tag:blogger.com,1999:blog-24009043383730359832024-03-13T09:35:31.864-07:00Duniaku Duniamudan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.comBlogger60125tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-36875667835923481272012-02-18T07:41:00.001-08:002012-02-18T07:41:02.039-08:00Hari Besar Islam<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Hari Besar Islam</b></span><br />
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
UMAT MUSLIM setiap tahun merayakan hari besar Islam yang merupakan
bentuk peringatan terhadap berbagai peristiwa penting dalam sejarah
Islam. Perayaan hari besar tersebut ditandai dengan kegiatan ibadah,
seperti pengajian, puasa, ceramah agama, maupun salat. Berikut adalah
beberapa peringatan hari besar Islam yang diperingati oleh umat muslim.
<br />
<a href="" id="1" name="1"></a><div class="ay3">
<b><u><br /></u></b></div>
<div class="ay3">
<b><u>Tahun baru Hijriah (1 Muharam)</u></b></div>
Tarikh Hijriah
atau penanggalan Hijriah dihitung sejak hijrah Nabi Muhammad SAW dari
Mekah ke Madinah pada tahun 622 M. Hijrah Nabi SAW dapat diartikan
sebagai berpindahnya umat muslimin dari Mekah ke Madinah serta usaha
menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Pengagungan kaum muslim terhadap
besarnya arti hijrah Nabi SAW terlihat dengan digunakannya peristiwa
tersebut sebagai permulaan kalender Islam. Penetapan tahun Hijriah
dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab pada tahun keempat ia menjadi
Khalifah atau tahun ke-17 setelah hijrah. Perhitungan kalender ini
ditentukan berdasarkan perubahan posisi bulan, yakni satu tahun Hijriah
berlangsung selama 354 hari, lebih pendek 11 hari dibandung tahun
Masehi.<br />
<br />
<a href="" id="2" name="2"></a><div class="ay3">
<b><u>Maulid Nabi SAW (12 Rabiulawal)</u></b></div>
Maulid
Nabi SAW merupakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Maulid
Nabi SAW diperingati sebagai perwujudan kecintaan umat Islam untuk
mengikuti jejaknya. Di Indonesia, Maulid Nabi SAW selalu diperingati
setiap tahun oleh masyarakat Islam. Sebagian muslim Indonesia merayakan
dengan cara tradisional seperti membaca Barzanji (kitab berbahasa Arab
yang berisi syair pujian kepada Nabi SAW), tahlil dan doa bersama.
Peringatan Maulid Nabi SAW dibeberapa daerah di Indonesia disertai pula
dengan ritual keagamaan, seperti di Cirebon, Yogyakarta, Surakarta dan
Aceh. Peringatan sekaten (dari kata "syahadatain") di keraton Yogyakarta
dan Surakarrta merupakan bentuk peringatan Maulid Nabi SAW yang
dikenalkan pertama kali oleh Raden Patah dari Kesultanan Demak pada abad
ke-16. Acara sekaten ditandai dengan dibuatnya "gunungan", yaitu aneka
makanan dan hasil humi yang dibentuk menyerupai sebuah gunung, yang
diperebutkan oleh masyarakat sebagai simbol kebesaran Allah SWT sebagai
Sang Maha Pencipta. Pada masa sekarang, sekaten berkembang menjadi
sebuah pesta rakyat dengan berbagai macam pertunjukan kesenian dan pasar
malam.
<br />
<b><i>Muslim Sunni merayakan Maulid pada tanggal 12 Rabiul Awal
sedangkan muslim Syiah merayakan Maulid pada tanggal 17 Rabiul Awal,
yang juga bertepatan dengan ulang tahun Imam Syiah yang keenam, yaitu
Imam Ja'far ash-Shadiq.<br />
Mengenai Maulid, memang ada dua pendapat. Sebagian besar menganjurkan,
dan sebagian kecil menganggap Bid'ah. Khususnya yang berfaham Salafiyah
dan Wahhabi, sebagian dari mereka menganggap bid'ah.</i> </b>
<br />
<br />
<div class="ay3">
<b><u>Isra Mikraj (27 Rajab)</u></b></div>
Perjalanan Nabi SAW pada
malam hari dari Masjidilharam di Mekah ke Masjidilaksa di Yerusalem
disebut Isra, sedangkan mikraj adalah perjalanan Nabi SAW dari
Masjidilaksa sampai ke langit ketujuh dari Sidratulmuntaha. Nabi SAW
melakukan Isra dan Mikraj ditemani Malaikat Jibril dan mengendarai burak
(buroq) yang berarti "kilat" dan naik ke langit melalui beberapa
tingkatan menuju Baitulmakmur, Sidratulmuntaha, arasy (takhta Tuhan),
dan kursi (singgasana Tuhan). Hakikat dari peristiwa Isra Mikrah ini
adalah perintah salah yang diterima Nabi SAW dari Allah SWT. Pada
mulanya Allah SWT memberi perintah melaksanakan salat 50 waktu sehari
semalam, namun NAbi SAW meminta keringanan dan Allah SWT mengurangi
waktu salat menjadi 5 kali sehari semalam. Peringatan Isra Mikraj di
Indonesia biasanya diisi dengan ceramah mengenai arti dan hikmah
peristiwa tersebut.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<a href="" id="4" name="4"></a><div class="ay3">
<u><b>Nuzulul Qur'an (17 Ramadan)</b></u></div>
Nuzulul
Qur'an merupakan peringatan turunnya Al-Qur'an untuk pertama kali.
Allah SWT menurunkan wahyu berupa lima ayat pertama surah al-'Alaq
kepada Nabi SAW melalui Malaikat Jibril. Peringatan ini bermakna penting
bagi umat Islam karena Al-Qur'an menjadi pedoman manusia dalam
membedakan yang benar dan yang batil.<br />
<br />
<a href="" id="5" name="5"></a><div class="ay3">
<u><b>Idul Fitri (1 Syawal)</b></u></div>
Hari
raya Idul Fitri merupakan salah satu hari besar Islam yang diperingati
setiap 1 Syawal. Datangnya hari raya Isudl Fitri umumnya disambut dengan
sukacita, terutama bagi mereka yang telah melaksanakan ibadah puasa di
bulan Ramadan. Idul Fitri mengandung makna kembalinya manusia kepada
keadaan sucinya, sesuai fitrah, untuk mematuhi tetanan kehidupan yang
diridhai Allah SWT. Idul Fitri juga menjadi puncak kemenangan manusia
melawan hawa nafsunya. Pada hari raya Idul Fitri umat Islam melaksanakan
salat Idul Fitri berjemaah. Masyarakat muslim di Indonesia mempunyai
kebiasaan untuk mengadakan pertemuan yang biasa disebut "halal bi halal"
dengan maksud mempererat hubungan silaturahmi dan saling memaafkan
kesalahan.<br />
<br />
<br />
<div class="ay3">
<u><b>Idul Adha (10 Zulhijah)</b></u></div>
Hari raya Idul Adha
diperingati umat Islam setiap tanggal 10 Zulhijah. Pada tanggal tersebut
umat muslim dari seluruh dunia melakukan ibadah haji di Tanah Suci.
Idul Adha disebut juga hari raya kurban. Kata "adha" adalah bentuk jamak
dari kata dahiliyah, berarti "hewan kurban". Hal ini berkaitan dengan
kisah Nabi Ibrahim AS ketika ia diperintahkan Allah SWT untuk
menyembelih Ismail, anaknya dari Hajar. Tanpa ragu, Ismail meminta
ayahnya melaksanakan perintah itu. Pada akhirnya ketika hal tersebut
dilaksanakan, Allah SWT mengganti Ismail dengan seekor kambing.
Peristiwa ini selalu diperingati setiap tahun dengan menyembelih hewan
kurban pada hari Idul Adha, sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah
SWT. Kisah Nabi Ibrahim AS memberikan keteladanan bagi umat Islam untuk
mematuhi perintah Allah SWT. Idul Adha mengandung makna ganda yaitu
kebahagian umat Islam yang diwujudkan dengan penyembelihan hewan kurban
dan kebahagiaan umat Islam karena dapat menunaikan ibadah haji dan
memenuhi panggilan-Nya.<br />
<br />
<a href="" id="7" name="7"></a>
<div class="ay2">
Referensi</div>
<ul>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr.
Nurcholish Madjid, etc. <i>Ensiklopedi Islam</i>, Penerbit PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
</li>
<li>Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr.
Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam</i>, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab,
Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
<li>M. Nashiruddin Al-Albani, <i>Ringkasan Shahih Bukhari</i>,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, </li>
</ul>
<b><i> </i> </b>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-37740339021133167612012-02-18T07:33:00.001-08:002012-02-18T07:33:26.009-08:00Tingkat Kesufian<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0"><tbody>
<tr><td height="3"><br /></td></tr>
<tr><td style="font-family: arial,sans-serif;">
<style type="text/css">
.b2s {color: blue; font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 8pt; padding-left: 6px; TEXT-DECORATION: none;}
.b2s:hover {color: white; background:red;}
.quran0 {font-family: arial; color: #00c; font-weight: bold; font-size: 11pt; TEXT-DECORATION: underline;}
.quran0:hover {color: white; background:red;}
.quran1 {font-family: helvetica,sans-serif; font-weight: bold; color: #00c; font-size: 11pt; padding-left:10px; padding-top:3px; padding-bottom:1px;}
.quran2 {font-family: verdana,helvetica,sans-serif; color:green; font-size: 10pt; padding-left:21px; padding-right:10px; padding-bottom:3px; padding-top:3px; text-align: justify;}
.quran3 {font-family: verdana,helvetica,sans-serif; color:black; font-size: 10pt; padding-left:21px; padding-right:10px; padding-bottom:3px; padding-top:3px; text-align: justify;}
.quran4 {padding-left:21px; text-align: center;}
.quran5 {padding-bottom:5px; padding-top:5px; text-align: center;}
.quran6 {font-family: verdana,helvetica,sans-serif; color:green; font-size: 10pt; padding-left:21px; padding-right:10px; padding-bottom:3px; padding-top:3px; text-align: justify;}
.quran11 {font-family: arial; color: #00c; font-weight: bold; font-size: 12pt; TEXT-DECORATION: underline;}
.quran11:hover {color: white; background:red;}
.cangkok1 {font-family: arial; color: #00c; font-size: 12pt; TEXT-DECORATION: underline;}
.cangkok1:hover {color: white; background:red;}
.art0 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 13pt; padding-top: 13px; padding-bottom: 10px;}
.art1 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 12pt; padding-top: 13px; padding-bottom: 10px;}
.art3 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 11pt; padding-top: 13px; padding-bottom: 10px;}
.art2 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 14pt; padding-top: 15px; padding-bottom: 10px; border-top:1px solid silver;}
.artz {text-align:center; font-weight: bold; font-family: arial; color:white; font-size: 19pt; padding-top: 10px; background:black; padding-bottom: 10px; border-top:1px solid silver;}
.ayq {font-family: serif; font-size: 11pt; font-style: italic; padding-left: 20px; padding-right: 20px; }
.sih {font-family: arial,sans-serif; font-size: 10pt; text-align: center; border-top:1px solid silver;}
.ay2 {font-weight: bold; font-family: cursive,sans-serif; font-size: 12pt; padding-top: 20px; padding-bottom: 15px; border-top:1px solid gray;}
.ay3 {font-weight: bold; font-family: cursive,sans-serif; font-size: 13pt; padding-top: 20px; padding-bottom: 0px; border-top:1px solid gray;}
br {font-size: 8pt;}
.a {font-family: arial,sans-serif; color: #00c; font-size: 10pt; TEXT-DECORATION: none;}
.a:visited {color: #551a8b; }
.a:hover {color: white; background:red;}
P {text-align:justify;}
</style>
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="padding-left: 21px; padding-right: 21px;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td align="justify" style="font-family: Times New Roman,serif; font-size: 11pt;">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver;">
<tbody>
<tr>
<td width="50">
<img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Tingkat Kesufian menurut Ahli Tasawuf</b></span><br />
</td>
<td width="50"><a href="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></a></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
Seorang sufi harus melalui tingkatan tasawuf (maqam) dalam mencapai
tujuan akhir yaitu pendekatan diri kepada Allah SWT. Tingkatan tasawuf
ini berbeda-beda menurut pengalaman beberapa sufi yang menjalaninya.
<br />
<table border="0" cellpadding="5" cellspacing="0" style="border: 1px solid rgb(51, 102, 204);" valign="top">
<tbody>
<tr bgcolor="#eeefff"><td width="25%"><b>Abu Nasr as-Sarraj</b></td><td width="25%"><b>Abu Bakar al-Kalabazi</b></td><td width="25%"><b>Al-Ghazali</b></td><td width="25%"><b>Abdul Karim al-Jili</b></td></tr>
<tr><td>1. Tobat</td><td>1. Tobat</td><td>1. Tobat</td><td>1. Islam</td></tr>
<tr><td>2. Warak</td><td>2. Zuhud</td><td>2. Sabar</td><td>2. Iman</td></tr>
<tr><td>3. Zuhud</td><td>3. Sabar</td><td>3. Kefakiran</td><td>3.
as-Salah (kesalehan)</td></tr>
<tr><td>4. Fakir</td><td>4. Fakir</td><td>4. Zuhud</td><td>4. Ihsan</td></tr>
<tr><td>5. Sabar</td><td>5. Tawaddu' (rendah hati)</td><td>5. Tawakal</td><td>5.
Syahadah (penyaksian)</td></tr>
<tr><td>6. Tawakal</td><td>6. Takwa</td><td>6. Makrifat</td><td>6.
Siddiqiyyah (kebenaran)</td></tr>
<tr><td>7. Rida</td><td>7. Tawakal</td><td><br /></td><td>7. Qurbah (kedekatan
[di sisi Allah])</td></tr>
<tr><td><br /></td><td>8. Rida</td><td><br /></td><td>al-Kullah</td></tr>
<tr><td><br /></td><td>9. Mahabbah (cinta)</td><td><br /></td><td>al-Hubb</td></tr>
<tr><td><br /></td><td>10. Makrifat</td><td><br /></td><td>al-Khitam</td></tr>
<tr><td><br /></td><td><br /></td><td><br /></td><td>al-Ubudiyyah</td></tr>
</tbody></table>
<br /><br />
<table border="0" cellpadding="5" cellspacing="0" style="border: 1px solid rgb(51, 102, 204);" valign="top">
<tbody>
<tr align="center" bgcolor="#eeefff"><td colspan="3"><b>Abu Sa'id
bin Abu al-Khair</b></td></tr>
<tr><td>1. Niat</td><td>15. Ibadah</td><td>29. Wijd (ekstase)</td></tr>
<tr><td>2. Inabah (penyesalan)</td><td>16. Warak</td><td>30. Qurb
(kehampiran)</td></tr>
<tr><td>3. Tobat</td><td>17. Ikhlas</td><td>31. Tafakur (perenungan)</td></tr>
<tr><td>4. Iradah (Kemauan)</td><td>18. Sidq (benar/jujur)</td><td>32.
Wisal (hubungan langsung)</td></tr>
<tr><td>5. Mujahadah (kesungguhan)</td><td>19. Khauf (takut akan
kemurkaan Allah SWT)</td><td>33. Kasyf (terbuka hijab yang membatasi
manusia dan Allah SWT)</td></tr>
<tr><td>6. Muraqabah (mawas diri)</td><td>20. Raja' (harap akan rahmat
Allah SWT)</td><td>34. Khidmat</td></tr>
<tr><td>7. Sabar</td><td>21. Fana</td><td>35. Tajrid atau tajarrud
(pembersihan hati dari selain Allah SWT)</td></tr>
<tr><td>8. Zikir</td><td>22. Baka</td><td>36. Tafrid (menyendiri dengan
Allah SWT)</td></tr>
<tr><td>9. Rida</td><td>23. Ilm al-yaqin (ilmu yakin)</td><td>37.
Inbisat (melapangkan hati menerima ilahi)</td></tr>
<tr><td>10. Mukhalafah an-nafs (melawan hawa nafsu)</td><td>24. Haqq
al-yaqin (yakin yang sebenarnya)</td><td>38. Tahkik (menerima kebenaran)</td></tr>
<tr><td>11. Mufakat</td><td>25. Makrifat</td><td>39. Nihayah (akhir
perjalanan kerohanian)</td></tr>
<tr><td>12. Taslim (penyerahan)</td><td>26. Juhd (usaha keras)</td><td>40.
Tasawwuf (tasawuf)</td></tr>
<tr><td>13. Tawakal</td><td>27. Walayah (kewalian)</td><td><br /></td></tr>
<tr><td>14. Zuhud</td><td>28. Mahabbah</td><td><br /></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<a href="" id="7" name="7"></a>
<div class="ay2">
Referensi</div>
<ul>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr.
Nurcholish Madjid, etc. <i>Ensiklopedi Islam</i>, Penerbit PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
</li>
<li>Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr.
Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam</i>, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab,
Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution</li>
</ul>
</td></tr>
</tbody></table>
</td></tr>
</tbody></table>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-24072509782000557502012-02-18T07:30:00.001-08:002012-02-18T07:30:08.761-08:00Bulan Islam Bulan Hijriah, Bulan Kamariah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Bulan Islam</b></span><br />
<span style="font-size: small;">Bulan Hijriah, Bulan Kamariah</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
ISLAM mengikuti tarikh Hijriah yang dihitung sejak Nabi Muhammad SAW
hijrah ke Madinah (622). Perhitungan hari dan bulan Hijriah didasarkan
pada peredaran bulan, Tarikh Hijriah mempunyai 12 bulan, berikut nama
bulan Hijriah :
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>BULAN KAMARIAH (HIJRIAH)</b><br />
1. Muharam (Muharram)<br />
2. Safar (Safar) <br />
3. Rabiulawal (Rabi'al-Awwal)<br />
4. Rabiulakhir (Rabi'al-Akhir)<br />
5. Jumadilawal (Jumada al-Awwal)<br />
6. Jumadilakhir (Jumada al-Akhir) <br />
7. Rajab (Rajab) <br />
8. Syakban (Sya'ban) <br />
9. Ramadan (Ramadan)<br />
10. Syawal (Syawwal)<br />
11. Zulkaidah (Zu al-Qa'dah)<br />
12. Zulhijah (Zu al-Hijjah)<br />
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>1. MUHARAM</b><br />Pada bulan ini larangan perang terhadap kaum
Kafir Quraisy dicabut. Bagi kaum Syiah, Muharam merupakan bulan ratapan
atas kematian Husein bin Ali (w. 10 Muharam 61)</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>2. SAFAR</b><br />Safar (safar) adalah bulan ke-2 dalam bulam
Kamariah yang berarti "kosong" atau "kuning". Pada masa lalu, para pria
Arab pergi ke luar rumah mereka untuk berperang, berdagang dan
bertualang setiap bulan Safar tiba. Rumah menjadi kosong</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>3. RABIULAWAL</b><br />Rabiulawal (Rabi'al-Awwal) adalah bulan ke-3
dalam bulan Kamariah. Pada tanggal 12 Rabiulawal dirayakan hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW (Maulid). Peringatan ini dirayakan di
seluruh dunia, meskipun caranya berbeda-beda menurut budaya lokal</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>4. RABIULAKHIR</b><br />Bulan ke-4 dinamai Rabiulakhir (Ar.: Rabi'
al-Akhir), yang berarti "menetap terakhir", karena pada masa lalu pria
Arab menetap dirumah untuk terakhir kalinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>5. JUMADILAWAL</b><br />Jumadilawal (Jumada al-Awwal) adalah bulan
ke-5 dalam bulan Kamariah yang berarti "kemarau pertama"</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>6. JUMADILAKHIR</b><br />Jumadilakhir (jumada al-Akhir) adalah bulan
ke6 dalam bulan Kamariah yang berarti "kemarau terakhir"</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>7. RAJAB</b><br />Rajab (Rajab) adalah bulan ke-7 dalam bulan
Kamariah yang berarti "mulia". Menurut sejrahnya, bulan Rajab dimuliakan
orang Arab dengan menyembelih anak unta pertama dari induknya. Pada
bulan ini dilarang berperang dan pintu Ka'bah dibuka.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>8. SYAKBAN</b><br />Syakban (Sya'ban) adalah bulan ke-8 dalam bulan
Kamariah yang berarti "berserak-serak". Menurut sejarahnya, orang Arab
bertebaran pergi ke lembah dan oase untuk mencari air pada bulan ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>9. RAMADAN</b><br />Bulan ke-9 dalam tarikh Hijrah dinamai Ramadan,
yang secara etimologis berarti "terik" atau "terbakar" karena pada bulan
ini cuaca sangat terik dan panas di Semenanjung Arabia. Pada masa
Islam, bulan Ramadan merupakan bulan ibadah puasa</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>10. SYAWAL</b><br />Pada masa Islam, bulan Syawal berarti
"peningkatan kebajikan setelah melewati masa latihan pengendalian diri
selama sebulan penuh dengan puasa Ramadan". Pada awal bulan Syawal, kaum
muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri atau perayaan yang menandai
kemenangan melawan hawa nafsu.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>11. ZULKAIDAH</b><br />Zulkaidah (Zu al-Qa'dah), bulan ke-11 dalam
bulan Kamariah, yang berarti "yang empunya duduk". Pada bulan ini orang
Arab biasanya duduk-duduk saja di rumah</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>12. ZULHIJAH</b><br />Bulan ke-12 disebut Zulhijah (Ar.: Zu
al-Hijjah) yang berarti "yang empunya haji". Dahulu pada bulan ini
kebiasaan untuk melakukan ibadah haji ke Mekah (Ka'bah). Dalam agama
Islam, ibadah haji masih tetap dilaksanakan pada bulan Zulhijah menurut
contoh Nabi Muhammad SAW, yakni pada tanggal 8, 9 dan 10 Zulhijah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a href="" id="9" name="9"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr.
Nurcholish Madjid, etc. <i>Ensiklopedi Islam</i>, Penerbit PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
</li>
<li>Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr.
Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam</i>, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab,
Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
<li>M. Nashiruddin Al-Albani, <i>Ringkasan Shahih Bukhari</i>,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
</li>
<li>Al-Bayan, <i>Shahih Bukhari Muslim</i>, Jabal, Bandung, 2008.
</li>
<li>Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, <i>Kemudahan dari Allah, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir</i>, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani,
Jakarta, 1999.
</li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-16745014550141679322012-02-18T07:29:00.001-08:002012-02-18T07:29:08.991-08:00Bangunan dan Tempat Bersejarah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: medium;"><b>Bangunan dan Tempat Bersejarah</b></span><br />
<span style="color: maroon; font-size: medium;">Umat Islam di Jazirah Arab</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br /><div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Sejarah Agama Islam yang panjang meninggalkan beberapa tempat
bersejarah yang masih dapat dilihat sampai saat ini. Tempat bersejarah
tersebut sangat penting artinya bai umat Islam karena mempunyai nilai
historis yang tinggi. Berikut ini adalah beberapa bangunan dan tempat
bersejarah bagi umat Islam yang terletak di wilayah Jazirah Arab.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="" id="1" name="1"></a></div>
<div class="ay3" style="text-align: justify;">
MASJIDIL HARAM</div>
<div style="text-align: justify;">
Masjdilharam,
yang terletak di tengah kota Mekah, merupakan masjid tertua di dunia.
Masjid ini selalu ramai dikunjungi umat Islam untuk beribadah salat,
umrah, haji dan belajar ilmu agama. Masjidilharam mempunyai tujuh menara
dan 19 pintu gerbang yang masing-masing mempunyai nama tersendiri
seperti Bab as-Salam (pintu salam), tempat orang yang pertama
memasukinya dan akan melakukan tawaf; dan Bab as-Safa (pintu Safa),
pintu ke luar menuju Bukit Safa untuk melakukan sai. Di dalam
Masjidilharam terdapat Ka'bah, maqam Nabi Ibrahim AS, Hajar Aswad (batu
hitam), dan sumur zamzam.</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="" id="2" name="2"></a></div>
<div class="ay3" style="text-align: justify;">
MASJIDIL AQSHA</div>
<div style="text-align: justify;">
Masjid
tertua kedua di dunia setelah Masjidilharam. Masjidilaksa terletak di
dalam suatu kompleks di kota Yerusalem, Palestina. Masjidilaksa disebut
dalam Al-Qur'an karena berkaitan dengan peristiwa Isra Mikraj Nabi
Muhammad SAW melakukan Isra (perjalanan malam hari) dari Masjidilharam
ke Masjidilaksa, sebelum bermikraj ke Sidratulmuntaha. Masjidilaksa
termasuk di antara masjid yang perlu dikunjungi oleh kaum muslim sesuai
anjuran Nabi Muhammad SAW. Dalam kompleks Masjidilaksa terdapat pula
Qubbah as-Sakhrah atau Masjid Umar (The Dome of the Rock). Masjidilaksa
dibangun di atas lokasi Kenisah Sulaiman atau Haykal Sulaiman (tempat
ibadah Yahudi)</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="" id="3" name="3"></a></div>
<div class="ay3" style="text-align: justify;">
MASJID NABAWI</div>
<div style="text-align: justify;">
Masjid
Nabawi merupakan masjid pertama yang dibangun Nabi Muhammad SAW setelah
hijrah ke Madinah. Lokasi Masjid Nabawi adalah di kota Madinah, Arab
Saudi. Masjid Nabawi dibanngun pada Rabiulawal 1/September 622. Pada
masa Nabi SAW dan al-Khulafa ar-Rasyidun (empat khalifah besar), Masjid
Nabawi berfungsi sebagai tempat beribadah, menurut ilmu dan merencanakan
kegiatan kemasyarakatan. Hingga kini, jemaah haji selalu berziarah ke
makam Nabi SAW yang terletak di dalam kompleks Masjid Nabawi. Selain
itu, di Masjid Nabawi terdapat pula makam Abu Bakar as-Siddiq dan Umar
bin Khattab. Pada bagian lain dari Masjid Nabawi terdapat taman (raudah)
yang terletak di antara bekas rumah Nabi SAW dan mimbar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="" id="4" name="4"></a></div>
<div class="ay3" style="text-align: justify;">
SAFA DAN MARWAH</div>
<div style="text-align: justify;">
Bukit
Safa dan Marwah terletak di sebelah selatan dan utara Masjidilharam,
Mekah. Bukit Safa dan Marwah merupakan tempat Siti Hajar, istri Nabi
Ibrahim AS, mencarikan air untuk anaknya, Ismail AS. Siti Hajar berlari
mendaki Bukit Safa kemudian turun menuju Bukit Marwah sampai tujuh kali
dan akhirnya secara tiba-cita keluarlah air zamzam dari dalam tanah.
Peristiwa ini kemudian diabadikan umat Islam dengan melakukan sai
(lari-lari kecil) pada saat menunaikan ibadah haji.</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="" id="5" name="5"></a></div>
<div class="ay3" style="text-align: justify;">
GUA HIRA</div>
<div style="text-align: justify;">
Gua Hira adalah
suatu celah sempit di Gunung Hira atau Jabal an-Nur (Gunung Cahaya).
Lokasi Gua Hira terletak di pinggir jalan menuju Ji'ranah, kkurang lebih
6 km di sebelah timur laut kota Mekah, Arab Saudi. Gua ini digunakan
Nabi Muhammad SAW untuk bertafakur dan beribadah sebelum menjadi nabi
dan menerima wahyu pertama dari Allah SWT sekaligus dinobatkan sebagai
rasul.</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="" id="6" name="6"></a></div>
<div class="ay3" style="text-align: justify;">
ARAFAH</div>
<div style="text-align: justify;">
Arafah adalah
padang pasir yang dijadikan tempat pelaksanaan wukuf (berdiam diri
sejenak) bagi jemaah haji. Padang Arafah terletak sekitar 25 km dari
Mekah, Arab Saudi. Di tempat ini, Nabi Muhammad SAW menyampaikan khotbah
terakhir tentang inti ajaran Islam. Di tengah-tengah padang Arafah
terdapat bukit-bukit kecil yang dinamakan "Jabal ar-Rahmah" yang
dipercaya sebagai tempat Nabi Adam AS dan Hawa bertemu kembali setelah
terpisah karena diusir dari surga. Mungkin itulah sebabnya perbukitan
itu disebut Jabal ar-Rahmah (bukit penuh rahmat). Dalam pertemuan yang
penuh rahmat itu, Adam dan Hawa saling memahami keadaan masing-masing
sehingga lahirlah keluarga dan kehidupan sosial pertama di dunia.</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="" id="7" name="7"></a></div>
<div class="ay3" style="text-align: justify;">
LEMBAH BADAR</div>
<div style="text-align: justify;">
Lembar
Badar, yang terletak di antara Madinah dan Mekah, merupakan suatu daerah
subur yang mempunyai sumber air. Lembar Badar adalah tempat terjadinya
Perang Badar (2 H) antara kaum muslim dan kaum musyrik Quraisy. Perang
Badar disebut sebagai perang akidah karena perang ini terjadi untuk
membela kebenaran tentang ajaran Islam. Dalam pertempuran ini, kaum
muslim mendapat kemenangan besar sehingga perang ini disebut juga Perang
Badar al-Kubra (yang besar)</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="" id="8" name="8"></a></div>
<div class="ay3" style="text-align: justify;">
BUKIT UHUD</div>
<div style="text-align: justify;">
Bukit Uhud
yang terletak sekitar empat kilometer sebelah timur laut Madinah
merupakan tempat berlangsungnya Perang Uhud (3 H). Perang Uhud terjadi
antara kaum muslim dna kaum musyrik Quraisy. Meskipun memperoleh
kemenangan, kaum muslim mengalami kerugian akibat banykanya pahlawan
muslimin yang gugur dalam prang ini, salah satunya adalah Hamzah bin
Abdul Muthalib paman Nabi Muhammad SAW.</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="" id="9" name="9"></a></div>
<div class="ay3" style="text-align: justify;">
MASJID QUBA</div>
<div style="text-align: justify;">
Masjid Quba
merupakan masjid pertama yang didirikan Nabi Muhammad SAW pada saat
hijrah ke Madinah (622 M). Masjid ini terletak sekitar 5 km dari Masjid
Nabawi di Madinah. Nabi SAW membangun sendiri arah kiblat masjid ini
dari batu. Arah kiblat ini mengalami dua kali perubahan. Pada awalnya
arah kiblat menghadap ke Baitulmakdis (Yerusalem), kemudian diubah
menjadi ke arah Ka'bah (Mekah). Masjid Quba mengalami beberapa kali
perbaikan dan perluasan. Meskipun secaraukuran masjid ini lebih kecil
dibandingkan dengan masjid bersejarah lainnya, namun Masjid Quba menjadi
salah satu tempat ziarah penting di Madinah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="" id="10" name="10"></a></div>
<div class="ay3" style="text-align: justify;">
BUKIT MINA</div>
<div style="text-align: justify;">
Bukit Mina
merupakan kawasan perbukitan sepanjang 3,2 km yang terletak di antara
kota suci Mekah dan Muzdalifah. Di Bukit Mina terdapat tiga buah tugu
atau jumrah yang wajib di lempar oleh setiap orang yang melakukan ibadah
haji. Ketiga tugu disebut dengan Jumrah Ula (pertama) yang disebut juga
Jumrah Sugra, Jumrah Wusta (tengah) dan Jumrah Aqabah (akhir) yang
disebut juga jumrah Kubra. Ketiga tugu tersebut merupakan perwujudan
dari iblis yang ingin menggagalkan perintah Allah SWT kepada Nabi
Ibrahim AS untuk mengurbankan putranya, Ismail AS.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a href="" id="11" name="11"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr.
Nurcholish Madjid, etc. <i>Ensiklopedi Islam</i>, Penerbit PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
</li>
<li>Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr.
Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam</i>, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab,
Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Pet</i></li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-26801099588007034022012-02-18T07:24:00.001-08:002012-02-18T07:24:57.123-08:00Seni (Kesenian)<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Seni (Kesenian)</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Hukum (Ketetapan/Peraturan)</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<b></b><br />
Seni adalah keindahan. Ia merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang
mengandung dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam
manusia didorong oleh kecenderungan seniman kepada yang indah, apa pun
jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia, atau
fitrah yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya.
<br /><br />
Di sisi lain, Al-Quran memperkenalkan agama yang lurus sebagai agama
yang sesuai dengan fitrah manusia.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Maka, tetapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah); (tetaplah atas) fitrah Alah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama
yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Al-Rum [30]:
30) </div>
<br />
Adalah merupakan satu hal yang mustahil, bila Allah yang menganugerahkan
manusia potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan, kemudian
Dia melarangnya. Bukankah Islam adalah agama fitrah? Segala yang
bertentangan dengan fitrah ditolaknya, dan yang mendukung kesuciannya
ditopangnya.
<br />
Kemampuan berseni merupakan salah satu perbedaan manusia dengan makhluk
lain. Jika demikian. Islam pasti mendukung kesenian selama penampilan
lahirnya mendukung fitrah manusia yang suci itu, dan karena itu pula
Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusia, sebagaimana seni ditemukan
oleh jiwa manusia di dalam Islam.
<br /><br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
KEINDAHAN DALAM KONSEP AL-QURAN</div>
Tidak keliru jika dikatakan bahwa inti dari segala uraian Al-Quran
adalah memperkenalkan keesaan Allah SWT. Ini terlihat sejak wahyu
pertama Al-Quran, ketika wahyu tersebut memerintahkan untuk membaca
dengan nama Tuhan yang diperkenalkannya sebagai Maha Pencipta, Maha
Pemurah serta Pengajar.
<br /><br />
Agar mengenal-Nya --disamping tujuan yang lain-- kitab suci Al-Quran
mengajak manusia memandang ke seluruh jagat raya, antara lain dari sisi
keserasian dan keindahanya.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Tidakkah mereka melihat ke langit yang ada di atas
mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasi, dan langit itu tidak
mempunyai retak-retak sedikit pun? (QS Qaf [50]: 6) </div>
<br />
Setelah Al-Quran berbicara tentang aneka tumbuh-tumbuhan dinyatakannya,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah
(perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu,
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman
(QS Al-Anam [61: 99) </div>
<br />
Allah SWT tidak hanya menciptakan langit, melainkan juga memeliharanya.
Bukan hanya hifzhan, tetapi juga zinatan (hiasan yang indah). Begitu
pernyataan Allam dalam surat Ash-Shaffat (37): 6-7 dan Fushshilat (41):
12. Laut pun diciptakan antara lain agar dapat diperoleh darinya bukan
sekadar daging segar, tetapi juga hiasan yang memperindah penampilan
seseorang.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu)
agar kamu dapat memakan darinya (laut itu) daging yang segar (ikan), dan
kamu dapat mengeluarkan darinya (lautan itu) perhiasan yang kamu pakai,
serta kamu dapat melihat bahtera yang berlayar padanya ... (QS Al-Nahl
[16]: 14) </div>
<br />
Gunung-gunung dengan ketegarannya, bintang ketika terbenam, matahari
saat naik sepenggalan, malam ketika hening dan masih banyak yang lain,
semua diungkapkan oleh Al-Quran. Bahkan pemandangan ternak
dinyatakannya:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Kamu memperoleh pandangan yang indah ketika kamu
membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat
penggembalaan (QS Al-Nahl [16]: 6). </div>
<br />
Ayat terakhir ini melepaskan kendali kepada manusia yang memandangnya
untuk menikmati dan melukiskan keindahan itu, sesuai dengan
subjektivitas perasaannya. Begitu kurang lebih uraian para mufasir
ketika menganalisis redaksi ayat itu.
<br />
Ini berarti bahwa seni dapat dicetuskan oleh perorangan sesuai dengan
kecenderungannya, atau oleh kelompok masyarakat sesuai dengan budayanya,
tanpa diberi batasan ketat kecuali yang digariskan-Nya pada awal uraian
surat Al-Nahl itu, yakni
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Mahasuci Allah dari segala kekurangan dan Mahatinggi
dari apa yang mereka persekutukan.</div>
<br />
Kehidupan dunia tidak akan berakhir kecuali apabila dunia ini telah
sempurna keindahannya, dan manusia telah mengenakan semua hiasannya.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia ini adalah
seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan
suburnya karena air itu tanaman-tanaman di bumi di antaranya ada yang
dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi telah sempurna
keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, serta pemilik-pemiliknya
merasa yakin berkuasa atasnya, ketika itu serta merta datang siksa Kami
di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan tanaman-tanamannya laksana
tanaman yang telah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.
Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada
orang-orang yang berpikir (QS Yunus [10]: 24). </div>
<br />
Bumi berhias sedemikian itu sebagai buah keberhasilan manusia
memperindahnya. Tentu saja hal tersebut merupakan hasil dorongan naluri
manusia yang selalu mendambakan keindahan.
<br /><br />
Kembali kepada keindahan alam raya dan peranannya dalam pembuktian
keesaan dan kekuasaan Allah, kita dapat berkata bahwa mengabaikan
sisi-sisi keindahan yang terdapat di alam raya ini, berarti mengabaikan
salah satu dari bukti keesaan Allah SWT, dan mengekspresikannya dapat
merupakan upaya membuktikan kebesaran-Nya, sebagaimana upaya
membuktikannya dengan akal pikiran. Seperti ditulis mantan Pemimpin
Tertinggi Al-Azhar Syaikh Abdul-Halim Mahmud, bahwa Bukti terkuat
tentang wujud Tuhan terdapat dalam rasa manusia, bukan akalnya. Kita
tidak perlu bertepuk tangan kepada logika yang membuktikan wujud Tuhan,
karena dengan logika juga orang membuktikan sebaliknya.
<br /><br />
Karena itu pula Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin. bahwa:
"Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan
kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka
fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati".
<br /><br />
Seorang Muslim dituntut untuk berakhlak dengan akhlak Ilahi sesuai
dengan kemampuannya sebagai makhluk. Dalam konteks ini, Nabi saw
bersabda, Berakhlaklah dengan akhlak Allah.
<br />
Dalam sabda yang lain beliau menyatakan bahwa "Sesungguhnya Allah
Mahaindah dan menyenangi keindahan".
<br /><br />
Rasulullah saw sendiri memakai pakaian yang indah, bahkan suatu ketika
beliau memperoleh hadiah berupa pakaian yang bersulam benang emas, lalu
naik ke mimbar, namun beliau tidak berkhutbah dan kemudian turun.
Sahabat-sahabatnya demikian kagum dengan baju itu, sampai mereka
memegang dan merabanya, Nabi saw bersabda: Apakah kalian mengagumi baju
ini? Mereka berkata, Kami sama sekali belum pernah melihat pakaian lebih
indah dari ini. Nabi bersabda: Sesungguhnya saputangan Sad bin Muadz di
surga jauh lebih indah dari yang kalian lihat.
<br /><br />
Demikian beliau memakai baju yang indah, tetapi beliau tetap menyadari
sepenuhnya tentang keindahan surgawi.
<br /><br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
APAKAH YANG DISEBUT SENI</div>
Kalau memang seperti itu pandangan Islam tentang kesenian, maka mengapa
warna kesenian Islami tidak tampak dengan jelas pada masa Nabi saw dan
para sahabatnya. Bahkan mengapa terasa atau terdengar adanya semacam
pembatasan-pembatasan yang menghambat perkembangan kesenian?
<br /><br />
Boleh jadi sebabnya menurut Sayyid Quthb yang berbicara tentang masa
Nabi dan para sahabatnya adalah karena seniman, baru berhasil dalam
karyanya jika ia dapat berinteraksi dengan gagasan, menghayatinya secara
sempurna sampai menyatu dengan jiwanya, lalu kemudian mencetuskannya
dalam bentuk karya seni. Nah, pada masa Nabi dan sahabat beliau, proses
penghayatan nilai-nilai Islami baru dimulai, bahkan sebagian mereka baru
dalam tahap upaya membersihkan gagasan-gagasan Jahiliah yang telah
meresap selama ini dalam benak dan jiwa masyarakat, sehingga saat itu
kehati-hatian amat diperlukan baik dari Nabi sendiri sebagai pembimbing
maupun dari kaum Muslim lainnya.
<br /><br />
Apalagi seperti dikemukakan di atas bahwa apresiasi Al-Quran terhadap
seni sedemikian besar.
<br />
Berikut ini adalah dua macam seni yang seringkali dinyatakan seolah-olah
terlarang, padahal dalam Islam sesungguhnya tidak dilarang.
<br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
a. Seni Lukis, Pahat, atau Patung</div>
Al-Quran secara tegas dan dengan bahasa yang sangat jelas berbicara
tentang seni pahat, seni lukis, seni patung, seperti berikut ini.
<br /><br />
Dalam surat Saba (34): 12-13 diuraikan tentang nikmat yang dianugerahkan
Allah kepada Nabi Sulaiman, yang antara lain adalah,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
(Para jin) membuat untuknya (Sulaiman) apa yang
dikehendakinya seperti gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung ...
(QS Saba [34]: 13). </div>
<br />
Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan bahwa patung-patung itu terbuat dari
kaca, marmer, dan tembaga, dan konon menampilkan para ulama dan
nabi-nabi terdahulu. Di sini, patung-patung tersebut karena tidak
disembah maka keterampilan membuatnya serta pemilikannya dinilai sebagai
bagian dari anugerah Ilahi.
<br /><br />
Dalam Al-Quran surat Ali Imran (3): 48-49 dan Al-Maidah (5): 110
diuraikan mukjizat Nabi Isa a.s. antara lain adalah menciptakan patung
berbentuk burung dari tanah liat dan setelah ditiupnya, kreasinya itu
menjadi burung yang sebenarnya atas izin Allah.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Aku membuat untuk kamu dari tanah (sesuatu) berbentuk
seperti burung kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung
seizin Allah (QS Ali Imran [3): 49). </div>
<br />
Di sini, karena kekhawatiran kepada penyembahan berhala atau karena
faktor syirik tidak ditemukan, maka Allah SWT membenarkan pembuatan
patung burung oleh Nabi Isa as.
<br />
Kaum Nabi Shaleh terkenal dengan keahlian mereka memahat, sehingga Allah
berfirman,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu
pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum Ad, dan memberikan
tempat bagimu di bumi, Kamu dirikan istana-istana di tanah-tanah yang
datar, dan kamu pahat gunung-gunung untuk dijadikan rumah, maka ingatlah
nikmat-nikmat Allah, dan janganlah kamu merajalela di bumi membuat
kerusakan (QS Al-Araf [7]: 74). </div>
<br />
Yang digarisbawahi di sini bahwa pahat-memahat yang mereka tekuni itu
merupakan nikmat Allah SWT yang harus disyukuri, dan harus mengantar
kepada pengakuan dan kesadaran akan kebesaran dan keesaan Allah SWT
<br /><br />
Apabila seni membawa manfaat bagi manusia, memperindah hidup dan
hiasannya yang dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilai luhur dan
menyucikannya, serta mengembangkan serta memperhalus rasa keindahan
dalam jiwa manusia, maka sunnah Nabi mendukung, tidak menentangnya.
Karena ketika itu ia telah menjadi salah satu nikmat Allah yang
dilimpahkan kepada manusia. Demikian Muhammad Imarah dalam bukunya
Maalim Al-Manhaj Al-Islami yang penerbitannya disponsori oleh Dewan
Tertinggi Dakwah Islam, Al-Azhar bekerjasama dengan Al-Mahad Al-Alami
lil Fikr Al-Islami (International Institute for Islamic Thought).
<br /><br />
<a href="" id="4" name="4"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
b. Seni Suara</div>
Sejarah kehidupan Rasulullah saw membuktikan bahwa beliau tidak melarang
nyanyian yang tidak mengantar kepada kemaksiatan. Bukankah sangat
populer di kalangan umat Islam, lagu-lagu yang dinyanyikan oleh kaum
Anshar di Madinah dalam menyambut Rasulullah saw?
<br /><br />
Thalaa al-badru alaina. Min tsaniyat al-wadai Wajabasy syukru alaina. Ma
daa lillahi dai Ayyuha al-mabutsu fina. Jita bil amril muthai
<br /><br />
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa dua orang wanita mendendangkan lagu yang
isinya mengenang para pahlawan yang telah gugur dalam peperangan Badr
sambil menabuh gendang. Di antaranya syairnya adalah: "Dan kami
mempunyai Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok". Mendengar
ini Nabi saw menegur mereka sambil bersabda: "Adapun yang demikian, maka
jangan kalian ucapkan. Tidak ada yang mengetahui (secara pasti) apa
yang terjadi esok kecuali Allah". (Diriwayatkan oleh Ahmad).
<br /><br />
Al-Quran sendiri memperhatikan nada dan langgam ketika memilih kata-kata
yang digunakannya setelah terlebih dahulu memperhatikan kaitan antara
kandungan kata dan pesan yang ingin disampaikannya.
<br />
Sebelum seseorang terpesona dengan keunikan atau kemukjizatan kandungan
Al-Quran, terlebih dahulu ia akan terpukau oleh beberapa hal yang
berkaitan dengan susunan kata-kata dan kalimatnya, antara lain
menyangkut nada dan langgamnya.
<br /><br />
Walaupun ayat-ayat Al-Quran ditegaskan oleh Allah bukan syair, atau
puisi, namun ia terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan
ritmenya. Ini disebabkan karena huruf dari kata-kata yang dipilihnya
melahirkan keserasian bunyi, dan kemudian kumpulan kata-kata itu
melahirkan pula keserasian irama dalam rangkaian kalimat ayatayatnya.
<br /><br />
Bacalah misalnya surat Asy-Syams, atau Adh-Dhuha atau Al-Lahab dan
surat-surat lainnya. Atau baca misalnya surat An-Naziat ayat 15-26.
<br /><br />
Yang ingin digarisbawahi di sini adalah nada dan irama yang unik itu.
Ini berarti bahwa Allah sendiri berfirman dengan menyampaikan
kalimat-kalimat yang memiliki irama dan nada. Nada dan irama itu tidak
lain dari apa yang kemudian diistilahkan oleh sementara ilmuwan Al-Quran
dengan Musiqa Al-Quran (musik Al-Quran). Ini belum lagi jika ditinjau
dari segi ilmu tajwid yang mengatur antara lain panjang pendeknya nada
bacaan, bahkan belum lagi dan lagu-lagu yang diperkenalkan oleh
ulama-ulama Al-Quran. Imam Bukhari, dan Abu Daud meriwayatkan sabda Nabi
saw: "Perindahlah Al-Quran dengan suara kamu".
<br /><br />
<a href="" id="5" name="5"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
SENI DAN BUDAYA ASING</div>
Pengertian dari budaya "asing" adalah budaya dari luar daerah kita.
Kalau kita berada di Indonesia, berarti budaya asing adalah budaya yang
berada dari luar Indonesia, baik itu budaya Barat (Eropa), budaya Arab,
budaya India, dsb-nya. <b>Perlu diingat bahwa budaya Arab bukan lantas
menjadi budaya Islam.</b> Budaya Islam adalah budaya yang berasal dari
Allah SWT.
<br /><br />
Islam dapat menerima semua hasil karya manusia selama sejalan dengan
pandangan Islam menyangkut wujud alam raya ini. Namun demikian wajar
dipertanyakan bagaimana sikap satu masyarakat dengan kreasi seninya yang
tidak sejalan dengan budaya masyarakatnya?
<br /><br />
Dalam konteks ini, perlu digarisbawahi bahwa Al-Quran memerintahkan kaum
Muslim untuk menegakkan kebajikan, memerintahkan perbuatan makruf dan
mencegah perbuatan munkar.
<br /><br />
Makruf merupakan budaya masyarakat sejalan dengan nilai-nilai agama,
sedangkan munkar adalah perbuatan yang tidak sejalan dengan budaya
masyarakat.
<br /><br />
Dari sini, setiap Muslim hendaknya memelihara nilai-nilai budaya yang
makruf dan sejalan dengan ajaran agama, dan ini akan mengantarkan mereka
untuk memelihara hasil seni budaya setiap masyarakat. Seandainya
pengaruh --apalagi yang negatif-- dapat merusak adat-istiadat serta
kreasi seni dari satu masyarakat, maka kaum Muslim di daerah itu harus
tampil mempertahankan makruf yang diakui oleh masyarakatnya, serta
membendung setiap usaha --dari mana pun datangnya-- yang dapat
merongrong makruf tersebut. Bukankah Al-Quran memerintahkan untuk
menegakkan makruf.
<br /><br />
Demikian, sekelumit yang dapat dikemukakan tentang seni dalam wawasan
Al-Quran. Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Quran sangat
menghargai segala kreasi manusia, termasuk kreasi manusia yang lahir
dari penghayatan rasa manusia terhadap seluruh wujud ini, selama kreasi
tersebut sejalan dengan fitrah kesucian jiwa manusia.
<br /><br />
<a href="" id="6" name="6"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
SENI ISLAM</div>
Apakah seni suara (nyanyian) harus dalam bahasa Arab? ataukah harus
berbicara tentang ajaran Islam? <b>Dengan tegas jawabannya adalah:
Tidak.</b>
<br /><br />
Dalam konteks ini, Muhammad Quthb menulis, bahwa kesenian Islam tidak
harus berbicara tentang Islam. Ia tidak harus berupa nasihat langsung,
atau anjuran berbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak tentang
akidah. 'Seni yang Islami adalah seni yang dapat menggambarkan wujud
ini, dengan bahasa yang indah serta sesuai dengan cetusan fitrah. Seni
Islam adalah ekspresi tentang keindahan wujud dari sisi pandangan Islam
tentang alam, hidup, dan manusia yang mengantar menuju pertemuan
sempurna antara kebenaran dan keindahan.
<br /><br />
Kita boleh memilih objek dan cara menampilkan seni. Kita boleh
menggambarkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat di mana kita berada.
Kita boleh memadukannya dengan apa saja, boleh berimajinasi karena
lapangan seni adalah semua wujud, tetapi sedikit catatan, yaitu jangan
sampai seni yang kita tampilkan bertentangan dengan fitrah tentang wujud
itu sendiri. Dan alangkah indahnya seandainya melalui seni tersebut
juga mengandung unsur dakwah untuk berbuat kebaikan.
<br /><br />
Islam, melalui sumber utamanya Al-Quran, melukiskan dengan sangat indah,
kelemahan dan kelebihan manusia.<br />
Allah SWT meyakinkan manusia tentang ajaran-Nya dengan menyentuh seluruh
totalitas manusia, termasuk menyentuh hati mereka melalui seni yang
ditampilkan Al-Quran, antara lain melalui kisah-kisah nyata atau
simbolik yang dipadu oleh imajinasi: melalui gambaran-gambaran konkret
dari gagasan abstrak yang dipaparkan dalam bahasa seni yang mencapai
puncaknya. Dapat dipastikan bahwa Al-Quran menggunakan seni untuk
dakwah, dan dapat pula dipastikan bahwa selama ini, kita belum
memanfaatkan secara maksimal apalagi mengembangkan apa yang dicontohkan
Al-Quran itu.
<br /><br />
Kalau Al-Quran menggambarkan dalam bahasa lisan sikap dan gejolak hati
manusia, maka tentu tidak ada salahnya jika sikap dan gejolak hati itu
digambarkan dalam bentuk bahasa gerak dan mimik, bersama dengan bahasa
lisan. Itulah salah satu contoh pengembangan, karena menjadikan Al-Quran
sebagai petunjuk bukan berarti kita harus menirunya dalam segala hal,
tetapi dalam bidang seni misalnya, ia berarti menghayati jiwa bimbingan
dan nafas penampilannya, kemudian setelah itu mempersilakan setiap
seniman untuk menerjemahkan jiwa dan nafas tersebut dalam kreasi
seninya.
<br /><br />
Al-Quran misalnya menjadikan kisah sebagai salah satu sarana pendidikan
yang sejalan dengan pandangannya tentang alam, manusia, dan kehidupan.
Maka pada saat seseorang menggunakan kisah sebagai sarana pendidikan
seni dan hiburan dengan tujuan memperhalus budi, mengingatkan tentang
jati diri manusia, menggambarkan akibat baik atau buruk dan satu
pengamalan, maka pada saat itu, seni yang ditampilkannya adalah seni
yang bernafaskan Islam, walaupun di celah-celah kisahnya dilukiskan
kelemahan manusia dalam batas dan penampilan yang tidak mendorong
kejatuhannya.
<br /><br />
Al-Quran dan sunnah misalnya melukiskan alam dengan begitu indah,
berdialog, dan bersambung rasa dengan manusia. Dan pada saat kita
menikmati suatu lukisan yang hidup, maka kisah itu telah memerankan
pandangan Islam tentang alam, tidak jauh berbeda dengan ungkapan
Rasulullah saw ketika melukiskannya dengan bahasa lisan: "Gunung ini
(Uhud) mencintai kita dan kita pun mencintainya".
<br /><br />
Memang Al-Quran, demikian juga sunnah, sangat memperhatikan sisi hidup
pada penggambaran yang diberikannya. Perhatikan bagaimana Al-Quran
melukiskan tanah yang gersang sebagai tanah yang mati, dan tanah yang
subur sebagai tanah yang hidup (QS Al-Baqarah [2]: 164). Bahkan
dengarkan bagaimana Al-Quran melukiskan alam raya ini bagai sesuatu yang
hidup dan mampu berdialog.
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Kemudian Allah menuju kepada penciptaan langit, dan
langit (ketika itu) masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan
kepada bumi, Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku suka atau tidak
suka! Keduanya menjawab, Kami datang dengan suka hati (QS Al-Fushshilat
[41]: 11). </div>
<br />
Bahkan segala sesuatu hidup bertasbih kepada Allah:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya
bertasbih kepada-Nya (Allah). Tiada sesuatu pun melainkan bertasbih.
dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun. Lagi Maha Pengampun (QS
Al-Isra[17]: 44). </div>
<br />
Tentu penggambaran alam raya ini sebagai sesuatu yang hidup, bukan
sekadar bertujuan seni, tetapi untuk mengingatkan kepada manusia bahwa
alam raya adalah sesuatu yang hidup dan memiliki kepribadian. Sehingga
manusia perlu menjalin hubungan persahabatan dengannya, atau paling
tidak alam raya perlu dipelihara, dijaga kesinambungannya serta
dilimpahkan kepadanya rahmat dan kasih sayang.
<br /><br /><br />
<a href="" id="7" name="7"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div>
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
<li>M. Nashiruddin Al-Albani, <i>Ringkasan Shahih Bukhari</i>,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
</li>
<li>Al-Bayan, <i>Shahih Bukhari Muslim</i>, Jabal, Bandung, 2008.
</li>
<li>Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, <i>Kemudahan dari Allah, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir</i>, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani,
Jakarta, 1999.
</li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-56514027894260901582012-02-18T07:23:00.001-08:002012-02-18T07:23:38.300-08:00Ekonomi<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Ekonomi</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Hukum (Ketetapan/Peraturan)</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<b></b>
Masalah-masalah pokok ekonomi menurut para pakar mencakup antara lain:
<br />
<b>a. Jenis dan jasa yang diproduksi serta sistemnya.
</b><br /><b>
b. Sistem distribusi (untuk siapa barang jasa itu).
</b><br /><b>
c. Efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.
</b><br /><b>
d. Inflasi, resesi, dan depresi.
</b><br /><b>
Dan sebagainya.</b>
<br /><br />
Melihat luasnya ruang lingkup ekonomi, maka boleh jadi kita dapat
menyederhanakan kajian tulisan ini, dengan mengambil alih pandangan
sekian pakar yang mendefinisikan ilmu ekonomi sebagai "ilmu mengenai
perilaku manusia yang berhubungan dengan kegiatan mendapatkan uang dan
membelanjakannya".
<br /><br />
Pendorong bagi kegiatan itu adalah kebutuhan dan keinginan manusia yang
tidak mungkin diperoleh secara mandiri. Untuk memenuhinya manusia
terpaksa melakukan kerja sama, dan sering kali juga terpaksa harus
mengorbankan sebagian keinginannya, atau mengantarnya menetapkan
prioritas dalam melakukan pilihan.
<br />
Namun ada juga manusia yang sukar mengendalikan keinginannya, sehingga
ia terdorong untuk menganiaya, baik terhadap sesama manusia maupun
makhluk lain. Dari sini amat diperlukan peraturan serta etika yang
mengatur kegiatan ekonomi.
<br /><br />
Peraturan dan etika itulah yang membedakan antara ekonomi yang
dianjurkan Al-Quran dengan ekonomi lainnya.
<br />
Harus diakui bahwa Al-Quran tidak menyajikan rincian, tetapi hanya
mengamanatkan nilai-nilai (prinsip-prinsip)-nya saja. Sunnah Nabi dan
analisis para ulama dan cendekiawan mengemukakan sebagian dari rincian
dalam rangka operasionalisasinya.
<br /><br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
UANG DALAM PANDANGAN AL-QURAN</div>
Terlebih dahulu perlu dijelaskan pandangan Al-Quran tentang harta (uang)
dan pengembangannya dalam kegiatan ekonomi.
<br /><br />
Uang antara lain diartikan sebagai "harta" kekayaan, dan "nilai tukar
bagi sesuatu".
<br /><br />
Berbeda dengan dugaan sementara orang yang beranggapan bahwa Islam
kurang menyambut baik kehadiran uang, pada hakikatnya pandangan Islam
terhadap uang dan harta amat positif. Manusia diperintahkan Allah untuk
mencari rezeki bukan hanya yang mencukupi kebutuhannya, tetapi Al-Quran
memerintahkan untuk mencari apa yang diistilahkannya fadhl Allah, yang
secara harfiah berarti "kelebihan yang bersumber dari Allah". Salah satu
ayat yang menunjuk ini adalah:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apabila kamu telah selesai shalat (Jumat) maka
bertebaranlah di bumi, dan carilah fadhl (kelebihan/rezeki) Allah (QS
Al-Jumu'ah [62]: 10). </div>
<br />
Kelebihan tersebut dimaksudkan antara lain agar yang memperoleh dapat
melakukan ibadah secara sempurna serta mengulurkan tangan bantuan kepada
pihak lain yang oleh karena satu dan lain sebab tidak berkecukupan.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah
memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya ALlah menambah karunia-Nya
kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang
dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS. An-Nuur (An-Nur) [24] : ayat 38)
<br />
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan)
dari Tuhanmu ... (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 198)</div>
<br />
Al-Quran memerintahkan siapa pun yang melakukan transaksi hutang
piutang, agar mencatat jumlah hutang piutang itu, jangan sampai oleh
satu dan lain hal tercecer hilang atau berkurang. Bahkan kalau perlu
meminta bantuan notaris dalam pencatatannya.
<br />
Kepada notaris serta yang melakukan transaksi itu, hendaknya notaris
jangan merugikan orang yang melakukan transaksi terutama dengan
mengurangi haknya masing-masing, dan bagi yang melakukan transaksi
hendaknya jangan juga merugikan sang notaris dalam waktu, tenaga, dan
pikirannya tanpa memberi imbalan yang wajar. Diperintahkan juga agar
memilih saksi-saksi dalam hal hutang-piutang, kalau bukan dua orang
lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan
utang-piutang (ber-muamalah tidak secara tunai) untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis
di antara kamu menuliskannya dengan adil. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang
akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di
sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika
muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka
tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan
saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah
kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.(QS Al-Baqarah [2]: 282). </div>
<br />
Demikian antara lain kandungan pesan ayat yang terpanjang dalam
Al-Quran.
