sebagai penutup, tentunya pakaian dapat menutupi segala yang enggan diperlihatkan oleh pemakai, sekalipun seluruh badannya. Tetapi dalam konteks pembicaraan tuntunan atau hukum agama, aurat dipahami sebagai anggota badan tertentu yang tidak boleh dilihat kecuali oleh orang-orang tertentu.
Bahkan bukan hanya kepada orang tertentu selain pemiliknya, Islam tidak "senang" bila aurat (khususnya aurat besar (kemaluan)) dilihat oleh siapa pun. Bukankah seperti yang dikemukakan terdahulu, bahwa ide dasar aurat adalah "tertutup atau tidak dilihat walau oleh yang bersangkutan sendiri?"
Beberapa hadis menerangkan hal tersebut secara rinci:
Hindarilah telanjang, karena ada (malaikat) yang selalu bersama kamu, yang tidak pernah berpisah denganmu kecuali ketika ke kamar belakang (wc) dan ketika seseorang berhubungan seks dengan istrinya. Maka malulah kepada mereka dan hormatilah mereka (HR At-Tirmidzi).
Dari segi hukum, tidak terlarang bagi seseorang --bila sendirian atau bersama istrinya-- untuk tidak berpakaian. Tetapi, ia berkewajiban menutup auratnya, baik aurat besar (kemaluan) maupun aurat kecil, selama diduga akan ada seseorang --selain pasangannya-- yang mungkin melihat. Ulama bersepakat menyangkut kewajiban berpakaian sehingga aurat tertutup, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang batas aurat itu. Bagian mana dari tubuh manusia yang harus selalu ditutup.
Imam Malik, Syafi'i, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa lelaki wajib menutup seluruh badannya dari pusar hingga lututnya, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa yang wajib ditutup dari anggota tubuh lelaki hanya yang terdapat antara pusat dan lutut yaitu alat kelamin dan pantat.
Wanita, menurut sebagian besar ulama berkewajiban menutup seluruh angggota tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya, sedangkan Abu Hanifah sedikit lebih longgar, karena menambahkan bahwa selain muka dan telapak tangan, kaki wanita juga boleh terbuka. Tetapi Abu Bakar bin Abdurrahman dan Imam Ahmad berpendapat bahwa seluruh anggota badan perempuan harus ditutup.
Salah satu sebab perbedaan ini adalah perbedaan penafsiran mereka tentang maksud firman Allah dalam surat Al-Nur (24): 31:
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang tampak darinya.
Fungsi Pakaian sebagai Perhiasan
Di bagian terdahulu telah dikemukakan ayat Al-Quran yang
memerintahkan umat Islam agar memakai perhiasannya (lebih-lebih ketika
berkunjung ke masjid) (QS Al-A'raf [7]: 31).
Perhiasan adalah sesuatu yang dipakai untuk memperelok. Tentunya pemakainya sendiri harus lebih dahulu menganggap bahwa perhiasan tersebut indah, kendati orang lain tidak menilai indah atau pada hakikatnya memang tidak indah.
Al-Quran tidak menjelaskan (apalagi merinci) apa yang disebut perhiasan, atau sesuatu yang "elok". Sebagian pakar menjelaskan bahwa sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan kebebasan dan keserasian.
Bentuk tubuh yang elok adalah yang ramping, karena kegemukan membatasi kebebasan bergerak. Sentuhan yang indah adalah sentuhan yang memberi kebebasan memegang sehingga tidak ada duri atau kekasaran yang mengganggu tangan. Suara yang elok adalah suara yang keluar dari tenggorokan tanpa paksaan atau dihadang oleh serak dan semacamnya. Ide yang indah adalah ide yang tidak dipaksa atau dihambat oleh ketidaktahuan, takhayul, dan semacamnya. Sedangkan pakaian yang elok adalah yang memberi kebebasan kepada pemakainya untuk bergerak. Demikian kurang lebih yang ditulis Abbas Al-Aqqad dalam bukunya Muthal'at fi Al-Kutub wa Al-Hayat.
Harus diingat pula bahwa kebebasan mesti disertai tanggung jawab, karenanya keindahan harus menghasilkan kebebasan yang bertanggung jawab.
Tentu saja kita dapat menerima atau menolak pendapat tersebut, sekalipun sepakat bahwa keindahan adalah dambaan manusia. Namun harus disepakati pula bahwa keindahan sangat relatif; tergantung dari sudut pandang masing-masing penilai. Hakikat ini merupakan salah satu sebab mengapa Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau elok.
Wahyu kedua (atau ketiga) yang dinilai oleh ulama
sebagai ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad
saw sebagai Rasul antara lain menuntun beliau agar menjaga dan
terus-menerus meningkatkan kebersihan pakaiannya (QS Al-Muddatstsir
[74]: 4).
