Sabtu, 18 Februari 2012

Takdir

Takdir
IMAN - Keimanan
Pemahaman dan Tafsir Al-Quran


Ketika Mu'awiyah ibn Abi Sufyan menggantikan Khalifah IV, Ali ibn Abi Thalib (W. 620 H), ia menulis surat kepada salah seorang sahabat Nabi, Al-Mughirah ibn Syu'bah menanyakan, "Apakah doa yang dibaca Nabi setiap selesai shalat?" Ia memperoleh jawaban bahwa doa beliau adalah, "Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri, tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi, ... (HR Bukhari).

Doa ini dipopulerkannya untuk memberi kesan bahwa segala sesuatu telah ditentukan Allah, dan tiada usaha manusia sedikit pun. Kebijakan mempopulerkan doa ini, dinilai oleh banyak pakar sebagai "bertujuan politis," karena dengan doa itu para penguasa Dinasti Umayah melegitimasi kesewenangan pemerintahan mereka, sebagai kehendak Allah. Begitu tulis Abdul Halim Mahmud mantan Imam Terbesar Al-Azhar Mesir dalam Al-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam (hlm- 203).

Tentu saja, pandangan tersebut tidak diterima oleh kebanyakan ulama. Ada yang demikian menggebu menolaknya sehingga secara sadar atau tidak -mengumandangkan pernyataan la qadar (tidak ada takdir). Manusia bebas melakukan apa saja, bukankah Allah telah menganugerahkan kepada manusia kebebasan memilih dan memilah? Mengapa manusia harus dihukum kalau dia tidak memiliki kebebasan itu? Bukankah Allah sendiri menegaskan,

"Siapa yang hendak beriman silakan beriman, siapa yang hendak kufur silakan juga kufur" (QS Al-Kahf [18]: 29)

Masing-masing bertanggung jawab pada perbuatannya sendiri-sendiri. Namun demikian, pandangan ini juga disanggah. Ini mengurangi kebesaran dan kekuasaan Allah. Bukankah Allah Mahakuasa? Bukankah

"Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan" (QS Al-Shaffat [37]: 96)

Tidakkah ayat ini berarti bahwa Tuhan menciptakan apa yang kita lakukan? Demikian mereka berargumentasi. Selanjutnya bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,

"Apa yang kamu kehendaki, (tidak dapat terlaksana) kecuali dengan kehendak Allah jua" (QS Al-Insan [76]: 30)

Demikian sedikit dari banyak perdebatan yang tak kunjung habis di antara para teolog. Masing-masing menjadikan Al-Quran sebagai pegangannya, seperti banyak orang yang mencintai si Ayu, tetapi Ayu sendiri tidak mengenal mereka.

Kemudian didukung oleh penguasa yang ingin mempertahankan kedudukannya, dan dipersubur oleh keterbelakangan umat dalam berbagai bidang, meluaslah paham takdir dalam arti kedua di atas, atau paling tidak, paham yang mirip dengannya.

Yang jelas, Nabi dan sahabat-sahabat utama beliau, tidak pernah mempersoalkan takdir sebagaimana dilakukan oleh para teolog itu. Mereka sepenuhnya yakin tentang takdir Allah yang menyentuh semua makhluk termasuk manusia, tetapi sedikit pun keyakinan ini tidak menghalangi mereka menyingsingkan lengan baju, berjuang, dan kalau kalah sedikit pun mereka tidak menimpakan kesalahan kepada Allah. Sikap Nabi dan para sahabat tersebut lahir, karena mereka tidak memahami ayat-ayat Al-Quran secara parsial: ayat demi ayat, atau sepotong-sepotong terlepas dari konteksnya, tetapi memahaminya secara utuh, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw.

Takdir dalam Bahasa Al-Quran
Kata takdir (taqdir) terambil dan kata qaddara berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, "Allah telah menakdirkan demikian," maka itu berarti, "Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya."

Dari sekian banyak ayat Al-Quran dipahami bahwa semua makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka tidak dapat melampaui batas ketetapan itu, dan Allah SWT menuntun dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju. Begitu dipahami antara lain dari ayat-ayat permulaan Surat Al-A'la (Sabihisma),

"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan (semua makhluk) dan menyempurnakannya, yang memberi takdir kemudian mengarahkan(nya)" (QS Al-A'la [87]: 1-3)

Karena itu ditegaskannya bahwa:

"Dan matahari beredar di tempat peredarannya Demikian itulah takdir yang ditentukan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui" (QS Ya Sin [36]: 38)

Demikian pula bulan, seperti firman-Nya sesudah ayat di atas:

"Dan telah Kami takdirkan/tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua" (QS Ya Sin [36]: 39)

Bahkan segala sesuatu ada takdir atau ketetapan Tuhan atasnya,

"Dia (Allah) Yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia menetapkan atasnya qadar (ketetapan) dengan sesempurna-sempurnanya" (QS Al-Furqan [25]: 2).