<br /><br />
Pandangan Al-Quran terhadap uang atau harta seperti yang dikemukakan
sekilas ini, bertitik tolak dari pandangannya terhadap naluri manusia.
Seperti diketahui, Al-Quran memperkenalkan agama Islam antara lain
sebagai agama fitrah dalam arti ajaran-ajarannya sejalan dengan jati
diri manusia serta naluri positifnya.
<br /><br />
Harta yang banyak oleh Al-Quran disebut "khair/khayr" (QS Al-Baqarah
[2): 180), serta dalam ayat-ayat lainnya, yang <b>arti harfiahnya adalah
"kebaikan". Ini bukan saja berarti bahwa harta kekayaan adalah sesuatu
yang dinilai baik dan berusaha untuk memperolehnya sebanyak mungkin demi
kebaikan, tetapi juga mengisyaratkan bahwa perolehan dan penggunaannya
harus pula dengan baik. Tanpa memperhatikan hal-hal tersebut, artinya
harta tersebut diperoleh tidak dengan cara yang baik serta tidak
digunakan untuk kebaikan atau manusia malas dalam mencari harta (yang
baik) sehingga hidupnya hanya untuk dirinya sendiri dan tidak berguna
bagi orang lain, dan sebagainya. Maka orang tersebut akan mengalami
kesengsaraan dalam hidupnya. </b>
<br /><br />
Karena daya tarik uang atau harta seringkali menyilaukan mata dan
menggiurkan hati, maka berulang-ulang Al-Quran dan hadis, <b>memperingatkan
bahwa harta/uang itu adalah titipan Allah SWT yang wajib digunakan
untuk kebaikan untuk diamalkan sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.
</b>
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. Ath-Thalaaq
(Ath-Talaq) [65] : ayat 3)
<br /><br />
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada
mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan
dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang
baik), (QS. Ar-Ra'd [13] : ayat 22)
<br /><br />
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk
mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu
bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Al-A'raaf (Al-A'raf) [7] : ayat
32)
<br /><br />
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik
yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika
benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 172)
<br /><br />
Atau kamu meminta upah kepada mereka?", maka upah dari Tuhanmu adalah
lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezeki Yang Paling Baik. (QS.
Al-Mu'minuun (Al-Mu'minun) [23] : ayat 72)
<br /><br />
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan
shalat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada
mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan
perniagaan yang tidak akan merugi, (QS. Faathir (Fatir) [35] : ayat 29)
<br /><br />
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta
yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. Ath-Thalaaq
(Ath-Talaq) [65] : ayat 7)
<br /><br />
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan. (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 245)</div>
<br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
PERANAN UANG</div>
Merujuk kepada Mu'jam Al-Muhfaras (Kamus Al-Quran) oleh Fuad Abdul Baqi,
kata mal (uang) terulang dalam Al-Quran sebanyak 25 kali (dalam bentuk
tunggal) dan amwal (dalam bentuk jamak) sebanyak enam puluh satu kali.
Diamati oleh Hassan Hanafi sebagaimana dikemukakan dalam bukunya Ad-Din
wa Ats-Tsaurah bahwa kata tersebut mempunyai dua bentuk.
<br /><br />
Pertama, tidak dinisbahkan kepada "pemilik", dalam arti dia berdiri
sendiri. Ini --menurutnya-- adalah sesuatu yang logis karena memang ada
harta yang tidak menjadi objek kegiatan manusia, tetapi berpotensi untuk
itu.
<br /><br />
Kedua, dinisbahkan kepada sesuatu, seperti "harta mereka", harta
anak-anak yatim, "harta kamu" dan lain-lain. Ini adalah harta yang
menjadi objek kegiatan. Dan bentuk inilah yang terbanyak digunakan dalam
Al-Quran.
<br /><br />
Menurut hasil perhitungan Quraish Shihab, bentuk pertama ditemukan
sebanyak 23 kali, sedang bentuk kedua sebanyak 54 kali. Dari jumlah ini
yang terbanyak dibicarakan adalah harta dalam bentuk objek, dan ini
memberi kesan bahwa seharusnya harta atau uang menjadi objek kegiatan
manusia. Kegiatan tersebut adalah aktivitas ekonomi.
<br /><br />
Dalam pandangan Al-Quran, uang merupakan modal serta salah satu faktor
produksi yang penting, tetapi "bukan yang terpenting". Manusia menduduki
tempat di atas modal disusul sumber daya alam. Pandangan ini berbeda
dengan pandangan sementara pelaku ekonomi modern yang memandang uang
sebagai segala sesuatu, sehingga tidak jarang manusia atau sumber daya
alam dianiaya atau ditelantarkan.
<br /><br />
Modal tidak boleh diabaikan, manusia berkewajiban menggunakannya dengan
baik, agar ia terus produktif dan tidak habis digunakan. Karena itu
seorang wali yang menguasai harta orang-orang yang tidak atau belum
mampu mengurus hartanya, diperintahkan untuk mengembangkan harta yang
berada dalam kekuasaannya itu dan membiayai kebutuhan pemiliknya yang
tidak mampu itu, dari keuntungan perputaran modal, bukan dari pokok
modal. Ini dipahami dari redaksi surat Al-Nisa' (4): 5 yang dikutip di
atas, di mana dinyatakan Warzuquhum fiha bukan Warzuquhum minha. "Minha"
artinya "dari modal", sedang "fiha" berarti "di dalam modal", yang
dipahami sebagai ada sesuatu yang masuk dari luar ke dalam (keuntungan)
yang diperoleh dari hasil usaha.
<br /><br />
Karena itu pula modal tidak boleh menghasilkan dari dirinya sendiri,
tetapi harus dengan usaha manusia. Ini salah satu sebab mengapa
membungakan uang, dalam bentuk riba dan perjudian, dilarang oleh
Al-Quran. Salah satu hikmah pelarangan riba, serta pengenaan zakat
sebesar 2,5% terhadap uang (walau tidak diperdagangkan) adalah untuk
mendorong aktivitas ekonomi, perputaran dana, serta sekaligus mengurangi
spekulasi serta penimbunan. Dalam konteks ini Al-Quran mengingatkan:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih (QS Al-Tawbah [9]. 34) </div>
<br />
Ancaman ini disebabkan karena uang/harta seperti dikemukakan sebelum ini
dijadikan Allah untuk sarana kehidupan manusia dalam rangka memenuhi
kebutuhannya. Dan menyimpannya tanpa perputaran, demikian juga
penimbunan kebutuhannya, tidak sejalan dengan tujuan tersebut.
<br /><br />
Bagi pemilik uang yang tidak atau kurang mampu mengelola uangnya, para
ulama mengembangkan cara-cara yang direstui oleh Al-Quran dan Sunnah
Nabi, antara lain melalui apa yang dinamai murabahah, mudharabah atau
musyarakah
<br />
<b>Murabahah adalah pembelian barang menurut rincian yang ditetapkan
oleh pengutang, dengan keuntungan dan waktu pembayaran yang disepakati.
</b><br /><b>
Mudharabah adalah bergabungnya tenaga kerja dengan pemilik modal,
sebagai mitra usaha dan keuntungan yang dibagi sesuai rasio yang
disepakati.
</b><br /><b>
Musyarakah adalah memadukan modal untuk bersama-sama memutarnya, dengan
kesepakatan tentang rasio laba yang akan diterima. </b>
<br /><br />
Cara-cara ini akan mendorong setiap pemilik modal untuk tidak membiarkan
modalnya tersimpan tanpa perputaran. Bukankah uang dijadikan Allah
untuk sarana kehidupan dan pemenuhan kebutuhan manusia?
<br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
KEBUTUHAN MANUSIA</div>
Kebutuhan biasa diartikan sebagai "hasrat manusia yang perlu dipenuhi
atau dipuaskan".
<br />
Kebutuhan bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, namun secara umum ia
dapat dibagi dalam tiga jenis sesuai dengan tingkat kepentingannya. <b>Primer
(dharuriyat), sekunder (hajiyat), dan tertier (kamaliyat). </b>
<br /><br />
Jenis kebutuhan kedua dan ketiga sangat beraneka ragam, dan dapat
berbeda-beda dari seorang dengan lainnya, namun kebutuhan primer sejak
dahulu hingga kini dapat dikatakan sama dan telah dirumuskan oleh para
pakar sebagai kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
<br />
Al-Quran secara tegas menyebutkan ketiga macam kebutuhan primer itu dan
mengingatkan manusia pertama tentang keharusan pemenuhannya sebelum
manusia pertama itu menginjakkan kakinya di bumi. Ketika Adam dan
istrinya Hawa masih berada di surga, Allah mengingatkan mereka berdua:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Maka Kami berkata, "Hai Adam' sesungguhnya ini (iblis)
adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai
ia mengeluarkan kamu berdua dari surga karena (jika demikian) <b>engkau
akan bersusah payah</b>. Sesungguhnya engkau tidak akan lapar di surga,
dan tidak pula akan telanjang. Sesungguhnya engkau tidak akan dahaga,
tidak pula disengat panas matahari di sana (surga)" (QS Thaha [20]:
117-119). </div>
<br />
<b>Yang dimaksud dengan bersusah payah adalah bekerja untuk memenuhi
kebutuhan mereka yang di dunia tidak diperoleh tanpa kerja</b> tetapi di
surga telah disediakan yaitu pangan atau dalam bahasa ayat di atas
"tidak lapar dan tidak dahaga". Sandang dilukiskan dengan "tidak
telanjang", sedangkan papan diisyaratkan oleh kalimat "tidak disengat
panas matahari".
<br /><br />
Sementara ulama menganalisis mengapa peringatan ini ditujukan kepada
mereka berdua selaku suami-istri, tetapi pernyataan bersusah payah
dikemukakan dalam bentuk tunggal yang ditujukan kepada suami (Adam)
saja. Jawabannya menurut mereka adalah, karena kebutuhan sandang, pangan
dan papan, merupakan kebutuhan pria dan wanita (suami-istri), tetapi
kewajiban bersusah payah mencarinya, berada di pundak suami, sehingga
merupakan kewajiban suami untuk mengikhtiarkannya.
<br />
Ketiga jenis kebutuhan seperti yang disebut di atas, mengantar manusia
berikhtiar untuk memproduksi alat-alat pemenuhannya, baik berupa barang
maupun jasa.
<br /><br />
<a href="" id="4" name="4"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
AKTIVITAS EKONOMI</div>
Aktivitas antar manusia --termasuk aktivitas ekonomi-- terjadi melalui
apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu'amalah (interaksi). Pesan
utama Al-Quran dalam mu'amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil... (QS
Al-Baqarah [2]: 188). </div>
<br />
<b>Kata "batil" diartikan sebagai "segala sesuatu yang bertentangan
dengan ketentuan dan nilai agama". </b>
<br />
Bukan di sini tempatnya merinci cakupan kata batil, apalagi Al-Quran
--sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan bersifat ibadah
murni-- pada dasarnya tidak memberikan perincian. Ini untuk memberikan
peluang kepada manusia atau masyarakat yang sifatnya selalu berubah dan
berkembang, agar menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat sepanjang
sejalan dengan nilai-nilai Islam.
<br /><br />
<a href="" id="5" name="5"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
NILAI-NILAI ISLAM</div>
Secara umum dapat dikatakan bahwa <b>nilai-nilai Islam terangkum dalam
empat prinsip pokok: tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung
jawab. </b>
<br /><br />
Tauhid mengantar manusia mengakui bahwa keesaan Allah mengandung
konsekuensi keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber serta kesudahannya
berakhir pada Allah SWT Dialah Pemilik mutlak dan tunggal yang dalam
genggaman-Nya segala kerajaan langit dan bumi. Keyakinan demikian
mengantar seorang Muslim untuk menyatakan:
<br /><br />
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata
demi/karena Allah, Tuhan seru sekalian alam.
<br /><br />
Prinsip ini menghasilkan "kesatuan-kesatuan" yang beredar dalam orbit
tauhid, sebagaimana beredarnya planet-planet tatasurya mengelilingi
matahari. Kesatuan-kesatuan itu, antara lain, kesatuan kemanusiaan,
kesatuan alam raya, kesatuan dunia dan akhirat, dan lain-lain.
<br />
Keseimbangan mengantar manusia Muslim meyakini bahwa segala sesuatu
diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan
dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah mengamati. Apakah
engkau melihat sedikit ketimpangan? (QS Al-Mulk [67]: 3) </div>
<br />
<b>Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang serasi, dan
selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnya untuk
menciptakan ketiga hal tersebut dalam masyarakatnya, bahkan alam
seluruhnya. </b>
<br /><br />
Kehendak bebas adalah prinsip yang mengantar seorang Muslim meyakini
bahwa Allah SWT memiliki kebebasan mutlak namun Dia juga menganugerahkan
kepada manusia kebebasan untuk memilih dua jalan yang terbentang di
hadapannya --baik atau buruk. Manusia yang baik di sisi-Nya adalah
manusia yang mampu menggunakan kebebasan itu dalam rangka penerapan
tauhid dan keseimbangan di atas. Dari sini lahir prinsip tanggung jawab
baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, Islam
memperkenalkan konsep fardhu 'ain dan jardhu kifayah. Yang pertama
adalah kewajiban individual yang tidak dapat dibebankan kepada orang
lain sedang yang kedua adalah kewajiban yang bila dikerjakan oleh orang
lain sehingga terpenuhi kebutuhan yang dituntut, maka terbebaskanlah
semua anggota masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa). Tetapi bila
tidak seorang pun yang mengerjakannya, atau dikerjakan oleh sebagian
orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya, maka berdosalah setiap
anggota masyarakat.
<br /><br />
Keempat prinsip yang disebut di atas, harus mewarnai aktivitas setiap
Muslim, termasuk aktivitas ekonominya.
<br /><br />
Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi untuk
menyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman tangannya adalah
milik Allah, yang antara lain diperintahkan oleh Pemiliknya agar
diberikan (sebagian) kepada yang membutuhkan:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkan) harta yang
diberikan-Nya kepada kamu (QS Al-Nur [24]: 33). </div>
<br />
Dalam pandangan agama Islam, harta kekayaan bahkan segala sesuatu adalah
milik Allah. Memang jika diamati dengan saksama, hasil-hasil produksi
yang dapat menghasilkan uang atau harta kekayaan, tidak lain kecuali
hasil rekayasa manusia dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Allah
Yang Maha Esa.
<br /><br />
Di sisi lain, keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh
hasil usahanya sendiri, tetapi terdapat juga partisipasi orang lain atau
masyarakat. Bukankah para pedagang --misalnya-- membutuhkan para
pembeli agar hasil produksi atau barang dagangannya terjual? Bukankah
petani membutuhkan irigasi demi kesuburan pertaniannya? Bukankah para
pengusaha membutuhkan stabilitas keamanan guna lancarnya roda keuangan
dan perdagangan? Dan masih banyak lagi yang lain. Kalau demikian, wajar
jika Allah memerintahkan manusia untuk menyisihkan sebagian dari apa
yang berada dalam genggaman tangannya ("miliknya") demi kepentingan
masyarakat umum. Dari sini agama menetapkan keharusan adanya fungsi
sosial bagi harta kekayaan.
<br /><br />
Tauhid, yang menghasilkan keyakinan kesatuan dunia dan akhirat,
mengantar seorang pengusaha untuk tidak mengejar keuntungan material
semata, tetapi keuntungan yang lebih kekal dan abadi.
<br />
Prinsip tauhid yang menghasilkan pandangan tentang kesatuan umat manusia
mengantar seorang pengusaha Muslim untuk menghindari segala bentuk
eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dimengerti mengapa
Islam bukan saja melarang praktek riba dan pencurian, tetapi juga
penipuan walau terselubung.
<br /><br />
Prinsip keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentuk monopoli
dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Atas
dasar ini pula Al-Quran menolak dengan amat tegas daur sempit yang
menjadikan kekayaan hanya berkisar pada orang-orang atau kelompok
tertentu.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang
kaya saja di antara kamu... (QS Al-Hasyr [59]: 7). </div>
<br />
Dari sini juga datang larangan penimbunan. Hal ini tercermin pada ayat
34 surat At-Taubah yang memberikan ancaman sedemikian keras kepada para
penimbun, serta sabda Nabi Muhammad saw berikut: "Siapa yang menimbun
makanan selama empat puluh hari, dengan tujuan menaikkan harga, maka ia
telah berlepas diri dari Allah, dan Allah juga berlepas diri darinya".
<br /><br />
Ayat dan hadis-hadis Nabi seperti di atas oleh sementara pakar dijadikan
dasar pemberian wewenang kepada penguasa untuk mencabut hak milik
perusahaan spekulatif yang melakukan penimbunan, penyelundupan, dan yang
mengambil keuntungan secara berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan
kenaikan harga yang tidak semestinya.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan;
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (QS
Al-A'raf [7]: 31). </div>
<br />
Sikap berlebih-lebihan dapat menimbulkan kelangkaan barang-barang yang
dapat menimbulkan ketidakseimbangan akibat kenaikan harga-harga.
<br />
Dalam rangka memelihara keseimbangan itu, Islam menugaskan Pemerintah
untuk mengontrol harga, bahkan melakukan langkah-langkah yang diperlukan
untuk menjamin agar-paling tidak bahan-bahan kebutuhan pokok dapat
diperoleh dengan mudah oleh seluruh anggota masyarakat.
<br /><br />
Dalam konteks ini, Nabi Muhammad saw menyebutkan bahwa: "Masyarakat
berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api" (HR Abu Daud).
<br />
Tiga komoditi ini merupakan kebutuhan masyarakat pada masa Nabi saw, dan
tentunya setiap masyarakat dapat memiliki kebutuhan-kebutuhan lain,
yang dengan demikian masing-masing dapat menyesuaikan diri dengan
kebutuhannya.
<br /><br />
Semua hal yang disebut di atas harus dipertanggungjawabkan oleh manusia
demi terlaksananya keadilan baik secara individu maupun kolektif.
<br />
Dalam perkembangan perekonomian sesudah turunnya Al-Quran telah lahir
institusi-institusi serta kondisi yang diperselisihkan keabsahannya dari
segi syariat seperti halnya dengan perbankan konvensional. Sementara
ulama mempersamakan praktek perbankan itu dengan riba, sementara ulama
lainnya mentoleransinya dengan syarat-syarat tertentu.
<br /><br />
<a href="" id="6" name="6"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
RIBA</div>
Keraguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan menjadikan para
sahabat Nabi, seperti ucap Umar ibn Khaththab, "Meninggalkan sembilan
per sepuluh dari yang halal." Ini disebabkan karena mereka tidak
memperoleh informasi yang utuh tentang masalah ini langsung dari Nabi
Muhammad saw
<br /><br />
Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Kalau kita hanya
berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yang dikemukakan para
penentang riba pada masa Nabi dapat dibenarkan. Firman Allah dengan
tegas bahwa<b> "Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."</b>
Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secara eksplisit,
namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan atau hikmah sehingga ini
diharamkan dan itu dihalalkan.
<br /><br />
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam empat
surat, tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dan satu ayat lagi
ketika beliau masih di Makkah. Upaya memahami apa yang dimaksud dengan
riba adalah dengan mempelajari ayat-ayat yang turun di Madinah, atau
lebih khusus lagi kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut yaitu adh'afan
mudha'afah (berlipat ganda), ma baqiya minarriba (apa yang tersisa dari
riba) dan falakum ru'usu amwalikum, la tazlimun wa la tuzlamun.
<br /><br />
Sementara ulama, semacam Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, memahami bahwa
riba yang diharamkan Al-Quran hanya riba yang berlipat ganda. Lipat
ganda yang dimaksud di sini adalah "pelipatgandaan yang berkali-kali".
<br />
Memang pada zaman jahiliah dan awal Islam, apabila seorang debitur yang
tidak mampu membayar hutangnya pada saat yang ditentukan, ia meminta
untuk ditangguhkan dengan janji membayar berlebihan, demikian
berulang-ulang.
<br />
Sikap semacam ini amat dikecam oleh Al-Quran, sebagaimana firman Allah:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Bila debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah
diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan dan menyedekahkan (semua
atau sebagian dari piutang) (lebih baik untuknya jika kamu mengetahui)
(QS Al-Baqarah [2]: 280). </div>
<br />
Pendapat yang memahami riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda,
tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan saja karena masih ada ayat lain
yang turun sesudahnya, yang memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba
yang belum diambil, tetapi juga karena akhir ayat yang turun tentang
riba, memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba. Dan bila mereka
mengabaikan hal ini, maka Tuhan mengumumkan perang terhadap mereka
sedang
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Bila kamu bertobat, maka bagi kamu modalmu, (dengan
demikian) Kami tidak menganianya dan tidak pula dianiaya (QS Al-Baqarah
[2]: 279). </div>
<br />
Menurut Quraish Shihab, inilah kata kunci yang terpenting dalam
persoalan riba, dan atas dasar inilah kita dapat menilai transaksi
hutang piutang dewasa ini, termasuk praktek-praktek perbankan.
<br /><br />
Kesimpulan yang dapat kita peroleh dari ayat-ayat Al-Quran yang
berbicara tentang riba, demikian pula hadis Nabi dan riwayat-riwayat
lainnya adalah, bahwa riba yang dipraktekkan pada masa turunnya Al-Quran
adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah hutang, pungutan yang
mengandung penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau
penambahan dan jumlah hutang.
<br /><br />
Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan praktek Nabi saw yang membayar
hutangnya dengan berlebihan. Dalam konteks pembayaran berlebihan inilah
Nabi saw bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar
hutang". (Diriwayatkan oleh Muslim melalui sahabat Nabi A'bi Rafi',
yakni antara lain "melebihkan". Hanya tentu harus digarisbawahi bahwa
kelebihan pembayaran itu tidak bersyarat pada awal transaksi).
<br /><br />
Bagaimana dengan praktek perbankan dewasa ini?
<br />
Ulama sejak dahulu hingga kini belum dan besar kemungkinan tidak akan
sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasi diri orang-orang
yang bertakwa.
<br /><br />
Demikian sekelumit dan prinsip-prinsip ajaran Al-Quran tentang ekonomi. <b>Intinya
adalah keadilan, kerja sama, serta keseimbangan dan lain-lain. Dan
semua itu tercakup dalam larangan melakukan transaksi apa pun yang
berbentuk batil, eksploitasi atau segala bentuk penganiayaan.</b>
<br /><br /><br />
<a href="" id="7" name="7"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div>
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
<li>M. Nashiruddin Al-Albani, <i>Ringkasan Shahih Bukhari</i>,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
</li>
<li>Al-Bayan, <i>Shahih Bukhari Muslim</i>, Jabal, Bandung, 2008.
</li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-90760112009109745542012-02-18T07:21:00.001-08:002012-02-18T07:21:17.609-08:00Pakaian<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Pakaian</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Hukum (Ketetapan/Peraturan)</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<b></b>
Al-Quran paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu <b>libas,
tsiyab, dan sarabil. Kata libas ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab
ditemukan sebanyak delapan kali, sedangkan sarabil ditemukan sebanyak
tiga kali dalam dua ayat.</b>
<br /><br />
Libas pada mulanya berarti penutup (apa pun yang ditutup). Fungsi
pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, perlu dicatat bahwa ini
tidak harus berarti "menutup aurat", karena cincin yang menutup sebagian
jari juga disebut libas, dan pemakainya ditunjuk dengan menggunakan
akar katanya.
<br /><br />
Ketika berbicara tentang laut, Al-Quran surat Al-Nahl (16): 14
menyatakan bahwa,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan kamu mengeluarkan dan laut itu perhiasan (antara
lain mutiara) yang kamu pakai.</div>
<br />
<b>Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan pakaian lahir
maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk menunjukkan pakaian
lahir.</b> Kata ini terambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yakni
kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang
seharusnya sesuai dengan ide pertamanya.
<br /><br />
Ungkapan yang menyatakan, bahwa "awalnya adalah ide dan akhirnya adalah
kenyataan", mungkin dapat membantu memahami pengertian kebahasaan
tersebut. Ungkapan ini berarti kenyataan harus dikembalikan kepada ide
asal, karena kenyataan adalah cerminan dari ide asal.
<br /><br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
IDE DASAR tentang PAKAIAN</div>
Ar-Raghib Al-Isfahani (seorang pakar bahasa Al-Quran) menyatakan bahwa
pakaian dinamai tsiyab atau tsaub, karena ide dasar adanya bahan-bahan
pakaian adalah agar dipakai. Jika bahan-bahan tersebut setelah dipintal
kemudian menjadi pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide
dasar keberadaannya. Menurut Quraish Shihab, ide dasar juga dapat
dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia pertama tentang
dirinya.
<br /><br />
Al-Quran surat Al-'Araf (7): 20 menjelaskan peristiwa ketika Adam dan
Hawa berada di surga:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk
menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya,
dan setan berkata, "Tuhan kamu melarang kamu mendekati pohon ini,
supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang
yang kekal (di surga)."</div>
<br />
Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang)
itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya
menutupinya dengan daun-daun surga...</div>
<br />
Terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri manusia adalah <b>"tertutupnya
aurat"</b>, namun karena godaan setan, aurat manusia terbuka. Dengan
demikian, aurat yang ditutup dengan pakaian akan dikembalikan pada ide
dasarnya. Wajarlah jika pakaian dinamai tsaub/tsiyab yang berarti
"sesuatu yang mengembalikan aurat kepada ide dasarnya", yaitu tertutup.
<br />
Dan ayat di atas juga tampak bahwa ide "membuka aurat" adalah ide setan,
dan karenanya "tanda-tanda kehadiran setan adalah "keterbukaan aurat".
<br /><br />
Dalam hal ini Al-Quran mengingatkan:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Wahai putra-putra Adam, janganlah sekali-kali kamu
dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia (telah menipu orang tuamu Adam
dan Hawa) sehingga ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga.
Ia menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya
aurat mereka berdua (QS Al-A'raf [7]: 27). </div>
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Kata ketiga yang digunakan Al-Quran untuk menjelaskan
perihal pakaian adalah sarabil. Kamus-kamus bahasa mengartikan kata ini
sebagai pakaian, apa pun jenis bahannya. Hanya dua ayat yang menggunakan
kata tersebut. Satu di antaranya diartikan sebagai pakaian yang
berfungsi menangkal sengatan panas, dingin, dan bahaya dalam peperangan
(QS Al-Nahl [16]: 81). Satu lagi dalam surat Ibrahim (14): 50 tentang
siksa yang akan dialami oleh orang-orang berdosa kelak di hari kemudian:
pakaian mereka dari pelangkin. Dari sini terpahami bahwa pakaian ada
yang menjadi alat penyiksa. Tentu saja siksaan tersebut karena yang
bersangkutan tidak menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang diamanatkan
oleh Allah SWT </div>
<br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
PAKAIAN DAN FITRAH</div>
Dari ayat yang menguraikan peristiwa terbukanya aurat Adam, dan
ayat-ayat sesudahnya, para ulama menyimpulkan bahwa pada hakikatnya
menutup aurat adalah fitrah manusia jrang diaktualkan pada saat ia
memiliki kesadaran.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Seperti dikemukakan ketika menjelaskan arti tsaub,
manusia pada mulanya tertutup auratnya. Ayat yang menguraikan hal ini
menggunakan istilah li yubdiya lahuma ma~ wuriya 'anhuma min sauatihima
(untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu
auratnya) (QS Al-A'raf [7]: 20). </div>
<br />
Penggalan ayat itu bukan saja mengisyaratkan bahwa sejak semula Adam dan
Hawa tidak dapat saling melihat aurat mereka, melainkan juga berarti
bahwa aurat masing-masing tertutup sehingga mereka sendiri pun tidak
dapat melihatnya.
<br /><br />
Kemudian setan merayu mereka agar memakan pohon terlarang, dan akibatnya
adalah aurat yang tadinya tertutup menjadi terbuka, dan mereka
menyadari keterbukaannya, sehingga mereka berusaha menutupinya dengan
daun-daun surga. Usaha tersebut menunjukkan adanya naluri pada diri
manusia sejak awal kejadiannya bahwa aurat harus ditutup dengan cara
berpakaian.
<br /><br />
Perlu diperhatikan pula kalimat yang dipergunakan Al-Quran untuk
menyatakan usaha kedua orang tua kita, "Wa thafiqa yakhshifan 'alaihima
min waraq al-jannah."
<br /><br />
Kata yakhshifan terambil dari kata khashf yang berarti menempelkan
sesuatu pada sesuatu yang lain agar menjadi lebih kokoh. Contoh yang
dikemukakan oleh pakar-pakar bahasa adalah menempelkan lapisan baru pada
lapisan yang ada dari alas kaki, agar lebih kuat dan kokoh.
<br /><br />
Adam dan Hawa bukan sekadar mengambil satu lembar daun untuk menutup
auratnya (karena jika demikian pakaiannya adalah mini), melainkan sekian
banyak lembar agar melebar, dengan cara menempelkan selembar daun di
atas lembar lain, sebagai tanda bahwa pakaian tersebut sedemikian tebal,
sehingga tidak transparan atau tembus pandang.
<br /><br />
Hal lain yang mengisyaratkan bahwa berpakaian atau menutup aurat
merupakan fitrah manusia adalah penggunaan istilah "Ya Bani Adam" (Wahai
putra-putri Adam) dalam ayat-ayat yang berbicara tentang berpakaian.
<br /><br />
Panggilan semacam ini hanya terulang empat kali dalam Al-Quran. Kesan
dan makna yang disampaikannya berbeda dengan panggilan ya ayyuhal
ladzina amanu yang hanya khusus kepada orang-orang mukmin, atau ya
ayyuhan nas yang boleh jadi hanya ditujukan kepada seluruh manusia sejak
masa Nabi saw hingga akhir zaman. Panggilan ya Bani Adam jelas tertuju
kepada seluruh manusia. Bukankah Adam adalah ayah seluruh manusia?
<br /><br />
<b>Hanya empat kali panggilan ya Bani Adam dalam Al-Quran, dan semuanya
terdapat dalam surat Al-'Araf, yaitu:
</b><br /><b>
1. Ayat 26 berbicara tentang macam-macam pakaian yang dianugerahkan
Allah.
</b><br /><b>
2. Ayat 27 berbicara tentang larangan mengikuti setan yang menyebabkan
terbukanya aurat orang tua manusia (Adam dan Hawa).
</b><br /><b>
3. Ayat 31 memerintahkan memakai pakaian indah pada saat memasuki
masjid.
</b><br /><b>
4. Ayat 35 adalah kewajiban taat kepada tuntunan Allah yang disampaikan
oleh para rasul-Nya (tentu termasuk tuntunan berpakaian).</b>
<br /><br />
Ini menunjukkan bahwa sejak dini Allah SWT telah mengilhami manusia
sehingga timbul dalam dirinya dorongan untuk berpakaian, bahkan
kebutuhan untuk berpakaian, sebagaimana diisyaratkan oleh surat Thaha
(20): 117-118, yang mengingatkan Adam bahwa jika ia terusir dari surga
karena setan, tentu ia akan bersusah payah di dunia untuk mencari
sandang, pangan, dan papan. Dorongan tersebut diciptakan Allah dalam
naluri manusia yang memiliki kesadaran kemanusiaan. Itu sebabnya
terlihat bahwa manusia primitif pun selalu menutupi apa yang dinilainya
sebagai aurat.
<br /><br />
Dari ayat yang berbicara tentang ketertutupan aurat, ditemukan isyarat
bahwa untuk merealisasikan hal tersebut, manusia tidak membutuhkan upaya
dan tenaga yang berat. Hal ini diisyaratkan oleh bentuk pasif yang
dipilih Al-Quran untuk menyebut tertutupnya aurat Adam dan Hawa, yakni
ayat 22 surat Al-A'raf yang dikutip pada awal uraian ini: "yang tertutup
dan mereka yaitu aurat mereka."
<br /><br />
Menutup aurat tidak sulit, karena dapat dilakukan dengan bahan apa pun
yang tersedia, sekalipun selembar daun (asalkan dapat menutupinya).
<br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
FUNGSI PAKAIAN</div>
Dari sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian, dapat
ditemukan paling tidak ada empat fungsi pakaian.
<br /><br />
Al-Quran surat Al-A'raf (7): 26 menjelaskan dua fungsi pakaian:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Wahai putra putri Adam, sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepada kamu pakaian yang menutup auratmu dan juga (pakaian)
bulu (untuk menjadi perhiasan), dan pakaian takwa itulah yang paling
baik.</div>
<br />
Ayat ini setidaknya menjelaskan <b>dua fungsi pakaian, yaitu penutup
aurat dan perhiasan.</b>
<br /><br />
Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat di atas berbicara tentang <b>fungsi
ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa, dalam arti pakaian dapat
menghindarkan seseorang terjerumus ke dalam bencana dan kesulitan, baik
bencana duniawi maupun ukhrawi.</b>
<br />
Syeikh Muhammad Thahir bin 'Asyur menjelaskan jalan pikiran ulama yang
berpendapat demikian. Ia menulis dalam tafsirnya tentang ayat tersebut:
<br /><br />
Libasut taqwa dibaca oleh Imam Nafi' ibnu Amir, Al-Kisa'i, dan Abu
Ja'far dengan nashab (dibaca libasa sehingga kedudukannya sebagai objek
penderita). Ini berarti sama dengan pakaian-pakaian lain yang
diciptakan, dan tentunya pakaian ini tidak berbentuk abstrak, melainkan
nyata. Takwa yang dimaksud di sini adalah pemeliharaan, sehingga yang
dimaksud dengannya adalah pakaian berupa perisai yang digunakan dalam
peperangan untuk memelihara dan menghindarkan pemakainya dari luka dan
bencana lain.
<br /><br />
Ada juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga kata tersebut tidak
berkedudukan sebagai objek penderita. Ketika itu, salah satu makna yang
dikandungnya adalah adanya pakaian batin yang dapat menghindarkan
seseorang dari bencana duniawi dan ukhrawi.
<br /><br />
Betapapun, ditemukan ayat lain yang menjelaskan fungsi ketiga pakaian,
yakni fungsi pemeliharaan terhadap bencana, dan dari sengatan panas dan
dingin,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dia (Allah) menjadikan untuk kamu pakaian yang
memelihara kamu dari sengatan panas (dan dingin), serta pakaian (baju
besi) yang memelihara kamu dalam peperangan... (QS Al-Nahl [16]: 81). </div>
<br />
Fungsi pakaian selanjutnya disyaratkan oleh Al-Quran surat Al-Ahzab
(33): ayat 59 pada jaman peperangan antara orang-orang munafik dan
orang-orang mukmin, yang menugaskan Nabi saw agar menyampaikan kepada
istri-istrinya, anak-anak perempuannya, serta wanita-wanita mukmin agar
mereka mengulurkan (memanjangkan) jilbab mereka sebagai penunjuk
identitas pembeda antara seseorang dengan yang lain:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan perempuan-perempuan mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak di ganggu. Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.</div>
<br /><br />
Terlihat <b>fungsi pakaian sebagai penunjuk identitas pembeda antara
seseorang dengan yang lain.</b>
<br /><br />
<a href="" id="4" name="4"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Fungsi Pakaian sebagai Penutup Sau-at (Aurat)</div>
Sau-at terambil dari kata sa-a -yasu-u yang berarti buruk, tidak
menyenangkan. Kata ini sama maknanya dengan 'aurat, yang terambil dari
kata 'ar yang berarti onar, aib, tercela. Keburukan yang dimaksud tidak
harus dalam arti sesuatu yang pada dirinya buruk, tetapi bisa juga
karena adanya faktor lain yang mengakibatkannya buruk. Tidak satu pun
dari bagian tubuh yang buruk karena semuanya baik dan bermanfaat
(termasuk aurat).
<br /><br />
Tentu saja banyak hal yang sifatnya buruk, masing-masing orang dapat
menilai. Agama pun memberi petunjuk tentang apa yang dianggapnya 'aurat
atau sau-at. Dalam fungsinya sebagai penutup, tentunya pakaian dapat
menutupi segala yang enggan diperlihatkan oleh pemakai, sekalipun
seluruh badannya. Tetapi dalam konteks pembicaraan tuntunan atau hukum
agama, aurat dipahami sebagai anggota badan tertentu yang tidak boleh
dilihat kecuali oleh orang-orang tertentu.
<br /><br />
Bahkan bukan hanya kepada orang tertentu selain pemiliknya, Islam tidak
"senang" bila aurat (khususnya aurat besar (kemaluan)) dilihat oleh
siapa pun. Bukankah seperti yang dikemukakan terdahulu, bahwa ide dasar
aurat adalah "tertutup atau tidak dilihat walau oleh yang bersangkutan
sendiri?"
<br /><br />
Beberapa hadis menerangkan hal tersebut secara rinci:
<br /><br />
Hindarilah telanjang, karena ada (malaikat) yang selalu bersama kamu,
yang tidak pernah berpisah denganmu kecuali ketika ke kamar belakang
(wc) dan ketika seseorang berhubungan seks dengan istrinya. Maka malulah
kepada mereka dan hormatilah mereka (HR At-Tirmidzi).
<br /><br />
Dari segi hukum, tidak terlarang bagi seseorang --bila sendirian atau
bersama istrinya-- untuk tidak berpakaian. Tetapi, ia berkewajiban
menutup auratnya, baik aurat besar (kemaluan) maupun aurat kecil, selama
diduga akan ada seseorang --selain pasangannya-- yang mungkin melihat. <b>Ulama
bersepakat menyangkut kewajiban berpakaian sehingga aurat tertutup,
hanya saja mereka berbeda pendapat tentang batas aurat itu. Bagian mana
dari tubuh manusia yang harus selalu ditutup.</b>
<br /><br />
Imam Malik, Syafi'i, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa lelaki wajib
menutup seluruh badannya dari pusar hingga lututnya, meskipun ada juga
yang berpendapat bahwa yang wajib ditutup dari anggota tubuh lelaki
hanya yang terdapat antara pusat dan lutut yaitu alat kelamin dan
pantat.
<br /><br />
Wanita, menurut sebagian besar ulama berkewajiban menutup seluruh
angggota tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya, sedangkan Abu
Hanifah sedikit lebih longgar, karena menambahkan bahwa selain muka dan
telapak tangan, kaki wanita juga boleh terbuka. Tetapi Abu Bakar bin
Abdurrahman dan Imam Ahmad berpendapat bahwa seluruh anggota badan
perempuan harus ditutup.
<br /><br />
Salah satu sebab perbedaan ini adalah perbedaan penafsiran mereka
tentang maksud firman Allah dalam surat Al-Nur (24): 31:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang tampak darinya.</div>
<br />
<a href="" id="5" name="5"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Fungsi Pakaian sebagai Perhiasan</div>
<b>Di bagian terdahulu telah dikemukakan ayat Al-Quran yang
memerintahkan umat Islam agar memakai perhiasannya (lebih-lebih ketika
berkunjung ke masjid) (QS Al-A'raf [7]: 31). </b>
<br /><br />
Perhiasan adalah sesuatu yang dipakai untuk memperelok. Tentunya
pemakainya sendiri harus lebih dahulu menganggap bahwa perhiasan
tersebut indah, kendati orang lain tidak menilai indah atau pada
hakikatnya memang tidak indah.
<br /><br />
<b>Al-Quran tidak menjelaskan (apalagi merinci) apa yang disebut
perhiasan, atau sesuatu yang "elok". Sebagian pakar menjelaskan bahwa
sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan kebebasan dan keserasian.</b>
<br /><br />
Bentuk tubuh yang elok adalah yang ramping, karena kegemukan membatasi
kebebasan bergerak. Sentuhan yang indah adalah sentuhan yang memberi
kebebasan memegang sehingga tidak ada duri atau kekasaran yang
mengganggu tangan. Suara yang elok adalah suara yang keluar dari
tenggorokan tanpa paksaan atau dihadang oleh serak dan semacamnya. Ide
yang indah adalah ide yang tidak dipaksa atau dihambat oleh
ketidaktahuan, takhayul, dan semacamnya. Sedangkan <b>pakaian yang elok
adalah yang memberi kebebasan kepada pemakainya untuk bergerak.</b>
Demikian kurang lebih yang ditulis Abbas Al-Aqqad dalam bukunya
Muthal'at fi Al-Kutub wa Al-Hayat.
<br /><br />
<b>Harus diingat pula bahwa kebebasan mesti disertai tanggung jawab,
karenanya keindahan harus menghasilkan kebebasan yang bertanggung jawab.</b>
<br /><br />
Tentu saja kita dapat menerima atau menolak pendapat tersebut, sekalipun
sepakat bahwa keindahan adalah dambaan manusia. Namun harus disepakati
pula bahwa keindahan sangat relatif; tergantung dari sudut pandang
masing-masing penilai. Hakikat ini merupakan salah satu sebab mengapa
Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci apa yang dinilainya indah atau
elok.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Wahyu kedua (atau ketiga) yang dinilai oleh ulama
sebagai ayat-ayat yang mengandung informasi pengangkatan Nabi Muhammad
saw sebagai Rasul antara lain menuntun beliau agar menjaga dan
terus-menerus meningkatkan kebersihan pakaiannya (QS Al-Muddatstsir
[74]: 4). </div>
<br />
Memang salah satu unsur mutlak keindahan adalah kebersihan. <bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<div class="ayq">
Katakanlah! "Siapakah yang mengharamkan perhiasan yang
telah Allah keluarkan untuk hamba-hamba-Nya...?" (QS Al-A'raf [7]: 32) </div>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Berhias adalah naluri manusia. Seorang sahabat Nabi pernah bertanya
kepada Nabi saw,
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Seseorang yang senang pakaiannya indah dan alas kakinya indah (Apakah
termasuk keangkuhan?) Nabi menjawab, <b>"Sesungguhnya Allah indah,
senang kepada keindahan, sedangkan keangkuhan adalah menolak kebenaran
dan menghina orang lain." </b>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Terdapat sekian banyak riwayat yang menginformasikan bahwa Rasullah saw
menganjurkan agar kuku pun harus dipelihara, dan diperindah. Istri Nabi,
Aisyah, meriwayatkan bahwa:
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Seorang wanita menyodorkan (dengan tangannya) sepucuk surat kepada Nabi
dari belakang tirai, Nabi berhenti sejenak sebelum menerimanya, dan
bersabda, "Saya tidak tahu, apakah yang (menyodorkan surat) ini tangan
lelaki atau perempuan." Aisyah berkata, "Tangan perempuan," Nabi
kemudian berkata kepada wanita itu, "Seandainya Anda wanita, niscaya
Anda memelihara kuku Anda (mewarnainya dengan pacar)."
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Demikian Nabi saw menganjurkan agar wanita berhias. Al-Quran memang
tidak merinci jenis-jenis perhiasan, apalagi bahan pakaian yang baik
digunakan. Meskipun ada sekian ayat yang berbicara tentang penghuni
surga dan pakaian mereka. misalnya:
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<div class="ayq">
Bagi mereka surga 'Adn, mereka masuk ke dalamnya, di
sana mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara,
dan pakaian mereka di sana adalah sutera (QS Fathir [35]: 33). </div>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<div class="ayq">
...Dalam surga mereka dihiasi dengan gelang emas dan
mereka memakai pakaian hijau dan sutera halus dan sutera tebal, dalam
keadaan mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah...
(QS Al-Kahf [18]: 31). </div>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Perlu dicatat, bahwa yang disebutkan di atas tidak dapat dianalogikan
dengan nama bahan yang sama di dunia ini. Ketika penghuni surga diberi
rezeki berupa buah-buahan, orang menduga bahwa suguhan tersebut sama
dengan yang pernah mereka peroleh di dunia. Dugaan ini dibantah oleh
Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 25 dengan menyatakan, "Mereka diberi yang
serupa (tetapi tak sama)." Demikian juga halnya dengan jenis-jenis
perhiasan yang telah disebutkan.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<b>Berbicara tentang perhiasan, salah satu yang diperselisihkan para
ulama adalah emas dan sutera sebagai pakaian atau perhiasan lelaki.
</b></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""><b>
Dalam Al-Quran, persoalan ini tidak disinggung. Namun beberapa hadis
menyebutnya haram</b>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Muhammad bin 'Asyur, seorang ulama besar kontemporer serta Mufti Tunisia
yang telah diakui otoritasnya oleh dunia Islam, menulis dalam bukunya
Maqashid Asy-Syari'ah Al-Islamiyyah, bahwa <b>ucapan dan sikap
Rasulullah saw (yang ditulis dalam hadis) tidak selalu harus dipahami
sebagai ketetapan hukum. Ada dua belas macam tujuan ucapan dan sikap
beliau.</b> Ada larangan yang sifatnya wajib, ada yang tidak wajib, ada
yang hanya untuk seseorang. Pemahaman ini diperkuat oleh hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib yang menyatakan
bahwa, </bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Rasul saw melarang memakai aqsiyah, bercincin emas, membaca ayat
Al-Quran ketika sedang rukuk dan sujud dalam shalat. (Ali berkata), <b>"Aku
tidak berkata bahwa kamu sekalian dilarang." Maksudnya bahwa sebagian
larangan itu tidak ditujukan kepada seluruh umat, tetapi hanya kepada
Ali bin Abi Thalib.</b> Demikian Muhammad Thahir bin 'Asyur, dalam
Magashid Asy-Syariah Al-Islamiyyah' hlm. 36.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Salah satu dari kedua belas tujuan tersebut adalah al-hadyu wa al-irsyad
(tuntunan dan petunjuk). Ini berbeda dengan ketetapan hukum, karena
--tulisnya: <b>Boleh jadi Nabi saw memerintah atau melarang, tetapi
tujuannya bukan harus melaksanakan itu, melainkan tujuannya adalah
tuntunan ke jalan-jalan yang baik</b> (hlm. 32). Dalam rinciannya, ulama
besar itu menulis bahwa sebagian tuntunan tersebut berupa
nasihat-nasihat.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Sebelum mengakhiri uraian tentang fungsi pakaian sebagai perhiasan,
perlu digarisbawahi bahwa salah satu yang harus dihindari dalam berhias
adalah timbulnya rangsangan berahi dari yang melihatnya (kecuali suami
atau istri) dan atau sikap tidak sopan dari siapa pun. Hal-hal tersebut
dapat muncul dari cara berpakaian, berhias, berjalan, berucap, dan
sebagainya.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<div class="ayq">
Berhias tidak dilarang dalam ajaran Islam, karena ia
adalah naluri manusiawi. Yang dilarang adalah tabarruj al-jahiliyah,
satu istilah yang digunakan Al-Quran (QS Al-Ahzab [33]: 33) mencakup
segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan berahi kepada selain
suami istri. Namun memang relatif sulit membuat ukuran/batasan dari
"dapat menimbulkan rangsangan berahi" tersebut. Karena ukuran/batasan
tersebut untuk masing-masing orang memang berbeda, tergantung pola
berpikir orang tersebut, lingkungan dan latar belakangnya. Ada yang
hanya melihat telapak tangan saja sudah menimbulkan berahi, ada yang
melihat seseorang berjalan dengan tegap justru menimbulkan berahi, ada
yang melihat "aurat besar" (kelamin) tidak terpengaruh sama sekali, dsb.
Sehingga terpulang kepada masing-masing orang, kemampuannya
mengendalikan diri, serta ketakwaannya kepada Allah SWT.</div>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<a href="" id="6" name="6"></a>
<div class="ay2">
Fungsi Pakaian sebagai PERLINDUNGAN (TAKWA)</div>
Di atas telah dikemukakan bahwa salah satu fungsi pakaian adalah
"perlindungan". Bahwa pakaian tebal dapat melindungi seseorang dari
sengatan dingin, dan pakaian yang tipis dari sengatan panas, bukanlah
hal yang perlu dibuktikan. Yang demikian ini adalah perlindungan secara
fisik.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Di sisi lain, pakaian memberi pengaruh psikologis bagi pemakainya. Itu
sebabnya sekian banyak negara mengubah pakaian militernya, setelah
mengalami kekalahan militer. Bahkan Kemal Ataturk di Turki, melarang
pemakaian tarbusy (sejenis tutup kepala bagi pria), dan memerintahkan
untuk menggantinya dengan topi ala Barat, karena tarbusy dianggapnya
mempengaruhi sikap bangsanya serta merupakan lambang keterbelakangan.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat merasakan pengaruh psikologis
dari pakaian jika kita ke pesta. Apabila mengenakan pakaian buruk, atau
tidak sesuai dengan situasi, maka pemakainya akan merasa rikuh, atau
bahkan kehilangan kepercayaan diri, sebaliknya pun demikian.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Kaum sufi, sengaja memakai shuf (kain wol) yang kasar agar dapat
menghasilkan pengaruh positif dalam jiwa mereka.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Memang, harus diakui bahwa pakaian tidak menciptakan santri, tetapi dia
dapat mendorong pemakainya untuk berperilaku seperti santri atau
sebaliknya berperilaku seperti setan, tergantung dari cara dan model
pakaiannya. Pakaian terhormat, mengundang seseorang untuk berperilaku
serta mendatangi tempat terhormat, sekaligus mencegahnya ke
tempat-tempat yang tidak senonoh. Namun <b>harus juga diakui, banyak
orang yang sesungguhnya berperilaku seperti setan, dan dia menutupinya
dengan pakaian agar nampak seolah-olah seperti santri.</b> Dan memang
semua bergantung dari niat dan ketakwaan masing-masing orang ketika
berpakaian.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<b>Bila seseorang berpakaian tertentu dengan niat takwa kepada Allah SWT
atau minimal dengan niat agar berpengaruh positif pada dirinya, maka
pakaian tersebut merupakan bagian dari ibadahnya untuk bertakwa kepada
Allah SWT, dan akan berpengaruh positif kepada perilakunya.</b></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""><b>
Demikian juga sebaliknya, bila seseorang berpakaian tertentu dengan niat
agar "nampak" terlihat seolah-olah santri, bukan dengan niat takwa
kepada Allah SWT, maka pakaian tersebut justru akan memberikan dampak
negatif terhadapnya, dan hatinya cenderung akan semakin tertutup karena
semakin terbiasa membohongi Allah SWT tanpa rasa takut.</b>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Fungsi perlindungan bagi pakaian dapat juga diangkat untuk pakaian
ruhani, libas at-tagwa. Benang atau serat-seratnya adalah tobat, sabar,
syukur, qana'ah, ridha, dan sebagainya.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<b>Iman itu telanjang, pakaiannya adalah takwa.</b> Demikian sabda Nabi
Muhammad saw.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<a href="" id="7" name="7"></a>
<div class="ay2">
SEPUTAR AYAT AL-NUR DAN AL-AHZAB</div>
Wanita-wanita Muslim, pada awal Islam di Madinah, memakai pakaian yang
sama bentuknya dengan pakaian-pakaian yang dipakai oleh wanita-wanita
disana pada umumnya. Mereka secara umum memakai pakaian yang dinamakan <b>jilbab
(baju kurung yang dilengkapi dengan kerudung penutup kepala)</b> tetapi
leher dan dada mereka mudah terlihat, bahkan kadang punggung mereka
juga terlihat, atau perut mereka terlihat. Keadaan semacam itu digunakan
oleh orang-orang munafik untuk menggoda dan mengganggu wanita-wanita
termasuk wanita Mukminah. Ini tentu disebabkan karena ketika itu
identitas mereka sebagai wanita Muslimah tidak terlihat dengan jelas.
Nah, dalam situasi yang demikian turunlah petunjuk Allah kepada Nabi
yang menyatakan:
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<div class="ayq">
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuan dan perempuan-perempuan mukmin agar mengulurkan atas diri
mereka jilbab-jilbab mereka. Yang demikian itu menjadikan mereka lebih
mudah untuk dikenal (sebagai wanita Muslimah) sehingga mereka tidak
diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Ahzab [33]:
59). </div>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Penjelasan serupa tentang pakaian ditemukan pada surat Al-Nur (24): 31,
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<div class="ayq">
Katakanlah, kepada wanita yang beriman, hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan menjaga kehormatan mereka, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang tampak darinya.
Hendaklah mereka mengulurkan/menutupkan kain kudung kedadanya dan
janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau
ayah mereka, atau mertua mereka, atau putra-putra mereka, atau
putra-putra suami mereka, atau saudara lelaki mereka, atau putra-putra
saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita,
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang
yang beriman, supaya kamu beruntung.</div>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Surat Al-Nur (24): 31 di atas, kalimat-kalimatnya cukup jelas. <b>Tetapi
yang paling banyak menyita perhatian ulama tafsir adalah larangan
menampakkan zinah (hiasan) yang dikecualikan oleh ayat di atas dengan
menggunakan redaksi illa ma zhahara minha [kecuali (tetapi) apa yang
tampak darinya]. </b>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Mereka sepakat menyatakan bahwa zinah berarti hiasan (bukan zina yang
artinya hubungan seks yang tidak sah); sedangkan hiasan adalah segala
sesuatu yang digunakan untuk memperelok, baik pakaian penutup badan,
emas dan semacamnya maupun bahan-bahan make up.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Tetapi apa yang dimaksud dengan pengecualian itu? Inilah yang mereka
bahas secara panjang lebar sekaligus merupakan salah satu kunci
pemahaman ayat tersebut.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Ada yang berpendapat bahwa kata illa adalah istisna' muttashil (satu
istilah -- dalam ilmu bahasa Arab yang berarti "yang dikecualikan
merupakan bagian/jenis dari apa yang disebut sebelumnya"), dan dalam
penggalan ayat ini adalah zinah atau hiasan.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Ini berarti ayat tersebut berpesan: "Hendaknya janganlah wanita-wanita
menampakkan hiasan (anggota tubuh) mereka kecuali apa yang tampak."
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Redaksi ini, jelas tidak lurus, <b>karena apa yang tampak tentu sudah
kelihatan. Jadi, apalagi gunanya dilarang? Karena itu, lahir paling
tidak tiga pendapat lain guna lurusnya pemahamam redaksi tersebut.</b>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<b>Pertama,</b> memahami illa dalam arti tetapi atau dalam istilah ilmu
bahasa Arab istisna' munqathi' dalam arti yang dikecualikan bukan
bagian/jenis yang disebut sebelumnya. Ini bermakna: "Janganlah mereka
menampakkan hiasan mereka sama sekali; tetapi apa yang tampak (secara
terpaksa/bukan sengaja seperti ditiup angin dan lain-lain), maka itu
dapat dimaafkan.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<b>Kedua,</b> menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat itu. Kalimat
dimaksud menjadikan penggalan ayat itu mengandung pesan lebih kurang:
"Janganlah mereka (wanita-wanita) menampakkan hiasan (badan mereka).
Mereka berdosa jika demikian. Tetapi jika tampak tanpa disengaja, maka
mereka tidak berdosa."
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Penggalan ayat --jika dipahami dengan kedua pendapat di atas-- tidak
menentukan batas bagi hiasan yang boleh ditampakkan, sehingga berarti
seluruh anggota badan tidak boleh tampak kecuali dalam keadaan terpaksa.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Tentu saja pemahaman ini, mereka kuatkan pula dengan sekian banyak
hadis, seperti sabda Nabi saw kepada Ali bin Abi Thalib yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi melalui Buraidah: Wahai Ali,
jangan ikutkan pandangan pertama dengan pandangan kedua. Yang pertama
Anda ditolerir, dan yang kedua anda berdosa.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Pemuda, Al-Fadhl bin Abbas, ketika haji Wada' menunggang unta bersama
Nabi saw, dan ketika itu ada seorang wanita cantik, yang ditatap
terus-menerus oleh Al-Fadhl. Maka Nabi saw memegang dagu Al-Fadhl dan
mengalihkan wajahnya agar ia tidak melihat wanita tersebut secara
terus-menerus. Demikian diriwayatkan oleh Bukhari dari saudara Al-Fadhl
sendiri, yaitu Ibnu Abbas.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Bahkan penganut pendapat ini merujuk kepada ayat Al-Quran,
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<div class="ayq">
Dan apabila kamu meminta sesuatu dan mereka, maka
mintalah dari belakang tabir (QS Al-Ahzab 133]: 53). </div>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Ayat ini walaupun berkaitan dengan permintaan sesuatu dari istri Nabi,
namun dijadikan oleh ulama penganut kedua pendapat di atas, sebagai
dalil pendapat mereka.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<b>Ketiga</b>, memahami "kecuali apa yang tampak" dalam arti yang yang
biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya sehingga harus tampak."
Kebutuhan disini dalam arti menimbulkan kesulitan bila bagian badan
tersebut ditutup. Mayoritas ulama memahami penggalan ayat tersebut dalam
arti ketiga ini. Cukup banyak hadis yang mendukung pendapat ini.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Pakar tafsir Al-Qurthubi, dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ulama besar
Said bin Jubair, Atha dan Al-Auzaiy berpendapat bahwa yang boleh
dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan dan busana yang
dipakainya. Sedang sahabat Nabi Ibnu Abbas, Qatadah, dan Miswar bin
Makhzamah, berpendapat bahwa yang boleh termasuk juga celak mata,
gelang, setengah dari tangan yang dalam kebiasaan wanita Arab
dihiasi/diwarnai dengan pacar (yaitu semacam zat klorofil yang terdapat
pada tumbuhan yang hijau), anting, cincin, dan semacamnya. Al-Qurthubi
juga mengemukakan hadis yang menguraikan kewajiban menutup setengah
tangan.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<b>Syaikh Muhammad Ali As-Sais, Guru Besar Universitas Al-Azhar Mesir,
mengemukakan dalam tafsirnya-yang menjadi buku wajib pada Fakultas
Syariah Al-Azhar bahwa Abu Hanifah berpendapat kedua kaki, juga bukan
aurat. Abu Hanifah mengajukan alasan bahwa ini lebih menyulitkan
dibanding dengan tangan, khususnya bagi wanita-wanita miskin di pedesaan
yang (ketika itu) seringkali berjalan (tanpa alas kaki) untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Pakar hukum Abu Yusuf bahkan berpendapat bahwa kedua
tangan wanita bukan aurat, karena dia menilai bahwa mewajibkan untuk
menutupnya menyulitkan wanita.</b>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<div class="ayq">
Dalam ajaran Al-Quran memang kesulitan merupakan faktor
yang menghasilkan kemudahan. Secara tegas Al-Quran menyatakan bahwa
Allah tidak berkehendak menjadikan bagi kamu sedikit kesulitan pun (QS
Al-Ma-idah [5]: 6) dan bahwa Allah menghendaki buat kamu kemudahan bukan
kesulitan (QS Al-Baqarah [2): 185). </div>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Pakar tafsir Ibnu Athiyah sebagaimana dikutip oleh Al-Qurthubi
berpendapat: "Menurut hemat saya, berdasarkan redaksi ayat, wanita
diperintahkan untuk tidak menampakkan dan berusaha menutup segala
sesuatu yang berupa hiasan. Pengecualian, menurut hemat saya,
berdasarkan keharusan gerak menyangkut (hal-hal) yang mesti, atau untuk
perbaikan sesuatu dan semacamnya."