Memang salah satu unsur mutlak keindahan adalah kebersihan.
Katakanlah! "Siapakah yang mengharamkan perhiasan yang
telah Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya...?" (QS Al-A'raf [7]: 32)
Bagi mereka surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya, di
sana mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara,
dan pakaian mereka di sana adalah sutera (QS Fathir [35]: 33).
...Dalam surga mereka dihiasi dengan gelang emas dan
mereka memakai pakaian hijau dan sutera halus dan sutera tebal, dalam
keadaan mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah...
(QS Al-Kahf [18]: 31).
Berhias tidak dilarang dalam ajaran Islam, karena ia
adalah naluri manusiawi. Yang dilarang adalah tabarruj al-jahiliyah,
satu istilah yang digunakan Al-Quran (QS Al-Ahzab [33]: 33) mencakup
segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan berahi kepada selain
suami istri. Namun memang relatif sulit membuat ukuran/batasan dari
"dapat menimbulkan rangsangan berahi" tersebut. Karena ukuran/batasan
tersebut untuk masing-masing orang memang berbeda, tergantung pola
berpikir orang tersebut, lingkungan dan latar belakangnya. Ada yang
hanya melihat telapak tangan saja sudah menimbulkan berahi, ada yang
melihat seseorang berjalan dengan tegap justru menimbulkan berahi, ada
yang melihat "aurat besar" (kelamin) tidak terpengaruh sama sekali, dsb.
Sehingga terpulang kepada masing-masing orang, kemampuannya
mengendalikan diri, serta ketakwaannya kepada Allah SWT.
Fungsi Pakaian sebagai PERLINDUNGAN (TAKWA)
Di atas telah dikemukakan bahwa salah satu fungsi pakaian adalah
"perlindungan". Bahwa pakaian tebal dapat melindungi seseorang dari
sengatan dingin, dan pakaian yang tipis dari sengatan panas, bukanlah
hal yang perlu dibuktikan. Yang demikian ini adalah perlindungan secara
fisik.
SEPUTAR AYAT AL-NUR DAN AL-AHZAB
Wanita-wanita Muslim, pada awal Islam di Madinah, memakai pakaian yang
sama bentuknya dengan pakaian-pakaian yang dipakai oleh wanita-wanita
disana pada umumnya. Mereka secara umum memakai pakaian yang dinamakan jilbab
(baju kurung yang dilengkapi dengan kerudung penutup kepala) tetapi
leher dan dada mereka mudah terlihat, bahkan kadang punggung mereka
juga terlihat, atau perut mereka terlihat. Keadaan semacam itu digunakan
oleh orang-orang munafik untuk menggoda dan mengganggu wanita-wanita
termasuk wanita Mukminah. Ini tentu disebabkan karena ketika itu
identitas mereka sebagai wanita Muslimah tidak terlihat dengan jelas.
Nah, dalam situasi yang demikian turunlah petunjuk Allah kepada Nabi
yang menyatakan:
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuan dan perempuan-perempuan mukmin agar mengulurkan atas diri
mereka jilbab-jilbab mereka. Yang demikian itu menjadikan mereka lebih
mudah untuk dikenal (sebagai wanita Muslimah) sehingga mereka tidak
diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Ahzab [33]:
59).
Katakanlah, kepada wanita yang beriman, hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan menjaga kehormatan mereka, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang tampak darinya.
Hendaklah mereka mengulurkan/menutupkan kain kudung kedadanya dan
janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau
ayah mereka, atau mertua mereka, atau putra-putra mereka, atau
putra-putra suami mereka, atau saudara lelaki mereka, atau putra-putra
saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita,
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang
yang beriman, supaya kamu beruntung.
Dan apabila kamu meminta sesuatu dan mereka, maka
mintalah dari belakang tabir (QS Al-Ahzab 133]: 53).
Dalam ajaran Al-Quran memang kesulitan merupakan faktor
yang menghasilkan kemudahan. Secara tegas Al-Quran menyatakan bahwa
Allah tidak berkehendak menjadikan bagi kamu sedikit kesulitan pun (QS
Al-Ma-idah [5]: 6) dan bahwa Allah menghendaki buat kamu kemudahan bukan
kesulitan (QS Al-Baqarah [2): 185).
PENDAPAT BEBERAPA ULAMA KONTEMPORER TENTANG JILBAB
Di atas --semoga telah tergambar-- tafsir serta pandangan ulama-ulama
mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab dan batas aurat
wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh
sebagian ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang sebagian
ulama (termasuk Quraish Shihab) untuk mengemukakan pendapat yang berbeda
--dan yang boleh jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim
dewasa ini.
Referensi
- Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
- Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
- Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
- Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
- Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
- Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
- alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
- Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
- Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Bei
0 komentar