"Dan tidak ada sesuatu pun kecuali pada sisi Kamilah khazanah (sumber)nya; dan Kami tidak menurunkannya kecuali dengan ukuran tertentu" (QS Al-Hijr [15]: 21)

Makhluk-Nya yang kecil dan remeh pun diberi-Nya takdir. Lanjutan ayat Sabihisma yang dikutip di atas menyebut contoh, yakni rerumputan.

"Dia Allah yang menjadikan rumput-rumputan, lalu dijadikannya rumput-rumputan itu kering kehitam-hitaman" (QS Sabihisma [87]: 4-53)

Mengapa rerumputan itu tumbuh subur, dan mengapa pula ia layu dan kering. Berapa kadar kesuburan dan kekeringannya, kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah SWT, melalui hukum-hukum-Nya yang berlaku pada alam raya ini. Ini berarti jika Anda ingin melihat rumput subur menghijau, maka siramilah ia, dan bila Anda membiarkannya tanpa pemeliharaan, diterpa panas matahari yang terik, maka pasti ia akan mati kering kehitam-hitaman atau ghutsan ahwa seperti bunyi ayat di atas. Demikian takdir Allah menjangkau seluruh makhluk-Nya. Walhasil,

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, ... (QS. Al-A'la (87) : 1-4)

"Allah telah menetapkan bagi segala sesuatu kadarnya" (QS Al-Thalaq [65]: 3)

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, dan itulah yang disebut takdir. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama dapat disimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau yang sering secara salah kaprah disebut "hukum-hukum alam."

Prof. Dr. M. Quraish Shihab tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan sunnatullah dengan takdir. Karena sunnatullah yang digunakan oleh Al-Quran adalah untuk hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku bagi masyarakat, sedang takdir mencakup hukum-hukum kemasyarakatan dan hukum-hukum alam. Dalam Al-Quran "sunnatullah" terulang sebanyak delapan kali, "sunnatina" sekali, "sunnatul awwalin" terulang tiga kali; kesemuanya mengacu kepada hukum-hukum Tuhan yang berlaku pada masyarakat. Baca misalnya QS Al-Ahzab (33): 38, 62 atau Fathir 35, 43, atau Ghafir 40, 85, dan lain-lain.

Matahari, bulan, dan seluruh jagat raya telah ditetapkan oleh Allah takdirnya yang tidak bisa mereka tawar,
"Datanglah (hai langit dan bumi) menurut perintah-Ku, suka atau tidak suka!" Keduanya berkata, "Kami datang dengar penuh ketaatan."
Demikian surat Fushshilat (41) ayat 11 melukiskan "keniscayaan takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya."

Apakah demikian juga yang berlaku bagi manusia? Tampaknya tidak sepenuhnya sama.

Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah kepadanya. Makhluk ini, misalnya, tidak dapat terbang. Ini merupakan salah satu ukuran atau batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia tidak mampu melampauinya, kecuali jika ia menggunakan akalnya untuk menciptakan satu alat, namun akalnya pun, mempunyai ukuran yang tidak mampu dilampaui. Di sisi lain, manusia berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita lakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah mempunyai kadar dan ukuran tertentu. Hanya saja karena hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan memilih -tidak sebagaimana matahari dan bulan misalnya- maka kita dapat memilih yang mana di antara takdir yang ditetapkan Tuhan terhadap alam yang kita pilih. Api ditetapkan Tuhan panas dan membakar, angin dapat menimbulkan kesejukan atau dingin; itu takdir Tuhan -manusia boleh memilih api yang membakar atau angin yang sejuk. Di sinilah pentingnya pengetahuan dan perlunya ilham atau petunjuk Ilahi.

Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah adalah:
"Wahai Allah, jangan engkau biarkan aku sendiri (dengan pertimbangan nafsu akalku saja), walau sekejap."