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Kalau rumusan Ibnu Athiyah diterima, maka tentunya yang dikecualikan itu
dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan mendesak yang dialami
seseorang.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Dalam Al-Quran dari Terjemah-nya susunan Tim Departemen Agama,
pengecualian itu diterjemahkan sebagai kecuali yang (biasa) tampak
darinya.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<a href="" id="8" name="8"></a>
<div class="ay2">
PENDAPAT BEBERAPA ULAMA KONTEMPORER TENTANG JILBAB</div>
Di atas --semoga telah tergambar-- tafsir serta pandangan ulama-ulama
mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab dan batas aurat
wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh
sebagian ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang sebagian
ulama (termasuk Quraish Shihab) untuk mengemukakan pendapat yang berbeda
--dan yang boleh jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim
dewasa ini.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<b>Muhammad Thahir bin Asyur seorang ulama besar dari Tunis, yang diakui
juga otoritasnya dalam bidang ilmu agama, menulis dalam Maqashid
Al-Syari'ah sebagal berikut: "Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu
kaum tidak boleh (dalam kedudukannya sebagai adat) untuk dipaksakan
terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula
terhadap kaum itu.</b>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah
Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33):
59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan jilbabnya.
Tulisnya: "Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakan kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita Mukmin; hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. <b>Ini
adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga
bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh
bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.</b>"
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<b>Dalam kitab tafsirnya ia menulis bahwa: Cara memakai jilbab
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan wanita dan adat mereka.
Tetapi tujuan perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni "agar
mereka dapat dikenal (sebagai wanita Muslim yang baik) sehingga tidak
digangu" (Tafsir At-Tahrir, jilid XXII, hlm. lO). </b>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<b>Tetapi bagaimana dengan ayat-ayat ini, yang menggunakan redaksi
perintah?
</b></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""><b>
Jawabannya --yang sering terdengar dalam diskusi-- adalah: Bukankah
tidak semua perintah yang tercantum dalam Al-Quran merupakan perintah
wajib? Pernyataan itu, memang benar. Perintah menulis hutang-piutang (QS
Al-Baqarah [2]: 282) adalah salah satu contohnya. </b>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<b>Tetapi bagaimana dengan hadis-hadis yang demikian banyak? Jawabannya
pun sama. Bukankah seperti yang dikemukakan oleh Bin Asyur di atas bahwa
ada hadis-hadis Nabi yang merupakan perintah, tetapi perintah dalam
arti "sebaiknya" bukan seharusnya. </b>
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali
wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan
mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan
terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan
tangannya, bahwa mereka telah melanggar petunjuk agama. <b>Bukankah
Al-Quran tidak menyebut batas aurat?</b> Para ulama pun ketika
membahasnya berbeda pendapat.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Namun demikian, kehati-hatian amat dibutuhkan, karena pakaian lahir
dapat menyiksa pemakainya sendiri apabila ia tidak sesuai dengan bentuk
badan si pemakai. Demikian pun pakaian batin. Apabila tidak sesuai
dengan jati diri manusia, sebagai hamba Allah, yang paling mengetahui
ukuran dan patron terbaik buat manusia.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Sebagai akhir dari uraian tentang wawasan Islam menyangkut pakaian, ada
baiknya digarisbawahi dua hal.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Pertama: Al-Quran dan Sunnah secara pasti melarang segala aktivitas
--pasif atau aktif-- yang dilakukan seseorang bila diduga dapat
menimbulkan rangsangan berahi kepada lawan jenisnya. Di sini tidak ada
tawar-menawar.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Kedua, Tuntunan Al-Quran menyangkut berpakaian --sebagaimana terlihat
dalam surat Al-Ahzab dan Al-Nur-- yang dikutip di atas, ditutup dengan
ajakan bertobat (QS Al-Nur [24]: 31) dan pernyataan bahwa Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang pada surat Al-Ahzab (33): 59.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Ajakan bertobat agaknya merupakan isyarat bahwa pelanggaran kecil atau
besar terhadap tuntunan memelihara pandangan kepada lawan jenis, tidak
mudah dihindari oleh seseorang. Maka setiap orang dituntut untuk
berusaha sebaik-baiknya dan sesuai kemampuannya. Sedangkan
kekurangannya, hendaknya dia mohonkan ampun dari Allah, karena Dia Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang --semoga--
mengandung arti bahwa Allah mengampuni kesalahan mereka yang lalu dalam
hal berpakaian. Karena Dia Maha Penyayang dan mengampuni pula mereka
yang tidak sepenuhnya melaksanakan tuntunan-Nya dan tuntunan Nabi-Nya,
selama mereka sadar akan kesalahan dan kekurangannya serta berusaha
untuk menyesuaikan diri dengan petunjuk-petunjuk-Nya.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
Wa Allahu A'lam.
</bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang=""></bal-quran><br /><bal-quran agar="" allah="" berkunjung="" diciptakan="" indah="" ke="" ketika="" manusia.="" masjid,="" memakai="" memerintahkan="" mengecam="" mengharamkan="" mereka="" pakaian-pakaian="" perhiasan="" setelah="" telah="" untuk="" yang="">
<a href="" id="9" name="9"></a>
<div class="ay2">
Referensi</div>
<ul>
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Bei</li>
</ul>
</bal-quran></div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-13953350930403039652012-02-18T07:20:00.001-08:002012-02-18T07:20:02.321-08:00Makanan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Makanan</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Hukum (Ketetapan/Peraturan)</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<b></b>
Makanan atau tha'am dalam bahasa Al-Quran adalah segala sesuatu yang
dimakan atau dicicipi. Karena itu "minuman" pun termasuk dalam
pengertian tha'am. Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 249, menggunakan kata
syariba (minum) dan yath'am (makan) untuk objek berkaitan dengan air
minum.
<br /><br />
Kata tha'am dalam berbagai bentuknya terulang dalam Al-Quran sebanyak 48
kali yang antara lain berbicara tentang berbagai aspek berkaitan dengan
makanan. Belum lagi ayat-ayat lain yang menggunakan kosa kata
selainnya.
<br /><br />
Perhatian Al-Quran terhadap makanan sedemikian besar, sampai-sampai
menurut pakar tafsir Ibrahim bin Umar Al-Biqa'i, "Telah menjadi
kebiasaan Allah dalam Al-Quran bahwa Dia menyebut diri-Nya sebagai Yang
Maha Esa, serta membuktikan hal tersebut melalui uraian tentang
ciptaan-Nya, kemudian <b>memerintahkan untuk makan (atau menyebut
makanan)</b>."
<br /><br />
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa Al-Quran menjadikan kecukupan pangan
serta terciptanya stabilitas keamanan sebagai dua sebab utama kewajaran
beribadah kepada Allah. Begitu antara lain kandungan firman-Nya dalam
surat Quraisy (106): 3-4,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Hendaklah mereka menyembah Allah, yang memberi mereka
makan sehingga terhindar dari lapar dan memberi keamanan dari segala
macam ketakutan.</div>
<br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
PERINTAH MAKAN</div>
Perhatikan firman Allah SWT :
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki
yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada
Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (QS. Al-Baqarah [2] :
ayat 172)
<br /><br />
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan
Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya
saja menyembah. (QS. An-Nahl [16] : ayat 114)
<br /><br />
Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu "manna" dan
"salwa". Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan
kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah
yang menganiaya diri mereka sendiri. (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 57)
<br /><br />
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan;
karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS.
Al-Baqarah [2] : ayat 168) </div>
<br />
Makan merupakan suatu kewajiban serta perintah Allah SWT, dan tentunya
yang dimakan adalah makanan yang halal. Pada saat seseorang berpuasa,
kemudian waktu menunjukkan saat berbuka puasa, maka menyegerakan berbuka
puasa merupakan hal yang sangat dianjurkan dalam agama Islam, berkaitan
dengan perintah makan tersebut. Perintah makan merupakan bagian
sekaligus upaya menjalankan kewajiban manusia untuk menjaga kesehatan
dirinya.
<br /><br />
Bahasa Al-Quran menggunakan kata akala dalam berbagai bentuk untuk
menunjuk pada aktivitas "makan". Tetapi kata tersebut tidak digunakannya
semata-mata dalam arti "memasukkan sesuatu ke tenggorokan", tetapi ia
berarti juga segala aktivitas dan usaha. Firman Allah dalam surat
Al-An'am (61: 121)
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah
atasnya (ketika menyembelihnya)</div>
<br />
Penggalan ayat ini dipahami oleh Syeikh Abdul Halim Mahmud (mantan
Pemimpin Tertinggi Al-Azhar) sebagai larangan untuk melakukan aktivitas
apa pun yang tidak disertai nama Allah. Ini disebabkan karena kata
"makan" di sini dipahami dalam arti luas yakni "segala bentuk
aktivitas". Penggunaan kata tersebut untuk arti aktivitas, seakan-akan
menyatakan bahwa aktivitas membutuhkan kalori, dan kalori diperoleh
melalui makanan.
<br /><br />
Boleh jadi menarik juga untuk dikemukakan bahwa semua ayat yang
didahului oleh panggilan mesra Allah untuk ajakan makan, baik yang
ditujukan kepada seluruh manusia: Ya ayyuhan nas, kepada Rasul: Ya
ayyuhar Rasul, maupun kepada orang-orang mukmin: ya ayyuhal ladzina
amanu, <b>selalu dirangkaikan dengan kata halal atau dan thayyibah
(baik). Ini menunjukkan bahwa makanan yang terbaik adalah yang memenuhi
kedua sifat tersebut.</b> Selanjutnya ditemukan bahwa <b>dari sembilan
ayat yang memerintahkan orang-orang Mukmin untuk makan, lima di
antaranya dirangkaikan dengan kedua kata tersebut</b>. Dua dirangkaikan
dengan pesan mengingat Allah dan membagikan makanan kepada orang melarat
dan butuh, sekali dalam konteks memakan sembelihan yang disebut nama
Allah ketika menyembelihnya, dan sekali dalam konteks berbuka puasa.
<br /><br />
Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya (baik ketika berbuka puasa maupun
selainnya) dapat mengantar sang Mukmin mengingat pesan-pesan-Nya.
<br /><br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
APA YANG HALAL DIMAKAN</div>
Al-Quran menyatakan,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang
halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal
sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya
atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya
kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain)
dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu,
Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (QS.
Al-An'aam (Al-An'am) [6] : ayat 119)</div>
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dia (Allah) menciptakan untuk kamu apa yang ada di bumi
seluruhnya (QS Al-Baqarah [2]: 29). </div>
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan Dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu
segala yang ada di langit dan di bumi semua bersumber dari-Nya (QS
Al-Jatsiyah [45]: 13). </div>
<br />
Bertitik tolak dari ayat-ayat tersebut dan beberapa ayat lain, para
ulama berkesimpulan bahwa pada prinsipnya segala sesuatu yang ada di
alam raya ini adalah halal untuk digunakan, sehingga makanan yang
terdapat didalamnya juga adalah halal. Karena itu Al-Quran bahkan
mengecam mereka yang mengharamkan rezeki halal yang disiapkan Allah
untuk manusia.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang
diturunkan Allah kepada kamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan
(sebagiannya) halal." Katakanlah, "Apakah Allah memberi izin kepada kamu
(untuk melakukan itu) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah?" (QS
Yunus [10]: 59). </div>
<br />
Pengecualian atau pengharaman harus bersumber dari Allah --baik melalui
Al-Quran maupun Rasul-- sedang pengecualian itu lahir dan disebabkan
oleh kondisi manusia, karena ada makanan yang dapat memberi dampak
negatif terhadap jiwa raganya. Atas dasar ini, turun perintah-Nya antara
lain dalam surat Al-Baqarah (2): 168,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Wahai seluruh manusia, makanlah yang halal lagi baik
dari apa saja yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang
nyata bagimu. </div>
<br />
Rincian pengecualian itu tidak jarang diperselisihkan oleh para ulama,
baik disebabkan oleh perbedaan penafsiran ayatayat, maupun penilaian
kesahihan dan makna hadis-hadis Nabi saw
<br /><br />
Makanan yang diuraikan oleh Al-Quran dapat dibagi antara lain seperti
berikut ini.
<br /><br />
<b>1. Makanan Nabati, tidak ditemukan satu ayat pun yang secara
eksplisit melarang makanan nabati tertentu. Surat 'Abasa yang
memerintahkan manusia untuk memperhatikan makanannya menyebutkan sekian
banyak jenis tumbuhan yang telah disiapkan Allah untuk kepentingan
manusia dan binatang.</b>
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya.
Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit),
kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami tumbuhkan
biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon
kunna, kebun-kebun (yang) lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan,
untuk kesenangan kamu dan untuk binatang ternakmu (QS 'Abasa [80]:
24-32). </div>
<br />
Kalaupun ada tumbuh-tumbuhan tertentu, yang kemudian terlarang, maka hal
tersebut termasuk dalam larangan umum memakan sesuatu yang buruk, atau
merusak kesehatan.
<br /><br />
<b>2. Makanan Hewani, Al-Quran membaginya dalam dua kelompok besar,
yaitu yang berasal dari laut dan darat.</b>
<br /><br />
Hewan laut yang hidup di air asin dan tawar dihalalkan Allah, Al-Quran
surat Al-Nahl (16): 14' menegaskan:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan Dia (Allah) yang menundukkan laut untuk kamu agar
kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan dan sebangsanya);</div>
<br />
Bahkan hewan laut/sungai yang mati dengan sendirinya (bangkai) tetap
dibolehkan berdasarkan surat Al-Ma-idah [5]: 96:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanan
yang berasal dari laut, sebagai makanan yang lezat bagi kamu dan
orang-orang yang dalam perjalanan.</div>
<br />
Buruan laut maksudnya adalah binatang yang diperoleh dengan jalan usaha
seperti mengail, memukat, dan sebagainya, baik dari laut, sungai, danau,
kolam, dan lain-lain. Sedang kata "makanan yang berasal dari laut"
adalah ikan dan semacamnya yang diperoleh dengan mudah karena telah mati
sehingga mengapung. Makna ini dipahami dan sejalan dengan penjelasan
Rasul saw yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi,
An-Nasa'i, dan lain-lain melalui sahabat Nabi Abu Hurairah yang
menyatakan tentang laut:
<br /><br />
<b>Laut adalah suci airnya dan halal bangkainya.</b>
<br /><br />
Ini menurut banyak ulama sejalan juga dengan firman Allah dalam surat
Al-Ma-idah (5): 96 tersebut di atas.
<br /><br />
Memang, ada ulama yang mengecualikan hewan yang dapat hidup di darat dan
di laut, namun pengecualian tersebut diperselisihkan para ulama,
apalagi ia bukan datang dari Al-Quran, tetapi riwayat yang dinisbahkan
kepada Nabi saw.
<br /><br />
Adapun hewan yang hidup di darat, maka Al-Quran menghalalkan secara
eksplisit al-an'am (unta, sapi, dan kambing), dan mengharamkan secara
tegas babi. Namun ini bukan berarti bahwa selainnya semua halal atau
haram.
<br /><br />
Seperti yang diisyaratkan di atas, tentang pengecualian dari makanan
yang dihalalkan, dalam soal ini ditemukan perbedaan pendapat ulama
tentang hewan-hewan darat yang dikecualikan itu.
<br /><br />
Imam Malik misalnya, sangat membatasi pengecualian tersebut, karena
berpegang kepada surat Al-An'am (6): 145,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir
atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan
terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
(QS. Al-An'aam (Al-An'am) [6] : ayat 145).</div>
<br />
Ayat ini dipahami oleh Imam Malik sebagai membatasi yang haram dalam
batas-batas yang disebut itu, apalagi masih ada ayat-ayat lain yang
turun sesudah ayat ini yang juga memberi pembatasan serupa seperti surat
Al-Baqarah (2): 173.
<br /><br />
Imam Syafi'i --misalnya-- berpegang kepada sekian banyak hadis Nabi yang
dinilainya tidak bertentangan dengan kandungan ayat tersebut. Karena
walaupun redaksi ayat tersebut dalam bentuk hashr (pembatasan atau
pengecualian), namun itu tidak dimaksud sebagai pengecualian hakiki.
<br /><br />
Di sisi lain, penjelasan tentang haramnya babi seperti dikutip di atas
adalah karena ia rijs (kotor).
<br /><br />
Walaupun ilmuwan belum sepenuhnya mengetahui sisi-sisi rijs (kekotoran)
baik lahiriah maupun batiniah yang diakibatkan oleh babi, namun dapat
diambil kesimpulan bahwa segala macam binatang yang memiliki sifat rijs
tentu saja diharamkan Allah. Di sinilah antara lain fungsi Rasul saw
sebagai penjelas kitab suci Al-Quran. Surat Al-A'raf (7): 157 melukiskan
Nabi Muhammad saw antara lain sebagai:
<br /><br />
<b>Menghalalkan untuk mereka (umatnya) yang baik-baik, dan mengharamkan
yang khabits (buruk).</b>
<br /><br />
Nah, atas dasar inilah dipertemukan hadis-hadis Nabi yang mengharamkan
makanan-makanan tertentu dengan ayat-ayat yang menggunakan redaksi
pembatasan di atas. Misalnya hadis yang mengharamkan semua binatang yang
bertaring (buas), burung yang memiliki cakar (buas), binatang yang
hidup di darat dan di air, dan sebagainya.
<br /><br />
Padahal telah jelas dalam ayat-ayat Al-Quran makanan yang diharamkan
seperti berikut ini.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan)
bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama
selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak
menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nahl [16] : ayat 115)
<br /><br />
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.
Al-Baqarah [2] : ayat 173)
<br /><br />
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih
untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,
(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Maaidah
(Al-Maidah) [5] : ayat 3)
<br /><br />
Janganlah kamu memakan apa-apa yang tidak disebut nama Allah atasnya,
karena yang demikian itu adalah kefasikan (QS Al-An'am [6]: 121). </div>
<br /><br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div>
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan
Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat
disertai Peta dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta,
2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
<li>M. Nashiruddin Al-Albani, <i>Ringkasan Shahih Bukhari</i>,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
</li>
<li>Al-Bayan, <i>Shahih Bukhari Muslim</i>, Jabal, Bandung, 2008.
</li>
<li>Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, <i>Kemudahan dari Allah, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir</i>, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani,
Jakarta, 1999.
</li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-55126273123111331132012-02-18T07:17:00.001-08:002012-02-18T07:17:52.697-08:00Pernikahan (Perkawinan)<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Pernikahan (Perkawinan)</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Hukum (Ketetapan/Peraturan)</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<b></b>
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata "nikah" sebagai <b>(1)
perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan
resmi); (2) perkawinan.</b> Al-Quran menggunakan kata ini untuk makna
tersebut, di samping secara <b>majazi</b> diartikannya dengan "hubungan
seks". <b>Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali
di Al-Quran.</b> Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam
arti "berhimpun".
<br /><br />
Al-Quran juga menggunakan kata <b>zawwaja dan kata zauwj yang berarti
"pasangan"</b> untuk makna di atas. Ini karena pernikahan menjadikan
seseorang memiliki pasangan. <b>Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan
maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali di Al-Quran.</b>
<br /><br />
Kata-kata ini, mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab
kabul (serah terima) pernikahan, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.
<br /><br />
Pernikahan, atau tepatnya "keberpasangan" merupakan ketetapan Ilahi atas
segala makhluk. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan oleh Al-Quran
antara lain dengan firman-Nya:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar
kamu menyadari (kebesaran Allah) (QS Al-Dzariyat [51]: 49). <br />
Mahasuci Allah yang telah menciptakan semua pasangan, baik dari apa yang
tumbuh di bumi, dan dari jenis mereka (manusia) maupun dari
(makhluk-makhluk) yang tidak mereka ketahui (QS Ya Sin [36]: 36). </div>
<br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
TUJUAN dan HIKMAH PERNIKAHAN</div>
Kompilasi Hukum Islam merumuskan bahwa tujuan perkawinan (pernikahan)
adalah <b>"untuk mewujudkan kehidupan rumahtangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah:, yaitu rumahtangga yang tenteram, penuh kasih
sayang, serta bahagia lahir dan batin.</b><br />
Rumusan ini sesuai dengan firman Allah SWT :
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Ruum (30) : ayat 21)</div>
<br /><br />
Tujuan perkawinan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat
biologis yang menghalalkan hubungan seksual antara kedua belah pihak,
tetapi lebih luas, meliputi segala aspek kehidupan rumah tangga, baik
lahiriah maupun batiniah.<br />
Sejalan dengan tujuannya, perkawinan memiliki sejumlah hikmah atau
keuntungan bagi orang yang melakukannya. Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam <i>(3, Ajaran, Perkawinan halaman 66),</i> serta menurut Sayid
Sabiq, ulama fikih kontemporer (I. Istanha, Mesir, 1915) dalam bukunya
Fiqh as-Sunnah, mengemukakan sebagai berikut :
<br /><br />
<b>1. Dapat menyalurkan naluri seksual dengan cara sah dan terpuji.</b><br />
Bagi manusia, naluri tersebut sangat kuat dan keras serta menuntut
adanya penyaluran yang baik. Jika tidak, dapat mengakibatkan kegoncangan
dalam kehidupannya. Dengan perkawinan, kehidupan manusia menjadi segar
dan tenteram serta terpelihara dari perbuatan keji dan rendah (QS.
Ar-Ruum (30) : ayat 21).
<br /><br />
<b>2. Memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat</b>,
sehingga dapat menjaga kelestarian hidup umat manusia.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An-Nisa' (4): ayat 1)</div>
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Allah menjadikan bagi kamu isteri dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri kamu itu, anak-anak dan
cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah
mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (QS.
An-Nahl (16): ayat 72)</div>
<div>
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<b>3. Naluri keibuan dan kebapakan akan saling melengkapi dalam
kehidupan rumahtangga bersama anak-anak.</b><br />
Hubungan itu akan menumbuhkan rasa kasih sayang, sikap jujur, dan
keterbukaan, serta saling menghargai satu sama lain sehingga akan
meningkatkan kualitas seorang manusia. (QS.30:21, 16:72).
<br /><br />
<b>4. Melahirkan organisasi (tim) dengan pembagian tugas/tanggungjawab
tertentu, serta melatih kemampuan bekerjasama.</b><br />
Tugas intern pengaturan rumahtangga termasuk memelihara dan mendidik
anak yang umumnya menjadi tugas utama isteri dan tentunya harus
bekerjasama dengan suami; mencari nafkah yang menjadi kewajiban suami
dapat dibantu oleh istrinya; pengelolaan keuangan yang sebaiknya menjadi
bagian dari isteri, namun dengan seijin suami dalam pembelanjaannya.
Ini semua meningkatkan sikap disiplin, rajin, kerja keras, syukur,
sabar, dan tawakal.
<br /><br />
<b>5. Terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturahmi antar keluarga</b>,
sehingga memupuk rasa sosial dan dapat membentuk masyarakat yang kuat
serta bahagia.
<br /><br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
BERPASANGAN ADALAH FITRAH</div>
<div style="text-align: justify;">
Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang
sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama mensyariatkan
dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, dan kemudian mengarahkan
pertemuan itu sehingga terlaksananya "perkawinan", dan <b>beralihlah
kerisauan pria dan wanita menjadi ketenteraman atau sakinah dalam
istilah Al-Quran surat Ar-Rum (30): 21. Sakinah terambil dari akar kata
sakana yang berarti diam/tenangnya sesuatu setelah bergejolak.</b>
Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin karena ia adalah alat yang
menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah
tadinya ia meronta. Sakinah (karena perkawinan) adalah ketenangan yang
dinamis dan aktif, tidak seperti kematian binatang.
<br /><br />
Guna tujuan tersebut Al-Quran antara lain menekankan perlunya kesiapan
fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Walaupun para wali
diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di bidang ekonomi sebagai
alasan menolak peminang: <b>"Kalau mereka (calon-calon menantu) miskin,
maka Allah akan menjadikan mereka mampu (berkecukupan) berkat
anugerah-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui."
(QS An-Nur [24]: 32).</b> Yang tidak memiliki kemampuan ekonomi
dianjurkan untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya <b>"Hendaklah
mereka yang belum mampu (kawin) menahan diri (menjaga kesucian dirinya),
hingga Allah menganugerahkan mereka kemampuan" (QS An-Nur [24]: 33) </b>
<br /><br />
Di sisi lain perlu juga dicatat, bahwa <b>walaupun Al-Quran menegaskan
bahwa berpasangan atau kawin merupakan ketetapan Allah bagi makhluk-Nya,
dan walaupun Rasul menegaskan bahwa "nikah adalah sunnahnya", tetapi
dalam saat yang sama Al-Quran dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan
yang harus diindahkan,</b> lebih-lebih karena masyarakat kadang
melakukan praktek-praktek yang berbahaya serta melanggar nilai-nilai
kemanusiaan.
<br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
SIAPA YANG TIDAK BOLEH DINIKAHI</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Al-Quran tidak menentukan secara rinci tentang siapa yang dikawini,
tetapi hal tersebut diserahkan kepada selera masing-masing.</b> Meskipun
demikian, Nabi Muhammad saw menyatakan : "Biasanya wanita dinikahi
karena hartanya, atau keturunannya, atau kecantikannya, atau karena
agamanya (akhlaknya). Maka <b>pilihlah yang baik agamanya (akhlaknya),
niscaya kamu beruntung.</b>" (Diriwayatkan melalui Abu Hurairah,
dikeluarkan oleh Al-Bukhari no.5090, dan Muslim no.1466 ).
<br /><br />
Di tempat lain, Al-Quran memberikan petunjuk, bahwa
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak pantas dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik (QS Al-Nur [24): 3). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Walhasil, seperti pesan surat Al-Nur (24): 26,
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang
keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji. Dan
Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki
yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Al-Quran merinci siapa saja yang tidak boleh dikawini seorang laki-laki.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Diharamkan kepada kamu mengawini ibu-ibu kamu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang
perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu
yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu
(mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan juga bagi kamu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Dan diharamkan juga mengawini wanita-wanita yang
bersuami (QS Al-Nisa' [4]: 23-24). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ada yang menegaskan bahwa perkawinan antara keluarga dekat, dapat
melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan rohani, ada juga yang
meninjau dari segi keharusan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak
menimbulkan perselisihan atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi
antar suami istri. Ada lagi yang memandang bahwa sebagian yang disebut
di atas, berkedudukan semacam anak, saudara, dan ibu kandung, yang
kesemuanya harus dilindungi dari rasa berahi. Ada lagi yang memahami
larangan perkawinan antara kerabat sebagai upaya Al-Quran memperluas
hubungan antarkeluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.
<br /><br />
<a href="" id="4" name="4"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA YANG BERBEDA</div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Quran dalam surat Al-Baqarah (2): 221, melarang perkawinan dengan
orang musyrik seperti Firman-Nya,
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik
sebelum mereka beriman. (QS.Al-Baqarah (2): 221)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan
perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki
musyrik.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman (QS Al-Baqarah [2]:
221). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<b>Namun ada ayat yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan wanita
Ahl Al-Kitab </b>(penganut agama Yahudi dan Kristen), yakni surat
Al-Maidah (51): ayat 5 yang menyatakan,
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan (dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini)
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang dianugerahi Kitab (suci) sebelum kamu.(QS Al-Ma-idah [5]: 5). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Beberapa ulama menganggap izin tersebut (pada QS. Al- Maidah (5) :5)
telah digugurkan oleh surat Al-Baqarah ayat 221 tersebut di atas. Namun,
<b>pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat Nabi dan ulama.
Mereka tetap berpegang kepada teks ayat yang membolehkan perkawinan
semacam itu, dan menyatakan bahwa walaupun aqidah Ketuhanan ajaran
Yahudi dan Kristen tidak sepenuhnya sama dengan aqidah Islam, tetapi
Al-Quran tidak menamai mereka yang menganut Kristen dan Yahudi sebagai
orang-orang musyrik.</b>
<br /><br />
Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agaknya
dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga.
Dengan anggapan bahwa <b>perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika
terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri,</b> karena
jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan
tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan
kegagalan perkawinan. Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara
pria Muslim dan perempuan Utul-Kitab (Ahl Al-Kitab), tetapi kebolehan
itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu,
tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah Nabi
Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat
akidahnya dari wanita (jika beragama Islam) dapat mentoleransi dan
mempersilakan Ahl Al-Kitab menganut dan melaksanakan syariat agamanya,
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-kafirun
[109]: 6). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Di sisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama yang membolehkan
perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, juga berbeda pendapat
tentang makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini, serta keberlakuan hukum
tersebut hingga kini. Walaupun Quraish Shihab cenderung berpendapat
bahwa ayat tersebut tetap berlaku hingga kini terhadap semua penganut
ajaran Yahudi dan Kristen, namun yang perlu diingat bahwa Ahl Al-Kitab
yang boleh dikawini itu, adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat
tersebut sebagai "wal muhshanat minal ladzina utul kitab". Kata
al-muhshnnat di sini berarti wanita-wanita yang selalu menjaga
kehormatannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan Kitab Suci.
Makna terakhir ini dipahami dari penggunaan kata utuw yang selalu
digunakan Al-Quran untuk menjelaskan pemberian yang agung lagi
terhormat. Itu sebabnya ayat tersebut tidak menggunakan istilah Ahl
Al-Kitab, sebagaimana dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang
penganut ajaran Yahudi dan Kristen.
<br /><br />
Pada akhirnya betapapun berbeda pendapat ulama tentang boleh tidaknya
perkawinan Muslim dengan wanita-wanita Ahl Al-Kitab, namun seperti tulis
Mahmud Syaltut dalam kumpulan fatwanya.
<br /><br />
Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan kaidah syar'iyah
yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan
terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap
keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami Muslim
(berdasarkan hak kepemimpinan yang disandangnya) untuk mendidik
anak-anak dan keluarganya dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan
mengawini non-Muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu membawa
misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya
rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang
baik yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal
keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah praktis, sehingga ia
mendapatkan dari dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan
beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak kurang sebaik
istri.
<br /><br />
Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan bahwa <b>kalau apa yang dilukiskan
di atas tidak terpenuhi (sebagaimana sering terjadi pada masa kini)
maka ulama sepakat untuk tidak membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh
mereka yang tadinya membolehkan.</b>
<br /><br />
Kalau seorang wanita Muslim dilarang kawin dengan non-Muslim karena di
Al-Quran juga tidak ada ayat yang mendukung diperbolehkannya hal
tersebut. Ini dikarenakan kekhawatiran terhadap wanita muslim tersebut
menjadi terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama
dengannya. Hal ini wajar akan terjadi, karena suami memiliki tanggung
jawab kepemimpinan terhadap istri.
<br /><br />
<a href="" id="5" name="5"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
POLIGAMI DAN MONOGAMI</div>
<div style="text-align: justify;">
Sebelum masa Rosulullah saw, poligami adalah hal yang wajar dilakukan di
Timur Tengah (Arab) dan beberapa negara di Afrika dan Asia, termasuk
Indonesia. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian
rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.<br />
Dalam lingkungan yang berpoligami, Rosulullah saw melakukan monogami
bersama istri tunggalnya Khadijah binti Khuwalid ra, dan itu berlangsung
selama 25 tahun, dari tahun 595 M sampai 620 M (sampai Khadijah binti
Khuwalid ra meninggal dunia). Saat menikah usia Rasulullah saw adalah 25
tahun sedangkan Khadijah binti Khuwalid ra berusia 40 th.
<br /><br />
Pada masa perang, saat itu dibutuhkan perlindungan terhadap yatim piatu
dan janda korban perang, sehingga turunlah surah An-Nisa' (4): ayat 3
menyatakan,
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja
... (surah An-Nisa' (4): ayat 3)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Selain turun ayat tersebut, juga turun surah An-Nisa' (4): ayat 129
menyatakan,
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, ....
(surah An-Nisa' (4): ayat 129)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ayat ini menegaskan bahwa sesungguhnya suami tidak akan dapat berlaku
adil bila melakukan poligami, dan itu penegasan dari Allah SWT sendiri
melalui ayat tersebut. Namun kenapa Allah SWT tetap membuka saluran
tersebut, <b>padahal jelas nantinya tidak dapat berlaku adil ?</b>
<br /><br />
<b>Disinilah keistimewaan Agama Islam sebagai agama yang universal,
karena selalu menyiapkan berbagai "saluran darurat".</b><br /><b>
Sehingga saluran poligami tetap dibuka sebagaimana surah An-Nisa ayat 3
tersebut, dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat
sosial, seperti perang, dengan syarat untuk memberi perlindungan
terhadap janda mati dan anak-anak yatim serta tidak menimbulkan
kerusakan dan kezaliman</b> (Tafsir al-Manar, 4/287).
<br /><br />
Pada tahun 620 M (tahun ke 10 kenabian Rosulullah saw) Khadijah binti
Khuwalid ra meninggal dunia, dimana 3 hari sebelumnya Abi Talib
(pengasuh Rasulullah saat kecil, yang juga ayah Ali bin Abi Thalib ra)
meninggal dunia. <b>Umat Islam menyebut tahun ke sepuluh kenabian
Muhammad saw itu sebagai tahun kesedihan (Am al-Khuzn). Pada tahun
tersebut Rasulullah juga mengalami peristiwa Isra Mikraj.</b> <br />
Dari perkawinan dengan Khadijah binti Khuwalid ra, Nabi saw dikaruniai
dua anak laki-laki (Qasim dan Abdullah, yang dijuluki at-Tayyib dan
at-Tahir) dan empat anak perempuan (Ruqayyah, Zainab, Ummu Kalsum, dan
yang bungsu Fatimah). Qasim meninggal sebelum mencapai umur 2 tahun,
sedangkan Abdullah meninggal dalam usia lebih muda lagi. Anak-anak Nabi
saw yang masih hidup perempuan semua.
<br /><br />
<b>Sepintas mengenai perkawinan anak-anak Nabi Muhammad saw diuraikan
berikut ini.</b><br /> Zainab menikah dengan Abul As bin Rabi' bin Abdul
Syams. Ruqayyah dan Ummu Kalsum masing-masing menikah dengan Utbah dan
Utaibah, keduanya anak-anak Abu Lahab. Sesudah kedatangan Islam, Abu
Lahab memerintahkan kedua anaknya untuk menceraikan kedua putri Muhammad
saw tersebut. Tentu saja Nabi saw cukup sedih dengan kejadian ini. Nabi
saw baru terhibur ketika Ruqayyah kemudian dikawini oleh Usman bin
Affan, meskipun Ummu Kalsum (adik Ruqayyah) harus menjanda sampai
berakhirnya Perang Badr. Setelah Ruqayyah wafat, kemudian Usman bin
Affan menikah dengan Ummu Kalsum. Adapun putri bungsu Rasulullah saw,
Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Talib.<br />
Anak-anak Nabi Muhammad saw sempat mengalami kedatangan Islam dan mereka
memeluk Agama Islam serta ikut hijrah ke Madinah. Kecuali Fatimah,
semua anak-anaknya meninggal semasa Muhammad saw masih hidup, Fatimah
sendiri meninggal 6 bulan setelah Nabi Muhammad saw wafat.
<br /><br />
Sejak Istri Rasulullah saw, Khadijah binti Khuwalid ra wafat, Khalwah
istri Usman bin Makhzum memperhatikan berbagai kebutuhan anggota
keluarga Nabi saw.<br />
<b>Tahun 623 M (setelah 3 tahun Rasulullah saw menduda), Khalwah
menganjurkan Nabi saw agar menikah lagi.</b> Saat itu Muhammad bertanya
siapa yang harus ia nikahi ?. Khalwah menyarankan Saudah binti Zam'ah,
janda Sakran Umar al-Amiri, seorang sahabat yang pernah membawanya ke
Habasyah. Suami-istri Sakran-Saudah termasuk kelompok pengungsi pertama
yang pulang kembali ke Mekah dari Habasya, dan Sakran meninggal tidak
lama setelah itu.<br />
<b>Karena suaminya (Sakran) meninggal, maka Saudah tidak punya pilihan
lain kecuali kembali ke keluarga setelah ditinggal mati suaminya.
Keluarga Saudah belum masuk Islam, sehingga apabila Saudah kembali
ke-keluarganya, maka ia akan disiksa seperti dialami orang-orang muslim
lain yang tidak memiliki perlindungan. Maka Nabi Muhammad saw menyetujui
usulan Khalwah untuk menikahi Saudah agar menjadi terlindungi sekaligus
terbebaskan dan tidak mengalami penderitaan.</b>
<br /><br />
Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya
transformasi sosial (lihat pada Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 108-179). <b>Poligami
yang dilakukan Nabi saw untuk melindungi sekaligus membebaskan
wanita-wanita tersebut.</b> Realitas bahwa perkawinan Nabi untuk
penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang
membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. <b>Hampir seluruh Istri Nabi
adalah janda yang ditinggal mati suaminya untuk dilindungi sekaligus
dibebaskan, kecuali Aisyah binti Abu Bakar ra.</b>
<br /><br />
Dengan menelusuri kitab Jami' al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis
ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), dapat ditemukan bahwa
poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat
itu.
<br /><br />
Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi
perkawinan yang wajar dan <b>hanya dibenarkan secara syar'i dalam
keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat untuk memberi
perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim serta tidak
menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).</b>
<br /><br />
Dalam sebuah ungkapan Nabi saw menyatakan: <b>"Barangsiapa yang
mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada
keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan
terputus" (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049).</b>
Teks-teks hadist terkait poligami sebenarnya mengarah kepada kritik,
pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. <b>Namun banyak ulama
"cerdik" yang menyelewengkannya dengan hanya mengambil
sepotong-sepotong teks untuk pembenaran perbuatannya</b> atau pembenaran
perbuatan beberapa orang tertentu yang berpengaruh baginya.
<br /><br />
Nabi Muhammad saw dengan sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi
Thalib ra, dan teks hadis ini jarang disampaikan sebagian ulama, padahal
teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim,
Turmudzi, dan Ibn Majah, berikut ini.
<br /><br />
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti
Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar
rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu
berseru: <b>"Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin
kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib.
Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan
mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib
menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah,
putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah
menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku
juga." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).</b>
<br /><br />
Terlepas dari hukum-hukum dalam Agama Islam, <b>kondisi jumlah laki-laki
dengan perempuan saat ini cukup mengkawatirkan. Karena sejak tahun
2001, jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan</b>, terutama
di Timur Tengah dan beberapa negara asia yang "dulunya" menganggap anak
laki-laki lebih berharga dibandingkan anak perempuan, serta yang
"dulunya" menganggap poligami adalah hal yang lumrah. Hal ini
menimbulkan pertanyaan, <b>apakah Allah SWT sedang menghukum
(menyadarkan) sebagian masyarakat di negara-negara tersebut ?</b> Maha
Suci, Maha Adil, Maha Benar, dan Maha Mengetahui Allah SWT.
<br /><br />
Untuk melihat data statistik jumlah penduduk (laki-laki dan perempuan)
masing-masing negara di Dunia, silakan klik di bawah ini : <br />
<a class="top6" href="http://statistik.ptkpt.net/_a.php?_a=penduduk&info1=6" target="_blank"><b><u>http://statistik.ptkpt.net
(Daftar/Data Perbandingan Jumlah Laki-laki : Perempuan masing-masing
negara di Seluruh Dunia)</u></b></a>
<br /><br />
<a href="" id="6" name="6"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
SYARAT SAH PERNIKAHAN</div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun
dan atau syarat, yang dipahami dari ayat-ayat Al-Quran maupun
hadis-hadis Nabi saw. <br />
<b>Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta
terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya
dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab lain;</b> bukan
di sini tempatnya untuk diuraikan.
<br /><br />
<b>Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan
dengan pria lain, atau tidak dalam keadaan 'iddah (masa menunggu) baik
karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula
termasuk mereka yang terlarang dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.</b>
<br /><br />
Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi <b>wali dari pihak
calon istri dinilai mutlak keberadaan dan izinnya</b> oleh banyak ulama
berdasar sabda Nabi saw : <b>"Tidak sah nikah kecuali dengan (izin)
wali"</b>.
<br /><br />
Al-Quran mengisyaratkan hal ini dengan firman-Nya yang ditujukan kepada
para wali:
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
... Janganlah kamu (hai para wali) menghalangi mereka
(wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan bakal suaminya,
jika terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf (QS
Al-Baqarah [2]: 232). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Menurut sementara ulama seperti Imam Syafi'i dan Imam Maliki,
"Seandainya mereka tidak mempunyai hak kewalian, maka larangan ayat di
atas tidak ada artinya,"
<br />
Ada juga ulama lain semacam Abu Hanifah, Zufar, Az-zuhri dan lain-lain
yang berpendapat bahwa apabila seorang wanita menikah tanpa wali maka
nikahnya sah, selama pasangan yang dikawininya sekufu' (setara)
dengannya. Mereka yang menganut paham ini berpegang pada isyarat
Al-Quran:
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang
suaminya meninggal), maka tiada dosa bagi kamu (hai para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut (QS
Al-Baqarah [2): 234). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ayat di atas, menurut penganut paham ini, mengisyaratkan hak wanita
bebas melakukan apa saja yang baik (bukan sekadar berhias, bepergian,
atau menerima pinangan) sebagaimana pendapat yang mengharuskan adanya
wali, tetapi termasuk juga menikahkan diri mereka tanpa wali. Di samping
itu, kata penganut paham ini, Al-Quran juga (dan bukan hanya sekali)
menisbahkan aktivitas menikah bagi para wanita, seperti misalnya
firman-Nya,
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sampai dia menikah dengan suami yang lain (QS
Al-Baqarah [2]: 230). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Perlu digarisbawahi bahwa ayat-ayat di atas yang dijadikan alasan oleh
mereka yang tidak mensyaratkan adanya wali, berbicara tentang para
janda, sehingga kalaupun pendapat mereka dapat diterima maka ketiadaan
wali itu terbatas kepada para janda, bukan gadis-gadis. <b>Pandangan ini
dapat merupakan jalan tengah antara kedua pendapat yang bertolak
belakang di atas.</b>
<br /><br />
Menurut Quraish Shihab adalah <b>amat bijaksana untuk tetap menghadirkan
wali, baik bagi gadis maupun janda. Hal tersebut merupakan sesuatu yang
amat penting karena "seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan",
maka ada sandaran yang dapat dijadikan rujukan.</b>
<br /><br />
<b>Hal kedua yang dituntut bagi terselenggaranya pernikahan yang sah
adalah saksi-saksi.</b> Quraish Shihab tidak menemukan hal ini
disinggung secara tegas oleh Al-Quran, tetapi sekian banyak hadis
menyinggungnya. Kalangan ulama pun berbeda pendapat menyangkut kedudukan
hukum para saksi. Imam Abu Hanifah, Syafi'i, dan Maliki mensyaratkan
adanya saksi-saksi pernikahan, hanya mereka berbeda pendapat apakah
kesaksian tersebut merupakan syarat kesempurnaan pernikahan yang
dituntut. Sebelum pasangan suami istri "bercampur" (berhubungan seks)
atau syarat sahnya pernikahan, yang dituntut kehadiran mereka saat akad
nikah dilaksanakan.
<br /><br />
<b>Betapapun perbedaan itu, namun para ulama sepakat melarang pernikahan
yang dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi untuk menyebarluaskan
berita pernikahan.</b> Bagaimana kalau saksi-saksi itu diminta untuk
merahasiakan pernikahan itu? Imam Syafi'i dan Abu Hanifah menilainya
sah-sah saja, sedang Imam Malik menilai bahwa syarat yang demikian
membatalkan pernikahan {fasakh). Perbedaan pendapat ini lahir dari
analisis mereka tentang fungsi para saksi, apakah fungsi mereka
keagamaan, atau semata-mata tujuannya untuk menutup kemungkinan adanya
perselisihan pendapat. Demikian penjelasan Ibnu Rusyd dalam bukunya
Bidayat Al-Mujtahid.
<br /><br />
Dalam konteks ini terlihat <b>betapa pentingnya pencatatan pernikahan
yang ditetapkan melalui undang-undang,</b> namun di sisi lain pernikahan
yang tidak tercatat selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh
agama. Bahkan seandainya kedua saksi itu diminta untuk merahasiakan
pernikahan yang disaksikannya itu, maka pernikahan tetap dinilai sah
dalam pandangan pakar hukum Islam Syafi'i dan Abu Hanifah.
<br /><br />
Namun demikian, menurut Quraish Shihab, dalam konteks keindonesiaan, <b>walaupun
pernikahan demikian dinilai sah menurut hukum agama, namun perkawinan
di bawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelaku-pelakunya, karena
melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR (Ulil Amri).
Al-Quran memerintahkan setiap Muslim untuk menaati Ulil Amri selama
tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam hal pencatatan
tersebut, sangat sejalan dengan semangat Al-Quran.</b>
<br /><br />
<b>Hal ketiga dalam konteks perkawinan adalah mahar.</b>
<br /><br />
Secara tegas Al-Quran memerintahkan kepada calon suami untuk membayar
mahar.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan (QS Al-Nisa' [4]:
4). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Suami berkewajiban menyerahkan mahar atau mas kawin kepada calon
istrinya. Mas kawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk
memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama mas kawin
itu bersifat lambang, maka sedikit pun jadilah. Bahkan: <b>Sebaik-baik
mas kawin adalah seringan-ringannya, begitu sabda Nabi saw.</b> Walaupun
Al-Quran tidak melarang untuk memberi sebanyak mungkin mas kawin (QS
Al-Nisa' [4]: 20). Ini karena pernikahan bukan akad jual beli, dan mahar
bukan harga seorang wanita. Menurut Al-Quran, suami tidak boleh
mengambil kembali mas kawin itu, kecuali bila istri merelakannya.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apakah kalian (hai para suami) akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang
nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu
(suami atau istri) telah melapangkan (rahasianya/bercampur) dengan
sebagian yang lain (istri atau suami) dan mereka (para istri) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang amat kokoh (QS Al-Nisa' [4]: 20-2l).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Agama menganjurkan agar mas kawin merupakan sesuatu yang bersifat
materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk
menangguhkan perkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Tetapi kalau oleh
satu dan lain hal, ia harus juga kawin, maka cincin besi pun jadilah.
<br /><br />
<b>Carilah walau cincin dari besi,</b> begitu sabda Nabi saw. <b>Kalau
ini pun tidak dimilikinya sedang perkawinan tidak dapat ditangguhkan
lagi, baru mas kawinnya boleh berupa mengajarkan beberapa ayat Al-puran.</b>
Rasulullah pernah bersabda : "Telah saya kawinkan engkau padanya dengan
apa yang engkau miliki dari Al-Quran". (Diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim melalui Sahal bin Sa'ad).
<br /><br />
Adapun ijab dan kabul pernikahan, maka ia pada hakikatnya adalah ikrar
dari calon istri, melalui walinya, dan dari calon suami untuk hidup
bersama seia sekata, guna mewujudkan keluarga sakinah, dengan
melaksanakan segala tuntunan dari kewajiban. <b>Ijab seakar dengan kata
wajib,</b> sehingga ijab dapat berarti atau paling tidak mewujudkan
suatu kewajiban, yakni <b>berusaha sekuat kemampuan untuk membangun satu
rumah tangga sakinah.</b> Penyerahan disambut dengan <b>qabul
(penerimaan) dari calon suami.</b>
<br /><br />
Untuk menguatkan ikrar, maka serah terima itu dalam pandangan Imam
Syafi'i tidak sah kecuali jika menggunakan apa yang diistilahkan oleh
Nabi saw dengan Kalimat Allah, yaitu dengan sabdanya: "Hubungan seks
kalian menjadi halal atas dasar kalimat Allah".
<br /><br />
<b>Kalimat Allah yang dimaksud adalah kedua lafaz (kata) nikah dan zawaj
(kawin) yang digunakan Al-Quran.</b> Imam Malik membolehkan juga kata
"memberi" sebagai terjemahan dari kata wahabat sebagaimana disinggung
pada pendahuluan. Ulama-ulama ini tidak menilai sah lafaz ijab dan kabul
yang mengandung "kepemilikan", "penganugerahan", dan sebagainya, karena
kata-kata tersebut tidak digunakan Al-Quran sekaligus tidak
mencerminkan hakikat hubungan suami istri yang dikehendaki oleh-Nya.
Hubungan suami istri bukanlah hubungan kepemilikan satu pihak atas pihak
lain, bukan juga penyerahan diri seseorang kepada suami, karena itu
sungguh tepat pandangan yang tidak menyetujui lafaz mahabat
(penganugerahan) digunakan dalam akad pernikahan. Hubungan tersebut
adalah hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zauwj yang berarti
pasangan. Suami adalah pasangan istri, demikian pula sebaliknya. Kata
ini memberi kesan bahwa suami sendiri belum lengkap, istri pun demikian.
Persis seperti rel kereta api, bila hanya satu rel saja kereta tak
dapat berjalan, atau katakanlah bagaikan sepasang anting di telinga,
bila hanya sebelah maka ia tidak berfungsi sebagai perhiasan.
<br /><br />
Mengawinkan pria dan wanita adalah menghimpunnya dalam satu wadah
perkawinan, sehingga wajar jika upaya tersebut dilukiskan oleh Al-Quran
dengan menggunakan kata "menikah" yang pengertian kebahasaannya seperti
dikemukakan pada pendahuluan adalah "menghimpun".
<br /><br />
Serah terima perkawinan dilakukan dengan kalimat Allah yang sifatnya
demikian, agar calon suami dan istri menyadari betapa suci peristiwa
yang sedang mereka alami. Dan dalam saat yang sama mereka berupaya untuk
menjadikan kehidupan rumah tangga mereka dinaungi oleh makna-makna
kalimat itu: kebenaran, keadilan, langgeng tidak berubah, luhur penuh
kebajikan, dan dikaruniai anak yang saleh, yang menjadi panutan, pandai
menahan diri, serta menjadi orang terkemuka di dunia dan di akhirat lagi
dekat kepada Allah.
<br /><br />
<a href="" id="7" name="7"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
TALI-TEMALI PEREKAT PERNIKAHAN</div>
<div style="text-align: justify;">
Cinta, mawaddah, rahmah dan amanah Allah, itulah tali temali rohani
perekat perkawinan, sehingga kalau cinta pupus dan mawaddah putus, masih
ada rahmat, dan kalau pun ini tidak tersisa, masih ada amanah, dan
selama pasangan itu beragama, amanahnya terpelihara.
<br /><br />
Mawaddah, tersusun dari huruf-huruf m-w-d-d-, yang maknanya berkisar
pada kelapangan dan kekosongan. Mawaddah adalah kelapangan dada dan
kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia adalah cinta plus. Bukankah
yang mencintai, sesekali hatinya kesal sehingga cintanya pudar bahkan
putus. Tetapi yang bersemai dalam hati mawaddah, tidak lagi akan
memutuskan hubungan, seperti yang bisa terjadi pada orang yang bercinta.
Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan
sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan
lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya). Begitu lebih
kurang komentar pakar Al-Quran Ibrahim Al-Biqa'i (1480 M) ketika
menafsirkan ayat yang berbicara tentang mawaddah.
<br /><br />
Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat
menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk
memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing
suami dan istri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi
mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang
mengganggu dan mengeruhkannya.
<br /><br />
Al-Quran menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan perkawinan karena
betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapapun
lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri
tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus
berusaha untuk saling melengkapi.
<br /><br />
Pernikahan adalah amanah, digarisbawahi oleh Rasul saw dalam sabdanya : <b>"Kalian
menerima istri berdasar amanah Allah".</b>
<br /><br />
Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan
rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang
diamanatkan itu, akan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya aman
di tangan yang diberi amanat itu.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Kesediaan seorang istri untuk hidup bersama dengan
seorang lelaki, meninggalkan orang-tua dan keluarga yang membesarkannya,
dan "mengganti" semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama
lelaki "asing" yang menjadi suaminya, serta bersedia membuka rahasianya
yang paling dalam. Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil,
kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiannnya bersama suami akan
lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya dengan ibu bapak, dan
pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan
saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan istri
kepada suaminya dan itulah yang dinamai Al-Quran <b>mitsaqan ghalizha
(perjanjian yang amat kokoh)</b> (QS Al-Nisa' [4): 21). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a href="" id="8" name="8"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
SUAMI ADALAH PEMIMPIN KELUARGA</div>
<div style="text-align: justify;">
Keluarga, atau katakanlah unit terkecil dari keluarga adalah suami dan
istri, atau ayah, ibu, dan anak, yang bernaung di bawah satu rumah
tangga. Unit ini memerlukan pimpinan, dan dalam pandangan Al-Quran yang
wajar memimpin adalah bapak.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Kaum lelaki (suami) adalah pemimpin bagi kaum perempuan
(istri) (QS Al-Nisa' [4]: 34). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ada dua alasan yang dikemukakan lanjutan ayat di atas berkaitan dengan
pemilihan ini, yaitu:
<br /><br />
<b>a. Karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain,
dan
</b><br /><b>
b. Karena mereka (para suami diwajibkan) untuk menafkahkan sebagian dari
harta mereka (untuk istri/keluarganya).</b>
<br /><br />
<b>Istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang makruf. Akan tetapi suami, mempunyai satu derajat kelebihan atas
istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS Al-Baqarah
[2]: 228). </b>
<br /><br />
Derajat itu adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk
meringankan sebagian kewajiban istri. Karena itu, tulis Syaikh
Al-Mufasirin (Guru besar para penafsir) Imam Ath-Thabari, "Walau ayat
ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah anjuran bagi
para suami untuk memperlakukan istrinya dengan sifat terpuji, agar
mereka dapat memperoleh derajat itu."
<br /><br />
Imam Al-Ghazali menulis, "Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan
perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak mengganggunya, tetapi
bersabar dalam kesalahannya, serta memperlakukannya dengan kelembutan
dan maaf, saat ia menumpahkan emosi dan kemarahannya."
<br /><br />
Keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak
memperhatikan hak pihak lain. Tentu saja hal tersebut banyak, antara
lain bahwa suami bagaikan presiden sedang istri bagaikan perdana
menteri, dan dalam kedudukannya seperti itu, suami berkewajiban untuk
memperhatikan hak dan kepentingan istrinya.<br />
Istri pun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi di sisi
lain perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang
terbaik ketika melakukan diskusi. Demikian lebih kurang tulis Al-Imam
Fakhruddin Ar-Razi.
<br />
Sekali lagi, kepemimpinan tersebut adalah keistimewaan tetapi sekaligus
tanggung jawab yang tidak kecil.
<br /><br />
Kalau titik temu dalam musyawarah tidak diperoleh, sehingga keretakan
hubungan dikhawatirkan terjadi, maka barulah keluar kamar menghubungi
orang-tua atau orang yang dituakan untuk meminta nasihatnya, atau bahkan
barulah diharapkan campur tangan orang bijak untuk menyelesaikannya.
Dalam konteks ini Al-Quran berpesan,
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka utuslah seorang hakam (juru damai) dari keluarga
laki-laki, dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika keduanya
(suami istri dan para hakam) ingin mengadakan perbaikan, niscapa Allah
memberi bimbingan kepada keduanya (suami istri). Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Nisa' [4]: 35). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a href="" id="9" name="9"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
WALIMAH (Pesta Pernikahan)</div>
<div style="text-align: justify;">
Walimah (walimatul-'ursy) adalah pesta pernikahan, yaitu upacara
perjamuan makan yang diadakan sewaktu atau sesudah pernikahan
dilangsungkan. Inti upacara tersebut <b>adalah untuk memberitahukan dan
merayakan pernikahan yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan
kebahagiaan keluarga.</b> Dalam walimah, diundang kerabat dekat dan
tetangga serta handai tolan.
<br /><br />
<b>Menurut jumhur ulama Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian ulama
Syafi'iyah, mengadakan walimah itu sunah mu'akkad (sangat dianjurkan)
hukumnya.</b> Ketika Rasulullah saw melihat upacara pernikahan, beliau
berkata, "Semoga Allah memberkatimu. Adakanlah walimah meskipun dengan
seekor kambing" (HR. Bukhari-Muslim). Hadist dari Buraidah, ia
mengatakan ketika Ali melamar Fatimah, Rosulullah saw bersabda,
"Sesungguhnya mesti, untuk perkawinan ada walimahnya". (HR. Ahmad).
<br /><br />
Mengenai hukum memenuhi undangan untuk menghadiri walimah (pesta
pernikahan), terdapat perbedaan diantara ulama. Menurut ulama Hanafiyah,
memenuhi undangan walimah hukumnya sunah. Sedangkan menurut jumhur
termasuk ulama Malikiyah, sebagian Mazhab Syafi'i dan Hanbali, hukumnya
wajib 'ain bila tidak ada halangan.
<br /><br /><br />
<a href="" id="10" name="10"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. A. Chaeruddin, SH., <i>Perkawinan, Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam</i>, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008,
Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof.
Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Faqihuddin Abdul Kodir, Pernikahan, STAIN Cirebon, Fakultas
Syariah Universitas Damaskus, Suriah, 2004.
</li>
<li>Departemen Agama RI, <i>Kompilasi Hukum Islam di Indonesia</i>,
Jakarta, 1991/1992.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), </li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-23114952133128663762012-02-18T07:15:00.001-08:002012-02-18T07:15:34.020-08:00Ilmu dan Teknologi<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Ilmu dan Teknologi</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Manusia dan Masyarakat</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<b></b>
Pandangan Al-Quran tentang ilmu dan teknologi dapat diketahui
prinsip-prinsipnya dari analisis wahyu pertama yang diterima oleh Nabi
Muhammad saw .
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
<b>Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena,
mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya </b>(QS Al-'Alaq [96]:
1-5).</div>
<br />
Iqra' terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun
lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena
Al-Quran menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut
bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra' berarti
bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah
alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis
maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu
yang dapat dijangkaunya.
<br /><br />
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini bukan sekadar
menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali
mengulang-ulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai
batas maksimal kemampuan. Tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa
mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik (demi Allah] akan menghasilkan
pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga.
Demikian pesan yang dikandung Iqra' wa rabbukal akram (Bacalah dan
Tuhanmu Yang Maha Pemurah).
<br /><br />
Selanjutnya, dari wahyu pertama Al-Quran diperoleh isyarat bahwa ada dua
cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena
yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia
(tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar
dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Cara kedua dengan mengajar
tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Walaupun berbeda, keduanya berasal
dari satu sumber, yaitu Allah SWT
<br /><br />
Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek
dituntut peranannya untuk memahami objek. Namun pengalaman ilmiah
menunjukkan bahwa objek terkadang memperkenalkan diri kepada subjek
tanpa usaha sang subjek. Misalnya komet Halley yang memasuki cakrawala
hanya sejenak setiap 76 tahun. Pada kasus ini, walaupun para astronom
menyiapkan diri dengan peralatan mutakhirnya untuk mengamati dan
mengenalnya, sesungguhnya yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu
dalam memperkenalkan diri.
<br /><br />
Wahyu, ilham, intuisi, firasat yang diperoleh manusia yang siap dan suci
jiwanya, atau apa yang diduga sebagai "kebetulan" yang dialami oleh
ilmuwan yang tekun, semuanya tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran
Allah yang dapat dianalogikan dengan kasus komet di atas. Itulah
pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan oleh wahyu pertama Al-Quran
tersebut.
<br /><br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
ILMU</div>
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran.
Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek
pengetahuan. 'Ilm dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala
yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Perhatikan
misalnya kata 'alam (bendera), 'ulmat (bibir sumbing), 'a'lam
(gunung-gunung), 'alamat (alamat), dan sebagainya. Ilmu adalah
pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Sekalipun demikian, kata ini
berbeda dengan 'arafa (mengetahui)' a'rif (yang mengetahui), dan
ma'rifah (pengetahuan).
<br /><br />
Allah SWT tidak dinamakan a'rif' tetapi 'alim, yang berkata kerja ya'lam
(Dia mengetahui), dan biasanya Al-Quran menggunakan kata itu --untuk
Allah-- dalam hal-hal yang diketahuinya, walaupun gaib, tersembunyi,
atau dirahasiakan. Perhatikan objek-objek pengetahuan berikut yang
dinisbahkan kepada Allah: ya'lamu ma yusirrun (Allah mengetahui apa yang
mereka rahasiakan), ya'lamu ma fi al-arham (Allah mengetahui sesuatu
yang berada di dalam rahim), ma tahmil kullu untsa (apa yang dikandung
oleh setiap betina/perempuan), ma fi anfusikum (yang di dalam dirimu),
ma fissamawat wa ma fil ardh (yang ada di langit dan di bumi), khainat
al-'ayun wa ma tukhfiy ash-shudur (kedipan mata dan yang disembunyikan
dalam dada). Demikian juga 'ilm yang disandarkan kepada manusia,
semuanya mengandung makna kejelasan.
<br /><br />
Dalam pandangan Al-Quran, ilmu adalah keistimewaan yang menjadikan
manusia unggul terhadap makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi
kekhalifahan. Ini tercermin dari kisah kejadian manusia pertama yang
dijelaskan Al-Quran pada surat Al-Baqarah (2) 31 dan 32:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan dia (Allah) mengajarkan kepada Adam, nama-nama
(benda-benda) semuanya. Kemudian Dia mengemukakannya kepada para
malaikat seraya berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda-benda
itu jika kamu memang orang-orang yang benar (menurut dugaanmu)." Mereka
(para malaikat) menjawab, "Mahasuci Engkau tiada pengetahuan kecuali
yang telah engkau ajarkan. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana." (QS. Al-Baqarah (2) 31 dan 32)</div>
<br />
Manusia, menurut Al-Quran, memiliki potensi untuk meraih ilmu dan
mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena itu, bertebaran ayat yang
memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal
tersebut. Berkali-kali pula Al-Quran menunjukkan betapa tinggi kedudukan
orang-orang yang berpengetahuan.
<br />
Menurut pandangan Al-Quran --seperti diisyaratkan oleh wahyu pertama--
ilmu terdiri dari dua macam.
<br /><br />
<b>Pertama, ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia, dinamai 'ilm
ladunni,</b> seperti diinformasikan antara lain oleh Al-Quran surat
Al-Kahfi (18): 65.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu dengan seorang
hamba dan hamba-hamba Kami, yang telah Kami anugerahkan kepadanya rahmat
dari sisi Kami dan telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dan sisi Kami.</div>
<br />
<b>Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, dinamai 'ilm kasbi.</b>
Ayat-ayat 'ilm kasbi jauh lebih banyak daripada yang berbicara tentang
'ilm laduni.
<br /><br />
Pembagian ini disebabkan karena dalam pandangan Al-Quran terdapat
hal-hal yang "ada" tetapi tidak dapat diketahui melalui upaya manusia
sendiri. Ada wujud yang tidak tampak, sebagaimana ditegaskan
berkali-kali oleh Al-Quran, antara lain dalam firman-Nya:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Aku bersumpah dengan yang kamu lihat dan yang kamu
tidak lihat (QS Al-Haqqah [69]: 38-39).</div>
<br />
Dengan demikian, objek ilmu meliputi materi dan non-materi. fenomena dan
non-fenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh
manusia pun tidak.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dia menciptakan apa yang tidak kamu ketahui (QS Al-Nahl
[16]: 8) .</div>
<br />
Dari sini jelas pula bahwa pengetahuan manusia amatlah terbatas, karena
itu wajar sekali Allah menegaskan.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS
Al-lsra'[17]: 85).</div>
<br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
OBJEK ILMU DAN CARA MEMPEROLEHNYA</div>
Berdasarkan pembagian ilmu yang disebutkan terdahulu, secara garis besar
objek ilmu dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu alam materi dan
alam non-materi. Sains mutakhir yang mengarahkan pandangan kepada alam
materi, menyebabkan manusia membatasi ilmunya pada bidang tersebut.
Bahkan sebagian mereka tidak mengakui adanya realitas yang tidak dapat
dibuktikan di alam materi. Karena itu. objek ilmu menurut mereka hanya
mencakup sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang secara
kualitatif dan penggandaan, variasi terbatas, dan pengalihan
antarbudaya.
<br /><br />
Objek ilmu menurut ilmuwan Muslim mencakup alam materi dan non-materi.
Karena itu, sebagai ilmuwan Muslim --khususnya kaum sufi melalui
ayat-ayat Al-Quran-- memperkenalkan ilmu yang mereka sebut al-hadharat
Al-Ilahiyah al-khams (lima kehadiran Ilahi) untuk menggambarkan hierarki
keseluruhan realitas wujud.
<br /><br />
<b>Kelima hal tersebut adalah: </b><br /><b>
(l) alam nasut (alam materi), </b><br /><b>
(2) alam malakut (alam kejiwaan), </b><br /><b>
(3) alam jabarut (alam ruh), </b><br /><b>
(4) alam lahut (sifat-sifat Ilahiyah), dan </b><br /><b>
(5) alam hahut (Wujud Zat Ilahi).</b>
<br /><br />
Tentu ada tata cara dan sarana yang harus digunakan untuk meraih
pengetahuan tentang kelima hal tersebut.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu pun. dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur (menggunakannya sesuai
petunjuk Ilahi untuk memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl [16]: 78).</div>
<br />
Ayat ini mengisyaratkan <b>penggunaan empat sarana yaitu, pendengaran,
mata (penglihatan) dan akal, serta hati.</b>
<br /><br />
Trial and error (coba-coba), pengamatan, percobaan, dan tes-tes
kemungkinan (probability) merupakan cara-cara yang digunakan ilmuwan
untuk meraih pengetahuan. Hal itu disinggung juga oleh Al-Quran, seperti
dalam ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berpikir tentang alam
raya, melakukan perjalanan, dan sebagainya, kendatipun hanya berkaitan
dengan upaya mengetahui alam materi.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan di bumi
... (QS Yunus [10]: 101).</div>
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta
diciptakan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung ditancapkan
dan bagaimana bumi dihamparkan? (QS Al-Ghasyiyah [88]: 17-20).</div>
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apakah mereka tidak memperhatikan bumi? Berapa banyak
Kami tumbuhkan di bumi itu aneka ragam tumbuhan yang baik? (QS
Al-Syu'ara' [26]: 7) Apakah mereka tidak melakukan perjalanan di bumi
... (QS 12: 109; 22: 46; 35: 44; dan lain-lain).</div>
<br />
Di samping mata, telinga, dan pikiran sebagai sarana meraih pengetahuan,
Al-Quran pun menggarisbawahi pentingnya peranan kesucian hati.
<br />
Wahyu dianugerahkan atas kehendak Allah dan berdasarkan
kebijaksanaan-Nya tanpa usaha dan campur tangan manusia. Sementara
firasat, intuisi, dan semacamnya, dapat diraih melalui penyucian hati.
Dari sini para ilmuwan Muslim menekankan pentingnya tazkiyah an-nafs
(penyucian jiwa) guna memperoleh hidayat (petunjuk/pengajaran Allah),
karena mereka sadar terhadap kebenaran firman Allah:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan
diri di muka bumi dari ayat-ayat Ku ... (QS Al-A'raf [7]: 146).</div>
<br />
Berkali-kali pula Al-Quran menegaskan bahwa inna Allah la yahdi,
sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada al-zhalimin
(orang-orang yang berlaku aniaya), al-kafirin (orang-orang yang kafir),
al-fasiqin (orang-orang yang fasik), man yudhil (orang yang disesatkan),
man huwa kadzibun kaffar (pembohong lagi amat inkar), musrifun kazzab
(pemboros lagi pembohong), dan lain-lain.
<br /><br />
Memang, mereka yang durhaka dapat saja memperoleh secercah ilmu Tuhan
yang bersifat kasbi, tetapi yang mereka peroleh itu terbatas pada
sebagian fenomena alam, bukan hakikat (nomena). Bukan pula yang
berkaitan dengan realitas di luar alam materi. Dalam konteks ini
Al-Quran menegaskan:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
... Tetapi banyak manusia yang tidak mengetahui. Mereka
hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia sedangkan
tentang akhirat mereka lalai (QS Al-Rum [30]: 6-7).</div>
<br />
Para ilmuwan Muslim juga menggarisbawahi pentingnya mengamalkan ilmu.
Dalam konteks ini, ditemukan ungkapan yang dinilai oleh sementara pakar
sebagai hadis Nabi saw: <b>"Barangsiapa mengamalkan yang diketahuinya
maka Allah menganugerahkan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya".</b>
<br /><br />
Sebagian ulama merujuk kepada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282 untuk
memperkuat kandungan hadis tersebut.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Bertakwalah kepada Allah, niscaya Dia mengajar kamu.
Dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah ayat 282)</div>
<br />
Atas dasar itu semua, Al-Quran memandang bahwa seseorang yang memiliki
ilmu harus memiliki sifat dan ciri tertentu pula, antara lain yang
paling menonjol adalah sifat khasyat (takut dan kagum kepada Allah)
sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya, .
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya adalah ulama (QS Fathir [35]: 28).</div>
<br />
Dalam konteks ayat ini, ulama adalah mereka yang memiliki pengetahuan
tentang fenomena alam.
<br />
Rasulullah saw menegaskan bahwa "Ilmu itu ada dua macam, ilmu di dalam
dada, itulah yang bermanfaat, dan ilmu sekadar di ujung lidah, maka itu
akan menjadi saksi yang memberatkan manusia".
<br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
MANFAAT ILMU</div>
Dari wahyu pertama, juga ditemukan petunjuk tentang pemanfaatan ilmu.
Melalui Iqra' bismi Rabbika, digariskan bahwa titik tolak atau motivasi
pencarian ilmu, demikian juga tujuan akhirnya, haruslah karena Allah.
<br />
Syaikh Abdul Halim Mahmud, mantan pemimpin tertinggi Al-Azhar, memahami
Bacalah demi Allah dengan arti untuk kemaslahatan makhluknya. Bukankah
Allah tidak membutuhkan sesuatu, dan justru makhluk yang membutuhkan
Allah SWT.
<br /><br />
Semboyan "ilmu untuk ilmu" tidak dikenal dan tidak dibenarkan oleh
Islam. Apa pun ilmunya, materi pembahasannya harus bismi Rabbik, atau
dengan kata lain harus bernilai Rabbani. Sehingga ilmu yang --dalam
kenyataannya dewasa ini mengikuti pendapat scbagian ahli-- "bebas
nilai", harus diberi nilai Rabbani oleh ilmuwan Muslim.
<br />
Kaum Muslim harus menghindari cara berpikir tentang bidang-bidang yang
tidak menghasilkan manfaat, apalagi tidak memberikan hasil kecuali
menghabiskan energi. Rasulullah saw sering berdoa, "Wahai Tuhan, Aku
berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat".
<br /><br />
Atas dasar ini pula berpikir atau menggunakan akal untuk mengungkap
rahasia alam metafisika, tidak boleh dilakukan. Artinya, hati mesti
dipergunakan untuk menjelajahi alam metafisika.
<br />
Menarik untuk dikemukakan bahwa ayat-ayat Al-Quran vang berbicara
tentang alam raya, menggunakan redaksi yang berlainan ketika menunjukkan
manfaat yang diperoleh dan alam raya, walaupun objek atau bagian alam
yang diuraikan sama.
<br /><br />
Perhatikan misalnya ketika Al-Quran menguraikan as-samawat wal-ardh.
Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 164, penjelasan ditutup dengan
menyatakan, la ayatin liqaum(in) ya'qilun (sungguh terdapat tanda-tanda
bagi orang yang berakal). Sedangkan dalam Al-Quran surat Ali-'Imran ayat
90, ketika menguraikan persoalan yang sama diakhiri dengan la ayatin
li-ulil albab (pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi <b>Ulil
Albab (orang-orang yang memiliki saripati segala sesuatu)</b>.
<br /><br />
Inilah antara lain fashilat {penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang
alam raya, yang darinya dapat ditarik kesan adanya beragam tingkat dan
manfaat yang seharusnya dapat diraih oleh mereka yang mempelajari
fenomena alam: yatafakkarun (yang berpikir) (QS 10: 24) ya'lamun (yang
mengetahui) (QS 10: 5), yatazakkarun (yang mengambil pelajaran) (QS 16:
13), ya'qilun (yang memahami) (QS 16: 12), yasma'un (yang mendengarkan)
(QS 30: 23), yuqinun (yang meyakini) (QS 45: 4), al-mu'minin
(orang-orang yang beriman) (QS 45: 3), al-'alimin (orang-orang yang
mengetahui) (QS 30: 22).
<br /><br />
<a href="" id="4" name="4"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
TEKNOLOGI</div>
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, <b>teknologi diartikan sebagai
"kemampuan teknik yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta dan
berdasarkan proses teknis." Teknologi adalah ilmu tentang cara
menerapkan sains untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan
kenyamanan manusia.</b>
<br /><br />
Menelusuri pandangan Al-Quran tentang teknologi, mengundang kita
menengok sekian banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang alam raya.
Menurut sebagian ulama, terdapat sekitar 750 ayat Al-Quran yang
berbicara tentang alam materi dan fenomenanya, dan yang memerintahkan
manusia untuk mengetahui dan memanfaatkan alam ini. Secara tegas dan
berulang-ulang Al-Quran menyatakan bahwa alam raya diciptakan dan
ditundukkan Allah untuk manusia.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan dia menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai anugerah) dari-Nya (QS
Al-Jatsiyah [45]: 13).</div>
<br />
Penundukan tersebut --secara potensial-- terlaksana melalui hukum-hukum
alam yang ditetapkan Allah dan kemampuan yang dianugerahkan-Nya kepada
manusia. Al-Quran menjelaskan sebagian dari ciri tersebut, antara lain:
<br /><br />
<b>(a) Segala sesuatu di alam raya ini memiliki ciri dan hukum-hukumnya.</b>
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran (QS Al-Ra'd
[13]: 8) .</div>
<br />
Matahari dan bulan yang beredar dan memancarkan sinar, hingga rumput
yang hijau subur atau layu dan kering, semuanya telah ditetapkan oleh
Allah sesuai ukuran dan hukum-hukumnya. Demikian antara lain dijelaskan
oleh Al-Quran surat Ya Sin ayat 38 dan Sabihisma ayat 2-3 .
<br /><br />
<b>(b) Semua yang berada di alam raya ini tunduk kepada-Nya:</b>
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Hanya kepada Allah-lah tunduk segala yang di langit dan
di bumi secara sukarela atau terpaksa (QS Al-Ra'd [13]: 15).</div>
<br />
<b>(c) Benda-benda alam --apalagi yang tidak bernyawa-- tidak diberi
kemampuan memilih, tetapi sepenuhnya tunduk kepada Allah melalui
hukum-hukum-Nya.</b>
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit
yang ketika itu masih merupakan asap, lalu Dia (Allah) berkata
kepada-Nya, "Datanglah (Tunduklah) kamu berdua (langit dan bumi) menurut
perintah-Ku suka atau tidak suka!" Mereka berdua berkata, "Kami datang
dengan suka hati" (QS Fushshilat (41) : ayat 11).</div>
<br />
Di sisi lain, manusia diberi kemampuan untuk mengetahui ciri dan
hukum-hukum yang berkaitan dengan alam raya, sebagaimana diinformasikan
oleh firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 31,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Allah mengajarkan Adam nama-nama semuanya. (QS.
Al-Baqarah ayat 31)</div>
<br />
Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri, dan hukum
sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya.
<br />
Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta
ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap perintah dan hukum-hukum
Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian mengenai
hukum-hukum alam. Karenanya, semua itu mengantarkan manusia berpotensi
untuk memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Tuhan. Keberhasilan
memanfatkan alam itu merupakan buah teknologi.
<br />
Al-Quran memuji sekelompok manusia yang dinamainya ulil albab. Ciri
mereka antara lain disebutkan dalam surat Ali-'Imran (3) 190-191:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil albab. Yaitu
mereka yang berzikir (mengingat) Allah sambil berdiri, atau duduk atau
berbaring, dan mereka yang berpikir tentang kejadian langit dan bumi.
(QS. Ali-'Imran (3) 190-191)</div>
<br />
Dalam ayat-ayat di atas tergambar dua ciri pokok ulil albab, yaitu
tafakkur dan dzikir. Kemudian keduanya menghasilkan natijah yang
diuraikan pada ayat 195:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonan mereka
dengan berfirman, "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal yang
beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan ...".</div>
<br />
Natijah bukanlah sekadar ide-ide yang tersusun dalam benak, melainkan
melampauinya sampai kepada pengamalan dan pemanfaatannya dalam kehidupan
sehari-hari.
<br />
Muhammad Quthb dalam bukunya Manhaj At-Tarbiyah Al-Islamiyah
mengomentari ayat Ali 'Imran tadi sebagai berikut:
<br />
Maksudnya adalah bahwa ayat-ayat tersebut merupakan metode yang sempurna
bagi penalaran dan pengamatan Islam terhadap alam. Ayat-ayat itu
mengarahkan akal manusia kepada fungsi pertama di antara sekian banyak
fungsinya, yakni mempelajari ayat-ayat Tuhan yang tersaji di alam raya
ini. Ayat-ayat tersebut bermula dengan tafakur dan berakhir dengan amal.
<br /><br />
Lebih jauh dapat ditambahkan bahwa "Khalq As-samawat wal Ardh" di
samping berarti membuka tabir sejarah penciptaan langit dan bumi, juga
bermakna "memikirkan tentang sistem tata kerja alam semesta". Karena
kata khalq selain berarti "penciptaan", juga berarti "pengaturan dan
pengukuran yang cermat". Pengetahuan tentang hal terakhir ini
mengantarkan ilmuwan kepada rahasia-rahasia alam, dan pada gilirannya
mengantarkan kepada penciptaan teknologi yang menghasilkan kemudahan dan
manfaat bagi umat manusia.
<br /><br />
Jadi, dapatkah dikatakan bahwa teknologi merupakan sesuatu yang
dianjurkan oleh Al-Quran.
<br />
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada dua catatan yang perlu
diperhatikan.
<br /><br />
<b>Pertama,</b> ketika Al-Quran berbicara tentang alam raya dan
fenomenanya, terlihat secara jelas bahwa pembicaraannya selalu dikaitkan
dengan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Perhatikan misalnya uraian
Al-Quran tentang kejadian alam:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan Apakah orang-orang ingkar tidak mengetahui bahwa
sesungguhnya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah satu yang padu,
kemudian Kami (Allah) pisahkan keduanya. Dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka apakah mereka tidak beriman? (QS
Al-Anbiya' [21]: 30). .</div>
<br />
Ayat ini dipahami oleh banyak ulama kontemporer sebagai isyarat tentang
teori Big Bang (Ledakan Besar), yang mengawali terciptanya langit dan
bumi. Para pakar boleh saja berbeda pendapat tentang makna ayat
tersebut, atau mengenai proses terjadinya pemisahan langit dan bumi.
Yang pasti, ketika Al-Quran berbicara tentang hal itu, dikaitkannya
dengan kekuasaan dan kebesaran Allah; serta keharusan beriman pada-Nya.
<br />
Pada saat mengisyaratkan pergeseran gunung-gunung dari posisinya,
sebagaimana kemudian dibuktikan para ilmuwan informasi itu dikaitkan
dengan Kemahahebatan Allah SWT:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Kamu lihat gunung-gunung, yang kamu sangka tetap di
tempatnya, padahal berjalan sebagaimana halnya awan. Begitulah perbuatan
Allah, yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Naml [27]: 88).</div>
<br />
Ini berarti bahwa sains dan hasil-hasilnya harus selalu mengingatkan
manusia terhadap Kehadiran dan Kemahakuasaan Allah SWT, selain juga
harus memberi manfaat bagi kemanusiaan, sesuai dengan prinsip bismi
Rabbik.
<br /><br />
<b>Kedua,</b> Al-Quran sejak dini memperkenalkan istilah sakhkhara yang
maknanya bermuara kepada "kemampuan meraih --dengan mudah dan sebanyak
yang dibutuhkan-- segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan dari alam raya
melalui keahlian di bidang teknik".
<br /><br />
Ketika Al-Quran memilih kata sakhhara yang arti harfiahnya menundukkan
atau merendahkan, maksudnya adalah agar alam raya dengan segala manfaat
yang dapat diraih darinya harus tunduk dan dianggap sebagai sesuatu yang
posisinya berada di bawah manusia. Bukankah manusia diciptakcan oleh
Allah sebagai khalifah? Tidaklah wajar seorang khalifah tunduk dan
merendahkan diri kepada sesuatu yang telah ditundukkan Allah kepadanya.
Jika khalifah tunduk atau ditundukkan oleh alam. maka ketundukan itu
tidak sejalan dengan maksud Allah SWT.
<br /><br />
Di atas telah dikemukakan bahwa penundukan Allah terhadap alam raya
bersama potensi yang dimiliki manusia --bila digunakan secara baik--
akan membuahkan teknologi.
<br />
Dari kedua catatan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
teknologi dan hasil-hasilnya di samping harus mengingatkan manusia
kepada Allah, juga harus mengingatkan bahwa manusia adalah khalifah yang
kepadanya tunduk segala yang berada di alam raya ini.
<br /><br />
Kalaulah alat atau mesin dijadikan sebagai gambaran konkret teknologi,
dapat dikatakan bahwa pada mulanya teknologi merupakan perpanjangan
organ manusia. Ketika manusia menciptakan pisau sebagai alat pemotong,
alat ini menjadi perpanjangan tangannya. Alat tersebut disesuaikan
dengan kebutuhan dan organ manusia. Alat itu sepenuhnya tunduk kepada si
Pemakai, melebihi tunduknya budak belian. Kemudian teknologi
berkembang, dengan memadukan sekian banyak alat sehingga menjadi mesin.
Kereta, mesin giling, dan sebagainya, semuanya berkembang, khususnya
ketika mesin tidak lagi menggunakan sumber energi manusia atau binatang,
melainkan air, uap, api, angin, dan sebagainya. Pesawat udara,
misalnya, adalah mesin. Kini, pesawat udara tidak lagi menjadi
Perpanjangan organ manusia, tetapi perluasan atau penciptaan organ dan
manusia. Bukankah manusia tidak memiliki sayap yang memungkinkannya
mampu terbang? Tetapi dengan pesawat, ia bagaikan memiliki sayap. Alat
atau mesin tidak lagi menjadi budak, tetapi telah menjadi kawan manusia.
<br /><br />
Dari hari ke hari tercipta mesin-mesin semakin canggih. Mesin-mesin
tersebut melalui daya akal manusia --digabung-gabungkan dengan yang
lainnya, sehingga semakin kompleks, serta tidak bisa lagi dikendalikan
oleh seorang. Tetapi akhirnya mesin dapat mengerjakan tugas yang dulu
mesti dilakukan oleh banyak orang. Pada tahap ini, mesin telah menjadi
semacam "seteru" manusia, atau lawan yang harus disiasati agar mau
mengikuti kehendak manusia.
<br /><br />
Dewasa ini telah lahir teknologi --khususnya di bidang rekayasa
genetika-- yang dikhawatirkan dapat menjadikan alat sebagai majikan.
Bahkan mampu menciptakan bakal-bakal "majikan" yang akan diperbudak dan
ditundukkan oleh alat. Jika begitu, ini jelas bertentangan dengan kedua
catatan yang disebutkan di terdahulu.
<br />
Berdasarkan petunjuk kitab sucinya, seorang Muslim dapat menerima
hasil-hasil teknologi yang sumbernya netral, dan tidak menyebabkan
maksiat, serta bermanfaat bagi manusia, baik mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan unsur "debu tanah" manusia maupun unsur "ruh Ilahi"
manusia.
<br /><br />
Seandainya penggunaan satu hasil teknologi telah melalaikan seseorang
dari zikir dan tafakur, serta mengantarkannya kepada keruntuhan
nilai-nilai kemanusiaan, maka ketika itu bukan hasil teknologinya yang
mesti ditolak, melainkan kita harus memperingatkan dan mengarahkan
manusia yang menggunakan teknologi itu. Jika hasil teknologi sejak
semula diduga dapat mengalihkan manusia darl jati diri dari tujuan
penciptaan, sejak dini pula kehadirannya ditolak oleh Islam. Karena itu,
menjadi suatu persoalan besar bagi martabat manusia mengenai cara
memadukan kemampuan mekanik demi penciptaan teknologi, dengan
pemeliharaan nilai-nilai fitrahnya. Bagaimana mengarahkan teknologi yang
dapat berjalan seiring dengan nilai-nilai Rabbani, atau dengan kata
lain bagaimana memadukan pikir dan zikir, ilmu dan iman?.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Al-Quran memerintahkan manusia untuk terus berupaya
meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Jangankan manusia biasa, Rasul Allah
Muhammad saw pun diperintahkan agar berusaha dan berdoa agar selalu
ditambah pengetahuannya Qul Rabbi zidni 'ilma (Berdoalah [hai Muhammad],
"Wahai Tuhanku, tambahlah untukmu ilmu") (QS Thaha [20]: 114), karena
fauqa kullu zi 'ilm (in) 'alim (Di atas setiap pemilik pengethuan, ada
yang amat mengetahui (QS Yusuf [12]: 72).</div>
<br />
Manusia memiliki naluri selalu haus akan pengetahuan. Rasulullah saw
bersabda: "Dua keinginan yang tidak pernah puas, keinginan menuntut ilmu
dan keinginan menuntut harta".
<br />
Hal ini dapat menjadi pemicu manusia untuk terus mengembangkan teknologi
dengan memanfaatkan anugerah Allah yang dilimpahkan kepadanya. Karena
itu, laju teknologi memang tidak dapat dibendung. Hanya saja manusia
dapat berusaha mengarahkan diri agar tidak memperturutkan nafsunya untuk
mengumpulkan harta dan ilmu/teknologi yang dapat membahayakan dinnya.
Agar ia tidak menjadi seperti kepompong yang membahayakan dirinya
sendiri karena kepandaiannya.
<br /><br />
Al-Quran menegaskan:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah
seperti (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan
suburnya --karena air itu-- tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang
dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah
sempurna keindahannya dan memakai (pula) perhiasannya dan
penghuni-penghuninya telah menduga bahwa mereka mampu menguasainya
(melakukan segala sesuatu), tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di
waktu malam atau siang, maka kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana
tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh
kemarin. Demikianlah kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami)
kepada orang-orang yang berpikir (QS Yunus [10]: 24). .</div>
<br /><br /><br />
<a href="" id="5" name="5"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div>
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
<li>M. Nashiruddin Al-Albani, <i>Ringkasan Shahih Bukhari</i>,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
</li>
<li>Al-Bayan, <i>Shahih Bukhari Muslim</i>, Jabal, Bandung, 2008.
</li>
<li>Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, <i>Kemudahan dari Allah, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir</i>, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani,
Jakarta, 1999.
</li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-86836989304999397162012-02-18T07:14:00.001-08:002012-02-18T07:14:25.389-08:00Waktu<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Waktu</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Manusia dan Masyarakat</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
APA YANG DIMAKSUD DENGAN WAKTU</div>
Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia paling tidak terdapat <b>empat arti
kata "waktu": </b><br /><b>
(1) seluruh rangkaian saat, yang telah berlalu, sekarang, dan yang akan
datang; </b><br /><b>
(2) saat tertentu untuk menyelesaikan sesuatu; </b><br /><b>
(3) kesempatan, tempo, atau peluang; </b><br /><b>
(4) ketika, atau saat terjadinya sesuatu. </b>
<br /><br />
Al-Quran menggunakan beberapa kata untuk menunjukkan makna-makna di
atas, seperti:
<br /><br />
<b>a. Ajal, untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti
berakhirnya usia manusia atau masyarakat.</b>
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Setiap umat mempunyai batas waktu berakhirnya usia (QS
Yunus [10]: 49) </div>
<div>
</div>
<div style="padding-left: 21px; text-align: justify;">
Demikian juga berakhirnya kontrak
perjanjian kerja antara Nabi Syuaib dan Nabi Musa, Al-Quran mengatakan: </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dia berkata, "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu.
Mana saja dan kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka
tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi
atas yang kita ucapkan" (QS Al-Qashash [28]: 28). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<b>b. Dahr digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui alam raya
dalam kehidupan dunia ini.
</b><br /><b>
<div style="padding-left: 21px;">
yaitu sejak diciptakan-Nya sampai
punahnya alam sementara ini.</div>
</b>
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Bukankah telah pernah datang (terjadi) kepada manusia
satu dahr (waktu) sedangkan ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang
dapat disebut (karena belum ada di alam ini?) (QS Al-insan [76]: 1). </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain saat kita
berada di dunia, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang
membinasakan (mematikan) kita kecuali dahr (perjalanan waktu yang
dilalui oleh alam)" (QS Al-Jatsiyah [45]: 24). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<b>c. Waqt digunakan dalam arti batas akhir kesempatan atau peluang
untuk menyelesaikan suatu peristiwa.</b>
</div>
<div style="padding-left: 21px; text-align: justify;">
Karena itu, sering kali Al-Quran
menggunakannya dalam konteks kadar tertentu dari satu masa.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban kepada
orang-orang Mukmin yang tertentu waktu-waktunya (QS Al-Nisa' [4]: 103) .
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<b>d. 'Ashr, kata ini biasa diartikan "waktu menjelang terbenammya
matahari".
</b></div>
<div style="padding-left: 21px; text-align: justify;">
<b>Tetapi juga dapat diartikan
sebagai "masa" secara mutlak.</b><br />
Makna terakhir ini diambil berdasarkan asumsi bahwa 'ashr merupakan hal
yang terpenting dalam kehidupan manusia. Kata 'ashr sendiri bermakna
"perasan", seakan-akan masa harus digunakan oleh manusia untuk memeras
pikiran dan keringatnya, dan hal ini hendaknya dilakukan kapan saja
sepanjang masa. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Dari kata-kata di atas, dapat ditarik beberapa kesan tentang pandangan
Al-Quran mengenai waktu (dalam pengertian-pengertian Bahasa Indonesia),
yaitu:
<br />
a. Kata ajal memberi kesan bahwa segala sesuatu ada batas waktu
berakhirnya, sehingga tidak ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah
SWT sendiri. <br />
b. Kata dahr memberi kesan bahwa segala sesuatu pernah tiada, dan bahwa
keberadaannya menjadikan ia terikat oleh waktu (dahr).<br />
c. Kata waqt digunakan dalam konteks yang berbeda-beda, dan diartikan
sebagai batas akhir suatu kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan.
<br />Arti ini tecermin dari waktu-waktu shalat yang memberi kesan tentang
keharusan adanya pembagian teknis mengenai masa yang dialami (seperti
detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya), dan
sekaligus keharusan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu-waktu
tersebut, dan bukannya membiarkannya berlalu hampa.<br />
d. Kata 'ashr memberi kesan bahwa saat-saat yang dialami oleh manusia
harus diisi dengan kerja memeras keringat dan pikiran.
<br /><br />
Demikianlah arti dan kesan-kesan yang diperoleh dari akar serta
penggunaan kata yang berarti "waktu" dalam berbagai makna.
<br /><br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
RELATIVITAS WAKTU</div>
<div style="text-align: justify;">
Manusia tidak dapat melepaskan diri dari waktu dan tempat. Mereka
mengenal masa lalu, kini, dan masa depan. Pengenalan manusia tentang
waktu berkaitan dengan pengalaman empiris dan lingkungan. Kesadaran kita
tentang waktu berhubungan dengan bulan dan matahari, baik dari segi
perjalanannya (malam saat terbenam dan siang saat terbitnya) maupun
kenyataan bahwa sehari sama dengan sekali terbit sampai terbenamnya
matahari, atau sejak tengah malam hingga tengah malam berikutnya.
<br /><br />
Perhitungan semacam ini telah menjadi kesepakatan bersama. Namun harus
digarisbawahi bahwa walaupun hal itu diperkenalkan dan diakui oleh
Al-Quran (seperti setahun sama dengan dua belas bulan pada surat
At-Taubah ayat 36), Al-Quran juga memperkenalkan adanya relativitas
waktu, baik yang berkaitan dengan dimensi ruang, keadaan, maupun pelaku.
<br /><br />
Waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu yang dialaminya
kelak di hari kemudian. Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat
berbeda dengan dimensi kehidupan duniawi.
<br />
Di dalam surat Al-Kahfi [18]: 19 dinyatakan:
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan berkata salah seorang dan mereka, "Berapa tahunkah
lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab, "Kami tinggal (di bumi)
sehari atau setengah hari ..." (QS. Al-Kahfi [18]: 19)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ashhabul-Kahfi yang ditidurkan Allah selama tiga ratus tahun lebih,
menduga bahwa mereka hanya berada di dalam gua selama sehari atau
kurang,
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Mereka berkata, "Kami berada (di sini) sehari atau
setengah hari." (QS Al-Kahf [18]: 19). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ini karena mereka ketika itu sedang ditidurkan oleh Allah, sehingga
walaupun mereka berada dalam ruang yang sama dan dalam rentang waktu
yang panjang, mereka hanya merasakan beberapa saat saja.
<br />
Allah SWT berada di luar batas-batas waktu. Karena itu, dalam Al-Quran
ditemukan kata kerja bentuk masa lampau (past tense/madhi) yang
digunakan-Nya untuk suatu peristiwa mengenai masa depan. Allah SWT
berfirman:
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Telah datang ketetapan Allah (hari kiamat), maka
janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya ... (QS Al-Nahl [16]:
1). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Bentuk kalimat semacam ini dapat membingungkan para pembaca mengenai
makna yang dikandungnya, karena bagi kita, kiamat belum datang. Tetapi
di sisi lain jika memang telah datang seperti bunyi ayat, mengapa pada
ayat tersebut dilarang meminta disegerakan kedatangannya? Kebingungan
itu insya Allah akan sirna, jika disadari bahwa Allah berada di luar
dimensi waktu. Sehingga bagi-Nya, masa lalu, kini, dan masa yang akan
datang sama saja. Dari sini dan dari sekian ayat yang lain sebagian
pakar tafsir menetapkan adanya relativitas waktu.
<br /><br />
Ketika Al-Quran berbicara tentang waktu yang ditempuh oleh malaikat
menuju hadirat-Nya, salah satu ayat Al-Quran menyatakan perbandingan
waktu dalam sehari kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun bagi
makhluk lain (manusia).
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
<b>Malaikat-malaikat dan Jibril naik (men~hadap) kepada
Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun </b>(QS
Al-Ma'arij [70]: 4). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Sedangkan dalam ayat lain disebutkan bahwa masa yang ditempuh oleh para
malaikat tertentu untuk naik ke sisi-Nya adalah seribu tahun menurut
perhitungan manusia:
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
<b>Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian
(urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu
tahun menurut perhitunganmu </b>(QS Al-Sajdah [32]: 5). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ini berarti bahwa perbedaan sistem gerak yang dilakukan oleh satu pelaku
mengakibatkan perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu
sasaran. Batu, suara, dan cahaya masing-masing membutuhkan waktu yang
berbeda untuk mencapai sasaran yang sama. Kenyataan ini pada akhirnya
mengantarkan kita kepada keyakinan bahwa ada sesuatu yang tidak
membutuhkan waktu demi mencapai hal yang dikehendakinya. Sesuatu itu
adalah Allah SWT
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan perintah Kami hanyalah satu (perkataan) seperti
kejapan mata (QS Al-Qamar [54] 50). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Kejapan mata dalam firman di atas tidak boleh dipahami dalam pengertian
dimensi manusia, karena Allah berada di luar dimensi tersebut, dan
karena Dia juga telah menegaskan bahwa:
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki
sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah!", maka terjadilah ia (QS
Ya Sin [36]: 82) </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ini pun bukan berarti bahwa untuk mewujudkan sesuatu, Allah membutuhkan
kata kun, sebagaimana tidak berarti bahwa ciptaan Allah terjadi seketika
tanpa suatu proses. Ayat-ayat di atas hanya ingin menyebutkan bahwa
Allah SWT berada di luar dimensi ruang dan waktu.
<br /><br />
Dari sini, kata hari, bulan, atau tahun tidak boleh dipahami secara
mutlak seperti pemahaman populer dewasa ini. <b>"Allah menciptakan alam
raya selama enam hari"</b>, tidak harus dipahami sebagai enam kali dua
puluh empat jam. Bahkan boleh jadi kata "tahun" dalam Al-Quran tidak
berarti 365 hari --walaupun kata yaum dalam Al-Quran yang berarti hari
hanya terulang 365 kali-- karena umat manusia berbeda dalam menetapkan
jumlah hari dalam setahun. Perbedaan ini bukan saja karena penggunaan
perhitungan perjalanan bulan atau matahari, tetapi karena umat manusia
mengenal pula perhitungan yang lain.
<br /><br />
Sebagian ulama menyatakan bahwa firman Allah yang menerangkan bahwa Nabi
Nuh a.s. hidup di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun (QS 29: 14),
tidak harus dipahami dalam konteks perhitungan Syamsiah atau Qamariah.
Karena umat manusia pernah mengenal perhitungan tahun berdasarkan musim
(panas, dingin, gugur, dan semi) sehingga setahun perhitungan kita yang
menggunakan ukuran perjalanan matahari, sama dengan empat tahun dalam
perhitungan musim. Kalau pendapat ini dapat diterima, maka keberadaan
Nabi Nuh a.s. di tengah-tengah kaumnya boleh jadi hanya sekitar 230
tahun.
<br />
Al-Quran mengisyaratkan perbedaan perhitungan Syamsiah dan Qamariah
melalui ayat yang membicarakan lamanya penghuni gua (Ashhabul-Kahfi)
tertidur.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya mereka telah tinggal di dalam gua selama
tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (QS Al-Kahf [18]: 25). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Tiga ratus tahun di tempat itu menurut perhitungan Syamsiah, sedangkan
penambahan sembilan tahun adalah berdasarkan perhitungan Qamariah.
Seperti diketahui, terdapat selisih sekitar sebelas hari setiap tahun
antara perhitungan Qamariah dan Syamsiah. Jadi selisih sembilan tahun
itu adalah sekitar 300 x 11 hari = 3.300 hari, atau sama dengan sembilan
tahun.
<br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
TUJUAN KEHADIRAN WAKTU</div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika beberapa orang sahabat Nabi saw mengamati keadaan bulan yang
sedikit demi sedikit berubah dari sabit ke purnama, kemudian kembali
menjadi sabit dan kemudian menghilang, mereka bertanya kepada Nabi,
"Mengapa demikian?" Al-Quran pun menjawab,
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Yang demikian itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan
untuk menetapkan waktu ibadah haji (QS Al-Baqarah [2]: 189). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ayat ini antara lain mengisyaratkan bahwa peredaran matahari dan bulan
yang menghasilkan pembagian rinci (seperti perjalanan dari bulan sabit
ke purnama), harus dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk menyelesaikan
suatu tugas (lihat kembali arti waqt [waktu] seperti dikemukakan di
atas. Salah satu tugas yang harus diselesaikan itu adalah ibadah, yang
dalam hal ini dicontohkan dengan ibadah haji, karena ibadah tersebut
mencerminkan seluruh rukun islam.
<br /><br />
Keadaan bulan seperti itu juga untuk menyadarkan bahwa keberadaan
manusia di pentas bumi ini, tidak ubahnya seperti bulan. Awalnya,
sebagaimana halnya bulan, pernah tidak tampak di pentas bumi, kemudian
ia lahir, kecil mungil bagai sabit, dan sedikit demi sedikit membesar
sampai dewasa, sempurna umur bagai purnama. Lalu kembali sedikit demi
sedikit menua, sampai akhirnya hilang dari pentas bumi ini.
<br />
Dalam ayat lain dijelaskan bahwa:
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dia (Allah) menjadikan malam dan siang silih berganti
untuk memberi waktu (kesempatan) kepada orang yang ingin mengingat
(mengambil pelajaran) atau orang yang ingin bersyukur (QS Al-Furqan
[25]: 62). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Mengingat berkaitan dengan masa lampau, dan ini menuntut introspeksi dan
kesadaran menyangkut semua hal yang telah terjadi, sehingga
mengantarkan manusia untuk melakukan perbaikan dan peningkatan.
Sedangkan bersyukur, dalam definisi agama, adalah "menggunakan segala
potensi yang dianugerahkan Allah sesuai dengan tujuan
penganugerahannya," dan ini menuntut upaya dan kerja keras.
<br /><br />
Banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang peristiwa-peristiwa masa
lampau, kemudian diakhiri dengan pernyataan. "Maka ambillah pelajaran
dan peristiwa itu." Demikian pula ayat-ayat yang menyuruh manusia
bekerja untuk menghadapi masa depan, atau berpikir, dan menilai hal yang
telah dipersiapkannya demi masa depan.
<br />
Salah satu ayat yang paling populer mengenai tema ini adalah:
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (QS Al-Hasyr [59]: 18). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Menarik untuk diamati bahwa ayat di atas dimulai dengan perintah
bertakwa dan diakhiri dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan
bahwa landasan berpikir serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari
esok haruslah ketakwaan, dan hasil akhir yang diperoleh pun adalah
ketakwaan.
<br /><br />
Hari esok yang dimaksud oleh ayat ini tidak hanya terbatas pengertiannya
pada hari esok di akhirat kelak, melainkan termasuk juga hari esok
menurut pengertian dimensi waktu yang kita alami. Kata ghad dalam ayat
di atas yang diterjemahkan dengan esok, ditemukan dalam Al-Quran
sebanyak lima kali; tiga di antaranya secara jelas digunakan dalam
konteks hari esok duniawi, dan dua sisanya dapat mencakup esok (masa
depan) baik yang dekat maupun yang jauh.
<br /><br />
<a href="" id="4" name="4"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
MENGISI WAKTU</div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Quran memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan waktu semaksimal
mungkin, bahkan dituntunnya umat manusia untuk mengisi seluruh 'ashr
(waktu)-nya dengan berbagai amal dengan mempergunakan semua daya yang
dimilikinya. Sebelum menguraikan lebih jauh tentang hal ini, perlu
digarisbawahi bahwa sementara kita ada yang memahami bahwa waktu
hendaknya diisi dengan beribadah (dalam pengertian sempit). Mereka
merujuk kepada firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang
menyatakan, dan memahaminya dalam arti
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar
mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat ayat 56)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Pemahaman dan penerjemahan ini menimbulkan kerancuan, karena memahami
lam (li) pada li ya'budun dalam arti "agar". Dalam bahasa Al-Quran, lam
tidak selalu berarti demikian, melainkan juga dapat berarti kesudahannya
atau akibatnya. Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Qashash ayat 8
yang menguraikan dipungutnya Nabi Musa a.s. oleh keluarga Fir'aun.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang
akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya
Fir'aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah
(QS Al-Qashash [28]: 8). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Kalau lam pada ayat di atas diterjemahkan "agar", maka ayat tersebut
akan berarti, "Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keiuarga Fir'aun 'agar'
ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka." Kalimat ini jelas tidak
logis, tetapi jika lam dipahami sebagai akibat atau kesudahan, maka
terjemahan di atas akan berbunyi, "Maka dipungutlah ia (Musa) oleh
keluarga Fir'aun, dan kesudahannya adalah ia menjadi musuh bagi mereka."
<br />
Kembali kepada ayat Adz-Dzariyat di atas, dapat ditegaskan bahwa
Al-Quran menuntut agar kesudahan semua pekerjaan hendaknya menjadi
ibadah kepada Allah, apa pun jenis dan bentuknya. Karena itu, Al-Quran
memerintahkan untuk melakukan aktivitas apa pun setelah menyelesaikan
ibadah ritual.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apabila telah melaksanakan shalat (Jumat),
bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan selalu
ingatlah Allah supaya kamu beruntung (QS Al-Jum'ah [62]: 10). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Dari sini ditemukan bahwa Al-Quran mengecam secara tegas orang-orang
yang mengisi waktunya dengan bermain tanpa tujuan tertentu seperti
kanak-kanak. Atau melengahkan sesuatu yang lebih penting seperti
sebagian remaja, sekadar mengisinya dengan bersolek seperti sementara
wanita, atau menumpuk harta benda dan memperbanyak anak dengan tujuan
berbangga-bangga seperti halnya dilakukan banyak orangtua.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Ketahuilah bahwa kehidupan dunia (bagi orang yang tidak
beriman) hanyalah permainan sesuatu yang melalaikan, perhiasan, dan
bermegah-megah antara kamu serta berbanggaan tentang banyaknya harta dan
anak (QS 57: 20 dan baca Tafsir ibnu Katsir serta Tafsir Al-Manar) . </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Kerja atau amal dalam bahasa Al-Quran, seringkali dikemukakan dalam
bentuk indefinitif (nakirah). Bentuk ini oleh pakar-pakar bahasa
dipahami sebagai memberi makna keumuman, sehingga amal yang dimaksudkan
mencakup segala macam dan jenis kerja. Perhatikan misalnya firman Allah
dalam surat Ali Imran ayat 195.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
<b>Aku (Allah) tidak mensia-siakan kerja salah seorang
di antara kamu baik lelaki maupun perempuan.</b> (QS. Ali Imran ayat
195)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Bahkan <b>Al-Quran tidak hanya memerintahkan asal bekerja saja, tetapi
bekerja dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati.</b> Al-Quran tidak memberi
peluang kepada seseorang untuk tidak melakukan suatu aktivitas kerja
sepanjang saat yang dialaminya dalam kehidupan dunia ini. Surat Al-'Ashr
dan dua ayat terakhir dari surat Alam Nasyrah menguraikan secara
gamblang mengenai tuntunan di atas.
<br /><br />
Dalam surat Alam Nasyrah, terlebih dahulu ditanaman optimisme kepada
setiap Muslim dengan berpesan,
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
<b>... karena. sesungguhnya sesudah kesulitan ada
kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan</b> (QS 94:
5-6).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Maksudnya, <b>sesungguhnya bersama satu kesulitan yang sama terdapat dua
kemudahan yang berbeda</b>. Maksud ini dipahami dari bentuk redaksi
ayat di atas. Terlihat bahwa kata al-ushr terulang dua kali dan keduanya
dalam bentuk definitif (ma'rufah) yakni menggunakan alif dan lam (al),
sedangkan kata yusra juga terulang dua kali tetapi dalam bentuk
indefinitif, karena tidak menggunakan alif dan lam. Dalam kaidah
kebahasaan dikemukakan bahwa apabila dalam suatu susunan terdapat dua
kata yang sama dan keduanya berbentuk definitif, maka keduanya bermakna
sama sedangkan bila keduanya berbentuk indefinitif, maka ia berbeda.
<br /><br />
Setelah berpesan demikian, kembali surat ini memberi petunjuk kepada
umat manusia agar bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu pekerjaan
walaupun baru saja menyelesaikan pekerjaan yang lain, dengan menjadikan
harapan senantiasa hanya tertuju kepada Allah SWT
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
<b>Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain </b>(QS 94: 7). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Kata faraghta terambil dan kata faragha yang ditemukan dalam Al-Quran
sebanyak enam kali dengan berbagai bentuk derivasinya. Dari segi bahasa,
kata tersebut berarti kosong setelah sebelumnya penuh, baik secara
material maupun imaterial. Seperti gelas yang tadinya dipenuhi, oleh
air, kemudian diminum atau tumpah sehingga gelas itu menjadi kosong.
Atau hati yang tadinya gundah dipenuhi oleh ketakutan dan kesedihan,
kemudian plong, semua digambarkan dengan akar kata ini. Perlu
digarisbawahi bahwa kata faragh tidak digunakan selain pada kokosongan
yang didahului oleh kepenuhan, maupun keluangan yang didahului oleh
kesibukan.
<br /><br />
Dari sini jelas bahwa kekosongan yang dimaksud harus didahului oleh
adanya sesuatu yang mengisi "wadah" kosong itu. Seseorang yang telah
memenuhi waktunya dengan pekerjaan, kemudian ia menyelesaikan pekerjaan
tersebut, maka jarak waktu antara selesai pekerjaan pertama dan
dimulainya pekerjaan selanjutnya dinamai faragh.
<br />
Jika Anda berada dalam keluangan (faragh) sedangkan sebelumnya Anda
telah memenuhi waktu dengan kerja keras, maka itulah yang dimaksud
dengan fan-shab. Kata fan-shab antara lain berarti berat, atau letih.
Kata ini pada mulanya berarti menegakkan sesuatu sampai nyata dan
mantap, seperti halnya gunung. Allah SWT berfirman,
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apakah mereka tidak melihat unta bagaimana diciptakan,
dan kepada langit bagaimana ditinggiikan, dan kepada gunung bagaimana
ditegakkan sehingga menjadi nyata (QS 88: 17-19). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Kalimat terakhir pada terjemahan di atas dijelaskan oleh Al-Quran dengan
kata yang berakar sama dengan fan-shab yaitu nushibat dalam kalimat Wa
ilal jibali kaifa nushibat. Dari kata ini juga dibentuk kata nashib atau
"nasib" yang biasa dipahami sebagai "bagian tertentu yang diperoleh
dari kehidupan yang telah ditegakkan sehingga menjadi nyata, jelas, dan
sulit dielakkan".
<br />
Kini --setelah arti kosakata diuraikan-- dapatlah kita melihat beberapa
kemungkinan terjemahan ayat 7 dan 8 dari surat Alam Nasyrah di atas.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apabila engkau telah berada dalam keluangan (setelah
tadinya engkau sibuk), maka (bersungguh-sungguhlah bekerja) sampai
engkau letih, atau tegakkanlah (suatu persoalan baru) sehingga menjadi
nyata. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ayat ini --seperti dikemukakan di atas-- tidak memberi peluang kepada
Anda untuk menganggur sepanjang masih ada masa, karena begitu Anda
selesai dalam satu kesibukan, Anda dituntut melakukan kesibukan lain
yang meletihkan atau menghasilkan karya nyata, guna mengukir nasib Anda.
<br />
Nabi saw menganjurkan umatnya agar meneladani Allah dalam sifat dan
sikap-Nya sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Dan salah satu
yang perlu dicontoh adalah sikap Allah yang dijelaskan dalam surat
Ar-Rahman ayat 29.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Setiap saat Dia (Allah) berada dalam kesibukan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a href="" id="5" name="5"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
AKIBAT MENYIA-NYIAKAN WAKTU</div>
<div style="text-align: justify;">
Jika Anda bertanya, "Apakah akibat yang akan terjadi kalau
menyia-nyiakan waktu?" Salah satu jawaban yang paling gamblang adalah
ayat pertama dan kedua surat Al-'Ashr.
<br /><br />
Allah SWT memulai surat ini dengan bersumpah Wal 'ashr (Demi masa),
untuk membantah anggapan sebagian orang yang mempersalahkan waktu dalam
kegagalan mereka. Tidak ada sesuatu yang dinamai masa sial atau masa
mujur, karena yang berpengaruh adalah kebaikan dan keburukan usaha
seseorang. Dan inilah yang berperan di dalam baik atau buruknya akhir
suatu pekerjaan, karena masa selalu bersifat netral. Demikian Muhammad
'Abduh menjelaskan sebab turunnya surat ini.
<br /><br />
Allah bersumpah dengan 'ashr, yang arti harfiahnya adalah "memeras
sesuatu sehingga ditemukan hal yang paling tersembunyi padanya," untuk
menyatakan bahwa, "Demi masa, saat manusia mencapai hasil setelah
memeras tenaganya, sesungguhnya ia merugi apa pun hasil yang dicapainya
itu, kecuali jika ia beriman dan beramal saleh" (dan seterusnya
sebagaimana diutarakan pada ayat-ayat selanjutnya).
<br /><br />
Kerugian tersebut baru disadari setelah berlalunya masa yang
berkepanjangan, yakni paling tidak akan disadari pada waktu 'ashr
kehidupan menjelang hayat terbenam. Bukankah 'ashr adalah waktu ketika
matahari akan terbenam? itu agaknya yang menjadi sebab sehingga Allah
mengaitkan kerugian manusia dengan kata 'ashr untuk menunjuk "waktu
secara umum", sekaligus untuk mengisyaratkan bahwa penyesalan dan
kerugian selalu datang kemudian.
<br /><br />
<b>Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam khusr (kerugian). </b>
<br />
Kata khusr mempunyai banyak arti, antara lain rugi, sesat, celaka,
lemah, dan sebagainya yang semuanya mengarah kepada makna-makna negatif
yang tidak disenangi oleh siapa pun. Kata khusr pada ayat di atas
berbentuk indefinitif (nakirah), karena ia menggunakan tanwin, sehingga
dibaca khusr(in), dan bunyi in itulah yang disebut tanwin. Bentuk
indefinitif, atau bunyi in yang ada pada kata tersebut berarti
"keragaman dan kebesaran", sehingga kata khusr harus dipahami sebagai
kerugian, kesesatan, atau kecelakaan besar.
<br /><br />
Kata fi biasanya diterjemahkan dengan di dalam bahasa indonesia. Jika
misalnya Anda berkata, "Baju di lemari atau uang di saku", tentunya yang
Anda maksudkan adalah bahwa baju berada di dalam lemari dan uang berada
di dalam saku. Yang tercerap dalam benak ketika itu adalah bahwa baju
telah diliputi lemari, sehingga keseluruhan bagian-bagiannya telah
berada di dalam lemari. Demikian juga uang ada di dalam saku sehingga
tidak sedikit pun yang berada di luar.
<br /><br />
Itulah juga yang dimaksud dengan ayat di atas, "manusia berada didalam
kerugian". Kerugian adalah wadah dan manusia berada di dalam wadah
tersebut. Keberadaannya dalam wadah itu mengandung arti bahwa manusia
berada dalam kerugian total, tidak ada satu sisi pun dari diri dan
usahanya yang luput dari kerugian, dan kerugian itu amat besar lagi
beraneka ragam. Mengapa demikian? Untuk menemukan jawabannya kita perlu
menoleh kembali kepada ayat pertama, "Demi masa", dan mencari kaitannya
dengan ayat kedua, "Sesungguhnya manusia berada didalam kerugian".
<br /><br />
Masa adalah modal utama manusia. Apabila tidak diisi dengan kegiatan,
waktu akan berlalu begitu saja. Ketika waktu berlalu begitu saja,
jangankan keuntungan diperoleh, modal pun telah hilang. Sayyidina Ali
bin Abi Thalib r.a. pernah bersabda : <b>"Rezeki yang tidak diperoleh
hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok,
tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok". </b>
<br /><br />
Jika demikian waktu harus dimanfaatkan. Apabila tidak diisi, yang
bersangkutan sendiri yang akan merugi. Bahkan jika diisi dengan hal-hal
yang negatif, manusia tetap diliputi oleh kerugian. Di sinilah terlihat
kaitan antara ayat pertama dan kedua. Dari sini pula ditemukan sekian
banyak hadis Nabi saw yang memperingatkan manusia agar mempergunakan
waktu dan mengaturnya sebaik mungkin, karena sebagaimana sabda Nabi saw:
<b>"Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak orang (adalah):
kesehatan dan kesempatan"</b> (Diriwayatkan oleh Bukhari melalu Ibnu
Abbas r.a.) .
<br /><br />
<a href="" id="6" name="6"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
BAGAIMANA CARA MENGISI WAKTU</div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak pelak lagi bahwa waktu harus diisi dengan berbagai aktivitas
positif. Dalam surat Al-'Ashr disebutkan <b>empat hal yang dapat
menyelamatkan manusia dari kerugian</b> dan kecelakaan besar dan
beraneka ragam. Yaitu,<br /><b>
(a) yang beriman, </b><br /><b>
(b) yang beramal saleh, </b><br /><b>
(c) yang saling berwasiat dengan kebenaran, dan </b><br /><b>
(d) yang saling berwasiat dengan kesabaran. </b>
<br /><br />
Sebenarnya keempat hal ini telah dicakup oleh kata "amal", namun dirinci
sedemikian rupa untuk memperjelas dan menekankan beberapa hal yang
boleh jadi sepintas lalu tidak terjangkau oleh kalimat beramal saleh
yang disebutkan pada butir (b) .
<br />
Iman --dari segi bahasa-- bisa diartikan dengan pembenaran. Ada sebagian
pakar yang mengartikan iman sebagai pembenaran hati terhadap hal yang
didengar oleh telinga. Pembenaran akal saja tidak cukup --kata mereka--
karena yang penting adalah pembenaran hati.
<br /><br />
Peringkat iman dan kekuatannya berbeda-beda antara seseorang dengan
lainnya, bahkan dapat berbeda antara satu saat dengan saat lainnya pada
diri seseorang. Al-iman yazidu wa yanqushu (Iman itu bertambah dan
berkurang), demikian bunyi rumusannya. Nah, upaya untuk mempertahankan
dan meningkatkan iman merupakan hal yang amat ditekankan. Iman inilah
yang amat berpengaruh pada hal diterima atau tidaknya suatu amal oleh
Allah SWT
<br />
Dalam surat Al-Furqan ayat 23 Allah menegaskan,
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Kami menuju kepada amal-amal (baik) mereka (orang-orang
tidak percaya), lalu kami menjadikan amal-amal itu (sia-sia bagai) debu
yang beterbangan. (QS. Al-Furqan ayat 23)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ini disebahkan amal atau pekerjaan tersebut tidak dilandasi oleh iman.
Demikianlah bunyi sebuah ayat yang merupakan "undang-undang Ilahi"
<br />
Di atas dikatakan bahwa tiga butir yang disebut dalam surat ini pada
hakikatnya merupakan bagian dari amal saleh. Namun demikian ketiganya
disebut secara eksplisit untuk menyampaikan suatu pesan tertentu. Pesan
tersebut antara lain adalah bahwa amal saleh yang tanpa iman tidak akan
diterima oleh Allah SWT
<br /><br />
Dapat juga dinyatakan ada dua macam ajaran agama, yaitu pengetahuan dan
pengamalan. Iman (akidah) merupakan sisi pengetahuan, sedangkan syariat
merupakan sisi pengamalan. Atas dasar inilah ulama memahami makna
alladzina amanu (orang yang beriman) dalam ayat ini sebagai "orang-orang
yang memiliki pengetahuan tentang kebenaran". Puncak kebenaran adalah
pengetahuan tentang Allah dan ajaran-ajaran agama yang bersumber
dari-Nya. Jika demikian, sifat pertama yang dapat menyelamathan
seseorang dari kerugian adalah iman atau pengetahuan tentang kebenaran.
Hanya saja harus diingat, bahwa dengan iman seseorang baru menyelamatkan
seperempat dirinya, padahal ada empat hal yang disebutkan surat
Al-'Ashr yang menghindarkan manusia dari kerugian total.