Ketika di Syam (Syria, Palestina, dan sekitarnya) terjadi wabah, Umar ibn Al-Khaththab yang ketika itu bermaksud berkunjung ke sana membatalkan rencana beliau, dan ketika itu tampil seorang bertanya: "Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?"

Umar r.a. menjawab : "Saya lari/menghindar dan takdir Tuhan kepada takdir-Nya yang lain."

Demikian juga ketika Imam Ali r.a. sedang duduk bersandar di satu tembok yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempat lain. Beberapa orang di sekelilingnya bertanya seperti pertanyaan di atas.
Jawaban Ali ibn Thalib, sama intinya dengan jawaban Khalifah Umar r.a. Rubuhnya tembok, berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak menghindar ia akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu juga adalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari marabahaya maka itu pun takdir. Bukankah Tuhan telah menganugerahkan manusia kemampuan memilah dan memilih? Kemampuan ini pun antara lain merupakan ketetapan atau takdir yang dianugerahkan-Nya Jika demikian, manusia tidak dapat luput dari takdir, yang baik maupun buruk. Tidak bijaksana jika hanya yang merugikan saja yang disebut takdir, karena yang positif pun takdir. Yang demikian merupakan sikap 'tidak menyucikan Allah, serta bertentangan dengan petunjuk Nabi saw,' "... dan kamu harus percaya kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk."

Dengan demikian, menjadi jelaslah kiranya bahwa adanya takdir tidak menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depannya sendiri, sambil memohon bantuan Ilahi.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh banyak pakar hadis, melalui sahabat Nabi Umar ibn Al-Khaththab, dinyatakan bahwa suatu ketika datang seseorang yang berpakaian sangat putih, berambut hitam teratur, tetapi tidak tampak pada penampilannya bahwa ia seorang pendatang, namun, "tidak seorang pun di antara kami mengenalnya." Demikian Umar r.a. Dia bertanya tentang Islam, Iman, Ihsan, dan saat kiamat serta tanda-tandanya. Nabi menjawab antara lain dengan menyebut enam perkara iman, yakni percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya, hari kemudian, dan "percaya tentang takdir-Nya yang baik dan yang buruk." Setelah sang penanya pergi, Nabi menjelaskan bahwa : "Dia itu Jibril, datang untuk mengajar kamu, agama kamu."

Dari hadis ini, banyak ulama merumuskan enam rukun Iman tersebut.

Sebenarnya Al-Quran tidak menggunakan kata rukun, bahkan Al-Quran tidak pernah menyebut kata takdir dalam satu rangkaian ayat yang berbicara tentang kelima perkara lain di atas. Perhatikan firman-Nya dalam surat Al-Baqarah (2): 285,

"Rasul percaya tentang apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian juga orang-orang Mukmin. Semuanya percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian." (QS. Al-Baqarah (2): 285)

Dalam QS Al-Nisa' (4): 136 disebutkan:
"Wahai orang-orang yang beriman, (tetaplah) percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kepada kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, dan kitab yang disusunkan sebelum (Al-Quran). Barangsiapa yang tidak percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudiam, maka sesungguhnya dia telah sesat sejauh-jauhnya."

Bahwa kedua ayat di atas tidak menyebutkan perkara takdir, bukan berarti bahwa takdir tidak wajib dipercayai. Tidak, bukan begitu! Yang ingin dikemukakan ialah bahwa Al-Quran tidak menyebutnya sebagai rukun, tidak pula merangkaikannya dengan kelima perkara lain yang disebut dalam hadis Jibril di atas.

Karena itu, kita pun harus menghormati pendapat sebagian ulama yang tidak menjadikan takdir sebagai salah satu rukun iman, bahkan dapat dimengerti jika sementara mereka hanya menyebut tiga hal pokok, yaitu keimanan kepada Allah, malaikat, dan hari kemudian. Bagi penganut pendapat ini, keimanan kepada malaikat mencakup keimanan tentang apa yang mereka sampaikan (wahyu Ilahi), dan kepada siapa disampaikan, yakni para Nabi dan Rasul.


Referensi
  • Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
  • Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
  • Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
  • Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
  • Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
  • Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
  • alquran.bahagi
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 komentar

:) :-) :)) =)) :( :-( :(( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ :-$ (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer

 
© 2011 Duniaku Duniamu
Designed by BlogThietKe Cooperated with Duy Pham
Released under Creative Commons 3.0 CC BY-NC 3.0
Posts RSSComments RSS
Back to top