<br /><br />
<a href="" id="7" name="7"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
MACAM-MACAM KERJA DAN SYARAT-SYARATNYA</div>
<div style="text-align: justify;">
Hal kedua yang disebutkan dalam surat Al-'Ashr adalah 'amilush-shalihat
(yang melakukan amal-amal saleh). Kata 'amal (pekerjaan) digunakan oleh
Al-Quran untuk menggambarkan perbuatan yang disadari oleh manusia dan
jin.
<br /><br />
Kiranya menarik untuk mengemukakan pendapat beberapa pakar bahasa yang
menyatakan bahwa kata 'amal dalam Al-Quran tidak semuanya mengandung
arti berwujudnya suatu pekerjaan di alam nyata. Niat untuk melakukan
sesuatu yang baik --kata mereka-- juga dinamai 'amal. Rasul saw menilai
bahwa niat baik seseorang memperoleh ganjaran di sisi Allah, dan inilah
maksud surat Al-Zalzalah ayat 7:
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan barang siapa yang mengamalkan kebajikan walaupun
sebesar biji sawi niscaya ia akan mendapatkan (ganjaran)-nya. (QS.
Al-Zalzalah ayat 7)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<b>Amal manusia yang beraneka ragam itu bersumber dan empat daya yang
dimilikinya: </b>
<br />
<b>1. Daya tubuh,</b> yang memungkinkan manusia memiliki antara lain
kemampuan dan keterampilan teknis.<br />
<b>2. Daya akal,</b> yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan
mengembangkan ilmu dan teknologi, serta memahami dan memanfaatkan
sunnatullah.<br />
<b>3. Daya kalbu,</b> yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan
moral, estetika, etika, serta mampu berkhayal, beriman, dan merasakan
kebesaran ilahi.<br />
<b>4. Daya hidup,</b> yang memungkinkan manusia memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungan, mempertahankan hidup, dan
menghadapi tantangan.
<br /><br />
Keempat daya ini apabila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, akan
menjadikan amal tersebut sebagai "amal saleh".
<br />
Kata shalih terambil dari akar kata shaluha yang dalam kamus-kamus
bahasa Al-Quran dijelaskan maknanya sebagai antonim (lawan) kata fasid
(rusak). Dengan demikian kata "saleh" diartikan sebagai tiadanya atau
terhentinya kerusakan. Shalih juga diartikan sebagai bermanfaat dan
sesuai. Amal saleh adalah pekerjaan yang apabila dilakukan tidak
menyebabkan dan mengakibatkan madharrat (kerusakan), atau bila pekerjaan
tersebut dilakukan akan diperoleh manfaat dan kesesuaian.
<br /><br />
Secara keseluruhan kata shaluha dalam berbagai bentuknya terulang dalam
Al-Quran sebanyak 180 kali. Secara umum dapat dikatakan bahwa kata
tersebut ada yang dibentuk sehingga membutuhkan objek (transitif), dan
ada pula yang tidak membutuhkan objek (intransitif). Bentuk pertama
menyangkut aktivitas yang mengenai objek penderita. Bentuk ini memberi
kesan bahwa objek tersebut mengandung kerusakan dan ketidaksesuaian
sehingga pekerjaan yang dilakukan akan menjadikan objek tadi sesuai atau
tidak rusak. Sedangkan bentuk kedua menunjukkan terpenuhinya nilai
manfaat dan kesesuaian pekerjaan yang dilakukan. Usaha menghindarkan
ketidaksesuaian pada sesuatu maupun menyingkirkan madharrat yang ada
padanya dinamai ishlah; sedangkan usaha memelihara kesesuaian serta
manfaat yang terdapat pada sesuatu dinamai shalah.
<br /><br />
Apakah tolok ukur pemenuhan nilai-nilai atau keserasian dan
ketidakrusakan itu? Al-Quran tidak menjelaskan, dan para ulama pun
berbeda pendapat. Syaikh Muhammad 'Abduh, misalnya, mendefinisikan amal
saleh sebagai, "segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga,
kelompok, dan manusia secara keseluruhan."
<br /><br />
Apabila seseorang telah mampu melakukan amal saleh yang disertai iman,
ia telah memenuhi dua dari empat hal yang harus dipenuhinya untuk
membebaskan dirinya dari kerugian total. Namun sekali lagi harus
diingat, bahwa menghiasi diri dengan kedua hal di atas baru membebaskan
manusia dari setengah kerugian karena ia masih harus melaksanakan dua
hal lagi agar benar-benar selamat, beruntung, serta terjauh dari segala
kerugian.
<br /><br />
Yang ketiga dan keempat adalah Tawashauw bil haq wa tawashauw bish-shabr
(saling mewasiati tentang kebenaran dan kesabaran). Agaknya bukan di
sini tempatnya kedua hal di atas diuraikan secara rinci. Yang dapat
dikemukakan hanyalah bahwa al-haq diartikan sebagai kebenaran yang
diperoleh melalui pencarian ilmu dan ash-shabr adalah ketabahan
menghadapi segala sesuatu, serta kemampuan menahan rayuan nafsu demi
mencapai yang terbaik.
<br /><br />
Surat Al-'Ashr secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya
mengandalkan iman saja, melainkan juga amal salehnya. Bahkan amal saleh
dengan iman pun belum cukup, karena masih membutuhkan ilmu. Demikian
pula amal saleh dan ilmu saja masih belum memadai, kalau tidak ada iman.
Memang ada orang yang merasa cukup puas dengan ketiganya, tetapi ia
tidak sadar bahwa kepuasan dapat menjerumuskannya dan ada pula yang
merasa jenuh. Karena itu, ia perlu selalu menerima nasihat agar tabah
dan sabar, sambil terus bertahan bahkan meningkatkan iman, amal, dan
pengetahuannya.
<br /><br />
Demikian terlihat bahwa amal atau kerja dalam pandangan Al-Quran bukan
sekadar upaya memenuhi kebutuhan makan, minum, atau rekreasi, tetapi
kerja beraneka ragam sesuai dengan keragaman daya manusia. Dalam hal ini
Rasulullah saw mengingatkan:
<br />
Yang berakal selama akalnya belum terkalahkan oleh nafsunya,
berkewajiban mengatur waktu-waktunya. Ada waktu yang digunakan untuk
bermunajat (berdialog) dengan Tuhannya, ada juga untuk melakukan
introspeksi. Kemudian ada juga untuk memikirkan ciptaan Allah (belajar),
dan ada pula yang dikhususkan untuk diri (dan keluarganya) guna
memenuhi kebutuhan makan dan minum (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan
Al-Hakim melalui Abu Dzar Al-Ghifari).
<br /><br />
Demikian surat Al-'Ashr mengaitkan waktu dan kerja, serta sekaligus
memberi petunjuk bagaimana seharusnya mengisi waktu. Sungguh tepat imam
Syafi'i mengomentari surat ini: "Kalaulah manusia memikirkan kandungan
surat ini, sesungguhnya cukuplah surat ini (menjadi petunjuk bagi
kehidupan mereka).".
<br /><br /><br />
<a href="" id="8" name="8"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Ag</li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-49899314609656825972012-02-18T07:13:00.001-08:002012-02-18T07:13:26.537-08:00Umat<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;"><span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Umat</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Manusia dan Masyarakat</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
Umat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "umat" diartikan sebagai:
<br />
<br />
<b>(1) para penganut atau pengikut suatu agama;
</b><br />
<b>
(2) makhluk manusia</b>
<br />
<br />
Dalam beberapa ensiklopedi, kata tersebut diartikan dengan berbagai
arti. Ada yang memahaminya sebagai bangsa seperti keterangan Ensiklopedi
Filsafat yang ditulis oleh sejumlah Akademisi Rusia, dan diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab oleh Samir Karam, Beirut 1974 M; ada juga yang
mengartikannya negara seperti dalam Al-Mu'jam Al-Falsafi, yang disusun
oleh Majma' Al-Lughah Al-'Arabiyah (Pusat Bahasa Arab), Kairo 1979.
<br />
<br />
Pengertian-pengertian seperti yang telah diungkapkan di atas dapat
mengakibatkan kerancuan pemahaman terhadap konsep ummat yang ada dalam
Al-Quran. Bahkan, bisa jadi, akan menimbulkan kesalahpahaman di kalangan
umat Islam sendiri.
<br />
<br />
<b>Kata ummat terambil dari kata [tulisan arab] (amma-yaummu) Yang
berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Dari akar yang sama, lahir
antara lain kata um yang berarti "ibu" dan imam yang maknanya
"pemimpin"; karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan
harapan anggota masyarakat.</b>
<br />
Pakar-pakar bahasa berbeda pendapat tentang jumlah anggota satu umat.
<br />
<br />
Kalau kita merujuk kepada Al-Quran, agaknya penjelasan Ar-Raghib dapat
dipertanggungjawabkan.
<br />
<br />
Pakar bahasa Al-Quran itu (w. 508 H/1108 M) dalam bukunya Al-Mufradat fi
Gharib Al-Qur'an, menjelaskan bahwa kata ini didefinisikan sebagai
semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama, waktu, atau
tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas
kehendak mereka.
<br />
<br />
Secara tegas Al-Quran dan hadis tidak membatasi pengertian umat hanya
pada kelompok manusia.
<br />
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi, dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali umat-umat juga
seperti kamu (QS Al-An'am [6]: 38). </div>
<br />
Rasulullah saw bersabda:
<br />
<br />
Semut (juqa) merupakan umat dan umat-umat (Tuhan) (HR. Muslim).
<br />
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Ikatan persamaan apa pun yang menyatukan makhluk hidup
manusia --atau binatang-- seperti jenis, suku, bangsa, ideologi, atau
agama, dan sebagainya, maka ikatan itu telah menjadikan mereka satu
umat. Bahkan Nabi Ibrahim a.s. --sendirian-- yang menyatukan sekian
banyak sifat terpuji dalam dirinya, disebut oleh Al-Quran sebagai "umat"
(QS Al- Nahl [16]: 120), dari sini beliau kemudian menjadi imam, yakni
pemimpin yang diteladani. </div>
<br />
Kata ummat dalam bentuk tunggal terulang lima puluh dua kali dalam
Al-Quran. Ad-Damighani menyebutkan <b>sembilan arti untuk kata ummat,
yaitu, kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin,
generasi lalu, umat Islam, orang-orang kafir, dan manusia seluruhnya.</b>
<br />
<br />
Benang merah yang menggabungkan makna-makna di atas adalah "himpunan".
<br />
<br />
Sungguh indah, luwes, dan lentur kata ini, sehingga dapat mencakup aneka
makna, dan dengan demikian dapat menampung --dalam kebersamaannya--
aneka perbedaan.
<br />
<br />
Al-Quran memilih kata ini untuk menunjukkan antara lain "himpunan
pengikut Nabi Muhammad saw (umat Islam)", sebagai isyarat bahwa ummat
dapat menampung perbedaan kelompok-kelompok, betapapun kecil jumlah
mereka, selama masih pada arah yang sama, yaitu Allah SWT.
<br />
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid) adalah umat
(agama) yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku (QS
Al-Anbiya' [21]: 92). </div>
<br />
Dalam kata "umat" terselip makna-makna yang cukup dalam. <b>Umat
mengandung arti gerak dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya
dan cara hidup.</b> Untuk menuju pada satu arah, harus jelas jalannya,
serta harus bergerak maju dengan gaya dan cara tertentu, dan pada saat
yang sama membutuhkan waktu untuk mencapainya. <b>Al-Quran surat Yusuf
(12): 45 menggunakan kata umat untuk arti waktu. Sedangkan surat
Al-Zukhruf (43): 22 untuk arti jalan, atau gaya dan cara hidup.</b>
<br />
<br />
Ali Syariati dalam bukunya Al-Ummah wa Al-Imamah menyebutkan
keistimewaan kata ini dibandingkan kata semacam nation atau qabilah
(suku). Pakar ini mendefinisikan kata umat --dalam konteks sosiologis--
sebagai "himpunan manusiawi yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju
satu arah, bahu membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah
kepemimpinan bersama."
<br />
<br />
<b>Umat Islam disebut oleh Al-Quran surat Al-Baqarah {2): 143 sebagai
ummat(an) wasatha.</b>
<br />
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Demikianlah itu Kami menjadikan kamu ummatan wasatha
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.</div>
<br />
Mulanya, kata wasath berarti segala yang baik sesuai dengan obyeknya.
Sesuatu yang baik berada pada posisi di antara dua ekstrem. Keberanian
adalah pertengahan sifat ceroboh dan takut. Kedermawanan merupakan
pertengahan antara sikap boros dan kikir. Kesucian merupakan pertengahan
antara kedurhakaan karena dorongan nafsu yang menggebu dan impotensi.
Dari sini, kata wasath berkembang maknanya menjad tengah.
<br />
<br />
Yang menghadapi dua pihak berseteru dituntut untuk menjadi wasath
(wasit) dan berada pada posisi tengah agar berlaku adil. Dari sini,
lahirlah <b>makna ketiga wasath, yaitu adil.</b>
<br />
<br />
<b>Ummatan wasatha adalah umat moderat, yang posisinya berada di tengah,
agar dilihat oleh semua pihak, dan dari segenap penjuru.</b>
<br />
<br />
Mereka dijadikan demikian --menurut lanjutan ayat di atas-- agar mereka
menjadi syuhada (saksi), sekaligus menjadi teladan dan patron bagi yang
lain, dan pada saat yang sama mereka menjadikan Nabi Muhammad saw
sebagai patron teladan dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya.
<br />
<br />
<b>Keberadaan umat Islam dalam posisi tengah menyebabkan mereka tidak
seperti umat yang hanyut oleh materialisme, tidak pula mengantarnya
membumbung tinggi ke alam ruhani, sehingga tidak lagi berpijak di bumi.
Posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan aspek ruhani dan
jasmani, material, dan spiritual dalam segala sikap dan aktivitas.</b>
<br />
<br />
Wasathiyat (moderasi atau posisi tengah) mengundang umat Islam untuk
berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya,
dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi maupun berlaku
adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan
perkembangan global.
<br />
<br />
<br />
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2400904338373035983" id="3" name="3"></a>
<br />
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div>
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
<li>M. Nashiruddin Al-Albani, <i>Ringkasan Shahih Bukhari</i>,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
</li>
<li>Al-Bayan, <i>Shahih Bukhari Muslim</i>, Jabal, Bandung, 2008.
</li>
<li>Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, <i>Kemudahan dari Allah, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir</i>, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani,
Jakarta, 1999.
</li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-37975130330669198342012-02-18T07:12:00.001-08:002012-02-18T07:12:29.712-08:00Kebangsaan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;"><span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Kebangsaan</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Manusia dan Masyarakat</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b></b>
Kebangsaan terbentuk dari kata "bangsa" yang dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, diartikan sebagai "kesatuan orang-orang yang bersamaan asal
keturunan, adat, bahasa dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri."
Sedangkan kebangsaan diartikan sebagai "ciri-ciri yang menandai golongan
bangsa."
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Para pakar berbeda pendapat tentang unsur-unsur yang harus terpenuhi
untuk menamai suatu kelompok manusia sebagai bangsa. Demikian pula
mereka berbeda pendapat tentang ciri-ciri yang mutlak harus terpenuhi
guna terwujudnya sebuah bangsa atau kebangsaan. Hal ini merupakan
kesulitan tersendiri di dalam upaya memahami pandangan Al-Quran tentang
paham kebangsaan.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di sisi lain, paham kebangsaan --pada dasarnya-- belum dikenal pada masa
turunnya Al-Quran. Paham ini baru muncul dan berkembang di Eropa sejak
akhir abad ke-18, dan dari sana menyebar ke seluruh dunia Islam.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Memang, keterikatan kepada tanah tumpah darah, adat istiadat leluhur,
serta penguasa setempat telah menghiasi jiwa umat manusia sejak dahulu
kala, tetapi paham kebangsaan (nasionalisme) dengan pengertiannya yang
lumrah dewasa ini baru dikenal pada akhir abad ke-18.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yang pertama kali memperkenalkan paham kebangsaan kepada umat Islam
adalah Napoleon pada saat ekspedisinya ke Mesir. Lantas, seperti telah
diketahui, setelah Revolusi 1789, Perancis menjadi salah satu negara
besar yang berusaha melebarkan sayapnya. Mesir yang ketika itu dikuasai
oleh para Mamluk dan berada di bawah naungan kekhalifahan Utsmani,
merupakan salah satu wilayah yang diincarnya. Walaupun penguasa-penguasa
Mesir itu beragama Islam, tetapi mereka berasal dari keturunan
orang-orang Turki. Napoleon mempergunakan sisi ini untuk memisahkan
orang-orang Mesir dan menjauhkan mereka dari penguasa dengan menyatakan
bahwa orang-orang Mamluk adalah orang asing yang tinggal di Mesir. Dalam
maklumatnya, Napoleon memperkenalkan istilah Al-Ummat Al-Mishriyah,
sehingga ketika itu istilah baru ini mendampingi istilah yang selama ini
telah amat dikenal, yaitu Al-Ummah Al-Islamiyah
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Ummah Al-Mishriyah dipahami dalam arti bangsa Mesir. Pada
perkembangan selanjutnya lahirlah ummah lain, atau bangsa-bangsa lain.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2400904338373035983" id="1" name="1"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
WAWASAN KEBANGSAAN DALAM AL-QURAN</div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk memahami wawasan Al-Quran tentang paham kebangsaan, salah satu
pertanyaan yang dapat muncul adalah, "Kata apakah yang sebenarnya
dipergunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan konsep bangsa atau
kebangsaan? Apakah sya'b, qaum, atau ummah?"
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kata qaum dan qaumiyah sering dipahami dengan arti bangsa dan
kebangsaan. Kebangsaan Arab dinyatakan oleh orang-orang Arab dewasa ini
dengan istilah Al-Qaumiyah Al-'Arabiyah. Sebelumnya, Pusat Bahasa Arab
Mesir pada 1960, dalam buku Mu'jam Al-Wasith menerjemahkan "bangsa"
dengan kata ummah.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kata sya'b juga diterjemahkan sebagai "bangsa" seperti ditemukan dalam
terjemahan Al-Quran yang disusun oleh Departemen Agama RI, yaitu ketika
menafsirkan surat Al-Hujurat (49): 13.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Apakah untuk memahami wawasan Al-Quran tentang paham kebangsaan perlu
merujuk kepada ayat-ayat yang menggunakan kata-kata tersebut,
sebagaimana ditempuh oleh sebagian orang selama ini? Misalnya, dengan
menunjukkan Al-Quran surat Al-Hujurat (49): 13 yang bisa diterjemahkan:
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telahi
menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan Kami
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat (49): 13)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Apakah dari ayat ini, nampak bahwa Islam mendukung paham kebangsaan
karena Allah telah menciptakan manusia bersuku-suku dan
berbangsa-bangsa?
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mestikah untuk mendukung atau menolak paham kebangsaan, kata qaum yang
ditemukan dalam Al-Quran sebanyak 322 kali itu ditoleh? Dapatkah
dikatakan bahwa pengulangan yang sedemikian banyak, merupakan bukti
bahwa Al-Quran mendukung paham kebangsaan? Bukankah para Nabi menyeru
masyarakatnya dengan, "Ya Qaumi" (Wahai kaumku/bangsaku), walaupun
mereka tidak beriman kepada ajarannya? (Perhatikan misalnya Al-Quran
surat Hud (11): 63, 64, 78, 84, dan lain-lain!).
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di sisi lain, dapatkah dibenarkan pandangan sebagian orang yang
bermaksud mempertentangkan Islam dengan paham kebangsaan, dengan
menyatakan bahwa Allah SWT dalam Al-Quran memerintahkan Nabi saw untuk
menyeru masyarakat tidak dengan kata qaumi, tetapi, "Ya ayyuhan nas"
(wahai seluruh manusia), serta menyeru kepada masyarakat yang
mengikutinya dengan "Ya ayyuhal ladzina 'amanu?" Benarkah dalam Al-Quran
tidak ditemukan bahwa Nabi Muhammad saw menggunakan kata qaum untuk
menunjuk kepada masyarakatnya, seperti yang ditulis sebagian orang?
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Catatan : Pernyataan terakhir ini dapat dipastikan tidak benar, karena
dalam Al-Quran surat Al-Furqan (25): 30 secara tegas dinyatakan, bahwa
Rasulullah saw mengeluh kepada Allah, dengan mengatakan, "Sesungguhnya
kaumku menjadikan Al-Quran ini sesuatu yang tidak diacuhkan."
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab untuk menemukan wawasan Al-Quran
tentang paham kebangsaan, tidak cukup sekadar menoleh kepada kata-kata
tersebut yang digunakan oleh Al-Quran, karena pengertian semantiknya
dapat berbeda dengan pengertian yang dikandung oleh kata bangsa atau
kebangsaan. Kata sayyarah yang ditemukan dalam Al-Quran misalnya, masih
digunakan dewasa ini, meskipun maknanya sekarang telah berubah menjadi
mobil. Makna ini tentunya berbeda dengan maksud Al-Quran ketika
menceritakan ucapan saudara-saudara Nabi Yusuf a.s. yang membuangnya ke
dalam sumur dengan harapan dipungut oleh sayyarah yakni kafilah atau
rombongan musafir. (Baca QS Yusuf [12]: 10).
</div>
<div style="text-align: justify;">
Kata qaum misalnya, pada mulanya terambil dari kata qiyam yang berarti
"berdiri atau bangkit". Kata qaum agaknya dipergunakan untuk menunjukkan
sekumpulan manusia yang bangkit untuk berperang membela sesuatu. Karena
itu, kata ini pada awalnya hanya digunakan untuk lelaki, bukan
perempuan seperti dalam firman Allah:
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Janganlah satu qaum (kumpulan lelaki) mengejek qaum
(kumpulan lelaki) yang lain. Jangan pula (kumpulan perempuan) mengejek
(kumpulan) perempuan yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diejek)
lebih baik daripada mereka (yang mengejek) (QS Al-Hujurat [49]: 11). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kata sya'b, yang hanya sekali ditemukan dalam Al-Quran, itu pun
berbentuk plural, dan pada mulanya mempunyai dua makna, cabang dan
rumpun. Pakar bahasa Abu 'Ubaidah --seperti dikutip oleh At-Tabarsi
dalam tafsirnya-- memahami kata sya'b dengan arti kelompok non-Arab,
sama dengan qabilah untuk suku-suku Arab.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Betapapun, kedua kata yang disebutkan tadi, dan kata-kata lainnya, tidak
menunjukkan arti bangsa sebagaimana yang dimaksud pada istilah masa
kini.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hal yang dikemukakan ini, tidak lantas menjadikan surat Al-Hujurat yang
diajukan tertolak sebagai argumentasi pandangan kebangsaan yang direstui
Al-Quran. Hanya saja, cara pembuktiannya tidak sekadar menyatakan bahwa
kata sya'b sama dengan bangsa atau kebangsaan.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2400904338373035983" id="2" name="2"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
APAKAH YANG DIMAKSUD PAHAM KEBANGSAAN</div>
<div style="text-align: justify;">
Apakah yang dimaksud dengan paham kebangsaan? Sungguh banyak pendapat
yang berbeda satu dengan yang lain. Demikian pula dengan pertanyaan yang
muncul disertai jawaban yang beragam, misalnya:
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Apakah mutlak adanya kebangsaan, kesamaan asal keturunan, atau bahasa?
Apakah yang dimaksud dengan keturunan dan bahasa? Apakah kebangsaan
merupakan persamaan ras, emosi, sejarah, dan cita-cita meraih masa
depan? Unsur-unsur apakah yang mendukung terciptanya kebangsaan? Dan
masih ada sekian banyak pertanyaan lain. Sehingga mungkin benar pula
pendapat yang menyatakan bahwa paham kebangsaan adalah sesuatu yang
bersifat abstrak, tidak dapat disentuh; bagaikan listrik, hanya
diketahui gejala dan bukti keberadaannya, namun bukan unsur-unsurnya.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pertanyaan yang antara lain ingin dimunculkan adalah "Apakah unsur-unsur
tersebut dapat diterima, didukung, atau bahkan inklusif di dalam ajaran
Al-Quran? Dapatkah Al-Quran menerima wadah yang menghimpun keseluruhan
unsur tersebut tanpa mempertimbangkan kesatuan agama? Berikut ini akan
dijelaskan beberapa konsep yang mendasari paham kebangsaan.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2400904338373035983" id="3" name="3"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
1. Kesatuan/Persatuan</div>
<div style="text-align: justify;">
Tidak dapat disangkal bahwa Al-Quran memerintahkan persatuan dan
kesatuan. Sebagaimana secara jelas pula Al-Quran menyatakan bahwa
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
"Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu" (QS
Al-Anbiya' [2l]: 92, dan Al-Mu'minun [23]: 52). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pertanyaan yang dapat saja muncul berkaitan dengan ayat ini adalah:
</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>a) Apakah ayat ini dan semacamnya mengharuskan penyatuan seluruh umat
Islam dalam satu wadah kenegaraan?</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>
b) Kalau tidak, apakah dibenarkan adanya persatuan/kesatuan yang diikat
oleh unsur-unsur yang disebutkan di atas, yakni persamaan asal
keturunan, adat, bahasa, dan sejarah?</b>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yang harus dipahami pertama kali adalah pengertian dan penggunaan
Al-Quran terhadap kata ummat. Kata ini terulang 51 kali dalam Al-Quran,
dengan makna yang berbeda-beda.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ar-Raghib Al-Isfahani --pakar bahasa yang menyusun kamus Al-Quran
Al-Mufradat fi Ghanb Al-Quran-- menjelaskan bahwa ummat adalah "kelompok
yang dihimpun oleh sesuatu, baik persamaan agama, waktu, atau tempat,
baik pengelompokan itu secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri."
</div>
<div style="text-align: justify;">
Memang, tidak hanya manusia yang berkelompok dinamakan umat, bahkan
binatang pun demikian.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan tiadalah binatang-binatang melata yang ada yang di
bumi, tiada juga burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya,
kecuali umat-umat seperti kamu ... (QS Al-An'am [6]: 38).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jumlah anggota suatu umat tidak dijelaskan oleh Al-Quran. Ada yang
berpendapat minimal empat puluh atau seratus orang. Tetapi, sekali lagi
Al-Quran pun menggunakan kata umat bahkan untuk seseorang yang memiliki
sekian banyak keistimewaan atau jasa, yang biasanya hanya dimiliki oleh
banyak orang. Nabi Ibrahim a.s. misalnya disebut sebagai umat oleh
Al-Quran surat An-Nahl (16): 20 karena alasan itu.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya Ibrahim adalah umat (tokoh yang dapat
dijadikan teladan) lagi patuh kepada Allah, hanif dan tidak pernah
termasuk orang yang mempersekutukan (Tuhan) (QS An-Nahl [16]: 120). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kalau demikian, dapat dikatakan bahwa makna kata umat dalam Al-Quran
sangat lentur, dan mudah menyesuaikan diri. Tidak ada batas minimal atau
maksimal untuk suatu persatuan. Yang membatasi hanyalah bahasa, yang
tidak menyebutkan adanya persatuan tunggal.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di sisi lain, dalam Al-Quran ternyata ditemukan sembilan kali kata ummat
yang digandengkan dengan kata wahidah, sebagai sifat umat. Tidak sekali
pun Al-Quran menggunakan istilah Wahdat Al-Ummah atau Tauhid Al-Ummah
(Kesatuan/ penyatuan umat). Karena itu, sungguh tepat analisis Mahmud
Hamdi Zaqzuq, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Mesir, yang
disampaikan pada pertemuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409 H/ 1988
M, bahwa <b>Al-Quran menekankan sifat umat yang satu, dan bukan pada
penyatuan umat</b>, ini juga berarti bahwa <b>yang pokok adalah
persatuan, bukan penyatuan.</b>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perlu pula digarisbawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah
pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakikatnya menyatakan
bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam prinsip-prinsip
(ushul)-nya, tiada perbedaan dalam akidahnya, walaupun dapat
berbeda-beda dalam rincian (furu') ajarannya. Artinya, kitab suci ini
mengakui kebhinekaan dalam ketunggalan.
</div>
<div style="text-align: justify;">
Ini juga sejalan dengan kehendak Ilahi, antara lain yang dinyatakan-Nya
dalam Al-Quran surat Al-Ma-idah (5): 48:
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
<b>Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan
kamu satu umat (saja).</b> (Al-Ma-idah (5): 48)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. Sebagaimana terpahami dari perandaian
kata lauw, yang oleh para ulama dinamai harf imtina' limtina', atau
dengan kata lain, mengandung arti kemustahilan.
</div>
<div style="text-align: justify;">
Kalau demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa Al-Quran menuntut penyatuan
umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan saja, dan tidak
dapat dibuktikan bahwa Al-Quran menolak paham kebangsaan. Yang terjadi
justru Al-Quran menjelaskan sebaliknya.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jamaluddin Al-Afghani, yang dikenal sebagai penyeru persatuan Islam
(Liga Islam atau Pan-Islamisme), menegaskan bahwa idenya itu bukan
menuntut agar umat Islam berada di bawah satu kekuasaan, tetapi
hendaknya mereka mengarah kepada satu tujuan, serta saling membantu
untuk menjaga keberadaan masing-masing.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang
berkelompok-kelompok dan berselisih, setelah datang penjelasan kepada
mereka ... (QS Ali 'Imran [3]: 105). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kalimat "dan berselisih" digandengkan dengan "berkelompok" untuk
mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokan yang
mengakibatkan perselisihan.
</div>
<div style="text-align: justify;">
Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau
ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok,
asal keturunan, atau bangsa.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kelenturan kandungan makna ummat seperti yang dikemukakan terdahulu
mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa dalam banyak hal
Al-Quran hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada
masyarakat manusia untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum itu.
Ini merupakan salah satu keistimewaan Al-Quran dan salah satu faktor
kesesuaiannya dengan setiap waktu dan tempat.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan demikian, terjawablah pertanyaan pertama itu yakni Al-Quran tidak
mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah
kenegaraan. Sistem kekhalifahan --yang dikenal sampai masa kekhalifahan
Utsmaniyah-- hanya merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan,
tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu,
jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut
bentuk lain, hal itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang
diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan
Islam.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2400904338373035983" id="4" name="4"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
2. Asal Keturunan</div>
<div style="text-align: justify;">
Tanpa mempersoalkan perbedaan makna dan pandangan para pakar tentang
kemutlakan unsur "persamaan keturunan", dalam hal kebangsaan, atau
melihat kenyataan bahwa tiada satu bangsa yang hidup pada masa kini yang
semua anggota masyarakatnya berasal dari keturunan yang sama, tanpa
mempersoalkan itu semua dapat ditegaskan bahwa salah satu tujuan
kehadiran agama adalah memelihara keturunan. Syariat perkawinan dengan
syarat dan rukun-rukunnya, siapa yang boleh dan tidak boleh dikawini dan
sebagainya, merupakan salah satu cara Al-Quran untuk memelihara
keturunan.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Quran menegaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia dari satu
keturunan dan bersuku-suku (demikian juga rumpun dan ras manusia), agar
mereka saling mengenal potensi masing-masing dan memanfaatkannya
semaksimal mungkin.
</div>
<div style="text-align: justify;">
Ini berarti bahwa Al-Quran merestui pengelompokan berdasarkan keturunan,
selama tidak menimbulkan perpecahan, bahkan mendukungnya demi mencapai
kemaslahatan bersama.
</div>
<div style="text-align: justify;">
Dari beberapa ayat Al-Quran, dapat ditarik pembenaran hal ini, atau
paling tidak "tiada penolakan" terhadapnya. Misalnya dalam Al-Quran
surat Al-A'raf (7): 160:
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang
masing-masing menjadi umat, dan Kami wahyukan kepada Musa ketika kaumnya
meminta air kepadanya, "Pukullah batu itu dengan tongkatmu!" Maka
memancarlah darinya dua belas mata air... (QS. Al-A'raf (7): 160)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rasul Muhammad saw sendiri pernah diperintahkan oleh Al-Quran surat
AsyS-yu'ara' ayat 214 agar memberi peringatan kepada kerabat dekatnya.
Hal itu menunjukkan bahwa penggabungan diri ke dalam satu wadah
kekerabatan dapat disetujui oleh Al-Quran, apalagi menggabungkan diri
pada wadah yang lebih besar semacam kebangsaan.
</div>
<div style="text-align: justify;">
Piagam Madinah (Kitabun Nabi) yang diprakarsai oleh Rasulullah saw
ketika beliau baru tiba di Madinah yang berisi ketentuan/kesepakatan
yang mengikat masyarakat Madinah justru mengelompokkan anggotanya pada
suku-suku tertentu, dan masing-masing dinamai ummat. Kemudian, mereka
yang berbeda agama itu bersepakat menjalin persatuan ketika membela kota
Madinah dari serangan musuh.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Nabi Luth a.s. sebagaimana dikemukakan Al-Quran, mengeluh karena kaum
atau bangsanya tidak menerima dakwahnya. Ia mengeluh sambil berkata:
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Seandainya aku mempunyai kekuatan denganmu, atau kalau
aku dapat berlindung niscaya aku lakukan (QS Hud [11]: 80). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yang dimaksud dengan "kekuatan" adalah pembela dan pembantu, yang
dimaksud dengan perlindungan adalah keluarga dan anggota masyarakat atau
bangsa.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rasulullah saw sendiri dalam perjuangan di Makkah, justru mendapat
pembelaan dari keluarga besar beliau, baik yang percaya maupun yang
tidak. Dan ketika terjadi pemboikotan dari penduduk Makkah, mereka
memboikot Nabi dan keluarga besar Bani Hasyim. Abu Thalib yang bukan
anggota masyarakat Muslim ketika itu dengan tegas berkata, "Demi Allah'
kami tidak akan menyerahkannya (Nabi Muhammad saw) sampai yang terakhir
dari kami gugur."
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sejalan dengan kenyataan di atas Nabi saw pernah khutbah dengan
menyatakan: "Sebaik-baik kamu adalah pembela keluarga besarnya selama
(pembelaannya) bukan dosa" (HR Abu Daud melalui sahabat Suraqah bin
Malik).
</div>
<div style="text-align: justify;">
Hanya saja pengelompokan dalam suku bangsa tidak boleh menyebabkan
fanatisme buta, apalagi menimbulkan sikap superioritas, dan pelecehan.
Rasulullah saw mengistilahkan hal itu dengan al-'ashabiyah.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bukanlah dari kelompok kita yang mengajak kepada 'ashabiyyah, bukan juga
yang berperang atas dasar 'ashabiyah, bukan juga yang mati dengan
keadaan (mendukung) 'ashabiyyah (HR Abu Daud dari sahabat Jubair bin
Muth'im).
</div>
<div style="text-align: justify;">
Rasulullah saw menggunakan ungkapan yang populer di kalangan orang-orang
Arab sebelum Islam, "Unshur akhaka zhalim(an) au mazhlum(an)" (Belalah
saudaramu yang menganiaya atau dianiaya), sambil menjelaskan bahwa
pembelaan terhadap orang yang melakukan penganiayaan adalah dengan
mencegahnya melakukan penganiayaan (HR Bukhari melalui Anas bin Malik).
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Walaupun Al-Quran mengakui adanya kelompok suku, namun Al-Quran juga
mengisyaratkan bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan sifat dapat
digabungkan ke dalam satu wadah. Iblis yang dalam Al-Quran surat Al-Kahf
(18): 50 dinyatakan dari jenis jin. Sesungguhnya ia (Iblis) adalah dari
jenis Jin, dimasukkan Allah dalam kelompok malaikat yang diperintahkan
sujud kepada Adam. Karena, ketika itu, Iblis begitu taat beragama, tidak
kalah dari ketaatan para malaikat. Itu sebabnya walaupun yang
diperintah untuk sujud kepada Adam adalah para malaikat (QS Al-A'raf
[7]: 11) tetapi Iblis yang dari kelompok jin yang telah bergabung dengan
malaikat itu termasuk diperintah, karenanya ketika enggan ia dikecam
dan dikutuk Tuhan.
</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam konteks paham kebangsaan, Rasulullah saw memasukkan sahabatnya
Salman, Suhaib, dan Bilal yang masing-masing berasal dari Persia,
Romawi, dan Habasyah (Etiopia) ke dalam kelompok orang Arab.
</div>
<div style="text-align: justify;">
Ibnu 'Asakir dalam tarikhnya meriwayatkan, ketika sebagian sahabat
meremehkan ketiga orang tersebut, Nabi saw bersabda: "Kearaban yang
melekat dalam diri kalian bukan disebabkan karena ayah dan tidak pula
karena ibu, tetapi karena bahasa, sehingga siapapun yang berbahasa Arab,
dia adalah orang Arab".
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahkan Salman Al-Farisi dinyatakan Nabi sebagai "minna Ahl Al-Bait (dari
kelompok kita [Ahl Al-Bait]), karena beliau begitu dekat secara pribadi
kepada Nabi dan keluarganya, serta memiliki pandangan hidup yang sama
dengan Ahl Al-Bait.
</div>
<div style="text-align: justify;">
Keterikatan kepada asal keturunan sama sekali tidak terhalangi oleh
agama, bahkan inklusif di dalam ajarannya. Bukankah Al-Quran dalam surat
Al-Ahzab ayat 5 memerintahkan untuk memelihara keturunan dan
memerintahkan untuk menyebut nama seseorang bergandengan dengan nama
orang tuanya?
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Panggillah mereka (anak-anak angkat) dengan
(menggandengkan namanya dengan nama) bapak-bapak mereka, itulah yang
lebih adil di sisi Allah (QS Al-Ahzab [33]: 5). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2400904338373035983" id="5" name="5"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
3. Bahasa</div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Quran menegaskan dalam surat Al-Rum (30):
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya, adalah penciptaan
langit dan bumi, dan berlain-lainan bahasamu, dan warna kulitmu ...</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Quran demikian menghargai bahasa dan keragamannya, bahkan mengakui
penggunaan bahasa lisan yang beragam.
</div>
<div style="text-align: justify;">
Perlu ditandaskan bahwa dalam konteks pembicaraan tentang paham
kebangsaan, Al-Quran amat menghargai bahasa, sampai-sampai seperti yang
disabdakan Nabi saw, "Al-Quran diturunkan dalam tujuh bahasa" (HR
Muslim, At-Tirmidzi, dan Ahmad dengan riwayat yang berbeda-beda tetapi
dengan makna yang sama).
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pengertian "tujuh bahasa" antara lain adalah, tujuh dialek. Menurut
sekian keterangan, ayat-ayat Al-Quran diturunkan dengan dialek suku
Quraisy, tetapi dialek ini --ketika Al-Quran turun-- belum populer untuk
seluruh anggota masyarakat. Sehingga apabila ada yang mengeluh tentang
sulitnya pengucapan atau pengertian makna kata yang digunakan oleh ayat
tertentu, Allah menurunkan wahyu lagi yang berbeda kata-katanya agar
menjadi mudah dibaca dan dimengerti. Sebagai contoh dalam Al-Quran surat
Al-Dukhan (44): 43-44 yang berbunyi, Inna syajarat al-zaqqum tha'amul
atsim, pernah diturunkan dengan mengganti kata atsim dengan fajir,
kemudian turun lagi dengan kata al-laim. Setelah bahasa suku Quraisy
populer di kalangan seluruh masyarakat, maka atas inisiatif Utsman bin
Affan (khalifah ketiga) bacaan disatukan kembali sebagaimana tercantum
dalam mushaf yang dibaca dewasa ini.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pengertian lain dari hadis tersebut adalah Al-Quran menggunakan kosa
kata dari tujuh (baca: banyak) bahasa, seperti bahasa Romawi, Persia,
dan Ibrani, misalnya kata-kata: zamharir, sijjil, qirthas, kafur, dan
lain-lain.
</div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk menghargai perbedaan bahasa dan dialek, Nabi saw tidak jarang
menggunakan dialek mitra bicaranya. Semua itu menunjukkan betapa
Al-Quran dan Nabi saw sangat menghargai keragaman bahasa dan dialek.
Bukankah seperti yang dikemukakan tadi, Allah menjadikan keragaman itu
bukti keesaan dan kemahakuasaan-Nya?
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Nah, bagaimana kaitan bahasa dan kebangsaan? Tadi telah dikemukakan
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir berkaitan dengan Salman,
Bilal, dan Suhaib. Pada hakikatnya, bahasa memang bukan digunakan
sekadar untuk menyampaikan tujuan pembicaraan dan yang diucapkan oleh
lidah. Bukankah sering seseorang berbicara dengan dirinya sendiri?
Bukankah ada pula yang berpikir dengan suara keras. Kalimat-kalimat yang
dipikirkan dan didendangkan itu merupakan upaya menyatakan pikiran dan
perasaan seseorang? Di sini bahasa merupakan jembatan penyalur perasaan
dan pikiran.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karena itu pula kesatuan bahasa mendukung kesatuan pikiran. Masyarakat
yang memelihara bahasanya dapat memeliara identitasnya, sekaligus
menjadi bukti keberadaannya. Itulah sebabnya mengapa para penjajah
sering berusaha menghapus bahasa anak negeri yang dijajahnya dengan
bahasa sang penjajah.
</div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Quran menuntut setiap pembicara agar hanya mengucapkan hal yang
diyakini, dirasakan, serta sesuai dengan kenyataan. Karena itu, tidak
jarang Kitab Suci ini menggunakan kata qala atau yaqulu (dia berkata,
dalam arti meyakini).,
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Salah satu sifat Ibadur Rahman (hamba-hamba Allah yang baik) yang
dijelaskan dalam surat Al-Furqan (25): 65 adalah:
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Mereka yang berkata, "Jauhkanlah siksa jahanam dari
kami". Sesungguhnya azab-Nya adalah kebinasaan yang kekal</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ucapan ini bukan sekadar dengan lidah atau permohonan, melainkan
peringatan sikap, keyakinan dan perasaan mereka, karena kalau sekadar
permohonan, apalah keistimewaannya? Bukankah semua orang dapat bermohon
seperti itu? Karena itu tidak menyimpang jika dinyatakan bahwa bahasa
pada hakikatnya berfungsi menyatakan perasaan pikiran, keyakinan, dan
sikap pengucapnya.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam konteks paham kebangsaan, bahasa pikiran, dan perasaan, jauh lebih
penting ketimbang bahasa lisan, sekalipun bukan berarti mengabaikan
bahasa lisan, karena sekali lagi ditekankan bahwa bahasa lisan adalah
jembatan perasaan.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahasa, saat dijadikan sebagai perekat dan unsur kesatuan umat, dapat
diakui oleh Al-Quran, bahkan inklusif dalam ajarannya. Bahasa dan
keragamannya merupakan salah satu bukti keesaan dan kebesaran Allah.
Hanya saja harus diperhatikan bahwa dari bahasa harus lahir kesatuan
pikiran dan perasaan, bukan sekadar alat menyampaikan informasi.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2400904338373035983" id="6" name="6"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
4. Adat Istiadat</div>
<div style="text-align: justify;">
Pikiran dan perasaan satu kelompok/umat tercermin antara lain dalam adat
istiadatnya.
</div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam konteks ini, kita dapat merujuk perintah Al-Quran antara lain:
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Hendaklah ada sekelompok di antara kamu yang mengajak
kepada kebaikan, memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar (QS
Ali 'Imran [3]: 104) </div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Jadilah engkau pemaaf; titahkanlah yang 'urf (adat
kebiasaan yang baik), dan berpalinglah dari orang yang jahil (QS
Al-A'raf [7]: 199). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kata 'urf dan ma'ruf pada ayat-ayat itu mengacu kepada kebiasaan dan
adat istiadat yang tidak bertentangan dengan al-khair, yakni
prinsip-prinsip ajaran Islam.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rincian dan penjabaran kebaikan dapat beragam sesuai dengan kondisi dan
situasi masyarakat. Sehingga, sangat mungkin suatu masyarakat berbeda
pandangan dengan masyarakat lain. Apabila rincian maupun penjabaran itu
tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama, maka itulah yang dinamai
'urf/ma'ruf.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa suatu ketika Aisyah mengawinkan seorang
gadis yatim kerabatnya kepada seorang pemuda dari kelompok Anshar
(penduduk kota Madinah). Nabi yang tidak mendengar nyanyian pada acara
itu, berkata kepada Aisyah, "Apakah tidak ada permainan/nyanyian? Karena
orang-orang Anshar senang mendengarkan nyanyian ..." Demikian, Nabi saw
menghargai adat-kebiasaan masyarakat Anshar.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pakar-pakar hukum menetapkan bahwa adat kebiasaan dalam suatu masyarakat
selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, dapat dijadikan
sebagai salah satu pertimbangan hukum (al-adat muhakkimah). Demikian
ketentuan yang mereka tetapkan setelah menghimpun sekian banyak rincian
argumentasi keagamaan.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2400904338373035983" id="7" name="7"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
5. Sejarah</div>
<div style="text-align: justify;">
Agaknya, persamaan sejarah muncul sebagai unsur kebangsaan karena unsur
ini merupakan salah satu yang terpenting demi menyatukan perasaan,
pikiran, dan langkah-langkah masyarakat. Sejarah menjadi penting, karena
umat, bangsa, dan kelompok dapat melihat dampak positif atau negatif
pengalaman masa lalu, kemudian mengambil pelajaran dari sejarah, untuk
melangkah ke masa depan. Sejarah yang gemilang dari suatu kelompok akan
dibanggakan anggota kelompok serta keturunannya, demikian pula
sebaliknya.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Quran sangat menonjol dalam menguraikan peristiwa sejarah. Bahkan
tujuan utama dari uraian sejarahnya adalah guna mengambil i'tibar
(pelajaran), guna menentukan langkah berikutnya. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa unsur kesejarahan sejalan dengan ajaran Al-Quran.
Sehingga kalau unsur ini dijadikan salah satu faktor lahirnya paham
kebangsaan, hal ini inklusif di dalam ajaran Al-Quran, selama uraian
kesejarahan itu diarahkan untuk mencapai kebaikan dan kemaslahatan
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2400904338373035983" id="8" name="8"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
6. Cinta Tanah Air</div>
<div style="text-align: justify;">
Rasa kebangsaan tidak dapat dinyatakan adanya, tanpa dibuktikan oleh
patriotisme dan cinta tanah air.
</div>
<div style="text-align: justify;">
Cinta tanah air tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, bahkan
inklusif di dalam ajaran Al-Quran dan praktek Nabi Muhammad saw.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hal ini bukan sekadar dibuktikan melalui ungkapan populer yang dinilai
oleh sebagian orang sebagai hadis Nabi saw, Hubbul wathan minal iman
(Cinta tanah air adalah bagian dari iman), melainkan justru dibuktikan
dalam praktek Nabi Muhammad saw, baik dalam kehidupan pribadi maupun
kehidupan bermasyarakat.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika Rasulullah saw berhijrah ke Madinah, beliau shalat menghadap ke
Bait Al-Maqdis. Tetapi, setelah enam belas bulan, rupanya beliau rindu
kepada Makkah dan Ka'bah, karena merupakan kiblat leluhurnya dan
kebanggaan orang-orang Arab. Begitu tulis Al-Qasimi dalam tafsirnya.
Wajah beliau berbolak-balik menengadah ke langit, bermohon agar kiblat
diarahkan ke Makkah, maka Allah merestui keinginan ini dengan menurunkan
firman-Nya:
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sungguh Kami (senang) melihat wajahmu menengadah ke
langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu
sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid Al-Haram... (QS Al-Baqarah
[2]: 144). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Cinta beliau kepada tanah tumpah darahnya tampak pula ketika
meninggalkan kota Makkah dan berhijrah ke Madinah. Sambil menengok ke
kota Makkah beliau berucap: "Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah bumi
Allah yang paling aku cintai, seandainya bukan yang bertempat tinggal
di sini mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkannya".
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sahabat-sahabat Nabi saw pun demikian, sampai-sampai Nabi saw bermohon
kepada Allah: "Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami,
sebagaimana engkau mencintakan kota Makkah kepada kami, bahkan lebih."
(HR Bukhari, Malik dan Ahmad).
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Memang, cinta kepada tanah tumpah darah merupakan naluri manusia, dan
karena itu pula Nabi saw menjadikan salah satu tolok ukur kebahagiaan
adalah "diperolehnya rezeki dari tanah tumpah darah". Sungguh benar
ungkapan, "hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri,
lebih senang di negeri sendiri."
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahkan Rasulullah saw mengatakan bahwa orang yang gugur karena membela
keluarga, mempertahankan harta, dan negeri sendiri dinilai sebagai
syahid sebagaimana yang gugur membela ajaran agama. Bahkan Al-Quran
menggandengkan pembelaan agama dan pembelaan negara dalam firman-Nya:
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Allah tidak melarang kamu berbuat baik, dan memberi
sebagian hartamu (berbuat adil) kepada orang yang tidak memerangi kamu
karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu
karena agama, mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain
mengusirmu (QS Al-Mumtahanah [60]: 8-9). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari uraian di atas terlihat bahwa paham kebangsaan sama sekali tidak
bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bahkan semua unsur yang melahirkan paham tersebut, inklusif dalam ajaran
Al-Quran, sehingga seorang Muslim yang baik pastilah seorang anggota
suatu bangsa yang baik. Kalau anggota suatu bangsa terdiri dari beragam
agama, atau anggota masyarakat terdiri dari berbagai bangsa, hendaknya
mereka dapat menghayati firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
148:
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblat (arah yang
ditujunya), dia menghadap ke arah itu. Maka berlomba-lombalah kamu
(melakukan) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan
mengumpulkan kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2400904338373035983" id="9" name="9"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li style="text-align: justify;">Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li style="text-align: justify;">Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li style="text-align: justify;">Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li style="text-align: justify;">Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li style="text-align: justify;">Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li style="text-align: justify;">Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li style="text-align: justify;">alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li style="text-align: justify;">Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li style="text-align: justify;">Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
<li style="text-align: justify;">M. Nashiruddin Al-Albani, <i>Ringkasan Shahih Bukhari</i>,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
</li>
<li style="text-align: justify;">Al-Bayan, <i>Shahih Bukhari Muslim</i>, Jabal, Bandung, 2008.
</li>
<li style="text-align: justify;">Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, <i>Kemudahan dari Allah, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir</i>, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani,
Jakarta, 1999.
</li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-18300429221067296242012-02-18T07:08:00.001-08:002012-02-18T07:08:34.780-08:00Ukhuwah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0"><tbody>
<tr><td><table bgcolor="#eeefff"><tbody>
<tr height="35" valign="middle"><td><input name="milih" size="21" type="text" value="" /></td>
<td style="padding-right: 20px;"><input name="sendnya" onclick="ocemantapZ()" style="font-weight: bold; width: 75px;" type="submit" value=" CARI " />
<input name="_q" type="hidden" value="quran" />
<input name="st1" type="hidden" value="" />
<input name="st2" type="hidden" value="" />
<input name="st3" type="hidden" value="" />
<input name="st4" type="hidden" value="" />
<input name="perhal" type="hidden" value="0" />
<input name="dft" type="hidden" value="" />
<input name="dfa" type="hidden" value="1" />
<input name="dfi" type="hidden" value="1" />
<input name="dfq" type="hidden" value="1" />
</td></tr>
<!---
<tr><td height=25><form name="pilihnyaz" method="get" action="http:///id/search.php">
<font size=2 color="black">Cari di <b>Search Engine Ind </b></font></td>
<td><input type="text" name="milihc" value="" size="33"></td>
<input type=hidden value="2" name="no1"></INPUT>
<input type=hidden value="10" name="jml"></INPUT>
<input type=hidden value="rinci" name="rc"></INPUT>
<input type=hidden value="web" name="td"></INPUT>
<td><input type="submit" name="sendnya" value=" Telusuri " style="width: 75;">
</form>
</td></tr>
-->
</tbody></table>
</td></tr>
<tr><td colspan="2"><table bgcolor="#eeefff" border="0">
<tbody>
<tr>
<td nowrap="nowrap" style="font-family: arial; font-size: 11pt; padding-left: 5px;">
</td>
<td align="right" nowrap="nowrap" width="235">
</td></tr>
</tbody></table>
</td></tr>
</tbody></table>
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0"><tbody>
<tr><td height="3"><br /></td></tr>
<tr><td style="font-family: arial,sans-serif;">
<style type="text/css">
.b2s {color: blue; font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 8pt; padding-left: 6px; TEXT-DECORATION: none;}
.b2s:hover {color: white; background:red;}
.quran0 {font-family: arial; color: #00c; font-weight: bold; font-size: 11pt; TEXT-DECORATION: underline;}
.quran0:hover {color: white; background:red;}
.quran1 {font-family: helvetica,sans-serif; font-weight: bold; color: #00c; font-size: 11pt; padding-left:10px; padding-top:3px; padding-bottom:1px;}
.quran2 {font-family: verdana,helvetica,sans-serif; color:green; font-size: 10pt; padding-left:21px; padding-right:10px; padding-bottom:3px; padding-top:3px; text-align: justify;}
.quran3 {font-family: verdana,helvetica,sans-serif; color:black; font-size: 10pt; padding-left:21px; padding-right:10px; padding-bottom:3px; padding-top:3px; text-align: justify;}
.quran4 {padding-left:21px; text-align: center;}
.quran5 {padding-bottom:5px; padding-top:5px; text-align: center;}
.quran6 {font-family: verdana,helvetica,sans-serif; color:green; font-size: 10pt; padding-left:21px; padding-right:10px; padding-bottom:3px; padding-top:3px; text-align: justify;}
.quran11 {font-family: arial; color: #00c; font-weight: bold; font-size: 12pt; TEXT-DECORATION: underline;}
.quran11:hover {color: white; background:red;}
.cangkok1 {font-family: arial; color: #00c; font-size: 12pt; TEXT-DECORATION: underline;}
.cangkok1:hover {color: white; background:red;}
.art0 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 13pt; padding-top: 13px; padding-bottom: 10px;}
.art1 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 12pt; padding-top: 13px; padding-bottom: 10px;}
.art3 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 11pt; padding-top: 13px; padding-bottom: 10px;}
.art2 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 14pt; padding-top: 15px; padding-bottom: 10px; border-top:1px solid silver;}
.artz {text-align:center; font-weight: bold; font-family: arial; color:white; font-size: 19pt; padding-top: 10px; background:black; padding-bottom: 10px; border-top:1px solid silver;}
.ayq {font-family: serif; font-size: 11pt; font-style: italic; padding-left: 20px; padding-right: 20px; }
.sih {font-family: arial,sans-serif; font-size: 10pt; text-align: center; border-top:1px solid silver;}
.ay2 {font-weight: bold; font-family: cursive,sans-serif; font-size: 12pt; padding-top: 20px; padding-bottom: 15px; border-top:1px solid gray;}
.ay3 {font-weight: bold; font-family: cursive,sans-serif; font-size: 13pt; padding-top: 20px; padding-bottom: 0px; border-top:1px solid gray;}
br {font-size: 8pt;}
.a {font-family: arial,sans-serif; color: #00c; font-size: 10pt; TEXT-DECORATION: none;}
.a:visited {color: #551a8b; }
.a:hover {color: white; background:red;}
P {text-align:justify;}
</style>
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="padding-left: 21px; padding-right: 21px;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td align="justify" style="font-family: Times New Roman,serif; font-size: 11pt;">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver;">
<tbody>
<tr>
<td width="50">
<img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Ukhuwah</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Manusia dan Masyarakat</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<b>DAFTAR ISI</b><br />
<a class="a" href="http://al-quran.bahagia.us/_q.php?_q=sihab&dft=&dfa=1&dfi=1&dfq=1&u2=&ui=1&nba=29#1">» Ukhuwah dalam Al-Quran</a><br />
<a class="a" href="http://al-quran.bahagia.us/_q.php?_q=sihab&dft=&dfa=1&dfi=1&dfq=1&u2=&ui=1&nba=29#2">» Macam-macam ukhuwah islamiah</a><br />
<a class="a" href="http://al-quran.bahagia.us/_q.php?_q=sihab&dft=&dfa=1&dfi=1&dfq=1&u2=&ui=1&nba=29#3">» Faktor penunjang persaudaraan</a><br />
<a class="a" href="http://al-quran.bahagia.us/_q.php?_q=sihab&dft=&dfa=1&dfi=1&dfq=1&u2=&ui=1&nba=29#4">» Petunjuk Al-Quran untuk memantapkan ukhuwah</a><br />
<a class="a" href="http://al-quran.bahagia.us/_q.php?_q=sihab&dft=&dfa=1&dfi=1&dfq=1&u2=&ui=1&nba=29#5">» Konsep-konsep dasar pemantapan ukhuwah</a><br />
<a class="a" href="http://al-quran.bahagia.us/_q.php?_q=sihab&dft=&dfa=1&dfi=1&dfq=1&u2=&ui=1&nba=29#6">» Ukhuwah dalam praktek</a><br />
<a class="a" href="http://al-quran.bahagia.us/_q.php?_q=sihab&dft=&dfa=1&dfi=1&dfq=1&u2=&ui=1&nba=29#7">Referensi</a><br />
<br />
<b>Ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai "persaudaraan",</b>
terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti "memperhatikan". Makna
asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian
semua pihak yang merasa bersaudara.
<br /><br />
Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan di
antara pihak-pihak yang bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian
berkembang, dan pada akhirnya <b>ukhuwah diartikan sebagai "setiap
persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan,
dari segi ibu, bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan".</b>
Secara majazi kata ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu
unsur seperti suku, agama, profesi, dan perasaan. Dalam kamus-kamus
bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata ukhuwah
digunakan juga dengan arti teman akrab atau sahabat.
<br /><br />
Masyarakat Muslim mengenal istilah ukhuwmah Islamiyyah. Istilah ini
perlu didudukkan maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak
mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan
kebahasaan untuk menetapkan kedudukan kata Islamiah dalam istilah di
atas. Selama ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna "persaudaraan
yang dijalin oleh sesama Muslim", atau dengan kata lain, "persaudaraan
antar sesama Muslim", sehingga dengan demikian, kata "Islamiah"
dijadikan pelaku ukhuwah itu.
<br /><br />
Pemahaman ini kurang tepat. Kata Islamiah yang dirangkaikan dengan kata
ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai adjektifa, sehingga <b>ukhuwah
Islamiah berarti "persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan
oleh Islam."</b> Paling tidak, ada dua alasan untuk mendukung pendapat
ini.
<br /><br />
Pertama, Al-Quran dan hadis memperkenalkan bermacam-macam persaudaraan,
seperti yang akan diuraikan selanjutnya.
<br />
Kedua, karena alasan kebahasaan. Di dalam bahasa Arab, kata sifat selalu
harus disesuaikan dengan yang disifatinya. Jika yang disifati berbentuk
indefinitif maupun feminin, kata sifatnya pun harus demikian. Ini
terlihat secara jelas pada saat kita berkata ukhuwwah Islamiyyah dan
Al-Ukhuwwah Al-Islamiyyah.
<br /><br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2">
UKHUWAH DALAM AL-QURAN</div>
Dalam Al-Quran, kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal ditemukan
sebanyak 52 kali. <b>Kata ini dapat berarti. </b>
<br /><br />
<b>1. Saudara kandung atau saudara seketurunan,</b> seperti pada ayat
yang berbicara tentang kewarisan, atau keharaman mengawini orang-orang
tertentu, misalnya,
<br />
<div class="ayq">
Diharamkan kepada kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anak
perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan
bapakmu, saudara-saudara perempuan ibumu, (dan) anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki ... (QS Al-Nisa [4]: 23) </div>
<br />
<b>2. Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga,</b> seperti bunyi doa
Nabi Musa a.s. yang diabadikan Al-Quran,
<br />
<div class="ayq">
Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari
keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku (QS Thaha [20]: 29-30). </div>
<br />
<b>3. Saudara dalam arti sebangsa,</b> walaupun tidak seagama seperti
dalam firman-Nya,
<br />
<div class="ayq">
Dan kepada suku 'Ad, (kami utus) saudara mereka Hud (QS
Al-A'raf [7]: 65). </div>
<div class="ayq">
Seperti telah diketahui kaum 'Ad membangkang terhadap
ajaran yang dibawa oleh Nabi Hud, sehingga Allah memusnahkan mereka
(baca antara lain QS Al-Haqqah [69]: 6-7). </div>
<br />
<b>4. Saudara semasyarakat,</b> walaupun berselisih paham.
<br />
<div class="ayq">
Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing
betina, dan aku mempunyai seekor saja, maka dia berkata kepadaku,
"Serahkan kambingmu itu kepadaku"; dan dia mengalahkan aku di dalam
perdebatan (QS Shad [38]: 23). </div>
<div style="padding-left: 17px;">
Dalam sebuah hadis, Nabi saw bersabda:
"Belalah saudaramu, baik ia berlaku aniaya, maupun teraniaya".
<br />
Ketika beliau ditanya seseorang, bagaimana cara membantu orang yang
menganiaya, beliau menjawab: <b>"Engkau halangi dia agar tidak berbuat
aniaya. Yang demikian itulah pembelaan baginya".</b> (HR Bukhari melalui
Anas bin Malik) </div>
<br />
<b>5. Persaudaraan seagama.</b>
<br />
<div style="padding-left: 17px;">
Ini ditunjukkan oleh firman Allah dalam
surat Al-Hujurat ayat 10: "Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu
bersaudara"</div>
<br />
Di atas telah dikemukakan bahwa dari segi bahasa, kata ukhuwah dapat
mencakup berbagai persamaan. Dari sini lahir lagi dua macam
persaudaraan, yang walaupun secara tegas tidak disebut oleh Al-Quran
sebagai "persaudaraan", namun substansinya adalah persaudaraan. Kedua
hal tersebut adalah:
<br /><br />
<b>a. Saudara sekemanusiaan (ukhuwah insaniah).</b>
<br />
<div class="ayq">
Al-Quran menyatakan bahwa semua manusia diciptakan oleh
Allah dari seorang lelaki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa) (QS
Al-Hujurat [49]: 13). Ini berarti bahwa semua manusia adalah seketurunan
dan dengan demikian bersaudara. </div>
<br />
<b>b. Saudara semakhluk dan seketundukan kepada Allah.</b>
<br />
<div style="padding-left: 17px;">
Di atas telah dijelaskan bahwa dari
segi bahasa kata akh (saudara) digunakan pada berbagai bentuk persamaan.
Dari sini lahir persaudaraan kesemakhlukan. Al-Quran secara tegas
menyatakan bahwa: </div>
<div class="ayq">
Dan tidaklah (jenis binatang yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya) kecuali umat-umat juga
seperti kamu (QS Al-An'am [6): 38). </div>
<br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2">
MACAM-MACAM UKHUWAH ISLAMIAH</div>
Di atas telah dikemukakan arti ukhuwah Islamiah, yakni ukhuwah yang
bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam. Telah dikemukakan pula
beberapa ayat yang mengisyaratkan bentuk atau jenis "persaudaraan" yang
disinggung oleh Al-Quran. Semuanya dapat disimpulkan bahwa kitab suci
ini memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan:
<br /><br />
<b>1. Ukhuwwah 'ubudiyyah atau saudara kesemakhlukan dan kesetundukan
kepada Allah.</b>
<br /><br />
<b>2. Ukhuwwah insaniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia
adalah bersaudara,</b>
<div style="padding-left: 17px;">
karena mereka semua berasal dari
seorang ayah dan ibu. Rasulullah saw juga menekankan lewat sabda beliau,
<br />
Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara. Hamba-hamba Allah semuanya
bersaudara. </div>
<br />
<b>3. Ukhuwwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam
keturunan dan kebangsaan.</b>
<br /><br />
<b>4. Ukhuwwah fi din Al-Islam, persaudaraan antar sesama Muslim.</b>
Rasulullah saw bersabda,
<br />
<div style="padding-left: 17px;">
Kalian adalah sahabat-sahabatku,
saudara-saudara kita adalah yang datang sesudah (wafat)-ku. </div>
<br />
Makna dan macam-macam persaudaraan tersebut di atas adalah berdasarkan
pemahaman terhadap teks ayat-ayat Al-Quran. Ukhuwah yang secara jelas
dinyatakan oleh Al-Quran adalah persaudaraan seagama Islam, dan
persaudaraan yang jalinannya bukan karena agama. Ini tecermin dengan
jelas dari pengamatan terhadap penggunaan bentuk jamak kata tersebut
dalam Al-Quran, yang menunjukkan dua arti kata akh' yaitu:
<br /><br />
<b>Pertama, ikhwan,</b> yang biasanya digunakan untuk persaudaraan tidak
sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali sebagian disertakan
dengan kata ad-din (agama) seperti dalan surat At-Taubah ayat 11.
<br /><br />
<div class="ayq">
Apabila mereka bertobat, melaksanakan shalat, dan
menunaikan zakat, mereka adalah saudara-saudara kamu seagama. (QS.
At-Taubah ayat 11)</div>
<br />
Sedangkan sebagian lain tidak dirangkaikan dengan kata ad-din (agama)
seperti:
<br /><br />
<div class="ayq">
Jika kamu menggauli mereka (anak-anak yatim), mereka
adalah saudara-saudaramu (QS Al-Baqarah [2]: 220). </div>
<br />
Teks ayat-ayat tersebut secara tegas dan nyata menunjukkan bahwa
Al-Quran memperkenalkan persaudaraan seagama dan persaud araan tidak
seagama.
<br /><br />
<b>Bentuk jamak kedua yang digunakan oleh Al-Quran adalah ikhwat,</b>
terdapat sebanyak tujuh kali dan digunakan untuk makna persaudaraan
seketurunan, kecuali satu ayat, yaitu,
<br /><br />
<div class="ayq">
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara (QS
Al-Hujurat [49]: 10). </div>
<br />
Menarik untuk dipertanyakan, mengapa Al-Quran menggunakan kata ikhwah
dalam arti persaudaraan seketurunan ketika berbicara tentang
persaudaraan sesama Muslim, atau dengan kata lain, mengapa Al-Quran
tidak menggunakan kata ikhwan, padahal kata ini digunakan untuk makna
persaudaraan tidak seketurunan? Bukankah lebih tepat menggunakan kata
terakhir, jika melihat kenyataan bahwa saudara-saudara seiman terdiri
dari banyak bangsa dan suku, yang tentunya tidak seketurunan?
<br /><br />
Menurut Quraish Shihab, hal ini bertujuan untuk mempertegas dan
mempererat jalinan hubungan antar sesama-Muslim, seakan-akan hubungan
tersebut bukan saja dijalin oleh keimanan (yang di dalam ayat itu
ditunjukkan oleh kata al-mu'minun), melainkan juga "seakan-akan" dijalin
oleh persaudaraan seketurunan (yang ditunjukkan oleh kata ikhwah).
Sehingga merupakan kewajiban ganda bagi umat beriman agar selalu
menjalin hubungan persaudaraan yang harmonis di antara mereka, dan tidak
satupun yang dapat dijadikan dalih untuk melahirkan keretakan hubungan.
<br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
<div class="ay2">
FAKTOR PENUNJANG PERSAUDARAAN</div>
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit
adalah persamaan. Semakin banyak persamaan akan semakin kokoh pula
persaudaraan. Persamaan rasa dan cita merupakan faktor dominan yang
mendahului lahirnya persaudaraan hakiki, dan pada akhirnya menjadikan
seseorang merasakan derita saudaranya, mengulurkan tangan sebelum
diminta, serta memperlakukan saudaranya bukan atas dasar "take and
give," tetapi justru:
<br /><br />
<div class="ayq">
Mengutamakan orang lain atas diri mereka, walau diri
mereka sendiri kekurangan (QS Al-Hasyr [59]: 9). </div>
<br />
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman
pada saat berada di antara sesamanya, dan dorongan kebutuhan ekonomi
merupakan faktor-faktor penunjang yang akan melahirkan rasa
persaudaraan.
<br />
Islam datang menekankan hal-hal tersebut, dan menganjurkan mencari titik
singgung dan titik temu persaudaraan. Jangankan terhadap sesama Muslim,
terhadap non-Muslim pun demikian (QS Ali 'Imran [3]: 64) dan Saba [34):
24-25).
<br /><br />
<a href="" id="4" name="4"></a>
<div class="ay2">
PETUNJUK AL-QURAN UNTUK MEMANTAPKAN UKHUWAH</div>
Guna memantapkan ukhuwah tersebut, pertama kali Al-Quran menggarisbawahi
bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan ini. Selain
perbedaan tersebut merupakan kehendak Ilahi, juga demi kelestarian
hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi.
<br /><br />
<div class="ayq">
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan
kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu mengenai pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS Al-Ma-idah [5]:
48). </div>
<br />
Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya diciptakan-Nya
manusia tanpa akal budi seperti binatang atau benda-benda tak bernyawa
yang tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih, karena hanya dengan
demikian seluruhnya akan menjadi satu pendapat.
<br />
Dari sini, seorang Muslim dapat memahami adanya pandangan atau bahkan
pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena semua itu tidak
mungkin berada di luar kehendak Ilahi. Kalaupun nalarnya tidak dapat
memahami kenapa Tuhan berbuat demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu
tidak akan menggelisahkan atau mengantarkannya "mati", atau memaksa
orang lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan agamanya,
<br /><br />
<div class="ayq">
Sungguh kasihan jika kamu akan membunuh dirimu karena
sedih akibat mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Islam) (QS
Al-Kahf [18]: 6).<br /> Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman
semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu akan
memaksa semua manusia agar menjadi orang-orang yang beriman? (QS Yunus
[10]: 99). </div>
<br />
Untuk menjamin terciptanya persaudaraan dimaksud, Allah SWT memberikan
beberapa petunjuk sesuai dengan jenis persaudaraan yang diperintahkan.
Pada kesempatan ini, akan dikemukakan petunjuk-petunjuk yang berkaitan
dengan persaudaraan secara umum dan persaudaraan seagama Islam.
<br /><br />
<b>1. Untuk memantapkan persaudaraan pada arti yang umum, Islam
memperkenalkan konsep khalifah.</b>
<br /><br />
Manusia diangkat oleh Allah sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut
manusia untuk memelihara, membimbing, dan mengarahkan segala sesuatu
agar mencapai maksud dan tujuan penciptaannya. Karena itu, Nabi Muhammad
saw melarang memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik
kembang sebelum mekar, atau menyembelih binatang yang terlalu kecil.
Nabi Muhammad saw juga mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat
dengan segala sesuatu sekalipun terhadap benda tak bernyawa. Al-Quran
tidak mengenal istilah "penaklukan alam", karena secara tegas Al-Quran
menyatakan bahwa yang menaklukkan alam untuk manusia adalah Allah (QS
45: 13). Secara tegas pula seorang Muslim diajarkan untuk mengakui bahwa
ia tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali atas
penundukan Ilahi. Pada saat berkendaraan seorang Muslim dianjurkan
membaca,
<br /><br />
<div class="ayq">
Mahasuci Allah yang menundukkan ini buat kami, sedang
kami sendiri tidak mempunyai kesanggupan menundukkannya (QS Al-Zukhruf
[43]: 13). </div>
<br />
<b>2. Untuk mewujudkan persaudaraan antar pemeluk agama,</b> Islam
memperkenalkan ajaran:
<br /><br />
<div class="ayq">
<b>Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS 109: 6),</b>
dan </div>
<br />
<div class="ayq">
<b>Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal
kamu. Tidak (perlu ada) pertengkaran di antara kami dan kamu. Allah
mengumpulkan kita dan kepada-Nyalah kembali (putusan segala sesuatu) </b>(QS
Al-Syura [42): 15). </div>
<br />
Al-Quran juga menganjurkan agar mencari titik singgung dan titik temu
antar pemeluk agama. Al-Quran menganjurkan agar dalam interaksi sosial,
bila tidak ditemukan persamaan hendaknya masing-masing mengakui
keberadaan pihak lain, dan tidak perlu saling menyalahkan.
<br /><br />
<div class="ayq">
Katakanlah, "Wahai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu
kalimat kesepakatan yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kamu,
bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia
dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian
yang lain sebagai Tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling (tidak
setuju), katakanlah kepada mereka, "Saksikanlah (akuilah eksistensi
kami) bahwa kami adalah orang-orang Muslim" (QS Ali 'Imran [3]: 64). </div>
<br />
Bahkan Al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw dan umatnya untuk
menyampaikan kepada penganut agama lain, setelah kalimat sawa' (titik
temu) tidak dicapai:
<br /><br />
<div class="ayq">
Kami atau kamu pasti berada dalam kebenaran atau
kesesatan yang nyata. Katakanlah, "Kamu tidak akan ditanyai
(bertanggungjawab) tentang dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan
ditanyai (pula) tentang hal yang kamu perbuat." Katakanlah, "Tuhan kita
akan menghimpun kita semua, kemudian menetapkan dengan benar (siapa yang
benar dan salah) dan Dialah Maha Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui
(QS 34: 24-26). </div>
<br />
Jalinan persaudaraan antara seorang Muslim dan non-Muslim sama sekali
tidak dilarang oleh Islam.
<br /><br />
<div class="ayq">
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berbuat adil
(memberikan sebagian hartamu) kepada orang-orang yang tidak memerangi
kamu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS
Al-Mumtahanah [60]: 8). </div>
<br />
Sahabat Nabi memutuskan bantuan keuangan/material kepada sebagian
penganut agama lain.
<br /><br />
<b>3. Untuk memantapkan persaudaraan antar sesama Muslim,</b> Al-Quran
pertama kali menggarisbawahi perlunya menghindari segala macam sikap
lahir dan batin yang dapat mengeruhkan hubungan di antara mereka.
<br /><br />
Setelah menyatakan bahwa orang-orang Mukmin bersaudara, dan
memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika
seandainya terjadi kesalahpahaman di antara dua orang (kelompok) kaum
Muslim, Al-Quran memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan
sekaligus melarang setiap Muslim melakukannya:
<br /><br />
<div class="ayq">
<b>Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kaum
(pria) mengolok-olokkan kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang
diolok-olokkan) itu lebih baik daripada mereka (yang mengolok-oLokkan);
dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita yang
lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olokkan lebih baik
dan mereka (yang memperolok-olokkan), dan janganlah kamu mencela dirimu
sendiri, dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang
buruk.</b> Sejelek-jeleknya panggilan adalah (sebutan) yang buruk
sesudah iman. Barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim (QS Al-Hujurat [49]: 11). </div>
<br />
Selanjutnya ayat di atas memerintahkan orang Mukmin untuk menghindari
prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta
menggunjing, yang diibaratkan oleh Al-Quran seperti memakan
daging-saudara sendiri yang telah meninggal dunia (QS Al-Hujurat [49]:
12).
<br /><br />
Menarik untuk diketengahkan, bahwa Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw
tidak merumuskan definisi persaudaraan (ukhuwwah), tetapi yang
ditempuhnya adalah memberikan contoh-contoh praktis. Pada umumnya
contoh-contoh tersebut berkaitan dengan sikap kejiwaan (seperti terbaca
di dalam surat Al-Hujurat ayat 11-12 di atas), atau tecermin misalnya
dalam hadis Nabi saw antara lain,
<br /><br />
Hindarilah prasangka buruk, karena itu adalah sebohong-bohongnya ucapan.
Jangan pula saling mencari-cari kesalahan. Jangan saling iri, jangan
saling membenci, dan jangan saling membelakangi (Diriwayatkan oleh
keenam ulama hadis, ke An-Nasa'i, melalui Abu Hurairah). Semua itu
wajar, karena sikap batiniahlah yang melahirkan sikap lahiriah. Demikian
pula, bahwa sebagian dari redaksi ayat dan hadis yang berbicara tentang
hal ini dikemukakan dengan bentuk larangan. Ini pun dimengerti bukan
saja karena at-takhliyah (menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan
daripada at-tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan), melainkan juga
karena "melarang sesuatu mengandung arti memerintahkan lawannya,
demikian pula sebaliknya."
<br /><br />
Semua petunjuk Al-Quran dan hadis Nabi saw yang berbicara tentang
interaksi antarmanusia pada akhirnya bertujuan untuk memantapkan
ukhuwah. Perhatikan misalnya larangan melakukan transaksi yang bersifat
batil (QS 2: 188), larangan riba (QS 2: 278), anjuran menulis
utang-piutang (QS 2: 275), larangan mengurangi atau melebihkan timbangan
(QS 83: 1-3), dan lain-lain.
<br /><br />
Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, Al-Quran secara tegas
memerintahkan orang-orang Mukmin untuk merujuk Allah (Al-Quran) dan
Rasul (Sunnah). Tetapi seandainya terjadi perbedaan pemahaman Al-Quran
dan Sunnah itu, baik mengakibatkan perbedaan pengamalan maupun tidak,
maka petunjuk Al-Quran dalam hal ini adalah:
<br /><br />
<div class="ayq">
Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu (karena
tidak menemukan petunjuknya dalam teks Al-Quran dan Sunnah), maka
kembalikanlah kepada Allah (jiwa ajaran-ajaran Al-Quran), dan (jiwa
ajaran-ajaran) Rasul, jika memang kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik
akibatnya (QS Al-Nisa' [4]: 59). </div>
<br />
<a href="" id="5" name="5"></a>
<div class="ay2">
KONSEP-KONSEP DASAR PEMANTAPAN UKHUWAH</div>
Setelah mempelajari teks-teks keagamaan, para ulama mengenalkan tiga
konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan
pengamalan ajaran agama.
<br /><br />
<b>a. Konsep tanawwu'al-'ibadah (keragaman cara beribadah)</b>
<br /><br />
Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi saw dalam
bidang pengamalan agama, yang mengantarkan kepada pengakuan akan
kebenaran semua praktek keagamaan, selama semuanya itu merujuk kepada
Rasulullah saw Anda tidak perlu meragukan pernyataan ini, karena dalam
konsep yang diperkenalkan ini, agama tidak menggunakan pertanyaan,
"Berapa hasil 5 + 5?", melainkan yang ditanyakan adalah, "Jumlah sepuluh
itu merupakan hasil penambahan berapa tambah berapa?"
<br /><br />
<b>b. Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr (Yang salah dalam
berijtihad pun [menetapkan hukum) mendapat ganjaran).</b>
<br /><br />
Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia
tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah SWT,
walaupun hasil ijtthad yang diamalkannya keliru. Hanya saja di sini
perlu dicatat bahwa penentuan yang benar dan salah bukan wewenang
makhluk, tetapi wewenang Allah SWT sendiri, yang baru akan diketahui
pada hari kemudian. Sebagaimana perlu pula digarisbawahi, bahwa yang
mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah
memiliki otoritas keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan
ijtihad (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum) setelah
mempelajari dengan saksama dalil-dalil keagaman (Al-Quran dan Sunnah).
<br /><br />
<b>c. Konsep la hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid (Allah belum
menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan oleh seorang
mujtahid).</b>
<br /><br />
Ini berarti bahwa hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum Allah bagi
masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihadnya berbeda-beda. Sama
halnya dengan gelas-gelas kosong, yang disodorkan oleh tuan rumah dengan
berbagai ragam minuman yang tersedia. Tuan rumah mempersilakan
masing-masing tamunya memilih minuman yang tersedia di atas meja dan
mengisi gelasnya --penuh atau setengah-- sesuai dengan selera dan
kehendak masing-masing (selama yang dipilih itu berasal dari minuman
yang tersedia di atas meja). Apa dan seberapa pun isinya, menjadi
pilihan yang benar bagi masing-masing pengisi. Jangan mempersalahkan
seseorang yang mengisi gelasnya dengan kopi, dan Anda pun tidak wajar
dipersalahkan jika memilih setengah air jeruk yang disediakan oleh tuan
rumah.
<br /><br />
Memang Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw tidak selalu memberikan
interpretasi yang pasti dan mutlak. Yang mutlak adalah Tuhan dan
firman-firman-Nya, sedangkan interpretasi firman-firman itu, sedikit
sekali yang bersifat pasti ataupun mutlak. Cara kita memahami Al-Quran
dan Sunnah Nabi berkaitan erat dengan banyak faktor, antara lain
lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tentu saja tingkat kecerdasan dan
pemahaman masing-masing mujtahid.
<br /><br />
Dari sini terlihat bahwa para ulama sering bersikap rendah hati dengan
menyebutkan, "Pendapat kami benar, tetapi boleh jadi keliru, dan
pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin saja benar."
Berhadapan dengan teks-teks wahyu, mereka selalu menyadari bahwa sebagai
manusia mereka memiliki keterbatasan, dan dengan demikian, tidak
mungkin seseorang akan mampu menguasai atau memastikan bahwa
interpretasinyalah yang paling benar.
<br /><br />
<a href="" id="6" name="6"></a>
<div class="ay2">
UKHUWAH DALAM PRAKTEK</div>
Jika kita mengangkat salah satu ayat dalam bidang ukhuwah, agaknya salah
satu ayat surat Al-Hujurat dapat dijadikan landasan pengamalan konsep
ukhuwah Islamiah. Ayat yang dimaksud adalah, Sesungguhnya orang-orang
Mukmin bersaudara, karena itu lakukanlah ishlah di antara kedua
saudaramu (QS 49: 10).
<br />
Kata ishlah atau shalah yang banyak sekali berulang dalam Al-Quran, pada
umumnya tidak dikaitkan dengan sikap kejiwaan, melainkan justru
digunakan dalam kaitannya dengan perbuatan nyata. Kata ishlah hendaknya
tidak hanya dipahami dalam arti mendamaikan antara dua orang (atau
lebih) yang berselisih, melainkan harus dipahami sesuai makna
semantiknya dengan memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadapnya.
<br /><br />
Puluhan ayat berbicara tentang kewajiban melakukan shalah dan ishlah.
Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata shalah diartikan sebagai antonim
dari kata fasad (kerusakan), yang juga dapat diartikan sebagai yang
bermanfaat. Sedangkan kata islah digunakan oleh Al-Quran dalam dua
bentuk: Pertama ishlah yang selalu membutuhkan objek; dan kedua adalah
shalah yang digunakan sebagai bentuk kata sifat. Sehingga, shalah dapat
diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu agar
bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan kehadirannya.
Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga
tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk
menghadirkan nilai tersebut, dan hal yang dilakukannya itu dinamai
ishlah.
<br /><br />
Jika kita menunjuk hadis, salah satu hadis yang populer di dalam bidang
ukhuwah adalah sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dari sahabat Ibnu Umar: "Seorang Muslim bersaudara dengan Muslim
lainnya. Dia tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya (kepada musuh).
Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi
pula kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan dan seorang Muslim suatu
kesulitan, Allah akan melapangkan baginya satu kesulitan pula dan
kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di hari kemudian. Barangsiapa yang
menutup aib seorang Muslim, Allah akan menutup aibnya di hari kemudian."
<br /><br />
Dari riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, larangan di atas dilengkapi
dengan: "Dia tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan tidak pula
meninggalkannya tanpa pertolongan".
<br /><br />
Demikian terlihat, betapa ukhuwah Islamiah mengantarkan manusia mencapai
hasil-hasil konkret dalam kehidupannya.
<br />
Untuk memantapkan ukhuwah Islamiah, yang dibutuhkan bukan sekadar
penjelasan segi-segi persamaan pandangan agama, atau sekadar toleransi
mengenai perbedaan pandangan, melainkan yang lebih penting lagi adalah
langkah-langkah bersama yang dilaksanakan oleh umat, sehingga seluruh
umat merasakan nikmatnya.
<br /><br /><br />
<a href="" id="7" name="7"></a>
<div class="ay2">
Referensi</div>
<ul>
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
<li>M. Nashiruddin Al-Albani, <i>Ringkasan Shahih Bukhari</i>,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
</li>
<li>Al-Bayan, <i>Shahih Bukhari Muslim</i>, Jabal, Bandung, 2008.
</li>
<li>Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, <i>Kemudahan dari Allah, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir</i>, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani,
Jakarta, 1999.
</li>
</ul>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
</center></td></tr>
</tbody></table>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-72559706473281011282012-02-18T07:06:00.001-08:002012-02-18T07:06:35.062-08:00Kesehatan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Kesehatan</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Manusia dan Masyarakat</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<b></b>
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya <b>untuk memelihara agama,
jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan.</b>
<br /><br />
Setidaknya tiga dari yang disebut di atas berkaitan dengan kesehatan.
Tidak heran jika ditemukan bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan
kesehatan.
<br />
Paling tidak ada dua istilah literatur keagamaan yang digunakan untuk
menunjuk tentang pentingnya kesehatan dalam pandangan Islam.
<br /><br />
<b>1. Kesehatan, yang terambil dari kata sehat;
</b><br /><b>
2. Afiat.</b>
<br /><br />
Keduanya dalam bahasa Indonesia, sering menjadi kata majemuk sehat
afiat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesra, kata "afiat" dipersamakan
dengan "sehat". Afiat diartikan sehat dan kuat, sedangkan sehat
(sendiri) antara lain diartikan sebagai keadaan baik segenap badan serta
bagian-bagiannya (bebas dari sakit).
<br />
Tentu pengertian kebahasaan ini berbeda dengan pengertian dalam tinjauan
ilmu kesehatan, yang memperkenalkan istilah-istilah kesehatan fisik,
kesehatan mental, dan kesehatan masyarakat.
<br /><br />
Walaupun Islam mengenal hal-hal tersebut, namun sejak dini perlu
digarisbawahi satu hal pokok berkaitan dengan kesehatan, yaitu melalui
pengertian yang dikandung oleh kata afiat. Istilah sehat dan afiat
masing-masing digunakan untuk makna yang berbeda, kendati diakui tidak
jarang hanya disebut salah satunya (secara berdiri sendiri), karena
masing-masing kata tersebut dapat mewakili makna yang dikandung oleh
kata yang tidak disebut.
<br /><br />
Pakar bahasa Al-Quran dapat memahami dari ungkapan sehat wal-afiat bahwa
kata sehat berbeda dengan kata afiat, karena wa yang berarti "dan"
adalah kata penghubung yang sekaligus menunjukkan adanya perbedaan
antara yang disebut pertama (sehat) dan yang disebut kedua (afiat). Nah,
atas dasar itu, dipahami adanya perbedaan makna di antara keduanya.
<br /><br />
Dalam literatur keagamaan, bahkan dalam hadis-hadis Nabi saw ditemukan
sekian banyak doa, yang mengandung permohonan afiat, di samping
permohonan memperoleh sehat.
<br /><br />
Dalam kamus bahasa Arab, <b>kata afiat diartikan sebagai perlindungan
Allah untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipu daya.</b>
Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali
bagi mereka yang mengindahkan petunjuk-petunjuk-Nya. Maka <b>kata afiat
dapat diartikan sebagai berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan
tujuan penciptaannya.</b>
<br /><br />
Kalau sehat diartikan sebagai keadaan baik bagi segenap anggota badan,
maka agaknya dapat dikatakan bahwa mata yang sehat adalah mata yang
dapat melihat maupun membaca tanpa menggunakan kacamata. Tetapi, mata
yang afiat adalah yang dapat melihat dan membaca objek-objek yang
bermanfaat serta mengalihkan pandangan dari objek-objek yang terlarang,
karena itulah fungsi yang diharapkan dari penciptaan mata.
<br /><br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
KESEHATAN FISIK</div>
Telah disinggung bahwa dalam tinjauan ilmu kesehatan dikenal berbagai
jenis kesehatan, yang diakui pula oleh pakar-pakar Islam. Majelis Ulama
Indonesia (MUI), misalnya, dalam Musyawarah Nasional Ulama tahun 1983
merumuskan <b>kesehatan sebagai "ketahanan jasmaniah, rohaniah, dan
sosial yang dimiliki manusia, sebagai karunia Allah yang wajib disyukuri
dengan mengamalkan (tuntunan-Nya), dan memelihara serta
mengembangkannya." </b>
<br /><br />
Memang banyak sekali tuntunan agama yang merujuk kepada ketiga jenis
kesehatan itu.
<br /><br />
Dalam konteks kesehatan fisik, misalnya ditemukan <b>sabda Nabi Muhammad
saw: "Sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas dirimu."
</b><br /><br /><b>
Demikian Nabi saw menegur beberapa sahabatnya yang bermaksud melampaui
batas beribadah, sehingga kebutuhan jasmaniahnya terabaikan dan
kesehatannya terganggu.</b>
<br /><br />
Pembicaraan literatur keagamaan tentang kesehatan fisik, dimulai dengan
meletakkan prinsip: "Pencegahan lebih baik daripada pengobatan." Karena
itu dalam konteks kesehatan ditemukan sekian banyak petunjuk Kitab Suci
dan Sunah Nabi saw yang pada dasarnya mengarah pada upaya pencegahan.
<br /><br />
Salah satu sifat manusia yang secara tegas dicintai Allah adalah orang
yang menjaga kebersihan. Kebersihan digandengkan dengan taubat dalam
surat Al-Baqarah (2): 222:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat,
dan senang kepada orang yang membersihkan diri. (QS. Al-Baqarah (2):
222)</div>
<br />
<b>Tobat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriah
menghasilkan kesehatan fisik.</b>
<br /><br />
Wahyu kedua (atau ketiga) yang diterima Nabi Muhammad saw adalah:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan bersihkan pakaianmu dan tinggalkan segala macam
kekotoran (QS Al-Muddatstsir [74]: 4-5). </div>
<br />
Perintah tersebut berbarengan dengan perintah menyampaikan ajaran agama
dan membesarkan nama Allah SWT
<br /><br />
Terdapat hadis yang amat populer tentang kebersihan yang berbunyi: <b>"Kebersihan
adalah bagian dari iman."</b>
<br /><br />
Hadis ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai hadis dha'if. Kendati
begitu, terdapat sekian banyak hadis lain yang mendukung makna tersebut,
seperti sabda Nabi saw:
<b>Iman, terdiri dan tujuh puluh sekian cabang, puncaknya adalah
keyakinan bahwa "Tiada Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan"</b> (HR Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah).
<br /><br />
Perintah menutup hidangan, mencuci tangan sebelum makan, bersikat gigi,
larangan bernafas sambil minum, tidak kencing atau buang air di tempat
yang tidak mengalir atau di bawah pohon, adalah contoh-contoh praktis
dari sekian banyak tuntunan Islam dalam konteks menjaga kesehatan.
Bahkan sebelum dunia mengenal karantina, Nabi Muhammad saw telah
menetapkan dalam salah satu sabdanya: "Apabila kalian mendengar adanya
wabah di suatu daerah, janganlah mengunjungi daerah itu, tetapi apabila
kalian berada di daerah itu, janganlah meninggalkannya".
<br /><br />
Ditemukan juga peringatan bahwa perut merupakan sumber utama penyakit:
Al-ma'idat bait adda'. Dan karena itu, ditemukan banyak sekali tuntutan
--baik dari Al-Quran maupun hadis Nabi saw-- yang berkaitan dengan
makanan, jenis maupun kadarnya.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Al-Quran juga mengingatkan, Makan dan minum dan jangan
berlebih-lebihan. Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan
(QS Al-A'raf [7]: 31). </div>
<br /><br />
Perlu pula digarisbawahi bahwa sebagian pakar, baik agamawan maupun
ilmuwan, berpendapat bahwa jenis makanan dapat mempengaruhi mental
manusia. Al-Harali (wafat 1232 M) menyimpulkan hal tersebut setelah
membaca firman Allah yang mengharamkan makanan dan minuman tertentu
karena makanan dan minuman tersebut rijs.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang
mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor (QS
Al-An'am [6]: 145). </div>
<br />
Kata rijs diartikan sebagai keburukan budi pekerti atau kebobrokan
mental. Pendapat serupa dikemukakan antara lain oleh seorang ulama
kontemporer Syaikh Taqi Falsaf dalam bukunya Child between Heredity and
Education, yang mengutip pendapat Alexis Carrel dalam bukunya Man the
Unknown. Carrel, peraih hadiah Nobel bidang kedokteren ini, menulis
bahwa pengaruh campuran kimiawi yang dikandung oleh makanan terhadap
aktivitas jiwa dan pikiran manusia belum diketahui secara sempurna,
karena belum diadakan eksperimen dalam waktu yang memadai. Namun tidak
dapat diragukan bahwa perasaan manusia dipengaruhi oleh kuantitas dan
kualitas makanan.
<br /><br />
Kandungan <b>pengertian takwa yang pada dasarnya berarti menghindar dari
siksa Allah di dunia dan di akhirat. Siksa Allah di dunia, adalah
akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum alam.</b> Hukum alam antara lain
membuktikan bahwa makanan yang kotor mengakibatkan penyakit. Seorang
yang makan makanan kotor pada hakikatnya melanggar perintah Allah, dan
itu sekaligus melanggar hukum alam yang di dunia ini dapat mengakibatkan
penyakit.
<br /><br />
Dari sini dapat dimengerti bahwa Islam memerintahkan agar berobat pada
saat ditimpa penyakit. "Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang
diturunkan Allah, kecuali diturunkan pula obat penangkalnya, selain dari
satu penyakit, yaitu ketuaan" (HR Abu Daud dan At-Tirmidzi dari sahabat
Nabi Usamah bin Syuraik).
<br /><br />
Bahkan seandainya tidak ada perintah rinci dari hadis tentang keharusan
berobat, maka prinsip- prinsip pokok yang diangkat dari Al-Quran dan
hadis cukup untuk dijadikan dasar dalam upaya kesehatan dan pengobatan.
Sebagai contoh dapat dikemukakan persoalan transplantasi, baik dari
donor hidup maupun donor yang telah meninggal dunia. Beberapa prinsip
dan kesepakatan dalam bidang hukum agama yang berkaitan dengan topik
bahasan ini dapat membantu menemukan pandangan Islam dalam persoalan
dimaksud. Prinsip-prinsip dimaksud antara lain adalah:
<br /><br />
<b>1. Agama Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal, kesehatan, dan
harta benda umat manusia.
</b><br /><br /><b>
2. Anggota badan dan jiwa manusia merupakan milik Allah yang
dianugerahkan-Nya untuk dimanfaatkan dan dijaga/dipelihara, bukan untuk
disalahgunakan.
</b><br /><br /><b>
3. Penghormatan dan hak-hak asasi yang dianugerahkan-Nya mencakup
seluruh manusia, tanpa membedakan ras atau agama.
</b><br /><br /><b>
4. Terlarang merendahkan derajat manusia, baik yang hidup, maupun yang
telah wafat.
</b><br /><br /><b>
5. Jika bertentangan kepentingan antara orang yang hidup dan orang yang
telah wafat, maka dahulukanlah kepentingan orang yang hidup.</b>
<br /><br />
Dari prinsip-prinsip ini banyak ulama kontemporer menetapkan bahwa
transplantasi dapat dibenarkan selama kehormatan manusia --yang hidup
maupun yang mati-- terjaga sepenuhnya. Salah satu jaminan tidak adanya
pelecehan adalah izin dan pihak keluarga.
<br /><br />
Alasan penolakan yang sering terdengar dari kalangan orang kebanyakan
(awam) bahwa setelah si penerima donor sehat, ia mungkin dapat
menyalahqunakan kesehatannya, dan ini dapat mengakibatkan dosa, terutama
bagi "pemilik" organ (jenazah), atau orang yang mengizinkan. Alasan
ini, pada hakikatnya tidak dapat diterima. Kemurahan dan keadilan Tuhan
mengantar-Nya untuk tidak menuntut pertanggung-jawaban dari seseorang
terhadap sesuatu yang tidak dikerjakannya secara sadar, karena hakikat
manusia bukan organ dan jasmaninya:
<br /><br />
<b>"Allah tidak memandang kepada jasad dan rupa kamu, tetapi memandang
hati dan perbuatan kamu",</b> sabda Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan
oleh Muslim. Di samping itu, izin yang diharuskan itu, telah dapat
mengurangi kalau enggan berkata "menghilangkan" kekhawatiran di atas.
Kalau niat pemberi izin untuk membantu sesama manusia, dan dia menduga
keras bahwa bantuan tersebut tidak akan disalahgunakan, maka kalaupun
ternyata dugaannya keliru, maka ia bebas dari dosa. Sebaliknya, jika
yang memberi izin sudah menduga keras akan terjadinya penyalahgunaan,
maka tentu saja ia tidak terbebaskan dari dosa. Di sini terlihat pula
peranan izin.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dapat ditambahkan bahwa Al-Quran menegaskan bahwa,
"Barang siapa yang menghidupkan seseorang, maka dia bagaikan
menghidupkan manusia semuanya..." (QS Al-Maidah [5): 32). "Menghidupkan"
di sini bukan saja yang berarti "memelihara kehidupan", tetapi juga
dapat mencakup upaya "memperpanjang harapan hidup" dengan cara apa pun
yang tidak melanggar hukum. </div>
<br />
Demikian, satu contoh, bagaimana ayat-ayat Al-Quran dipahami dalam
konteks peristiwa paling mutakhir dalam bidang kesehatan.
<br /><br />
Namun dalam ajaran Islam juga ditekankan bahwa obat dan upaya hanyalah
"sebab", sedangkan penyebab sesungguhnya di balik sebab atau upaya itu
adalah Allah SWT, seperti ucapan Nabi Ibrahim a.s. yang diabadikan
Al-Quran dalam surat Al-Syu'ara' (26): 80 :
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan
aku. (QS. Al-Syu'ara' (26): 80)</div>
<br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
KESEHATAN MENTAL</div>
Nabi saw juga mengisyaratkan bahwa ada keluhan fisik yang terjadi karena
gangguan mental. Seseorang datang mengeluhkan penyakit perut yang
diderita saudaranya setelah diberi obat berkali-kali, tetapi tidak
kunjung sembuh dinyatakan oleh Nabi saw bahwa, "Perut saudaramu
berbohong" (HR Bukhari).
<br /><br />
Al-Quran Al-Karim memang banyak berbicara tentang penyakit jiwa. Mereka
yang lemah iman dinilai oleh Al-Quran sebagai orang yang memiliki
penyakit di dalam dadanya. Dari hadis-hadis Nabi diperoleh petunjuk,
bahwa sebagian kompleks kejiwaan tercipta pada saat janin masih berada
di perut ibu, atau bahkan pada saat hubungan seks (pertemuan sperma dan
ovum), demikian juga ketika bayi masih dalam buaian.
<br /><br />
Karena itu, Islam memerintahkan kepada para ibu dan bapak agar
menciptakan suasana tenang, dan mengamalkan ajaran agama pada saat bayi
berada dalam kandungan, sebagaimana memerintahkan kepada para orang-tua
untuk memperlakukan anak-anak mereka secara wajar.
<br /><br />
Dalam suatu riwayat diungkapkan ada seorang anak yang sedang digendong,
kemudian pipis membasahi pakaian Nabi. Ibunya merenggut bayi tersebut
dengan kasar. Namun Nabi menegurnya dengan bersabda : "Jangan hentikan
pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan
dengan air, tetapi apa yang dapat menjernihkan hati sang anak (yang
engkau renggut dengan kasar)?
<br /><br />
Seperti diungkapkan oleh beberapa pakar ilmu jiwa, sebagian kompleks
kejiwaan yang diderita orang dewasa, dapat diketahui penyebab utamanya
pada perlakuan yang diterimanya sebelum dewasa. Agaknya kita dapat
menyimpulkan bahwa pandangan Islam tentang penyakit-penyakit mental
mencakup banyak hal, yang boleh jadi tidak dijangkau oleh pandangan ilmu
kesehatan modern.
<br /><br />
<b>Dalam Al-Quran tidak kurang sebelas kali disebut istilah fi qulubihim
maradh.</b>
<br /><br />
Kata qalb atau qulub dipahami dalam dua makna, yaitu akal dan hati.
Sedang kata maradh biasa diartikan sebagai penyakit. Secara rinci pakar
bahasa Ibnu Faris mendefinisikan kata tersebut sebagai <b>"segala
sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas
keseimbangan/kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik, mental,
bahkan kepada tidak sempurnanya amal seseorang."</b>
<br /><br />
Dari sini dapat dikatakan bahwa Al-Quran memperkenalkan adanya
penyakit-penyakit yang menimpa hati dan yang menimpa akal.
<br /><br />
<b>Penyakit-penyakit akal yang disebabkan bentuk berlebihan adalah
semacam kelicikan, sedangkan yang bentuknya karena kekurangan adalah
ketidaktahuan akibat kurangnya pendidikan. Ketidaktahuan ini dapat
bersifat tunggal maupun ganda. Seseorang yang tidak tahu serta tidak
menyadari ketidaktahuannya pada hakikatnya menderita penyakit akal
berganda.
</b><br /><br /><b>
Penyakit akal berupa ketidaktahuan mengantarkan penderitanya pada
keraguan dan kebimbangan.
</b><br /><br /><b>
Penyakit-penyakit kejiwaan pun beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. <b>Sikap
angkuh, benci, dendam, fanatisme, loba, dan kikir yang antara lain
disebabkan karena bentuk keberlebihan seseorang.</b> Sedangkan rasa
takut, cemas, pesimisme, rendah diri dan lain-lain adalah karena
kekurangannya.</b>
<br /><br />
Yang akan memperoleh keberuntungan di hari kemudian adalah mereka yang
terbebas dari penyakit-penyakit tersebut, seperti bunyi firman Allah
dalam surat Al-Syu'ara' (26): 88-89:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Pada hari (akhirat) harta dan anak-anak tidak berguna
(tetapi yang berguna tiada lain) kecuali yang datang kepada Allah dengan
hati yang sehat.</div>
<br />
Islam mendorong manusia agar memiliki kalbu yang sehat dari segala macam
penyakit dengan jalan bertobat, dan mendekatkan diri kepada Tuhan,
karena:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya dengan mengingat Allah jiwa akan
memperoleh ketenangan (QS Al-Ra'd [13]: 28). </div>
<br />
Itulah sebagian tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi saw tentang kesehatan.
<br /><br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div>
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
<li>M. Nashiruddin Al-Albani, <i>Ringkasan Shahih Bukhari</i>,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
</li>
<li>Al-Bayan, <i>Shahih Bukhari Muslim</i>, Jabal, Bandung, 2008.
</li>
<li>Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, <i>Kemudahan dari Allah, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir</i>, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani,
Jakarta, 1999.
</li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-42641285974628517722012-02-18T07:04:00.001-08:002012-02-18T07:04:36.882-08:00Kemiskinan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Kemiskinan</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Manusia dan Masyarakat</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<b></b><br />
Tulisan ini tidak dapat menyajikan petunjuk-petunjuk praktis operasional
tentang pengentasan kemiskinan. Karena pada dasarnya Al-Quran (yang
menjadi rujukan) adalah kitab petunjuk yang bersifat global. Sehingga
jangankan persoalan kemasyarakatan, masalah-masalah yang berkaitan
dengan misalkan rincian shalat dan haji sekalipun, hampir tidak
ditemukan rincian operasionalnya kecuali dalam As-Sunnah. Sementara
rincian petunjuk menyangkut segi kehidupan bermasyarakat, kalaupun
ditemukan dari Sunnah Nabi, maka hal tersebut lebih banyak berkaitan
dengan kondisi masyarakat yang beliau temui, <b>sehingga masyarakat
sesudahnya perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan
kondisinya masing-masing, tanpa mengabaikan nilai-nilai Ilahi itu.</b>
<br /><br />
Kemiskinan dan pengentasannya termasuk persoalan kemasyarakatan, yang
faktor penyebab dan tolok ukur kadarnya, dapat berbeda akibat perbedaan
lokasi dan situasi. Karena itu Al-Quran tidak menetapkan kadarnya, dan
tidak memberikan petunjuk operasional yang rinci untuk pengentasannya.
<br /><br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
SIAPA YANG DISEBUT MISKIN DAN FAKIR</div>
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, <b>kata "miskin" diartikan sebagai
tidak berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan rendah).
Sedangkan fakir diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan; atau
sangat miskin.</b>
<br /><br />
Dari bahasa aslinya (Arab) kata miskin terambil dari kata sakana yang
berarti diam atau tenang, sedang faqir dari kata faqr yang pada mulanya
berarti tulang punggung. Faqir adalah orang yang patah tulang
punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat
sehingga diibaratkan "mematahkan" tulang punggungnya.
<br />
Sebagai akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan Al-Quran
untuk kedua istilah tersebut, para pakar Islam berbeda pendapat dalam
menetapkan tolok ukur kemiskinan dan kefakiran.
<br /><br />
Sebagian mereka berpendapat bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan
kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedang miskin adalah yang
berpenghasilan di atas itu, namun tidak cukup untuk menutupi kebutuhan
pokoknya. Ada juga yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut
mereka keadaan si fakir relatif lebih baik dari si miskin.
<br />
Al-Quran dan hadis tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai
ukuran kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas dapat saja berubah.
Namun yang pasti, Al-Quran menjadikan setiap orang yang memerlukan
sesuatu sebagai fakir atau miskin yang harus dibantu.
<br /><br />
Yusuf Qardhawi, seorang ulama kontemporer, menulis bahwa <b>menurut
pandangan Islam, tidak dapat dibenarkan seseorang yang hidup di tengah
masyarakat Islam, sekalipun Ahl Al-Dzimmah (warga negara non-Muslim),
menderita lapar, tidak berpakaian, menggelandang (tidak bertempat
tinggal) dan membujang.</b>
<br /><br />
Di tempat lain, Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa biaya pengobatan dan
pendidikan pun termasuk kebutuhan primer yang harus dipenuhi.
<br /><br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN</div>
Memperhatikan akar kata "miskin" yang disebut di atas sebagai berarti
diam atau tidak bergerak diperoleh kesan bahwa faktor utama penyebab
kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan, atau tidak dapat bergerak
dan berusaha. Keengganan berusaha adalah penganiayaan terhadap diri
sendiri, sedang ketidakmampuan berusaha antara lain disebabkan oleh
penganiyaan manusia lain. Ketidakmampuan berusaha yang disebabkan oleh
orang lain diistilahkan pula dengan kemiskinan struktural. Kesan ini
lebih jelas lagi bila diperhatikan bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan
Tuhan, ditujukan kepada makhluk yang dinamainya dabbah, yang arti
harfiahnya adalah yang bergerak.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Tidak ada satu dabbah pun di bumi kecuali Allah yang
menjamin rezekinya (QS Hud [11]: 6).</div>
<br />
Ayat ini <b>"menjamin" siapa yang aktif bergerak mencari rezeki, bukan
yang diam menanti.</b>
<br />
Lebih tegas lagi dinyatakannya bahwa,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Allah telah menganugerahkan kepada kamu segala apa yang
kamu minta (butuhkan dan inginkan). Jika kamu mengitung-hitung nikmat
Allah, niscaya kamu tidak mampu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia
sangat aniaya lagi sangat kufur (QS. Ibrahim [14]: 34).</div>
<br />
Pernyataan Al-Quran di atas dikemukakannya setelah menyebutkan aneka
nikmat-Nya, seperti langit, bumi, hujan, laut, bulan, matahari, dan
sebagainya.
<br />
Sumber daya alam yang disiapkan Allah untuk umat manusia tidak terhingga
dan tidak terbatas. Seandainya sesuatu telah habis, maka ada alternatif
lain yang disediakan Allah selama manusia berusaha. Oleh karena itu,
tidak ada alasan untuk berkata bahwa sumber daya alam terbatas, tetapi
sikap manusia terhadap pihak lain, dan sikapnya terhadap dirinya itulah
yang menjadikan sebagian manusia tidak memperoleh sumber daya alam
tersebut.
<br /><br />
Kemiskinan terjadi akibat adanya ketidakseimbangan dalam perolehan atau
penggunaan sumber daya alam itu, yang diistilahkan oleh ayat di atas
dengan sikap aniaya, atau karena keengganan manusia menggali sumber daya
alam itu untuk mengangkatoya ke permukaan, atau untuk menemukan
alternatif pengganti. Dan kedua hal terakhir inilah yang diistilahkan
oleh ayat di atas dengan sikap kufur.
<br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
PANDANGAN ISLAM TENTANG KEMISKINAN</div>
Salah satu bentuk penganiayaan manusia terhadap dirinya yang melahirkan
kemiskinan adalah pandangannya yang keliru tentang kemiskinan. Karena
itu langkah pertama yang dilaksanakan Al-Quran adalah meluruskan
persepsi yang keliru itu.
<br /><br />
Seperti kita ketahui, sementara orang berpandangan bahwa kemiskinan
adalah sarana penyucian diri, pandangan ini bahkan masih dianut oleh
sebagian masyarakat hingga kini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
antara lain ditemukan penjelasan tentang arti kata "fakir" sebagai orang
pang sengaja membuat dirinya menderita kekurangan untuk mencapai
kesempurnaan batin.
<br />
Dalam konteks penjelasan pandangan Al-Quran tentang kemiskinan ditemukan
sekian banyak ayat-ayat Al-Quran yang memuji kecukupan, bahkan Al-Quran
menganjurkan untuk memperoleh kelebihan.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apabila telah selesai shalat (Jumat) maka bertebaranlah
di bumi dan carilah fadhl (kelebihan) dan Allah (QS Al-Jum'ah [62]: 10)
</div>
<br />
Sejak dini pula Kitab Suci ini mengingatkan Nabi Muhammad saw tentang
betapa besar anugerah Allah kepada beliau, yang antara lain
menjadikannya berkecukupan (kaya) setelah sebelumnya papa.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Bukankah Allah telah mendapatimu miskin kemudian Dia
menganugerahkan kepadamu kecukupan? (QS Al-Dhuha [93]: 8) </div>
<br />
Seandainya kecukupan atau kekayaan tidak terpuji, niscaya ia tidak
dikemukakan oleh ayat di atas dalam konteks pemaparan anugerah llahi.
<br />
Berupaya untuk memperoleh kelebihan, bahkan dibenarkan oleh Allah walau
pada musim ibadah haji sekalipun.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari fadhl
(kelebihan) dari Allah (di musim haji) (QS Al-Baqarah [2]: 198).</div>
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Di sisi lain, <b>Al-Quran mengecam mereka yang
mengharamkan hiasan duniawi yang diciptakan Allah bagi umat manusia</b>
(QS Al-A'raf [7]: 32), dan menyatakan bahwa Allah menjanjikan ampunan
dan anugerah yang berlebih, sedang setan menjanjikan kefakiran (QS
Al-Baqarah [2]: 268).</div>
<br />
Nabi saw sering berdoa: "Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari
kekufuran, kefakiran" (HR Abu Dawd). "Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu
dari kefakiran, kekurangan dan kehinaan, dan Aku berlindung pula dari
menganiaya dan dianinya". (HR Ibnu Majah dan Al-Hakim).
<br /><br />
Meskipun demikian, Islam tidak menjadikan banyaknya harta sebagai tolok
ukur kekayaan, karena <b>kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati
dan kepuasannya</b>. Sebuah lingkaran betapa pun kecilnya adalah sama
dengan 360 derajat, tetapi betapapun besarnya, bila tidak bulat, maka ia
pasti kurang dari angka tersebut. Karena itu, <b>Islam mengajarkan apa
yang dinamai qann'ah, namun itu bukan berarti nrimo (menerima apa
adanya), karena seseorang tidak dapat menyandang sifat qana'ah kecuali
setelah melalui lima tahap:</b>
<br /><br />
<b>
a. Menginginkan kepemilikan sesuatu.
</b><br /><b>
b. Berusaha sehingga memiliki sesuatu itu, dan mampu menggunakan apa
yang diinginkannya itu.
</b><br /><b>
c. Mengabaikan yang telah dimiliki dan diinginkan itu secara suka rela
dan senang hati
</b><br /><b>
d. Menyerahkannya kepada orang lain, dan merasa puas dengan apa yang
dimiliki sebelumnya. </b>
<br /><br />
<a href="" id="4" name="4"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
BAGAIMANA CARA MENGENTASKAN KEMISKINAN</div>
Dalam rangka mengentaskan kemiskinan, Al-Quran menganjurkan banyak cara
yang harus ditempuh, yang secara garis besar dapat dibagi pada tiga hal
pokok.
<br />
<b>
1. Kewajiban setiap individu. </b><br /><b>
2. Kewajiban orang lain/masyarakat. </b><br /><b>
3. Kewajiban pemerintah. </b>
<br /><br />
<a href="" id="5" name="5"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
1. Kewajiban setiap individu</div>
Kewajiban terhadap <b>setiap individu tercermin dalam kewajiban bekerja
dan berusaha.</b>
<br />
Kerja dan usaha merupakan cara pertama dan utama yang ditekankan oleh
Kitab Suci Al-Quran, karena hal inilah yang sejalan dengan naluri
manusia, sekaligus juga merupakan kehormatan dan harga dirinya.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kesenangan
kepada syahwat, berupa wanita (lawan seks), harta yang banyak dari jenis
emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah
kesenangan hidup duniawi. dan di sisi Allah tempat kecuali yang baik
(QS Ali 'Imran: 14). </div>
<br />
Ayat ini secara tegas menggarisbawahi dua naluri manusia, yaitu naluri
seksual yang dilukiskan sebagai "kesenangan kepada syahwat manusia"
(lawan seks), dan naluri kepemilikan yang dipahami dari ungkapan
(kesenangan kepada) "harta yang banyak".
<br />
Sementara pakar menyatakan bahwa seakan-akan Al-Quran menjadikan kedua
naluri itu sebagai naluri pokok manusia. Bukankah teks ayat tersebut
membatasi (hashr) kesenangan hidup duniawi pada hasil penggunaan kedua
naluri itu?.
<br /><br />
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, menjelaskan bagaimana naluri
kepemilikan itu kemudian mendorong manusia bekerja dan berusaha. Hasil
kerja tersebut apabila mencukupi kebutuhannya --dalam istilah agama--
disebut rizki (rezeki), dan bila melebihinya disebut kasb (hasil usaha).
<br />
Kalau demikian kerja dan usaha merupakan dasar utama dalam memperoleh
kecukupan dan kelebihan. Sedang mengharapkan usaha orang lain untuk
keperluan itu, lahir dari adat kebiasaan dan di luar naluri manusia.
Memang, lanjut Ibnu Khaldun, kebiasaan dapat membawa manusia jauh dari
hakikat kemanusiaannya.
<br /><br />
Dari sini dapat disimpulkan bahwa jalan pertama dan utama yang diajarkan
Al-Quran untuk pengentasan kemiskinan adalah kerja dan usaha yang
diwajibkannya atas setiap individu yang mampu. <b>Puluhan ayat yang
memerintahkan dan mengisyaratkan kemuliaan bekerja</b>. Segala pekerjaan
dan usaha halal dipujinya, sedangkan segala bentuk pengangguran dikecam
dan dicelanya.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apabila engkau telah menyelesaikan satu pekerjaan,
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (pekerjaan yang lain, agar jangan
menganggu), dan hanya kepada Tuhanmu sajalah hendaknya kamu mengharap
(QS Alam Nasyrah [94]: 7-8). </div>
<br />
Rasulullah saw juga pernah bersabda: "Salah seorang di antara kamu
mengambil tali, kemudian membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya
lalu dijualnya, sehingga ditutup Allah air mukanya, itu lebih baik
daripada meminta-minta kepada orang, baik ia diberi maupun ditolak". (HR
Bukhari).
<br /><br />
Kalau di tempat seseorang berdomisili, tidak ditemukan lapangan
pekerjaan. Al-Quran menganjurkan kepada orang tersebut untuk berhijrah
mencari tempat lain, dan ketika itu pasti dia bertemu di bumi ini,
tempat perlindungan yang banyak dan keluasan,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah niscaya mereka
mendapat di muka bumi tempat yang luas lagi rezeki yang banyak (QS
Al-Nisa' [4]: 100). </div>
<br />
<a href="" id="6" name="6"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
2. Kewajiban orang lain/masyarakat</div>
Kewajiban kepada orang lain tercermin pada jaminan satu rumpun keluarga,
dan jaminan sosial dalam bentuk zakat dan sedekah wajib.
<br />
Sebelum menguraikan cara kedua ini, perlu terlebih dahulu digarisbawahi
bahwa menggantungkan penanggulangan problem kemiskinan semata-mata
kepada sumbangan sukarela dan keinsafan pribadi, tidak dapat diandalkan.
Teori ini telah dipraktekkan berabad-abad lamanya, namun hasilnya tidak
pernah memuaskan.
<br /><br />
Sementara orang sering kali tidak merasa bahwa mereka mempunyai tanggung
jawab sosial, walaupun ia telah memiliki kelebihan harta kekayaan.
Karena itu diperlukan adanya penetapan hak dan kewajiban agar tanggung
jawab keadilan sosial dapat terlaksana dengan baik.
<br />
Dalam hal ini, Al-Quran walaupun menganjurkan sumbangan sukarela dan
menekankan keinsafan pribadi, namun dalam beberapa hal Kitab Suci ini
menekankan hak dan kewajiban, baik melalui kewajiban zakat, yang
merupakan hak delapan kelompok yang ditetapkan (QS Al-Tawbah [9]: 60)
maupun melalui sedekah wajib yang merupakan hak bagi yang meminta atau
yang tidak, namun membutuhkan bantuan:
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
<b>Dalam harta mereka ada hak untuk (orang miskin yang
meminta) dan yang tidak berkecukupan (walaupun tidak meminta)</b> (QS
Al-Dzariyat [51]: 19). </div>
<br />
Hak dan kewajiban tersebut mempunyai kekuatan tersendiri, karena
keduanya dapat melahirkan "paksaan" kepada yang berkewajiban untuk
melaksanakannya. Bukan hanya paksaan dan lubuk hatinya, tetapi juga atas
dasar bahwa pemerintah dapat tampil memaksakan pelaksanaan kewajiban
tersebut untuk diserahkan kepada pemilik haknya.
<br />
Dalam konteks inilah Al-Quran menetapkan kewajiban membantu keluarga
oleh rumpun keluarganya, dan kewajiban setiap individu untuk membantu
anggota masyarakatnya.
<br /><br />
<a href="" id="7" name="7"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
2.a. Jaminan satu rumpun keluarga</div>
Boleh jadi karena satu dan lain hal seseorang tidak mampu memperoleh
kecukupan untuk kebutuhan pokoknya, maka dalam hal ini Al-Quran datang
dengan konsep kewajiban memberi nafkah kepada keluarga, atau dengan
istilah lain jaminan antar satu rumpun keluarga sehingga setiap keluarga
harus saling menjamin dan mencukupi.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Orang-orang yang berhubungan kerabat itu sebagian lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) (QS Al-Anfal
[8]: 75). </div>
<div>
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan berikanlah kepada keluarga dekat haknya, juga
kepada orang miskin, dan orang yang berada dalam perjalanan...(QS
Al-Isra' [17]: 26). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ayat ini menggarisbawahi adanya hak bagi keluarga yang tidak mampu
terhadap yang mampu. Dalam mazhab Abu Hanifah memberi nafkah kepada anak
dan cucu, atau ayah dan datuk merupakan. Kewajiban walaupun mereka
bukan muslim.
<br />
Para ahli hukum menetapkan bahwa yang dimaksud dengan nafkah mencakup
sandang, pangan, papan dan perabotnya, pelayan (bagi yang
memerlukannya), mengawinkan anak bila tiba saatnya, serta belanja untuk
istri dan siapa saja yang menjadi tanggungannya.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Hendaklah orang-orang yang mempunyai kelapangan,
memberi nafkah sesuai dengan kelapangannya, dan barang siapa sempit
rezekinya maka hendaklah ia memberi nafkah sesuai apa yang diberi Allah
kepadanya (QS Al-Thalaq [65]: 7). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a href="" id="8" name="8"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
2.b. Zakat</div>
<div style="text-align: justify;">
Dari sekumpulan ayat-ayat Al-Quran dapat disimpulkan bahwa kewajiban
zakat dan kewajiban-kewajiban keuangan lainnya, ditetapkan Allah
berdasarkan pemilikan-Nya yang mutlak atas segala sesuatu, dan juga
berdasarkan istikhlaf (penugasan manusia sebagai khalifah) dan
persaudaraan semasyarakat, sebangsa, dan sekemanusiaan.
<br /><br />
Apa yang berada dalam genggaman tangan seseorang atau sekelompok orang,
pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia diwajibkan menyerahkan kadar
tertentu dari kekayaannya untuk kepentingan saudara-saudara mereka.
Bukankah hasil-hasil produksi, apa pun bentuknya, pada hakikatnya
merupakan pemanfaatan materi-materi yang telah diciptakan dan dimiliki
Tuhan? Bukankah manusia dalam berproduksi hanya mengadakan perubahan,
penyesuaian, atau perakitan satu bahan dengan bahan lain yang sebelumnya
telah diciptakan Allah? Seorang petani berhasil dalam pertaniannya
karena adanya irigasi, alat-alat (walaupun sederhana), makanan, pakaian,
stabilitas keamanan, yang kesemuanya tidak mungkin dapat diwujudkan
kecuali oleh kebersamaan pribadi-pribadi tersebut, dengan kata lain
"masyarakat". Pedagang demikian pula halnya.
<br /><br />
Siapa yang menjual dan siapa pula yang membeli kalau bukan orang lain?
<br />
Jelas sudah bahwa keberhasilan orang kaya adalah atas keterlibatan
banyak pihak, termasuk para fakir miskin:
<br />
Kalian mendapat kemenangan dan kecukupan berkat orang-orang lemah di
antara kalian. Demikian Nabi saw bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh
Abu Daud melalui Abu Ad-Darda'.
<br /><br />
Kalau demikian, wajar jika Allah SWT sebagai pemilik segala sesuatu,
mewajibkan kepada yang berkelebihan agar menyisihkan sebagian harta
mereka untuk orang yang memerlukan.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apabila kamu beriman dan bertakwa, Allah akan
memberikan kepada kamu ganjaran, dan Dia tidak meminta harta bendamu
(seluruhnya). Jika Tuhan meminta harta bendamu (sebagai zakat dan
sumbangan wajib) dan Dia mendesakmu (agar engkau memberikan semuanya)
niscaya kamu akan kikir, (karenanya Dia hanya meminta sebagian dan
ketika itu bila kamu tetap kikir maka) Dia akan menampakkan kedengkian
(kecemburuan sosial) antara kamu (QS Muhammad [47]: 36-37). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Bukan di sini tempatnya menguraikan macam-macam zakat dan rinciannya,
namun yang perlu digarisbawahi bahwa dalam pandangan hukum Islam, zakat
harta yang diberikan kepada fakir miskin hendaknya dapat memenuhi
kebutuhannya selama setahun, bahkan seumur hidup.
<br />
Menutupi kebutuhan tersebut dapat berupa modal kerja sesuai dengan
keahlian dan keterampilan masing-masing, yang ditopang oleh peningkatan
kualitasnya. Hal lain yang perlu juga dicatat adalah bahwa pakar-pakar
hukum Islam menetapkan kebutuhan pokok dimaksud mencakup kebutuhan
sandang, pangan, papan, seks, pendidikan, dan kesehatan.
<br /><br />
<a href="" id="9" name="9"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
3. Kewajiban Pemerintah</div>
<div style="text-align: justify;">
Pemerintah juga berkewajiban mencukupi setiap kebutuhan warga negara,
melalui sumber-sumber dana yang sah. Yang terpenting di antaranya adalah
pajak, baik dalam bentuk pajak perorangan, tanah, atau perdagangan,
maupun pajak tambahan lainnya yang ditetapkan pemerintah bila
sumber-sumber tersebut di atas belum mencukupi.
<br /><br />
Al-Quran mewajibkan kepada setiap Muslim untuk berpartisipasi
menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kemampuannya. Bagi yang tidak
memiliki kemampuan material, maka paling sedikit partisipasinya
diharapkan dalam bentuk merasakan, memikirkan, dan mendorong pihak lain
untuk berpartisipasi aktif.
<br />
Secara tegas Al-Quran mencap mereka yang enggan berpartisipasi (walau
dalam bentuk minimal) sebagai orang yang telah mendustakan agama dan
hari kemudian.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang
yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang
miskin (QS Al-Ma'un [107]: 1-3). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Semoga kita terhindar dari segala macam bencana demikian itu.
<br /><br /><br />
<a href="" id="10" name="10"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
<li>M. Nashiruddin Al-Albani, <i>Ringkasan Shahih Bukhari</i>,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
</li>
<li>Al-Bayan, <i>Shahih Bukhari Muslim</i>, Jabal, Bandung, 2008.
</li>
<li>Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, <i>Kemudahan dari Allah, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir</i>, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani,
Jakarta, 1999.
</li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-1816652834033042112012-02-18T07:03:00.001-08:002012-02-18T07:03:13.455-08:00Musyawarah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Musyawarah</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Manusia dan Masyarakat</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<b></b><br />
Kata musyawarah terambil dari akar kata sy-, w-, r-, yang pada mulanya
bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga
berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada
dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna
dasarnya.
<br /><br />
Madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit,
sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di
mana pun dan oleh siapa pun. Madu dihasilkan oleh lebah. Jika demikian,
yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah: makhluk yang sangat
berdisiplin, kerjasamanya mengagumkan, makanannya sari kembang, dan
hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tak pernah merusak. Ia takkan
mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya pun dapat menjadi obat.
Seperti itulah makna permusyawarahan, dan demikian pula sifat yang
melakukannya. Tak heran jika Nabi saw menyamakan seorang mukmin dengan
lebah.
<br /><br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
AYAT-AYAT TENTANG MUSYAWARAH</div>
Ada tiga ayat Al-Quran yang akar katanya menunjukkan musyawarah.
<br /><br />
<b>a. Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 233 </b>
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak
mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan <b>permusyawarahan</b>
antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya. (QS. Al-Baqarah (2):
233)</div>
<br />
Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat
mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak,
seperti menyapih anak. Pada ayat di atas, Al-Quran memberi petunjuk agar
persoalan itu (dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya)
dimusyawaraLkan antara suami-istri.
<br /><br />
<b>b. Dalam surat Ali 'Imran (3): 159 </b>
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap
lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan
berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan <b>bermusyawarahlah</b>
dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila engkau telah
membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (QS. Ali 'Imran (3):
159)</div>
<br />
Ayat ini dan segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad saw agar
memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota
masyarakatnya. Tetapi, seperti yang akan dijelaskan lebih jauh, ayat
ini juga merupakan petunjuk kepada setiap Muslim, khususnya kepada
setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
<br /><br />
<b>c. Dalam surat Al-Syura (42): 38</b>
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
<b>musyawarah</b> antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari
rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Al-Syura (42): 38)</div>
<br />
Ayat ketiga ini turun sebagai pujian kepada kelompok Muslim Madinah
(Anshar) yang bersedia membela Nabi saw dan menyepakati hal tersebut
melalui musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub Al-Anshari.
Namun demikian, ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap kelompok
yang melakukan musyawarah.
<br /><br />
Bila menggali lebih dalam ayat-ayat tersebut serta ayat-ayat lainnya,
maka <b>nampak jelas bahwa Al-Quran memberikan perhatian yang sangat
besar terhadap persoalan musyawarah.</b>
<br /><br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
PETUNJUK AL-QURAN MENYANGKUT PERKEMBANGAN MASYARAKAT</div>
Secara umum dapat dikatakan bahwa <b>petunjuk Al-Quran yang rinci lebih
banyak tertuju terhadap persoalan-persoalan yang tak terjangkau nalar
serta tak mengalami perkembangan atau perubahan. Dari sini dipahami
kenapa uraian Al-Quran mengenai metafisika, seperti surga dan neraka,
amat rinci karena ini merupakan soal yang tak terjangkau nalar.</b>
Demikian juga soal mahram (yang terlarang dikawini), karena ia tak
mengalami perkembangan. Seorang anak, selama jiwanya normal, tak mungkin
menikahi orang tuanya, saudara, atau keluarga dekat tertentu, demikian
seterusnya.
<br /><br />
<b>Adapun persoalan yang dapat mengalami perkembangan dan perubahan,
Al-Quran menjelaskan petunjuknya dalam bentuk global (prinsip-prinsip
umum), agar petunjuk itu dapat menampung segala perubahan dan
perkembangan sosial budaya manusia. </b>
<br /><br />
Memang amat sulit jika rincian suatu persoalan yang diterapkan pada
suatu masa atau masyarakat tertentu dengan ciri kondisi sosial
budayanya, harus diterapkan pula dengan rincian yang sama untuk
masyarakat lain, baik di tempat yang sama pada masa yang berbeda,
apalagi di tempat yang lain pada masa yang berlainan.
<br />
<b>Musyawarah atau demokrasi adalah salah satu contohnya.</b> Karena itu
pula, petunjuk kitab suci Al-Quran menyangkut hal ini amat singkat dan
hanya mengandung prinsip-prinsip umumnya saja.
<br /><br />
Jangankan Al-Quran, Nabi saw yang dalam banyak hal menjabarkan
petunjuk-petunjuk umum Al-Quran, perihal musyawarah ini tidak meletakkan
rinciannya. Bahkan tidak juga memberikan pola tertentu yang harus
diikuti. Itu sebabnya cara suksesi yang dilakukan oleh empat khalifah
beliau --Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali r. a.-- berbeda-beda di antara
satu dengan lainnya.
<br /><br />
Demikianlah, Rasul saw tidak meletakkan petunjuk tegas yang rinci
tentang cara dan pola syura. Karena jika beliau sendiri yang meletakkan
hukumnya, ini bertentangan dengan prinsip syura yang diperintahkan
Al-Quran --bukankah Al-Quran memerintahkan agar persoalan umat
dibicarakan bersama? Sedangkan apabila beliau bersama sahabat yang lain
menetapkan sesuatu, itu pun berlaku untuk masa beliau saja. Tidak
berlaku --rincian itu-- untuk masa sesudahnya. Bukankah Rasul saw telah
memberi kebebasan kepada umat Islam agar mengatur sendiri urusan
dunianya dengan sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: <b>"Kalian
lebih mengetahui persoalan dunia kalian.</b>
<br /><br />
Dan dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Ahmad : "Yang berkaitan dengan
urusan agama kalian, maka kepadaku (rujukannya), dan yang berkaitan
dengan urusan dunia kalian, maka kalian lebih mengetahuinya."
<br /><br />
Sungguh tepat keterangan pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha:
<br />
Allah telah menganugerahkan kepada kita kemerdekaan penuh dan kebebasan
sempurna di dalam urusan dunia dan kepentingan masyarakat dengan jalan
memberi petunjuk untuk melakukan musyawarah. Yakni yang dilakukan oleh
orang-orang cakap dan terpandang yang kita percayai, untuk menetapkan
bagi kita (masyarakat) pada setiap periode hal-hal yang bermanfaat dan
membahagiakan masyarakat... Kita sering mengikat diri sendiri dengan
berbagai ikatan (syarat) yang kita ciptakan, kemudian kita namakan
syarat itu ajaran agama. Namun, pada akhirnya syarat-syarat itu
membelenggu diri kita.
<br />
Demikian lebih kurang tulisan Rasyid Ridha ketika menafsirkan surat
Al-Nisa' (4): 59.
<br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
MUSYAWARAH DALAM AL-QURAN</div>
Memang banyak persoalan yang dapat diambil jawabannya dari ketiga ayat
musyawarah itu. Namun, tidak sedikit dari jawaban tesebut merupakan
pemahaman para sahabat Nabi atau ulama. Meskipun ada juga yang merupakan
petunjuk-petunjuk umum yang bersumber dari Sunnah Nabi saw, tetapi
petunjuk-petunjuk tersebut masih dapat dikembangkan atau tidak
sepenuhnya mengikat.
<br /><br />
Berbagai masalah yang dibahas para ulama mengenai musyawarah antara
lain: <br />
(a) orang yang diminta bermusyawarah; <br />
(b) dalam hal-hal apa saja musyawarah dilaksanakan; dan <br />
(c) dengan siapa sebaiknya musyawarah dilakukan.
<br /><br />
Sebelum menguraikan sekilas tentang hal-hal tesebut, terlebih dahulu
perlu dikemukakan petunjuk yang diisyaratkan Al-Quran mengenai beberapa
sikap yang harus dilakukan seseorang untuk mensukseskan musyawarah.
Petunjuk-petunjuk tersebut secara tersurat ditemukan dalam surat Ali
'Imran ayat 159 (yang terjemahannya telah dikutip di atas).
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Maka disebabkan rahmat dari Allahlah, engkau bersikap
lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kasar dan
berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan <b>bermusyawarahlah</b>
dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila engkau telah
membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya. (QS. Ali 'Imran (3):
159)</div>
<br />
Pada ayat itu disebutkan tiga sikap yang secara berurutan diperintahkan
kepada Muhammad saw untuk beliau lakukan sebelum datangnya perintah
bermusyawarah. Penyebutan ketiga sikap tersebut --menurut Quraish
Shihab-- walaupun dikemukakan sesuai konteks turunnya ayat, serta
mempunyai makna tersendiri berkaitan dengan sikap atau pandangan para
sahabat --sebagaimana akan diutarakan kemudian-- namun, dari segi
pelaksanaan dan esensi musyawarah agaknya sifat-sifat tersebut sengaja
dikemukakan agar ketiganya menghiasi diri Nabi dan setiap orang yang
melakukan musyawarah. Setelah itu disebutkan satu lagi sikap yang harus
dilakukan setelah musyawarah, yakni kebulatan tekad untuk melaksanakan
apa yang telah ditetapkan dalam musyawarah. Sikap-sikap tersebut
sebagian terbaca pada ayat Ali 'Imran di atas.
<br /><br />
<b>Pertama, adalah sikap lemah lembut. </b>
<br /><br />
Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pemimpin, harus
menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika
tidak, mitra musyawarah akan bertebaran pergi. Petunjuk ini dikandung
oleh frase,
<br />
Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu.
<br /><br />
<b>Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru.</b>
<br /><br />
Dalam ayat di atas disebutkan sebagai fa'fu anhum (maafkan mereka). Kata
maaf, secara harfiah, berarti "menghapus". Memaafkan adalah menghapus
bekas luka di hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai tidak wajar.
Ini perlu, karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan
kecerahan pikiran hanya hadir bersamaan dengan sirnanya kekeruhan hati.
<br /><br />
Di sisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk
selalu bersedia memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah
terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung
pihak lain. Dan bila hal itu masuk ke dalam hati, akan mengeruhkan
pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi
pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa'fu anhum.
<br /><br />
Kemudian orang yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa kecerahan
atau ketajaman analisis saja, tidaklah cukup. William James, filosof
Amerika kenamaan, menegaskan, akal memang mengagumkan. Ia mampu
membatalkan suatu argumen dengan argumen lain. Ini akan dapat
mengantarkan kita kepada keraguan yang mengguncangkan etika dan
nilai-nilai hidup kita.
<br /><br />
Jika demikian, kita masih membutuhkan "sesuatu" di samping akal.
Terserah Anda, apa nama "sesuatu" itu. Namailah "indera keenam"
sebagaimana filosof dan psikolog menamainya, atau "bisikan atau gerak
hati" seperti kata orang kebanyakan, atau "ilham, hidayat, dan firasat"
menurut nama yang diberikan agamawan.
<br />
Tidak jelas cara kerja "sesuatu" itu, karena datangnya sekejap, sekadar
untuk mencampakkan informasi yang diduga "kebetulan" oleh sebagian
orang, dan kepergiannya pun tanpa izin orang yang dikunjungi.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Biasanya, "sesuatu" itu mengunjungi orang-orang yang
jiwanya dihiasi kesucian, karena Allah tidak akan memberi hidayat kepada
orang yang berlaku aniaya (QS Al-Haqarah [2]: 258), bergelimang dosa
atau fasik (QS Al-Ma-idah [5]: 108), melampaui batas lagi pendusta (QS
Al Mu'min [40]: 28), pengkhianat (QS Yusuf [12]: 52), dan pembohong (QS
Al-Zumar [39]: 3). </div>
<br />
Jika demikian, untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah,
hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis. Itulah sebabnya, <b>hal ketiga
yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah dan
ampunan Ilahi,</b> sebagaimana ditegaskan oleh pesan surat Ali 'Imran
ayat 159 di atas, wa istaghfir lahum.
<br /><br />
<b>Pesan terakhir Ilahi </b>di dalam konteks musyawarah adalah setelah
musyawarah usai, yaitu <b>apabila telah bulat tekad (laksanakanlah) dan
berserah dirilah kepada Allah.</b> Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berserah diri.
<br /><br />
<a href="" id="4" name="4"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
ORANG-ORANG YANG DIMINTA BERMUSYAWARAH</div>
Secara tegas dapat terbaca bahwa perintah musyawarah pada ayat 159 surat
Ali 'Imran ditujukan kepada Nabi Muhammad saw Hal ini dengan mudah
dipahami dari redaksi perintahnya yang berbentuk tunggal. Namun
demikian, pakar-pakar Al-Quran sepakat berpendapat bahwa perintah
musyawarah ditujukan kepada semua orang. Bila Nabi saw saja
diperintahkan oleh Al-Quran untuk bermusyawarah, padahal beliau orang
yang ma'shum (terpelihara dari dosa atau kesalahan), apalagi
manusia-manusia selain beliau.
<br /><br />
Tanpa analogi di atas, petunjuk ayat ini tetap dapat dipahami berlaku
untuk Semua orang, walaupun redaksinya ditujukan kepada Nabi saw Di sini
Nabi berperan sebagai pemimpin umat, yang berkewajiban menyampaikan
kandungan ayat kepada seluruh umat, sehingga sejak semula kandungannya
telah ditujukan kepada mereka semua.
<br /><br />
Perintah bermusyawarah pada ayat di atas turun setelah peristiwa
menyedihkan pada perang Uhud. Ketika itu, menjelang pertempuran, Nabi
mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk memusyawarahkan bagaimana sikap
menghadapi musuh yang sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah.
Nabi cenderung untuk bertahan di kota Madinah, dan tidak ke luar
menghadapi musuh yang datang dari Makkah. Sahabat-sahabat beliau
terutama kaum muda yang penuh semangat mendesak agar kaum Muslim di
bawah pimpinan Nabi Saw "keluar" menghadapi musuh. Pendapat mereka itu
memperoleh dukungan mayoritas, sehingga Nabi saw menyetujuinya. Tetapi,
peperangan berakhir dengan gugurnya tidak kurang dari tujuh puluh orang
sahabat Nabi saw
<br /><br />
Konteks turunnya ayat ini, serta kondisi psikologis yang dialami Nabi
saw dan sahabat beliau setelah turunnya ayat ini, amat perlu
digarisbawahi untuk melihat bagaimana pandangan Al-Quran tentang
musyawarah.
<br />
Ayat ini seakan-akan berpesan kepada Nabi saw bahwa musyawarah harus
tetap dipertahankan dan dilanjutkan, walaupun terbukti pendapat yang
pernah mereka putuskan keliru. Kesalahan mayoritas lebih dapat
ditoleransi dan menjadi tanggung jawab bersama, dibandingkan dengan
kesalahan seseorang meskipun diakui kejituan pendapatnya sekalipun.
<br /><br />
Dalam literatur keagamaan ditemukan ungkapan: "Takkan kecewa orang yang
memohon petunjuk [kepada Allah] tentang pilihan yang terbaik, dan tidak
juga akan menyesal seseorang yang melakukan musyawarah".
<br /><br />
<a href="" id="5" name="5"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
RUANG LINGKUP MUSYAWARAH</div>
Apakah Al-Quran memberikan kebebasan melakukan musyawarah untuk segala
persoalan? Jawabannya secara tegas: Tidak.
<br /><br />
Ayat Ali 'Imran di atas, yang menyuruh Nabi saw melakukan musyawarah,
menggunakan kata al-amr: ketika memerintahkan bermusyawarah (syawirhum
fil amr) yang diterjemahkan Quraish Shihab dengan "persoalan/urusan
tertentu". Sedangkan ayat Al-Syura menggunakan kata amruhun yang
terjemahannya adalah "urusan mereka".
<br />
Kata amr dalam Al-Quran ada yang dinisbahkan kepada Tuhan dan sekaligus
menjadi urusan-Nya semata, sehingga tidak ada campur tangan manusia pada
urusan tersebut, seperti misalnya:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah "Ruh
adalah urusan Tuhan-Ku" (QS Al-Isra' [17]: 85). </div>
<br />
Ada juga amr yang dinisbahkan kepada manusia, misalnya bentuk yang
ditujukan kepada orang kedua seperti dalam QS Al-Kahf [18]: 16.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu,
dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu (QS
Al-Kahf [18]: 16). </div>
<br />
Atau ada juga yang dinisbahkan kepada orang ketiga seperti dalam surat
Al-Syura yang sedang dibicarakan ini (urusan mereka).
<br />
Sebagaimana ada juga kata "amr" yang tidak dinisbahkan itu yang
berbentuk indefinitif, sehingga secara umum dapat dikatakan mencakup
segala sesuatu, seperti dalam QS Al-Baqarah (2): 117.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apabila Dia (Allah) menetapkan sesuatu, Dia hanya
berkata: "Jadilah", maka jadilah ia (QS Al-Baqarah [2]: 117). </div>
<br />
Sedangkan yang berbentuk definitif, maka pengertiannya dapat mencakup
semua hal ataupun hal-hal tertentu saja. Sebagaimana surat Al-Isra' ayat
85 yang mengkhususkan hal-hal tertentu sebagai urusan Allah. Bahkan
Al-Quran surat Ali 'Imran ayat 128 secara tegas menafikan pula
urusan-urusan tertentu dari wewenang Nabi saw,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka
(itu), apakah Allah memaafkan mereka atau menyiksa mereka, karena
sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berlaku aniaya (QS Ali
'Imran [3]: l28). </div>
<br />
Betapapun, dari ayat-ayat Al-Quran, tampak jelas adanya hal-hal yang
merupakan urusan Allah semata sehingga manusia tidak diperkenankan untuk
mencampurinya, dan ada juga urusan yang dilimpahkan sepenuhnya kepada
manusia.
<br />
Dalam konteks ketetapan Allah dan ketetapan Rasul yang bersumber dari
wahyu, Al-Quran menyatakan secara tegas:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Tidaklah wajar bagi seorang mukmin atau mukminah,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu hukum, akan ada bagi
mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (QS Al-Ahzab [33]: 36).
</div>
<br />
Sebagian pakar tafsir membatasi masalah permusyawarahan hanya untuk yang
berkaitan dengan urusan dunia, bukan persoalan agama. Pakar yang lain
memperluas hingga membenarkan adanya musyawarah di samping untuk urusan
dunia, juga untuk sebagian masalah keagamaan. Alasannya, karena dengan
adanya perubahan sosial, sebagian masalah keagamaan belum ditentukan
penyelesaiannya di dalam Al-Quran maupun sunnah Nabi saw
<br /><br />
Dari sini disimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang telah ada
petunjuknya dari Tuhan secara tegas dan jelas, baik langsung maupun
melalui Nabi-Nya, tidak dapat dimusyawarahkan, seperti misalnya tata
cara beribadah. Musyawarah hanya dilakukan pada hal-hal yang belum
ditentukan petunjuknya, serta persoalan-persoalan kehidupan duniawi,
baik yang petunjuknya bersifat global maupun tanpa petunjuk dan yang
mengalami perkembangan dan perubahan.
<br /><br />
Nabi bermusyawarah dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan masyarakat
dan negara, seperti persoalan perang, ekonomi, dan sosial. Bahkan dari
sejarah diperoleh informasi bahwa beliau pun bermusyawarah (meminta
saran dan pendapat) di dalam beberapa persoalan pribadi atau keluarga.
Salah satu kasus keluarga yang beliau musyawarahkan adalah kasus fitnah
terhadap istri beliau Aisyah r.a. yang digosipkan telah menodai
kehormatan rumah tangga. Ketika gosip tersebut menyebar, Rasulullah saw
bertanya kepada sekian orang sahabat/keluarganya.
<br /><br />
Walhasil, kita dapat menyimpulkan bahwa <b>musyawarah dapat dilakukan
untuk segala masalah yang belum terdapat petunjuk agama secara jelas dan
pasti, sekaligus yang berkaitan dengan kehidupan duniawi. </b>
<br />
Hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan ukhrawi atau persoalan ibadah,
tidak dapat dimusyawarahkan. Bagaimana dapat dimusyawarahkan, sedangkan
nalar dan pengalaman manusia tidak dan belum sampai ke sana.
<br /><br />
<a href="" id="6" name="6"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
BERMUSYAWARAH DENGAN SIAPA</div>
Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan pribadi,
namun boleh jadi urusan masyarakat umum. Dalam ayat pertama tentang
musyawarah di atas, Nabi saw diperintahkan bermusyawarah dengan
"mereka". Mereka siapa? Tentu saja mereka yang dipimpin oleh Nabi saw,
yakni yang disebut umat atau anggota masyarakat.
<br />
Sedangkan ayat yang lain menyatakan,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Persoalan mereka dimusyawarahkan antar mereka (QS Syura
[42]: 38). </div>
<br />
Ini berarti yang dimusyawarahkan adalah persoalan yang khusus berkaitan
dengan masyarakat sebagai satu unit. Tetapi, sebagaimana yang
dipraktekkan oleh Nabi saw dan para sahabatnya, tidak tertutup
kemungkinan memperluas jangkauan pengertiannya sehingga mencakup
persoalan individu sebagai anggota masyarakat.
<br /><br />
Ayat-ayat musyawarah yang dikutip di atas tidak menetapkan sifat-sifat
mereka yang diajak bermusyawarah, tidak juga jumlahnya. Namun demikian,
dari As-Sunnah dan pandangan ulama, diperoleh informasi tentang
sifat-sifat umum yang hendaknya dimiliki oleh yang diajak bermusyawarah.
Satu dari sekian riwayat menyatakan bahwa Rasul saw pernah berpesan
kepada Imam Ali bin Abi Thalib sebagai berikut: "Wahai Ali, jangan
bermusyawarah dengan penakut, karena dia mempersempit jalan keluar.
Jangan juga dengan yang kikir, karena dia menghambat engkau dari
tujuanmu. Juga tidak dengan yang berambisi, karena dia akan memperindah
untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan
ambisi, merupakan bawaan yang sama, kesemuanya bermuara pada prasangka
buruk terhadap Allah".
<br /><br />
Imam Ja'far Ash-Shadiq pun berpesan: <b>"Bermuyawarahlah dalam
persoalan-persoalanmu dengan seseorang yang memiliki lima hal: akal,
lapang dada, pengalaman, perhatian, dan takwa."</b>
<br /><br />
Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan masyarakat, praktek
yang dilakukan Nabi saw cukup beragam. Terkadang beliau memilih orang
tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang dimusyawarahkan,
terkadang juga melibatkan pemuka-pemuka masyarakat, bahkan menanyakan
kepada semua yang terlibat di dalam masalah yang dihadapi.
<br />
Sebagian pakar tafsir membicarakan musyawarah dan orang-orang yang
terlibat di dalamnya ketika mereka menafsirkan firman Allah dalam
Al-Quran surat Al-Nisa'(4): 59:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amr di antara kamu. Kemudian jika kamu
berbeda pendapat mengenai suatu hal, kembalikanlah kepada (jiwa ajaran)
Allah (Al-Quran) dan (jiwa ajaran) Rasul (sunnahnya). Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (QS Al-Nisa [4]: 59). </div>
<br />
Dalam ayat itu terdapat kalimat ulul amr, yang diperintahkan untuk
ditaati. Kata amr di sini berkaitan dengan kata amr yang disebutkan
dalam Al-Quran surat Al-Syura ayat 38 (persoalan atau urusan mereka,
merekalah yang memusyawarahkan). Tentunya tidak mudah melibatkan seluruh
anggota masyarakat dalam musyawarah itu, tetapi keterlibatan mereka
dapat diwujudkan melalui orang-orang tertentu yang mewakili mereka, yang
oleh para pakar diberi nama berbeda-beda sekali Ahl Al-Hal wa Al-'Aqd,
dikali lain Ahl Al-Ijtihad, dan kali ketiga Ahl Al-Syura.
<br /><br />
Dapat disimpulkan bahwa Ahl Al-Syura merupakan istilah umum, yang kepada
mereka para penguasa dapat meminta pertimbangan dan saran. Jika
demikian, tidak perlu ditetapkan secara rinci dan ketat sifat-sifat
mereka, tergantung pada persoalan apa yang sedang dimusyawarahkan.
<br />
Sebagian pakar kontemporer memahami istilah Ahl Al-Hal wa Al-'Aqd
sebagai orang-orang yang mempunyai pengaruh di tengah masyarakat,
sehingga kecenderungan mereka kepada satu pendapat atau keputusan mereka
dapat mengantarkan masyarakat pada hal yang sama.
<br /><br />
Muhammad Abduh memahami Ahl Al-Hal wa Al-'Aqd sebagai orang yang menjadi
rujukan masyarakat untuk kebutuhan dan kepentingan umum mereka, yang
mencakup pemimpin formal maupun non-formal, sipil maupun militer.
<br />
Adapun Ahl Al-Ijtihad adalah kelompok ahli dan para teknokrat dalam
berbagai bidang dan disiplin ilmu.
<br /><br />
<a href="" id="7" name="7"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
SYURA DAN DEMOKRASI</div>
Al-Quran dan Sunnah menetapkan beberapa prinsip pokok berkaitan dengan
kehidupan politik, seperti al-syura, keadilan, tanggung jawab, kepastian
hukum, jaminan haq al-'ibad (hak-hak manusia), dan lain-lain, yang
kesemuanya memiliki kaitan dengan syura atau demokrasi.
<br /><br />
Apabila kita bermaksud membandingkan syura dengan demokrasi, tentunya
perlu juga dijelaskan apa yang disebut demokrasi. Namun, untuk tidak
memasuki perincian tentang makna demokrasi yang beraneka ragam, dapat
dikatakan bahwa manusia mengenal tiga cara menetapkan keputusan yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat, yaitu:
<br /><br />
<b>
1. Keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.
2. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan minoritas.
3. Keputusan yang ditetapkan berdasarkan pandangan mayoritas, dan ini
biasanya menjadi ciri umum demokrasi. </b>
<br /><br />
Syura yang diwajibkan oleh Islam tidak dapat dibayangkan berwujud
seperti bentuk pertama, karena hal itu justru menjadikan syura lumpuh.
Bentuk kedua pun tidak sesuai dengan makna syura, sebab apakah
keistimewaan pendapat minoritas yang mengalahkan pandangan mayoritas?
<br />
Memang ada sebagian pakar Islam kontemporer yang menolak kewenangan
mayoritas berdasar firman Allah:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Tidak sama yang buruk dengan yang baik, walaupun
banyaknya yang buruk itu menyenangkan kamu (QS Al-Ma-idah [51: 100). </div>
<div>
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Kebanyakan kamu tidak menyenangi kebenaran (QS
Al-Zukhruf [43]: 78). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Tetapi pandangan mereka sulit diterima, karena ayat-ayat itu bukan
berbicara dalam konteks musyawarah melainkan dalam konteks petunjuk
Ilahi yang diberikan kepada para Nabi dan ditolak oleh sebagian besar
anggota masyarakatnya ketika itu. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang
sikap masyarakat Mekkah ketika itu, serta umat manusia dalam
kenyataannya dewasa ini.
<br /><br />
Namun demikian, walaupun syura di dalam Islam membenarkan keputusan
pendapat mayoritas, tetapi menurut sementara pakar ia tidaklah mutlak.
Demikian Dr. Ahmad Kamal Abu Al-Majad, seorang pakar Muslim Mesir
kontemporer dalam bukunya Hiwar la Muwayahah (Dialog Bukanlah
Konfrontasi). Agaknya yang dimaksud adalah bahwa keputusan janganlah
langsung diambil berdasar pandangan mayoritas setelah melakukan sekali
dua kali musyawarah, tetapi hendaknya berulang-ulang hingga dicapai
kesepakatan.
<br /><br />
Ini karena syura dilaksanakan oleh orang-orang pilihan yang memiliki
sifat-sifat terpuji serta tidak memiliki kepentingan pribadi atau
golongan, dan dilaksanakan sewajarnya agar disepakati bersama. Sekalipun
ada di antara mereka yang tidak menerima keputusan, itu dapat menjadi
indikasi adanya sisi-sisi yang kurang berkenan di hati dan pikiran
orang-orang pilihan walaupun mereka minoritas, sehingga masih perlu
dibicarakan lebih lanjut agar mencapai mufakat (untuk menemukan "madu"
atau yang terbaik).
<br /><br />
Ini merupakan salah satu perbedaan antara syura di dalam Islam dengan
demokrasi secara umum.
<br />
Memang, apabila pembicaraan berlarut tanpa menemukan mufakat, dan tidak
ada jalan lain kecuali memilih pandangan mayoritas, saat itu dapat
dikatakan bahwa kedua pandangan masing-masing baik, tetapi yang satu
jauh lebih baik. Di dalam kaidah agama diajarkan apabila terdapat dua
pilihan yang sama-sama baik, pilihlah yang lebih banyak sisi baiknya,
dan jika keduanya buruk, pilihlah yang paling sedikit keburukannya.
<br /><br />
Dari segi implikasi pengangkatan pimpinan, terdapat juga perbedaan.
Walaupun keduanya --syura dan demokrasi-- menetapkan bahwa pimpinan
diangkat melalui kontrak sosial, namun syura di dalam Islam
mengaitkannya dengan "Perjanjian Ilahi". Ini diisyaratkan oleh Al-Quran
dalam firman-Nya ketika mengaangkat Nabi Ibrahim a.s. sebagai imam.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
Imam (pemimpin) bagi manusia." Ibrahim berkata, "Saya bermohon agar
pengangkatan ini dianugerahkan juga kepada sebagian keturunanku." Dia
(Allah) berfirman, "Perjanjian-Ku tidak menyentuh orang-orang yang
zalim" (QS Al-Baqarah [2]: 124) </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Dari sini lahir perbedaan ketiga, yaitu bahwa dalam demokrasi sekuler
persoalan apa pun dapat dibahas dan diputuskan. Tetapi dalam syura yang
diajarkan Islam, tidak dibenarkan untuk memusyawarahkan segala sesuatu
yang telah ada ketetapannya dari Tuhan secara tegas dan pasti, dan tidak
pula dibenarkan menetapkan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
ajaran Ilahi.
<br /><br />
Demikian sekilas mengenai wawasan musyawarah di dalam Al-Quran. Agaknya
dapat disimpulkan, bahwa musyawarah diperintahkan oleh Al-Quran, serta
dinilai sebagai salah satu prinsip hukum dan politik untuk umat manusia.
<br /><br />
Namun demikian, Al-Quran tidak merinci atau meletakkan pola dan bentuk
musyawarah tertentu. Paling tidak, yang dapat disimpulkan dari teks-teks
Al-Quran hanyalah bahwa Islam menuntut adanya keterlibatan masyarakat
di dalam urusan yang berkaitan dengan mereka. Perincian keterlibatan,
pola, dan caranya diserahkan kepada masing-masing masyarakat, karena
satu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat lain. Bahkan masyarakat
tertentu dapat mempunyai pandangan berbeda dari suatu masa ke masa yang
lain.
<br /><br />
Sikap Al-Quran seperti itu memberikan kesempatan kepada setiap
masyarakat untuk menyesuaikan sistem syura-nya dengan kepribadian,
kebudayaan dan kondisi sosialnya.
<br />
Mengikat diri atau masyarakat kita dengan fatwa ulama dan pakar-pakar
masa lampau, bahkan pendapat para sahabat Nabi saw dalam persoalan
syura, atau pandangan dan pengalaman masyarakat lain, serta membatasi
diri dengan istilah dan pengertian tertentu, bukanlah sesuatu yang
tepat, baik ditinjau dari segi logika maupun pandangan agama.
<br /><br />
Memang setiap masyarakat di setiap masa memiliki budaya dan kondisi yang
khas, sehingga wajar jika masing-masing mempunyai pandangan dan jalan
yang berbeda-beda. Hakikat ini agaknya merupakan salah satu kandungan
makna firman Allah.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Setiap umat (masyarakat) di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang (QS Al-Maidah [5]: 48). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Mahabenar Allah Yang Mahaagung dalam segala firman-Nya.
<br /><br /><br />
<a href="" id="8" name="8"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
<li>M. Nashiruddin Al-Albani, <i>Ringkasan Shahih Bukhari</i>,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
</li>
<li>Al-Bayan, <i>Shahih Bukhari Muslim</i>, Jabal, Bandung, 2008.
</li>
<li>Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, <i>Kemudahan dari Allah, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir</i>, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani,
Jakarta, 1999.
</li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-48405640486505020502012-02-18T07:01:00.002-08:002012-02-18T07:01:47.403-08:00Masyarakat<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0"><tbody>
<tr><td height="3"><br /></td></tr>
<tr><td style="font-family: arial,sans-serif;">
<style type="text/css">
.b2s {color: blue; font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 8pt; padding-left: 6px; TEXT-DECORATION: none;}
.b2s:hover {color: white; background:red;}
.quran0 {font-family: arial; color: #00c; font-weight: bold; font-size: 11pt; TEXT-DECORATION: underline;}
.quran0:hover {color: white; background:red;}
.quran1 {font-family: helvetica,sans-serif; font-weight: bold; color: #00c; font-size: 11pt; padding-left:10px; padding-top:3px; padding-bottom:1px;}
.quran2 {font-family: verdana,helvetica,sans-serif; color:green; font-size: 10pt; padding-left:21px; padding-right:10px; padding-bottom:3px; padding-top:3px; text-align: justify;}
.quran3 {font-family: verdana,helvetica,sans-serif; color:black; font-size: 10pt; padding-left:21px; padding-right:10px; padding-bottom:3px; padding-top:3px; text-align: justify;}
.quran4 {padding-left:21px; text-align: center;}
.quran5 {padding-bottom:5px; padding-top:5px; text-align: center;}
.quran6 {font-family: verdana,helvetica,sans-serif; color:green; font-size: 10pt; padding-left:21px; padding-right:10px; padding-bottom:3px; padding-top:3px; text-align: justify;}
.quran11 {font-family: arial; color: #00c; font-weight: bold; font-size: 12pt; TEXT-DECORATION: underline;}
.quran11:hover {color: white; background:red;}
.cangkok1 {font-family: arial; color: #00c; font-size: 12pt; TEXT-DECORATION: underline;}
.cangkok1:hover {color: white; background:red;}
.art0 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 13pt; padding-top: 13px; padding-bottom: 10px;}
.art1 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 12pt; padding-top: 13px; padding-bottom: 10px;}
.art3 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 11pt; padding-top: 13px; padding-bottom: 10px;}
.art2 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 14pt; padding-top: 15px; padding-bottom: 10px; border-top:1px solid silver;}
.artz {text-align:center; font-weight: bold; font-family: arial; color:white; font-size: 19pt; padding-top: 10px; background:black; padding-bottom: 10px; border-top:1px solid silver;}
.ayq {font-family: serif; font-size: 11pt; font-style: italic; padding-left: 20px; padding-right: 20px; }
.sih {font-family: arial,sans-serif; font-size: 10pt; text-align: center; border-top:1px solid silver;}
.ay2 {font-weight: bold; font-family: cursive,sans-serif; font-size: 12pt; padding-top: 20px; padding-bottom: 15px; border-top:1px solid gray;}
.ay3 {font-weight: bold; font-family: cursive,sans-serif; font-size: 13pt; padding-top: 20px; padding-bottom: 0px; border-top:1px solid gray;}
br {font-size: 8pt;}
.a {font-family: arial,sans-serif; color: #00c; font-size: 10pt; TEXT-DECORATION: none;}
.a:visited {color: #551a8b; }
.a:hover {color: white; background:red;}
P {text-align:justify;}
</style>
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="padding-left: 21px; padding-right: 21px;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td align="justify" style="font-family: Times New Roman,serif; font-size: 11pt;">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver;">
<tbody>
<tr>
<td width="50">
<img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Masyarakat</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Manusia dan Masyarakat</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<b></b>
<br />
Walaupun Al-Quran bukan kitab ilmiah --dalam pengertian umum-- namun
Kitab Suci ini banyak sekali berbicara tentang masyarakat. Ini
disebabkan karena fungsi utama Kitab Suci ini adalah mendorong lahirnya
perubahan-perubahan positif dalam masyarakat, atau dalam istilah
Al-Quran: litukhrija an-nas minazh-zhulumati ilan nur (mengeluarkan
manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang benderang). Dengan alasan
yang sama, dapat dipahami mengapa Kitab Suci umat Islam ini
memperkenalkan sekian banyak hukum-hukum yang berkaitan dengan bangun
runtuhnya suatu masyarakat. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
<b>Al-Quran merupakan buku pertama yang memperkenalkan hukum-hukum
kemasyarakatan.</b>
<br /><br />
<b>Manusia adalah "makhluk sosial".</b> Ayat kedua dari wahyu pertama
yang diterima Nabi Muhammad saw, dapat dipahami sebagai salah satu ayat
yang menjelaskan hal tersebut. Khalaqal insan min 'alaq bukan saja
diartikan sebagai "menciptakan manusia dari segumpal darah" atau
"sesuatu yang berdempet di dinding rahim", tetapi juga dapat dipahami
sebagai <b>"diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung kepada
pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri."</b> Ayat lain dalam konteks
ini adalah surat Al-Hujurat ayat 13. Dalam ayat tersebut secara tegas
dinyatakan bahwa <b>manusia diciptakan terdiri dari lelaki dan
perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling
mengenal.</b> Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, menurut Al-Quran,
manusia secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat
merupakan satu keniscayaan bagi mereka.
<br /><br />
Tingkat kecerdasan, kemampuan, dan status sosial manusia menurut
Al-Quran berbeda-beda:
<br /><br />
<div class="ayq">
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami
yang membagi antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia ini.
Dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa tingkat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang
lain, dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (QS
Al-Zukhruf [43]: 32).</div>
<br />
Seperti terbaca di atas, perbedaan-perbedaan tersebut bertujuan agar
mereka saling memanfaatkan (sebagian mereka dapat memperoleh manfaat
dari sebagian yang lain) sehingga dengan demikian <b>semua saling
membutuhkan dan cenderung berhubungan dengan yang lain.</b> Ayat ini, di
samping menekankan kehidupan bersama, juga sekali lagi menekankan bahwa
bermasyarakat adalah sesuatu yang lahir dari naluri alamiah
masing-masing manusia.
<br /><br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2">
CIRI KHAS SETIAP MASYARAKAT</div>
Setiap masyarakat mempunyai ciri khas dan pandangan hidupnya. Mereka
melangkah berdasarkan kesadaran tentang hal tersebut. Inilah yang
melahirkan watak dan kepribadiannya yang khas. Dalam hal ini, Al-Quran
menyatakan:
<br /><br />
<div class="ayq">
Demikianlah, Kami jadikan indah (di mata) setiap
masyarakat perbuatan mereka (QS A1-An'am [6]: 108). </div>
<br />
<b>Suasana kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya
mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat itu.</b> Jika sistem
nilai atau pandangan mereka terbatas pada "kini dan di sini" maka upaya
dan ambisinya menjadi terbatas pada kini dan di sini pula. Allah
menjanjikan masyarakat ini --bila memenuhi sunnatullah-- akan mencapai
sukses, tetapi sukses yang terbatas pada "kini dan di sini" dan setelah
itu, mereka akan jenuh, mandek, akibat rutinitas, kemudian menemui
ajalnya.
<br /><br />
<b>Al-Quran menekankan kebersamaan anggota masyarakat seperti gagasan
sejarah bersama, tujuan bersama, catatan perbuatan bersama, bahkan
kebangkitan, dan kematian bersama. Dari sini lahir gagasan amar ma'ruf
dan nahi munkar, serta konsep fardhu kifayah dalam arti semua anggota
masyarakat memikul dosa bila sebagian mereka tidak melaksanakan
kewajiban tertentu.</b>
<br /><br />
Meskipun Al-Quran menisbahkan watak, kepribadian, kesadaran, kehidupan
dan kematian kepada masyarakat, namun <b>Al-Quran tetap mengakui peranan
individu, agar setiap orang bertanggung jawab atas diri dan
masyarakatnya.</b> Banyak sekali kisah-kisah Al-Quran yang menguraikan
penampilan satu individu untuk membangun masyarakatnya atau menentang
kebejatannya. Keberhasilan mereka pun berdasarkan satu hukum
kemasyarakatan yang pasti.
<br /><br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2">
HUKUM-HUKUM KEMASYARAKATAN</div>
Al-Quran sarat dengan uraian tentang hukum-hukum yang mengatur lahir,
tumbuh, dan runtuhnya suatu masyarakat. Sebagian di antaranya telah
disinggung di atas. Hukum-hukum itu --dari segi kepastiannya-- tidak
berbeda dengan hukum-hukum alam. <b>Hukum-hukum itu dinamai oleh
Al-Quran sunnatullah,</b> dan berulang kali dinyatakannya:
<br /><br />
<div class="ayq">
Engkau tidak akan mendapatkan perubahan terhadap
sunnatullah (QS Al-Ahzab [33]: 62). </div>
<br />
Salah satu hukum kemasyarakatan yang amat populer --walaupun sering
diterjemahkan dan dipahami secara keliru-- adalah firman Allah yang
berbicara tentang hukum perubahan
<br /><br />
<div class="ayq">
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang
terdapat pada (keadaan) satu kaum (masyarakat), sehingga mereka mengubah
apa yang terdapat dalam diri (sikap mental) mereka (QS Ar-Ra'd [13]:
11). </div>
<br />
Dalam buku Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A., "Membumikan" Al-Quran,
dikemukakan bahwa:
<br /><br />
Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku. <b>Pertama,
perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah, dan kedua perubahan
keadaan diri manusia (sikap mental) yang pelakunya adalah manusia.</b>
Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum
masyarakat yang ditetapkan-Nya. Hukum-hukum tersebut tidak memilih kasih
atau membedakan antara satu masyarakat/kelompok dengan
masyarakat/kelompok lain ...
<br /><br />
Ma bi anfusihim yang diterjemahkan dengan "apa yang terdapat dalam diri
mereka", terdiri dari dua unsur pokok, yaitu nilai-nilai yang dihayati
dan iradah (kehendak) manusia. Perpaduan keduanya menciptakan kekuatan
pendorong guna melakukan sesuatu.
<br /><br />
Ayat di atas berbicara tentang manusia dalam keutuhannya, dan dalam
kedudukannya sebagai kelompok, bukan sebagai wujud individual. Dipahami
demikian, karena pengganti nama pada kata anfusihim (diri-diri mereka)
tertuju kepada qawm (kelompok/masyarakat). <b>Ini berarti bahwa
seseorang, betapapun hebatnya, tidak dapat melakukan perubahan, kecuali
setelah ia mampu mengalirkan arus perubahan kepada sekian banyak orang,
yang pada gilirannya menghasilkan gelombang, atau paling sedikit
riak-riak perubahan dalam masyarakat.</b>
<br /><br />
Pentingnya keterkaitan antara pribadi dan masyarakat, serta besarnya
perhatian Al-Quran terhadap lahirnya perubahan-perubahan positif,
mengantar kepada berulangnya ayat-ayatnya yang menekankan tanggung jawab
perorangan dan tanggung jawab kolektif.
<br /><br />
<div class="ayq">
Tidak ada satu makhluk (berakal) pun di langit dan di
bumi kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai hamba.
Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka
dengan hitungan gang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada
Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri (QS Maryam [19]: 93-95). </div>
<br />
Ayat di atas adalah satu dari sekian ayat yang berbicara tentang <b>tanggungjawab
pribadi. Namun di samping itu, terdapat sekian ayat yang berbicara
tentang tanggung jawab kolektif</b>, seperti dalam surat Al-Jatsiyah
(45): 28,
<br /><br />
<div class="ayq">
(Di hari kemudian) kamu akan melihat setiap
umat/masyarakat bertekuk lutut, setiap masyarakat diajak untuk membaca
kitab amalnya ... </div>
<br />
Al-Quran juga menginformasikan bahwa setiap masyarakat mempunyai usia:
<br /><br />
<div class="ayq">
Setiap masyarakat mempunyai ajal (QS Al-A'raf [7]: 34).
</div>
<br />
Kedua ayat di atas tidak berbicara tentang ajal perorangan, tetapi ajal
masyarakat. Lengah akan adanya usia atau ajal bagi setiap masyarakat,
dapat mengantar kepada kekeliruan penafsiran.
<br /><br />
Kehancuran satu masyarakat --atau dengan kata lain: kehadiran ajalnya--
tidak secara otomatis mengakibatkan kematian seluruh penduduknya, bahkan
boleh jadi mereka semua secara individual tetap hidup. Namun,
kekuasaan, pandangan, dan kebijaksanaan masyarakat berubah total,
digantikan oleh kekuasaan, pandangan, dan kebijaksanaan yang berbeda
dengan sebelumnya.
<br /><br />
Demikianlah gambaran singkat tentang beberapa aspek dari sekian banyak
aspek yang dikemukakan Al-Quran tentang masyarakat.
<br /><br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
<div class="ay2">
Referensi</div>
<ul>
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
</ul>
</td></tr>
</tbody></table>
</td></tr>
</tbody></table>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-80537414800472865512012-02-18T07:01:00.000-08:002012-02-18T07:01:10.983-08:00Perempuan<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Perempuan</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Manusia dan Masyarakat</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<b></b><br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
PEREMPUAN DI ZAMAN PRA ISLAM</div>
Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunnya Al-Quran terdapat sekian
banyak peradaban besar, seperti Yunani, Romawi. India, dan Cina. Dunia
juga mengenal agama-agama seperti Yahudi, Nasrani (Katolik, Protestan,
Kristen, dsb), Buddha, Zoroaster, Hindu, Khonghucu, dan sebagainya.
<br /><br />
<b>Masyarakat Yunani</b> yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran
filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban wanita. Di
kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam
istana-istana. Dan di kalangan bawah, nasib wanita sangat menyedihkan.
Mereka diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada
di bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil,
bahkan hak waris pun tidak ada. Pada puncak peradaban Yunani, wanita
diberi kebebasan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan dan selera
lelaki. Hubungan seksual yang bebas tidak dianggap melanggar kesopanan,
tempat-tempat pelacuran menjadi pusat-pusat kegiatan politik dan
sastra/seni. Dalam pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap
dengan rakyat bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah "Dewi Cinta"
yang terkenal dalam peradaban Yunani.
<br /><br />
<b>Masyarakat Arab pada zaman jahiliah</b>, kata jahiliyyah berasal dari
kata jahl dan jahalah, yang berarti bodoh dan kebodohan, yang berarti
zaman kebodohan (dalam pengertian kebodohan rohani, moral, dan hukum), <b>yakni
zaman sebelum Islam.</b> Kehidupan beragama di kawasan Arab pada zaman
jahiliyah umumnya bertumpu pada penyembahan berhala, ada sebagian kecil
penganut agama Zoroaster (Majusi) dan di daerah-daerah tertentu terdapat
juga penganut Kristen dan Yahudi. Pada jaman itu, mendudukkan perempuan
di tempat yang sangat rendah, perempuan dipandang tidak berharga.
Mereka (perempuan) tidak mendapat bagian waris dari suami, ayah, atau
anggota keluarga yang lain. Malahan perempuan dimungkinkan menjadi harta
warisan untuk dibagi-bagikan. Adat lain yang berlaku adalah membunuh
anak kandung, terutama perempuan. Masyarakat Arab tertentu biasa
membunuh anaknya dengan cara mengubur hidup-hidup. Anak perempuan
dipandang dapat membawa aib kepada keluarga.
<br /><br />
<b>Dalam peradaban Romawi</b>, wanita sepenuhnya berada di bawah
kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke tangan
sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir,
menganiaya, dan membunuh. Keadaan tersebut berlangsung terus sampai abad
ke-6 Masehi. Segala hasil usaha wanita, menjadi hak milik keluarganya
yang laki-laki. Pada zaman Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan
yaitu dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi wanita, dengan
catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau
ayah).
<br /><br />
<b>Peradaban Hindu kuno dan Cina</b> tidak lebih baik dari peradaban
Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang wanita yang bersuami harus berakhir
pada saat kematian suaminya; istri harus dibakar hidup-hidup pada saat
mayat suaminya dibakar. Ini baru berakhir pada abad ke-17 Masehi. Wanita
pada masyarakat Hindu ketika itu sering dijadikan sesajen bagi apa yang
mereka namakan dewa-dewa. Petuah sejarah kuno mereka mengatakan bahwa
"Racun, ular dan api tidak lebih jahat daripada wanita." Sementara itu
dalam petuah Cina kuno diajarkan "Anda boleh mendengar pembicaraan
wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai kebenarannya."
<br /><br />
<b>Peradaban Yahudi kuno</b>, martabat wanita sama dengan pembantu. Ayah
berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara
laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena
dialah yang menyebabkan Adam terusir dari surga.
<br /><br />
<b>Dalam pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani kuno</b> ditemukan
bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia. Pada abad
ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang memperbincangkan apakah
wanita mempunyai ruh atau tidak. Akhirnya terdapat kesimpulan bahwa
wanita tidak mempunyai ruh yang suci. Bahkan pada abad ke-6 Masehi
disselenggarakan suatu pertemuan untuk membahas apakah wanita manusia
atau bukan manusia. Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita adalah
manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani laki-laki. Sepanjang
abad pertengahan, nasib wanita tetap sangat memprihatinkan, bahkan
sampai tahun 1805 perundang-undangan Inggris mengakui hak suami untuk
menjual istrinya, dan sampai tahun 1882 wanita Inggris belum lagi
memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh, dan hak menuntut ke
pengadilan.
<br /><br />
Ketika Elizabeth Blackwill - yang merupakan dokter wanita pertama di
dunia - menyelesaikan studinya di Geneve University pada tahun 1849,
teman-temannya yang bertempat tinggal dengannya memboikotnya dengan
dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan ketika
sementara dokter bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk wanita
di Philadelphia, Amerika Serikat, Ikatan Dokter setempat mengancam untuk
memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di sana.
<br /><br />
Demikian selayang pandang kedudukan wanita sebelum, menjelang, dan
sesudah kehadiran Al-Quran. Nah, situasi dan pandangan yang demikian
tentunya tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Al-Quran. Disisi lain,
sedikit atau banyak pandangan demikian mempengaruhi pemahaman sementara
pakar terhadap redaksi petunjuk-petunjuk Al-Quran sebagaimana akan
disinggung berikut ini.
<br /><br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
ASAL KEJADIAN PEREMPUAN</div>
Berbicara mengenai kedudukan wanita, mengantarkan kita agar terlebih
dahulu mendudukkan pandangan Al-Quran tentang asal kejadian perempuan.
Dalam hal ini, salah satu ayat yang dapat diangkat adalah firman Allah
dalam surat Al-Hujurat ayat 13,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah
menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling
bertakwa.(QS. Al-Hujurat ayat 13)</div>
<br />
Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia - dan seorang lelaki
dan perempuan - sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia - baik
lelaki maupun perempuan - yang dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku,
atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah SWT. Memang, <b>secara
tegas dapat dikatakan bahwa perempuan dalam pandangan Al-Quran
mempunyai kedudukan terhormat.</b>
<br /><br />
Dalam hal ini Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis dalam
bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa tabiat kemanusiaan antara lelaki dan
perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan
kepada perempuan- sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki - potensi
dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan
kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang
bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun
meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan
membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan
menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan
membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut
dan menyaksikan.
<br /><br />
Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang
asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-Nisa, ayat 1:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang
telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah
menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan
lelaki dan perempuan yang banyak.</div>
<br />
Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam, seperti
misalnya Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Al-Biqa'i, Abu
As-Su'ud, dan lain-lain. Bahkan At-Tabarsi, salah seorang ulama tafsir
bermazhab Syi'ah (abad ke-6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa
seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.
<br /><br />
Beberapa pakar tafsir seperti Muhammad 'Abduh, dalam tafsir Al-Manar,
tidak berpendapat demikian; begitu juga rekannya Al-Qasimi, Mereka
memahami arti nafs dalam arti "jenis." Namun demikian, paling tidak
pendapat yang dikemukakan pertama itu, seperti yang ditulis Tim
Penerjemah Al-Quran yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI adalah
pendapat mayoritas ulama.
<br />
Dari pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam, dipahami pula
bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya adalah "pasangannya," mengacu
kepada istri Adam, yaitu Hawa.
<br /><br />
Agaknya karena ayat di atas menerangkan bahwa pasangan tersebut
diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para penafsir terdahulu memahami
bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan
ini, kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan
menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Tanpa lelaki,
perempuan tidak akan ada. Al-Qurthubi, misalnya, menekankan bahwa istri
Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok.
<br />
Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya demikian-
Pandangan ini agaknya bersumber dari sebuah hadis yang menyatakan:
"Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena
mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok... (HR At-Tirmidzi dari
Abu Hurairah).
<br /><br />
Hadis diatas dipahami oleh ulama-ulama terdahulu secara harfiah. Namun
tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara metafora, bahkan ada
yang menolak kesahihan (kebenaran) hadis tersebut.
<br />
Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadis di atas
memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana,
karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama
dengan lelaki - hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantarkan
kaum lelaki bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah
karakter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akibatnya
akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
<br /><br />
Ath-Thabathaba'i dalam tafsirnya menulis, bahwa ayat di atas <b>menegaskan
bahwa perempuan (istri Adam) diciptakan dari jenis yang sama dengan
Adam, dan ayat tersebut sedikit pun tidak mendukung paham sementara
mufasir yang beranggapan bahwa perempuan diciptakan dari tulung rusuk
Adam.</b> Kita dapat berkata, bahwa <b>tidak ada satu petunjuk yang
pasti dari ayat Al-Quran yang dapat mengantarkan kita untuk menyatakan
bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau bahwa unsur
penciptaannya berbeda dengan lelaki. Ide ini, seperti ditulis Rasyid
Ridha dalam Tafsir Al-Manar-nya, timbul dan ide yang termaktub dalam
Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22)</b> yang menyatakan bahwa ketika
Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu
ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari tulang yang telah
dikeluarkan dan Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan. "
<br /><br />
Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab
Perjanjian Lama seperti redaksi di atas, niscaya pendapat yang
menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam tidak pernah
akan terlintas dalam benak seorang Muslim, demikian Rasyid Ridha (Tafsir
Al-Manar IV: 330)
<br /><br />
Bahkan kita dapat berkata bahwa sekian banyak teks keagamaan mendukung
pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa, dan
persamaan kedudukannya, antara lain surat Al-Isra' ayat 70,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka mencari
kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempuma atas kebanyakan makhluk-makhluk
yang Kami ciptakan. (QS. Al-Isra' ayat 70)</div>
<br />
Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan, Demikian
pula penghorrnatan Tuhan yang diberikan-Nya itu mencakup anak-anak Adam
seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh
surat Ali-Imran ayat 195 yang menyatakan,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain ...</div>
<br />
Ini dalam arti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang berjenis
lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan
sebagian yang lain (hai umat manusia yang berjenis perempuan) demikian
juga halnya. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, dan tidak ada
perbedaan diantara mereka dari segi asal kejadian serta kemanusiaannya.
<br /><br />
Dengan konsiderans ini, Tuhan menegaskan bahwa:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS Ali 'Imran [3]: 195) </div>
<br />
Ayat ini dan semacamnya adalah usaha Al-Quran untuk mengikis habis
segala pandangan yang membedakan lelaki dengan perempuan, khususnya
dalam bidang kemanusiaan.
<br />
Dalam konteks pembicaraan tentang asal kejadian ini, sementara ulama
menyinggung bahwa seandainya bukan karena Hawa, niscaya kita tetap akan
berada di surga. Disini sekali lagi ditemukan semacam upaya
mempersalahkan perempuan.
<br /><br />
Pandangan semacam itu jelas sekali keliru, bukan saja karena sejak
semula Allah telah menyampaikan rencana-Nya untuk menugaskan manusia
sebagai khalifah di bumi (QS 2: 30), tetapi juga karena dari ayat-ayat
Al-Quran ditemukan bahwa godaan dan rayuan Iblis itu tidak hanya tertuju
kepada perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang
membicarakan godaan, rayuan setan, serta ketergelinciran Adam dan Hawa
diungkapkan dalam bentuk kata yang menunjukkan kesamaan keduanya tanpa
perbedaan, seperti,
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya...
(QS, Al-A'raf [7]: 20). </div>
<div>
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dan surga itu,
dan keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati)
sebelumnya... (QS Al-Baqarah [2]: 36). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Kalaupun ada ayat yang membicarakan godaan atau rayuan setan berbentuk
tunggal, maka ayat itu justru menunjuk kepada kaum lelaki (Adam), yang
bertindak sebagai pemimpin terhadap istrinya, seperti dalam firman
Allah,
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya
(Adam), dan berkata, "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon
khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?" (QS Thaha [20]: 120). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Demikian terlihat Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat yang
sewajarnya, serta meluruskan segala pandangan salah dan keliru yang
berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadian kaum perempuan.
<br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
BER-HAK-KAH PEREMPUAN BEKERJA</div>
<div style="text-align: justify;">
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai surat, dan
pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan. Ada ayat yang
berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada pula yang menguraikan
keistimewaan tokoh-tokoh perempuan dalam sejarah agama dan kemanusiaan.
<br />
Secara umum surat An-Nisa' ayat 32 menunjukkan hak-hak perempuan:
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
(Karena) bagi lelaki dianugerahkan hak (bagian) dan apa
yang diusahakannya, dan bagi perempuan dianugerahkan hak (bagian) dan
apa yang diusahakannya. (QS. An-Nisa' ayat 32)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
IsaAbduh, seorang ulama-ekonom Muslim Mesir, menekankan bahwa surat
Thaha ayat 117 memberikan isyarat bahwa Al-Quran meletakkan kewajiban
mencari nafkah di atas pundak lelaki dan bukan perempuan. Ayat yang
dimaksud adalah:
<br /><br />
Maka Kami berfirman, Wahai Adam, sesunggahnya ini (Iblis) adalah musuh
bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia
mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akan menyebabkan engkau (dalam
bentuk tunggal untuk pria) bersusah payah. (QS. Thaha ayat 117)"
<br /><br />
Yakni bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangan,
sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat tersebut.
<br />
Menurut Isa Abduh, penggunaan bentuk tunggal pada redaksi engkau
bersusah-payah memberikan isyarat bahwa kewajiban bekerja untuk memenuhi
kebutuhan istri dan anak-anak terletak di atas pundak suami atau ayah.
<br /><br />
Pendapat para pemikir Islam kontemporer di atas, masih dikembangkan lagi
oleh sekian banyak pemikir Muslim, dengan menelaah keterlibatan
perempuan dalam pekerjaan pada masa Nabi saw, sahabat-sahabat beliau,
dan para tabiiin. Dalam hal ini, ditemukan sekian banyak jenis dan ragam
pekerjaan yang dilakukan oleh kaum wanita.
<br /><br />
Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila
Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai
tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan. Ahli hadis Imam Bukhari,
membukukan bab-bab dalam kitab Shahih-nya tentang kegiatan kaum wanita,
seperti: "Bab Keterlibatan Perempuan dalam Jihad," "Bab Peperangan
Perempuan di Lautan," "Bab Keterlibatan Perempuan Merawat Korban," dan
lain-lain .
<br /><br />
Disamping itu, <b>para perempuan pada masa Nabi saw aktif pula dalam
berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin
seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara lain Shafiyah binti
Huyay, istri Nabi Muhammad saw, serta ada juga yang menjadi perawat,
bidan, dan sebagainya.</b>
<br /><br />
Dalam bidang perdagangan, nama <b>istri Nabi yang pertama, Khadijah
binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan yang sangat sukses.</b>
Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang tercatat sebagai seorang
perempuan yang pernah datang kepada Nabi meminta petunjuk-petunjuk
jual-beli. Zainab binti Jahsy juga aktif bekerja menyamak kulit
binatang, dan hasil usahanya itu beliau sedekahkan.
<br /><br />
Raithah, istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah Ibnu Mas'ud, sangat
aktif bekerja, karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi
kebutuhan hidup keluarga ini. Sementara itu, Al-Syifa', seorang
perempuan yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a.
sebagai petugas yang menangani pasar kota Madinah.
<br /><br />
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa Rasulullah
saw, dan sahabat beliau, menyangkut keikutsertaan perempuan dalam
berbagai bidang usaha dan pekerjaan.
<br /><br />
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang terdapat pada
masa kini telah ada pada masa Nabi saw Namun, betapapun, sebagian ulama
menyimpulkan bahwa <b>Islam membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai
kegiatan, atau bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar
rumahnya secara mandiri, bersama orang lain, atau dengan lembaga
pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam
suasana terhormat, sopan, serta mereka dapat memelihara agamanya, dan
dapat pula menghindarkan dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut
terhadap diri dan lingkungannya.</b>
<br /><br />
Secara singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut pekerjaan perempuan,
yaitu perempuan mempunyai hak untuk bekerja, selama ia membutuhkannya,
atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan
susila tetap terpelihara.
<br /><br />
<a href="" id="4" name="4"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
HAK DAN KEWAJIBAN BELAJAR</div>
<div style="text-align: justify;">
Amat banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw yang berbicara tentang
kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki
maupun perempuan, di antaranya : "Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap
Muslim (dan Muslimah)" (HR Al-Thabarani melalui Ibnu Mas'ud) .
<br />
Para perempuan di zaman Nabi saw menyadari benar kewajiban ini, sehingga
mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu
tertentu dan khusus untuk mereka agar dapat menuntut ilmu pengetahuan.
Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi Muhammad saw.
<br /><br />
Al-Quran memberikan pujian kepada ulul albab, yang berzikir dan
memikirkan kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal
tersebut mengantarkan manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya.
Mereka yang dinamai ulul albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja,
melainkan juga kaum perempuan. Al-Quran menegaskan bahwa:
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan
berfirman, Sesunggahnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan." (QS Ali
'Imran [3]: 195) . </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ini berarti bahwa kaum perempuan berhak untuk belajar, dan kemudian
mengamalkan apa yang mereka pelajari/hayati setelah berzikir kepada
Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini.
<br /><br />
Pengetahuan tentang alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai
disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa perempuan
bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan
kecenderungan masing-masing. Sejarah membuktikan bahwa banyak wanita
yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan, sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki.
<br /><br />
Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah salah seorang yang mempunyai pengetahuan
sangat dalam serta termasyhur pula sebagai seorang kritikus,
sampai-sampai ada ungkapan terkenal yang dinisbahkan oleh sementara
ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw: <b>"Ambillah setengah
pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira, (yakni Aisyah).</b>
<br /><br />
Demikian juga As-Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi
Thalib. Kemudian, Al-Syaikhah Syuhrah yang bergelar "Fakhr Al-Nisa',
(Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang guru Imam Syafi'i, tokoh
mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di
seluruh dunia. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
<br />
Beberapa wanita lain mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat,
misalnya Al-Khansa' dan Rabi'ah Al-Adawiyah.
<br /><br />
Al-Muqari dalam bukunya Nafhu Ath-Thib, sebagaimana dikutip oleh Dr.
Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu Al-Mutharraf, seorang pakar
bahasa pada masanya, pernah mengajarkan seorang perempuan liku-liku
bahasa Arab. Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki kemampuan yang
melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam bidang puisi, sampai ia
dikenal dengan nama Al-'Arudhiyat karena keahliannya dalam bidang ini.
<br /><br />
Harus diakui hahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum sebanyak
dan seluas sekarang ini. Namun Islam tidak membedakan satu disiplin ilmu
dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut
namanya di atas hidup pada masa kini, tidak mustahil mereka akan tekun
pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.
<br /><br />
Dalam hal ini Syaikh Muhammad Abduh menulis, kalaulah kewajiban
perempuan mempelajari hukum-hukum akidah kelihatannya amat terbatas,
sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan
dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya, merupakan
persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan
waktu, tempat, dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal akidah
atau keagamaan.
<br /><br />
Demikianlah sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan dalam bidang
pendidikan.
<br /><br />
<a href="" id="5" name="5"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
PERANAN ISTRI DALAM RUMAH TANGGA</div>
<div style="text-align: justify;">
Berbicara mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu qawammuna 'alan nisa'
biasanya dijadikan sebagai salah satu rujukan, karena ayat tersebut
berbicara tentang pembagian kerja antara suami-istri. Memahami pesan
ayat ini, mengundang kita untuk menggarisbawahi terlebih dahulu dua
butir prinsip yang melandasi hak dan kewajiban suami-istri:
<br /><br />
1. Terdapat perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya pada bentuk
fisik mereka, tetapi juga dalam bidang psikis. Bahkan menurut Dr. Alexis
Carrel salah seorang dokter yang pernah meraih dua kali hadiah Nobel
-perbedaan tersebut berkaitan juga dengan kelenjar dan darah
masing-masing kelamin.
<br />
Pembagian harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama terhadap kedua
jenis manusia itu didasarkan oleh perbedaan-perbedaan itu.
<br /><br />
2. Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah
satu pihak bebas dan tuntutan - minimal dari segi moral - untuk membantu
pasangannya.
<br /><br />
Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan,
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Bagi lelaki (suami) terhadap mereka (wanita/istri) satu
derajat (lebih tinggi).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas dijelaskan oleh
surat An-Nisa' ayat 34, yang menyatakan bahwa "lelaki (suami) adalah
pemimpin terhadap perempuan (istri)."
<br /><br />
Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak, lebih-lebih
bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama, serta merasa
memiliki pasangan dan keluarga, Persoalan yang dihadapi suami-istri,
muncul dari sikap jiwa manusia yang tercermin dari keceriaan atau
cemberutnya wajah. Sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul
seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan dimana pun. Kondisi
seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin yang melebihi kebutuhan
suatu perusahaan yang sekadar bergelut dengan angka, dan bukannya dengan
perasaaan serta diikat oleh perjanjian yang bisa diselesaikan melalui
pengadilan.
<br /><br />
Hak kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang dikutip dari ayat di
atas, dibebankan kepada suami. Pembebanan itu disebabkan oleh dua hal,
yaitu:
<br /><br />
a. Adanva sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat
menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan dengan
istri.<br />
b. <b>Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota
keluarganya.</b>
<br /><br />
Walaupun diakui dalam kenyataan terdapat istri-istri yang memiliki
kemampuan berpikir dan materi melebihi kemampuan suami, tetapi semua itu
merupakan kasus yang tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan suatu
kaidah yang bersifat umum.
<br /><br />
Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa pembagian kerja ini tidak
membebaskan masing-masing pasangan - paling tidak dari segi kewajiban
moral - untuk membantu pasangannya dalam hal yang berkaitan dengan
kewajiban masing-masing. Dalam hal ini Abu Tsaur, seorang pakar hukum
Islam, berpendapat bahwa seorang istri hendaknya membantu suaminya dalam
segala hal. Salah satu alasan yang dikemukakannya adalah bahwa Asma,
putri Khalifah Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya ia dibantu oleh
suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga membantu
suaminya antara lain dalam memelihara kuda suaminya, menyabit rumput,
menanam benih di kebun, dan sebagainya.
<br /><br />
Tentu saja di balik kewajiban suami tersebut, suami juga mempunyai
hak-hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. Suami wajib ditaati selama
tidak bertentangan dengan ajaran agama dan hak pribadi sang istri.
Sedemikian penting kewajiban ini, sampai-sampai Rasulullah saw bersabda,
"Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seseorang,
niscaya akan kuperintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya".
Bahkan Islam juga melarang seorang istri berpuasa sunnah tanpa seizin
suaminya.
<br /><br />
Dapat ditambahkan bahwa Rasulullah saw menegaskan bahwa seorang istri
memimpin rumah tangga dan bertanggung Jawab atas keuangan suaminya.
Pertanggungjawaban tersebut terlihat dalam tugas-tugas yang harus
dipenuhi, serta peran yang diembannya saat memelihara rumah tangga, baik
dari segi kebersihan, keserasian tata ruang, pengaturan menu makanan,
maupun pada keseimbangan anggaran. Bahkan pun istri ikut bertanggung
jawab - bersama suami - untuk menciptakan ketenangan bagi seluruh
anggota keluarga, misalnya, untuk tidak menerima tamu pria atau wanita
yang tidak disenangi oleh sang suami.
<br /><br />
Kesimpulannya, peranan seorang istri sebagai ibu rumah tangga adalah
untuk menjadikan rumah itu sebagai sakan, yakni "tempat yang menenangkan
dan menenteramkan seluruh anggotanya." Dan dalam konteks inilah
Rasulullah saw menggarisbawahi sifat-sifat seorang istri yang baik yakni
yang menyenangkan suami bila ia dipandang, menaati suami bila ia
diperintah, dan ia memelihara diri, harta, dan anak-anaknya, bila suami
jauh darinya.
<br /><br />
Sebagai ibu, seorang istri adalah pendidik pertama dan utama bagi
anak-anaknya, khususnya pada masa-masa balita. Memang, keibuan adalah
rasa yang dimiliki oleh setiap wanita, karenanya wanita selalu
mendambakan seorang anak untuk menyalurkan rasa keibuan tersebut.
Mengabaikan potensi ini, berarti mengabaikan jati diri wanita.
Pakar-pakar ilmu jiwa menekankan bahwa anak pada periode pertama
kelahirannya sangat membutuhkan kehadiran ibu-bapaknya. Anak yang merasa
kehilangan perhatian (misalnya dengan kelahiran adiknya) atau rnerasa
diperlakukan tidak wajar, dengan dalih apa pun, dapat mengalami
ketimpangan kepribadian.
<br /><br />
Rasulullah saw pernah menegur seorang ibu yang merenggut anaknya secara
kasar dari pangkuan Rasulullah, karena sang anak pipis, sehingga
membasahi pakaian Rasul. Rasulullah bersabda,
<br /><br />
"</div>
Jangan engkau menghentikan pipisnya. (Pakaian) ini
dapat dibersihkan dengan air tetapi apakah yang dapat menghilangkan
kekeruhan dalam jiwa anak ini (akibat perlakuan kasar itu)?
<br /><br />
Para ilmuwan juga berpendapat bahwa, sebagian besar kompleks kejiwaan
yang dialami oleh orang dewasa adalah akibat dampak negatif dari
perlakuan yang dialaminya waktu kecil.
<br /><br />
Oleh karena itu, dalam rumah tangga dibutuhkan seorang penanggung jawab
utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak, khususnya saat usia
dini (balita). Disini pula agama menoleh kepada ibu, yang memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki sang ayah, bahkan tidak dimiliki oleh
wanita-wanita selain ibu seorang anak.
<br /><br />
<a href="" id="6" name="6"></a>
<div class="ay2">
HAK PEREMPUAN DALAM BIDANG POLITIK</div>
Apakah wanita memiliki hak-hak dalam bidang politik?
<br /><br />
Dalam Agama Islam, tidak ditemukan satu ketentuan pun yang dapat
dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik,
atau ketentuan agama Islam yang membatasi bidang tersebut hanya untuk
kaum lelaki. Di sisi lain, cukup banyak ayat dan hadis yang dapat
dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan adanya hak-hak tersebut.
<br /><br />
Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir Islam
berkaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah surat At-Taubah
ayat 71:
<br /><br />
<div class="ayq">
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebagian mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
untuk mengerjakan yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana. (QS. At-Taubah ayat 71)</div>
<br /><br />
Secara umum ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang kewajiban
melakukan kerja sama antara lelaki dan perempuan untuk berbagai bidang
kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat "menyuruh mengerjakan yang
makruf dan mencegah yang munkar."
<br /><br />
Pengertian kata awliya' mencakup kerja sama, bantuan, dan penguasaan;
sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase <b>"menyuruh
mengerjakan yang makruf" mencakup segala segi kebaikan dan perbaikan
kehidupan, termasuk memberikan nasihat atau kritik kepada penguasa,</b>
sehingga setiap lelaki dan perempuan Muslim hendaknya mengikuti
perkembangan masyarakat agar masing-masing mampu melihat dan memberi
saran atau nasihat untuk berbagai bidang kehidupan.
<br /><br />
Menurut sementara pemikir, sabda Nabi saw yang berbunyi:"Barangsiapa
yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum Muslim, maka ia tidak
termasuk golongan mereka".
<br />
Hadis ini mencakup kepentingan atau urusan kaum Muslim yang dapat
menyempit ataupun meluas sesuai dengan latar belakang dan tingkat
pendidikan seseorang, <b>termasuk bidang politik.</b>
<br /><br />
Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) agar
bermusyawarah, melalui "pujian Tuhan kepada mereka yang selalu
melakukannya."
<br /><br />
<div class="ayq">
Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah (QS
Al-Syura [42]: 38).</div>
<br /><br />
Ayat ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak
berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.
<br /><br />
Syura (musyawarah) menurut Al-Quran hendaknya merupakan salah satu
prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan bersama, termasuk kehidupan
politik. Ini dalam arti bahwa setiap warga negara dalam hidup
bermasyarakat dituntut untuk senantiasa mengadakan musyawarah. <b>Sejarah
Islam juga menunjukkan betapa kaum perempuan tanpa kecuali terlibat
dalam berbagai bidang kemasyarakatan</b>. Al-Quran menguraikan
permintaan para perempuan di zaman Nabi saw untuk melakukan bai'at
(janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana disebutkan dalam
surat Al-Mumtahanah ayat 12.
<br /><br />
Sementara pakar agama Islam menjadikan bai'at para perempuan sebagai
bukti kebebasan untuk rnenentukan pandangan berkaitan dengan kehidupan
serta hak untuk mempunyai pilihan yang berbeda dengan pandangan
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan
pandangan suami dan ayah mereka sendiri.
<br /><br />
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak wanita yang terlibat pada
persoalan politik praktis, Ummu Hani, misalnya dibenarkan sikapnya oleh
Nabi Muhammad saw ketika memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang
musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik).
Bahkan istri Nabi Muhammad saw sendiri, yakni Aisyah r.a., memimpin
langsung peperangan melawan Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menduduki
jabatan kepala negara. Dan isu terbesar dalam peperangan tersebut
adalah suksesi setelah terbunuhnya Khalifah ketiga 'Utsman r.a.
Peperangan ini dikenal dalam sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656
M). Keterlibatan Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan
kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama
para pengikutnya membolehkan keterlibatan perempuan dalam bidang politik
praktis sekalipun.
<br /><br />
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap
orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan
menduduki jabatan-jabatan tertinggi.
<br /><br />
Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni, ditegaskan bahwa
setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu
dapat diwakilkan kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang
lain.
<br />
Atas dasar kaidah di atas, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat
bahwa berdasarkan kitab fiqih - bukan hanya sekadar pertimbangan
perkembangan masyarakat - kita dapat menyatakan bahwa perempuan dapat
bertindak sebagai pembela maupun penuntut dalam berbagai bidang.
<br /><br />
Tentu masih banyak lagi yang dapat dikemukakan mengenai hak-hak
perempuan untuk berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat
ditarik adalah bahwa mereka adalah Syaqaiq Ar-Rijal (saudara sekandung
kaum lelaki), sehingga kedudukan serta hak-haknya hampir dapat dikatakan
sama. Kalaupun ada perbedaan hanyalah akibat fungsi dan tugas utama
yang dibebankan Allah SWT kepada masing-masing jenis kelamin, sehingga
perbedaan yang ada tidaklah mengakibatkan yang satu merasa memiliki
kelebihan daripada yang lain:
<br /><br />
<div class="ayq">
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang
lain. (Karena) bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan
bagi perempuan juga ada bagian dari yang mereka usahakan, dan
bermohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS An-Nisa, [4]: 32) </div>
<br />
Di atas telah dikemukakan berbagai penafsiran yang sedikit banyak
berbeda satu dengan lainnya. Menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab,
perbedaan pendapat tersebut muncul karena perbedaan kondisi sosial, adat
istiadat, serta kecenderungan masing-masing, yang kemudian mempengaruhi
cara pandang dan kesimpulan mereka menyangkut ayat-ayat Al-Quran dan
hadis-hadis Nabi saw.
<br /><br />
Tidak mustahil, jika para pakar terdahulu hidup bersama putra-putri abad
kedua puluh, dan mengalami apa yang kita alami, serta mengetahui
perkembangan masyarakat dan iptek, mereka pun akan memahami ayat-ayat
Al-Quran sebagaimana pemahaman generasi masa kini. Sebaliknya,
seandainya kita berada di kurun waktu saat mereka hidup, tidak mustahil
kita berpendapat seperti mereka. Ini berarti bahwa seluruh pendapat yang
dikemukakan, baik dari para pendahulu maupun pakar yang akan datang,
semuanya bermuara kepada teks-teks keagamaan.
<br /><br /><br />
<a href="" id="7" name="7"></a>
<div class="ay2">
Referensi</div>
<ul>
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah I</i></li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-68892016046399008042012-02-18T06:59:00.000-08:002012-02-18T06:59:49.981-08:00Manusia<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0"><tbody>
<tr></tr>
<tr><td height="3"><br /></td></tr>
<tr><td style="font-family: arial,sans-serif;">
<style type="text/css">
.b2s {color: blue; font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 8pt; padding-left: 6px; TEXT-DECORATION: none;}
.b2s:hover {color: white; background:red;}
.quran0 {font-family: arial; color: #00c; font-weight: bold; font-size: 11pt; TEXT-DECORATION: underline;}
.quran0:hover {color: white; background:red;}
.quran1 {font-family: helvetica,sans-serif; font-weight: bold; color: #00c; font-size: 11pt; padding-left:10px; padding-top:3px; padding-bottom:1px;}
.quran2 {font-family: verdana,helvetica,sans-serif; color:green; font-size: 10pt; padding-left:21px; padding-right:10px; padding-bottom:3px; padding-top:3px; text-align: justify;}
.quran3 {font-family: verdana,helvetica,sans-serif; color:black; font-size: 10pt; padding-left:21px; padding-right:10px; padding-bottom:3px; padding-top:3px; text-align: justify;}
.quran4 {padding-left:21px; text-align: center;}
.quran5 {padding-bottom:5px; padding-top:5px; text-align: center;}
.quran6 {font-family: verdana,helvetica,sans-serif; color:green; font-size: 10pt; padding-left:21px; padding-right:10px; padding-bottom:3px; padding-top:3px; text-align: justify;}
.quran11 {font-family: arial; color: #00c; font-weight: bold; font-size: 12pt; TEXT-DECORATION: underline;}
.quran11:hover {color: white; background:red;}
.cangkok1 {font-family: arial; color: #00c; font-size: 12pt; TEXT-DECORATION: underline;}
.cangkok1:hover {color: white; background:red;}
.art0 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 13pt; padding-top: 13px; padding-bottom: 10px;}
.art1 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 12pt; padding-top: 13px; padding-bottom: 10px;}
.art3 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 11pt; padding-top: 13px; padding-bottom: 10px;}
.art2 {font-weight: bold; font-family: arial; font-size: 14pt; padding-top: 15px; padding-bottom: 10px; border-top:1px solid silver;}
.artz {text-align:center; font-weight: bold; font-family: arial; color:white; font-size: 19pt; padding-top: 10px; background:black; padding-bottom: 10px; border-top:1px solid silver;}
.ayq {font-family: serif; font-size: 11pt; font-style: italic; padding-left: 20px; padding-right: 20px; }
.sih {font-family: arial,sans-serif; font-size: 10pt; text-align: center; border-top:1px solid silver;}
.ay2 {font-weight: bold; font-family: cursive,sans-serif; font-size: 12pt; padding-top: 20px; padding-bottom: 15px; border-top:1px solid gray;}
.ay3 {font-weight: bold; font-family: cursive,sans-serif; font-size: 13pt; padding-top: 20px; padding-bottom: 0px; border-top:1px solid gray;}
br {font-size: 8pt;}
.a {font-family: arial,sans-serif; color: #00c; font-size: 10pt; TEXT-DECORATION: none;}
.a:visited {color: #551a8b; }
.a:hover {color: white; background:red;}
P {text-align:justify;}
</style>
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="padding-left: 21px; padding-right: 21px;">
<tbody>
<tr valign="top">
<td align="justify" style="font-family: Times New Roman,serif; font-size: 11pt;">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver;">
<tbody>
<tr>
<td width="50">
<img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Manusia</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Manusia dan Masyarakat</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<b></b>
Dalam bukunya, <i>Man the Unknown</i>, Dr. A. Carrel menjelaskan tentang
kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia. Dia
mengatakan bahwa pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum
dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah
dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya ia menulis:
<br /><br />
Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat
besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki perbendaharaan
yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuwan, filosof,
sastrawan, dan para ahli di bidang keruhanian sepanjang masa ini. Tapi
kita (manusia) hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri
kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui
hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun
pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada
hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka
yang mempelajari manusia --kepada diri mereka-- hingga kini masih tetap
tanpa jawaban.
<br /><br />
Keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya itu disebabkan oleh:
<br /><br />
<b>1. Pembahasan tentang masalah manusia terlambat dilakukan</b>, karena
pada mulanya perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang
alam materi. Pada zaman primitif, nenek moyang kita disibukkan untuk
menundukkan atau menjinakkan alam sekitarnya, seperti upaya membuat
senjata-senjata melawan binatang-binatang buas, penemuan api, pertanian,
peternakan, dan sebagainya sehingga mereka tidak mempunyai waktu luang
untuk memikirkan diri mereka sebagai manusia. Demikian pula halnya Pada
Zaman Kebangkitan (Renaisans) ketika para ahli digiurkan oleh
penemuan-penemuan baru mereka yang disamping menghasilkan keuntungan
material, juga menyenangkan publik secara umum karena penemuan-penemuan
tersebut mempermudah dan memperindah kehidupan ini.
<br /><br />
<b>2. Ciri khas akal manusia yang lebih cenderung memikirkan hal-hal
yang tidak kompleks.</b> Ini disebabkan oleh sifat akal kita seperti
yang dinyatakan oleh Bergson tidak mampu mengetahui hakikat hidup.
<br /><br />
<b>3. Multikompleksnya masalah manusia.</b>
<br /><br />
<div class="ayq">
Dari penjelasan di atas, agamawan dapat berkomentar,
bahwa pengetahuan tentang manusia demikian itu disebabkan karena manusia
adalah satu-satunya makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh
Ilahi sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh, kecuali
sedikit (QS Al-Isra' [17]: 85). </div>
<br />
Jika apa yang dikemukakan oleh A. Carrel itu diterima, maka satu-satunya
jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah merujuk kepada
wahyu Ilahi, agar kita dapat menemukan jawabannya.
<br /><br />
Untuk maksud tersebut tentu tidak cukup dengan hanya merujuk kepada satu
dua ayat, tetapi seharusnya merujuk kepada semua ayat Al-Quran (atau
paling tidak ayat-ayat pokok) yang berbicara tentang masalah yang
dibahas, dengan mempelajari konteksnya masing-masing, dan mencari
penguat-penguatnya baik dari penjelasan Rasul, maupun hakikat-hakikat
ilmiah yang telah mapan. Cara ini dikenal dalam disiplin ilmu Al-Quran
dengan metode maudhu'i (tematis).
<br /><br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2">
Istilah Manusia dalam Al-Quran</div>
Ada tiga kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia.
<br /><br />
<b>l. Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin,
semacam insan, ins, nas, atau unas.<br />
2. Menggunakan kata basyar.<br />
3. Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.</b>
<br /><br />
Uraian ini akan mengarahkan pandangan secara khusus kepada kata basyar
dan kata insan.
<br />
Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan
sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata
basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya
tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.
<br />
Al-Quran menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan
sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut
lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Karena itu
Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk menyampaikan bahwa,
<br /><br />
<div class="ayq">
Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi
wahyu (QS Al-Kahf [18]: 110). </div>
<br />
Dari sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat Al-Quran yang menggunakan
kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai
basyar, melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.
<br /><br />
<div class="ayq">
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah)
menciptakan kamu dari tanah, kemudian ketika kamu menjadi basyar kamu
bertebaran (QS Al-Rum [30]: 20). </div>
<br />
Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak atau bertebaran
mencari rezeki. Kedua hal ini tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh
orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Karena itu pula
Maryam a.s. mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak, padahal
dia belum pernah disentuh oleh basyar (manusia dewasa yang mampu
memberikan keturunan) (QS Ali 'Imran [3]: 47).
<br />
Demikian terlihat basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan
manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Dan karena itu
pula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar (QS Al-Hijr 115): 28
menggunakan kata basyar), dan QS Al-Baqarah (2): 30 yang menggunakan
kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitaan Allah kepada
malaikat tentang manusia.
<br /><br />
Kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan
tampak. Pendapat ini, jika ditinjau dari sudut pandang Al-Quran lebih
tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dan kata nasiya (lupa),
atau nasa-yanusu (berguncang).
<br />
Kitab Suci Al-Quran --seperti tulis Bint Al-Syathi' dalam Al-Quran wa
Qadhaya Al-Insan-- seringkali memperhadapkan insan dengan jin/jan. Jin
adalah makhluk halus yang tidak tampak, sedangkan manusia adalah makhluk
yang nyata lagi ramah.
<br />
Kata insan, digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan
seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara
seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental, dan
kecerdasan.
<br /><br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2">
Produksi dan Reproduksi Manusia</div>
Al-Quran menguraikan produksi dan reproduksi manusia. Ketika berbicara
tentang penciptaan manusia pertama, Al-Quran menunjuk kepada sang
Pencipta dengan menggunakan pengganti nama berbentuk tunggal:
<br /><br />
<div class="ayq">
Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dan tanah (QS
Shad [38]: 71). Apa yang menghalangi kamu (iblis) sujud kepada apa yang
Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? (QS Shad [38]: 75). </div>
<br />
Tetapi ketika berbicara tentang reproduksi manusia secara umum, Yang
Maha Pencipta ditunjuk dengan menggunakan bentuk jamak. Demikian
kesimpulan kita kalau membaca surat At-Tin ayat 4:
<br /><br />
<div class="ayq">
Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya.</div>
<br />
Hal itu untuk menunjukkan perbedaan proses kejadian manusia secara umum
dan proses kejadian Adam a.s. Penciptaan manusia secara umum, melalui
proses keterlibatan Tuhan bersama selain-Nya, yaitu ibu dan bapak.
Keterlibatan ibu dan bapak mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik
dan psikis anak, sedangkan dalam penciptaan Adam, tidak terdapat
keterlibatan pihak lain termasuk ibu dan bapak.
<br /><br />
Al-Quran tidak menguraikan secara rinci proses kejadian Adam, yang oleh
mayoritas ulama dinamai manusia pertama. Yang disampaikannya dalam
konteks ini hanya:
<br />
<b>a. Bahan awal manusia adalah tanah.<br />
b. Bahan tersebut disempurnakan. <br />
c. Setelah proses penyempurnaannya selesai, ditiupkan kepadanya ruh
Ilahi (QS Al-Hijr [15]: 28-29; Shad [38]: 71-72).
</b>
<br /><br />
Apa dan bagaimana penyempurnaan itu, tidak disinggung oleh Al-Quran.
Dari sini, terdapat sekian banyak cendekiawan dan ulama Islam, jauh
sebelum Darwin melakukan penyelidikan dan analisis sehingga
berkesimpulan bahwa manusia diciptakan melalui fase atau evolusi
tertentu, dan bahwa ada tingkat-tingkat tertentu menyangkut ciptaan
Allah. Nama-nama seperti Al-Farabi (783-950 M), Ibnu Miskawaih (Wafat
1030 M), Muhammad bin Syakir Al-Kutubi (1287- 1363 M), Ibnu Khaldun
(1332-1406 M) dapat disebut sebagai tokoh-tokoh paham evolusi sebelum
lahirnya teori evolusi Darwin (1804-1872 M). Perlu ditambahkan bahwa
kesimpulan ulama-ulama tersebut tidak sepenuhnya sama dalam rincian
teori evolusi yang dirumuskan oleh Darwin.
<br /><br />
Dari sini pula dapat dimengerti uraian pakar tafsir Syaikh Muhammad
Abduh yang menyatakan bahwa seandainya teori Darwin tentang proses
penciptaan manusia dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, maka
tidak ada alasan dari Al-Quran untuk menolaknya. <b>Al-Quran hanya
menguraikan proses pertama, pertengahan, dan akhir. Apa yang terjadi
antara proses pertama dan pertengahan, serta antara pertengahan dan
akhir, tidak dijelaskannya, dan menjadi tugas manusia untuk menelitinya.</b>
<br /><br />
Abbas Al-Aqad, seorang ilmuwan dan ulama Mesir kontemporer, dalam
bukunya Al-Insan fi Al-Quran (Manusia dalam Al-Quran) mempersilakan
setiap Muslim, untuk --menerima atau menolak teori itu-- berdasarkan
penelitian ilmiah, tanpa melibatkan Al-Quran sedikit pun, karena
Al-Quran tidak berbicara secara rinci tentang proses kejadian manusia
pertama.
<br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
<div class="ay2">
Potensi Manusia</div>
Yang banyak dibicarakan oleh Al-Quran tentang manusia adalah sifat-sifat
dan potensinya. Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat yang memuji dan
memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang terciptanya manusia dalam
bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya (QS Al-Tin [95]: 5), dan
penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibanding dengan kebanyakan
makhluk-makhluk Allah yang lain (QS Al-Isra' [17]: 70) Tetapi, di
samping itu sering pula manusia mendapat celaan Tuhan karena ia amat
aniaya dan mengingkari nikmat (QS Ibrahlm [14]: 34), sangat banyak
membantah (QS Al-Kahf [18]: 54), dan bersifat keluh kesah lagi kikir (QS
Al-Ma'arij [70]: l9), dan masih banyak lagi lainnya.
<br /><br />
Ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu dengan
lainnya, akan tetapi ayat-ayat tersebut menunjukkan beberapa kelemahan
manusia yang harus dihindarinya. Disamping menunjukkan bahwa makhluk ini
mempunyai potensi (kesediaan) untuk menempati tempat tertinggi sehingga
ia terpuji, atau berada di tempat yang rendah sehingga ia tercela.
<br />
Seperti dikemukakan di atas, Al-Quran menjelaskan bahwa <b>manusia
diciptakan dari tanah dan setelah sempurna kejadiannya dihembuskanlah
kepadanya Ruh Ilahi (QS Shad [38]: 71-72) .</b>
<br /><br />
Dari sini jelas bahwa manusia merupakan kesatuan dua unsur pokok, yang
tidak dapat dipisahkan karena bila dipisahkan maka ia bukan manusia
lagi. Sebagaimana halnya air yang merupakan perpaduan antara oksigen dan
hidrogen dalam kadar-kadar tertentu. Bila kadar oksigen dan hidrogennya
dipisahkan, maka ia tidak akan menjadi air lagi.
<br />
Potensi manusia dijelaskan oleh Al-Quran antara lain melalui kisah Adam
dan Hawa (QS Al-Baqarah [2]: 30-39).
<br /><br />
Dalam ayat itu dijelaskan bahwa sebelum kejadian Adam, Allah telah
merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab kekhalifahan di bumi.
Untuk maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan Ruh Ilahi (akal dan
ruhani), makhluk ini dianugerahi pula:
<br /><br />
<b>a. Potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam.</b>
<br /><br />
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang
berkemampuan untuk menyusun konsep-konsep, mencipta, mengembangkan, dan
mengemukakan gagasan, serta melaksanakannya. Potensi ini adalah bukti
yang membungkamkan malaikat, yang tadinya merasa wajar untuk dijadikan
khalifah di bumi, dan karenanya mereka bersedia sujud kepada Adam.
<br /><br />
<b>b. Pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan
dan kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akibat buruknya.</b>
<br /><br />
Pengalaman di surga adalah arah yang harus dituju dalam membangun dunia
ini, kecukupan sandang, pangan, dan papan, serta rasa aman terpenuhi (QS
Thaha [20]: 116-ll9), sekaligus arah terakhir bagi kehidupannya di
akhirat kelak. Sedangkan godaan Iblis, dengan akibat yang sangat fatal
itu, adalah pengalaman yang amat berharga dalam menghadapi rayuan Iblis
di dunia, sekaligus peringatan bahwa jangankan yang belum masuk, yang
sudah masuk ke surga pun, bila mengikuti rayuannya akan terusir.
<br /><br />
<b>c.Petunjuk-petunjuk keagamaan.</b>
<br /><br />
Masih banyak ayat-ayat lain yang dapat dikemukakan tentang sifat dan
potensi manusia serta arah yang harus ia tuju.
<br />
Dari kitab suci Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw diperoleh informasi
serta isyarat-isyarat yang boleh jadi dapat mengungkap sebagian misteri
makhluk ini. Namun demikian, pemahaman atau informasi dan isyarat
tersebut tidak dapat dilepaskan dari subjektivitas manusia, sehingga ia
tetap mengandung kemungkinan benar atau salah, seperti halnya yang
dikemukakan oleh tulisan ini.
<br /><br />
Secara tegas Al-Quran mengemukakan bahwa manusia pertama diciptakan dari
tanah dan Ruh Ilahi melalui proses yang tidak dijelaskan rinciannya,
sedangkan reproduksi manusia, walaupun dikemukakan tahapan-tahapannya,
namun tahapan tersebut lebih banyak berkaitan dengan unsur tanahnya.
<br />
Isyarat yang menyangkut unsur immaterial, ditemukan antara lain dalam
uraian tentang sifat-sifat manusia, dan dari uraian tentang fithrah,
nafs, qalb, dan ruh yang menghiasi makhluk manusia. Berikut dicoba untuk
memahami istilah-istilah tersebut.
<br /><br />
<a href="" id="4" name="4"></a>
<div class="ay2">
Fithrah (Fitrah)</div>
Dari segi bahasa, kata fithrah terambil dari akar kata al-fathr yang
berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain antara lain
"penciptaan" atau "kejadian".
<br />
Konon sahabat Nabi, Ibnu Abbas tidak tahu persis makna kata fathir pada
ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan langit dan bumi sampai ia
mendengar pertengkaran tentan kepemilikan satu sumur. Salah seorang
berkata, "Ana fathar tuhu". Ibnu Abbas memahami kalimat ini dalam arti,
"Saya yang membuatnya pertama kali." Dan dari situ Ibnu Abbas memahami
bahwa kata ini digunakan untuk penciptaan atau kejadian sejak awal.
<br /><br />
Fithrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak
lahirnya.
<br />
Dalam Al-Quran kata ini dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak dua
puluh delapan kali, empat belas diantaranya dalam konteks uraian tentang
bumi dan atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan manusia baik
dari sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi
uraian tentang fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu
pada surat Al-Rum ayat 30:
<br /><br />
<div class="ayq">
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya. </div>
<br /><br />
Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa manusia sejak asal kejadiannya, membawa potensi beragama yang
lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
<br />
Selanjutnya dipahami juga, bahwa fitrah adalah bagian dan khalq
(penciptaan) Allah.
<br /><br />
Kalau kita memahami kata la pada ayat tersebut dalam arti "tidak", maka
ini berarti bahwa seseorang tidak dapat menghindar dari fitrah itu.
Dalam konteks ayat ini, ia berarti bahwa fitrah keagamaan akan melekat
pada diri manusia untuk selama lamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui
atau diabaikannya.
<br />
Tetapi apakah fitrah manusia hanya terbatas pada fitrah keagamaan? Jelas
tidak. Bukan saja karena redaksi ayat ini tidak dalam bentuk pembatasan
tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan tentang
penciptann potensi manusia --walaupun tidak menggunakan kata fitrah,
seperti misalnya:
<br /><br />
<div class="ayq">
Telah dihiaskan kepada manusia kecenderungan hati
kepada perempuan (atau lelaki), anak lelaki (dari perempuan), serta
harta yang banyak berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan
sawah ladang (QS Ali 'Imran [3]: 14). </div>
<br />
Karena itu agaknya tepat kesimpulan Muhammad bin Asyur dalam tafsirnya
tentang surat Al-Rum (30): 30, yang menyatakan bahwa: <b>"Fitrah adalah
bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang
berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia
yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya)." </b>
<br />
Manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadiahnya, sementara
menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fitrah akliahnya. Senang
menerima nikmat dan sedih bila ditimpa musibah juga adalah fitrahnya.
<br /><br />
<a href="" id="5" name="5"></a>
<div class="ay2">
Nafs</div>
Kata nafs dalam Al-Quran mempunyai aneka makna, sekali diartikan sebagai
totalitas manusia, seperti antara lain maksud surat Al-Maidah ayat 32,
di kali lain ia menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia
yang menghasilkan tingkah laku seperti maksud kandungan firman Allah.
<br /><br />
<div class="ayq">
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan satu
masyarakat, sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka
(QS Al-Ra'd [13]: 11) </div>
<br />
Kata nafs digunakan juga untuk menunjuk kepada "diri Tuhan" (kalau
istilah ini dapat diterima), seperti dalam firman-Nya dalam surat
Al-An'am {6): 19:
<br /><br />
<div class="ayq">
Allah mewajibkan atas diri-Nya menganugerahkan
rahmat.(QS. Al-An'am {6): 19)</div>
<br />
Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan tentang
manusia, menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan
buruk.
<br />
Dalam pandangan Al-Quran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna
untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dari
keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-Quran
dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.
<br /><br />
<div class="ayq">
Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah
mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwann (QS Al-Syams [91]: 7-8). </div>
<br />
Mengilhamkan berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat
menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan
kebaikan dan keburukan.
<br />
Di sini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata ini menurut
Al-Quran dengan terminologi kaum sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam
risalahnya dinyatakan bahwa, "Nafs dalam pengertian kaum sufi adalah
sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk." Pengertian
kaum sufi ini sama dengan penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang
antara lain, menjelaskan arti kata nafsu, sebagai "dorongan hati yang
kuat untuk berbuat kurang baik".
<br /><br />
Walaupun Al-Quran menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif,
namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif
manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik
keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu manusia
dituntut agar memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya,
<br /><br />
<div class="ayq">
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
menyucikannya dan merugilah orang-orang yang mengotorinya (QS Al-Syams
[91]: 9-10) </div>
<br />
Bahwa kecenderungannya kepada kebaikan lebih kuat dipahami dari isyarat
beberapa ayat, antara lain firman-Nya:
<br /><br />
<div class="ayq">
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Nafs memperoleh ganjaran dan apa yang diusahakannya,
dan memperoleh siksa dari apa yang diusahakannya (QS Al-Baqarah [2]:
286) </div>
<br />
Kata kasabat yang dalam ayat di atas menunjuk kepada usaha baik sehingga
memperoleh ganjaran, adalah patron yang digunakan bahasa Arab untuk
menggambarkan pekerjaan yang dilakukan dengan mudah, sedangkan iktasabat
adalah patron yang digunakan untuk menunjuk kepada hal-hal yang sulit
lagi berat. Ini --menurut pakar Al-Quran Muhammad Abduh-- mengisyaratkan
bahwa nafs pada hakikatnya lebih mudah melakukan hal-hal yang baik
daripada melakukan kejahatan, dan pada gilirannya mengisyaratkan bahwa
manusia pada dasarnya diciptakan Allah untuk melakukan kebaikan.
<br />
Ayat lain yang sejalan dengan isyarat di atas, adalah firman-Nya :
<br /><br />
<div class="ayq">
Wahai manusia! Apa yang memperdayakanmu (berbuat dosa)
terhadap Tuhanmu yang telah menciptakan engkau, menyempurnakan
kejadianmu, dan menjadikan engkau "adil" (seimbang atau cenderung kepada
keadilan) (QS Al-Infithar [82): 6-7). </div>
<br />
Kata "menjadikan engkau adil" dipahami oleh sementara pakar seperti
Yusuf Ali sebagai kecenderungan berbuat adil. Pendapat ini cukup
beralasan, karena dengan pemahaman semacam itu, menjadi amat lurus
kecaman Allah terhadap manusia yang mendurhakainya.
<br />
Al-Quran juga mengisyaratkan keanekaragaman nafs serta
peringkat-peringkatnya, secara eksplisit disebutkan tentang an-nafs
al-lawamah, ammarah, dan muthmainnah.
<br /><br />
Di sisi lain ditemukan pula isyarat bahwa nafs merupakan wadah.Firman
Allah dalam surat Al-Ra'd (13): 11 yang dikutip di atas, mengisyaratkan
bahwa nafs menampung paling tidak gagasan dan kemauan. Suatu kaum tidak
dapat berubah keadaan lahiriahnya, sebelum mereka mengubah lebih dulu
apa yang ada dalam wadah nafs-nya. Yang ada di sini antara lain adalah
gagasan dan kemauan atau tekad untuk berubah. Gagasan yang benar, yang
disertai dengan kemauan satu kelompok masyarakat, dapat mengubah keadaan
masyarakat itu. Tetapi gagasan saja tanpa kemauan, atau kemauan saja
tanpa gagasan tidak akan menghasilkan perubahan.
<br /><br />
Yang terdapat dalam wadah nafs bukan hanya gagasan dan kemauan yang
disadari manusia, tetapi juga menampung sekian banyak hal lainnya,
bahkan boleh jadi ada hal-hal yang sudah hilang dari ingatan pemiliknya.
<br />
Al-Quran mengisyaratkan hal tersebut,
<br /><br />
<div class="ayq">
Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguh nya
Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi (QS Thaha [20]: 7). </div>
<br />
Yang lebih tersembunyi dan rahasia adalah yang terdapat dalam "bawah
sadar manusia", sedangkan yang tersembunyi adalah "yang disadari manusia
namun dirahasiakannya."
<br />
Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Tidak seorangpun
menyembunyikan sesuatu kecuali tampak pada salah ucapnya atau air
mukanya."
<br /><br />
Apa yang ada dalam nafs dapat juga muncul dalam mimpi, yang oleh
Al-Quran pada garis besarnya dibagi dalam dua bagian pokok. Pertamaa
dinamainya ru'ya dan kedua dinamainya adhghatsu ahlam. Yang pertama
dipahami sebagai gambaran atau simbol dari peristiwa yang telah, sedang,
atau akan dialami, dan yang belum atau tidak terlintas dalam benak yang
memimpikannya. Yang kedua lahir dan keresahan atau perhatian manusia
terhadap sesuatu dan hal-hal yang telah berada di bawah sadarnya.
<br /><br />
Dalam wadah nams terdapat qalb.
<br /><br />
<a href="" id="6" name="6"></a>
<div class="ay2">
Qalb (Kalbu, Qalbu, Qolbu)</div>
Kata qalb terambil dari akar kata yang bermakna membalik karena
seringkali ia berbolak-balik, sekali senang sekali susah, sekali setuju
dan sekali menolak. qalb amat berpotensi untuk tidak konsisten. Al-Quran
pun menggambarkan demikian, ada yang baik, ada pula sebaliknya. Berikut
beberapa contoh.
<br /><br />
<div class="ayq">
Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat
peringatan bagi orang-orang yang memiliki kalbu, atau yang mencurahkan
pendengaran lagi menjadi saksi (QS Qaf [50]: 37)
<br />
Dia (Allah) menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menghiasinya
indah dalam kalbumu (QS Al-Hujurat [49]: 7). </div>
<br />
Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa kalbu adalah wadah dari
pengajaran, kasih sayang, takut, dan keimanan. Dari isi kalbu yang
dijelaskan oleh ayat-ayat di atas (demikian juga ayat-ayat lainnya),
dapat ditarik kesimpulan bahwa kalbu memang menampung hal-hal yang
disadari oleh pemiliknya. Ini merupakan salah satu perbedaan antara
kalbu dan nafs. Bukankah seperti yang dinyatakan sebelumnya bahwa nafs
menampung apa yang berada di bawah sadar, dan atau sesuatu yang tidak
diingat lagi?
<br />
Dari sini dapat dipahami mengapa yang dituntut untuk
dipertanggungiawabkan hanya isi kalbu bukan isi nafs,
<br /><br />
<div class="ayq">
Allah menuntut tanggungjawabmu menyangkut apa yang
dilakukan oleh kalbu kamu (95 Al-Baqarah [2]: 225). </div>
<br /><br />
Namun dinyatakan bahwa,
<br /><br />
<div class="ayq">
Allah lebih mengetahui (dari kamu sendiri) apa yang
terdapat dalam nafs (diri kamu) (QS Al-Isra' [17]: 25) </div>
<br />
Di sisi lain seperti dikemukakan di atas, bahwa nafs adalah "sisi dalam"
manusia, kalbu pun demikian, hanya saja kalbu berada dalam satu kotak
tersendiri yang berada dalam kotak besar nafs.
<br />
Dalam keadaannya sebagai kotak, maka tentu saja ia dapat diisi dan atau
diambil isinya, seperti yang digambarkan ayat-ayat berikut ini:
<br /><br />
<div class="ayq">
Kami cabut apa yang terdapat dalam kalbu mereka rasa
iri, sehingga mereka semua merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di
atas dipan-dipan (QS Al-Hijr [15]: 47) </div>
<div class="ayq">
Belum lagi masuk keimanan ke dalam kalbu kamu (QS
Al-Hujurat [49]: 14). </div>
<br />
<div class="ayq">
Bahkan Al-Quran menggambarkan bahwa ada kalbu yang
disegel: Allah telah mengunci mati kalbu mereka (QS Al-Baqarah [2]: 7),
sehingga wajar jika Al-Quran menyatakan bahwa ada kunci-kunci penutup
kalbu (QS Muhammad [47]:24). Wadah kalbu dapat diperbesar, diperkecil,
atau dipersempit. Ia diperlebar dengan amal-amal kebajikan serta olah
jiwa. Al-Quran mengatakan, "mereka itulah yang diperluas kalbunya untuk
menampung takwa" (QS Al-Hujurat [49]: 3). Bukankah kami telah memperluas
dadamu? (QS Alam Nasyrah [94]: 1). Dan siapa yang dikehendaki Allah
kesesatannya, Dia menjadikan dada (kalbu)nya sempit lagi sesak (QS
Al-An'am [6]: 125). </div>
<br />
<div class="ayq">
Perlu ditambahkan bahwa Al-Quran --sesuai dengan kaidah
bahasa Arab-- seringkali menggunakan bagian dari sesuatu untuk menunjuk
keseluruhan bagian-bagiannya, seperti menggunakan kata sujud dalam arti
shalat yang mencakup berdiri, rukuk, dan lain-lain. Al-Quran juga biasa
menyebut sesuatu yang menggambarkan keseluruhan bagian-bagian, tetapi
yang dimaksud hanyalah salah satu bagiannya seperti firman-Nya "mereka
memasukkan jari-jari mereka ke dalam telinganya" (QS Al-Baqarah [2]: 19)
dalam arti ujung jari-jari. Al-Quran terkadang menggunakan kata nafs
dalam arti kalbu. Biasa juga menyebut tempat sesuatu tetapi yang
dimaksud adalah isinya, seperti "tanyakanlah kampung" (QS Yusuf [12]:
82), yang dimaksud adalah penghuninya, demikian seterusnya. </div>
<br />
Kata dada dalam ayat di atas adalah tempat kalbu sebagai mana
ditegaskan.
<br /><br />
<div class="ayq">
Sesungguhnya bukan mata yang buta, tetapi kalbu yang
berada di dalam dada (QS Al-Hajj [22]: 46). </div>
<br />
Dalam beberapa ayat, kata qalb yang merupakan wadah itu, dipahami dalam
arti "alat" seperti dalam firman-Nya: <b>Mereka mempunyai kalbu, tetapi
tidak dõgunakan untuk memahami (QS Al-A'raf [7]: 179).</b> Kalbu sebagai
alat, seperti dalam firman-Nya:
<br /><br />
<div class="ayq">
Allah mengeluarkan kamu dan perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu. Maka Dia memberikanmu (alat-alat) pendengaran,
(alat-alat) penglihatan, serta (banyak) hati agar kamu bersyukur
(menggunakannya untuk memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl [16]: 78) . </div>
<br />
Membersihkan kalbu, adalah salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan.
Imam Al-Ghazali memberi contoh mengenai kalbu sebagai wadah
pengetahuan, serta cara mengisinya. "Kalau kita membayangkan satu kolam
yang digali di tanah, maka untuk mengisinya dapat dilakukan dengan
mengalirkan air sungai --dari atas-- ke dalam kolam itu. Tetapi bisa
juga dengan menggali dan menyisihkan tanah yang menutupi mata air. Jika
itu dilakukan, maka air akan mengalir dari bawah ke atas untuk memenuhi
kolam, dan air itu, jauh lebih jernih dari air sungai yang mengalir dari
atas. Kolam adalah kalbu, air adalah pengetahuan, sungai adalah
pancaindera dan eksperimen. Sungai (pancaindera) dapat dibendung atau
ditutup, selama tanah yang berada di kolam (kalbu) dibersihkan agar air
(pengetahuan) dari mata air memancar ke atas (kolam).
<br />
Al-Quran juga menegaskan bahwa Allah SWT dapat mendinding manusia dengan
kalbunya.
<br /><br />
<div class="ayq">
Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding
antara manusia dan hatinya (QS Al-Anfal [8]: 24).</div>
<br />
Salah satu makna ayat ini adalah bahwa Allah menguasai kalbu manusia,
sehingga mereka yang merasakan kegundahan dan kesulitan dapat bermohon
kepada-Nya untuk menghilangkan kerisauan dan penyakit kalbu yang
dideritanya. Ayat ini sangat berkaitan dengan firman-Nya dalam Al-Ra'd
(13): 28:
<br /><br />
<div class="ayq">
Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah hati akan
tenteram. (QS. Al-Ra'd (13): 28)</div>
<br /><br />
Demikian sekelumit dari pengertian dan peranan hati yang diperoleh dari
isyarat-isyarat Al-Quran.
<br /><br />
<a href="" id="7" name="7"></a>
<div class="ay2">
Ruh (Roh)</div>
Berbicara tentang ruh, Al-Quran mengingatkan kita akan firman-Nya:
<br /><br />
<div class="ayq">
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah,
"Ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit" (QS
Al-Isra' [17]: 85) </div>
<br />
Apa yang dimaksud dengan pertanyaan tentang ruh di sini? Apakah
substansinya? Kekekalan atau kefanaannya, kebahagiaan atau
kesengsaraannya? Tidak jelas. Selain itu, apa yang dimaksud dengan "kamu
tidak diberi ilmu kecuali sedikit"? Yang sedikit itu apa? Apakah yang
berkaitan dengan ruh? Sehingga ada informasi sedikit tentang ruh,
misalnya gejala-gejalanya? Ataukah "yang sedikit itu" adalah ilmu
pengetahuan kita, tidak termasuk di dalamnya ruh, karena ilmu kita hanya
sedikit.
<br />
Yang menambah sulitnya persoalan adalah bahwa kata ruh terulang di dalam
Al-Quran sebanyak dua puluh empat kali dengan berbagai konteks dan
berbagai makna, dan tidak semua berkaitan dengan manusia. Dalam surat
Al-Qadar misalnya dibicarakan tentang turunnya malaikat dan ruh pada
malam Lailat Al-Qadr. Ada juga uraian tentang ruh yang membawa Al-Quran.
<br /><br />
Kata ruh yang dikaitkan dengan manusia juga dalam konteks yang
bermacam-macam, ada yang hanya dianugerahkan Allah kepada manusia
pilihan-Nya (QS Al-Mu'min [40]: 15) yang dipahami oleh sementara pakar
sebagai wahyu yang dibawa malaikat Jibril, ada juga yang
dianugerahkannya kepada orang-orang Mukmin (QS Al-Mujadilah [58]: 22)
dan di sini dipahami sebagai dukungan dan peneguhan hati atau kekuatan
batin; dan ada juga yang dianugerahkannya kepada seluruh manusia, <b>kemudian
Kuhembuskan kepadanya dan ruh-Ku.</b>
<br />
Apakah di sini dia berarti nyawa? Ada yang berpendapat demikian, ada
juga yang menolak pendapat ini, karena dalam Surat Al-Mu'minun
dijelaskan bahwa dengan ditiupkannya ruh maka menjadilah makhluk ini
khalq akhar (makhluk yang unik), yang berbeda dari makhluk lain.
Sedangkan nyawa juga dimiliki oleh orang utan, misalnya. Kalau demikian
nyawa bukan unsur yang menjadikan manusia makhluk yang unik.
<br /><br />
Demikian terlihat Al-Quran berbicara tentang ruh dalam makna yang
beraneka ragam, sehingga sungguh sulit untuk menetapkan maknanya apalagi
berbicara tentang substansinya.
<br />
Dalam beberapa hadis, ada disinggung tentang ruh, misalnya sabda Nabi
saw: "Ruh-ruh adalah himpunan yang terorganisasi, yang saling mengenal
akan bergabung, dan yang tidak saling mengenal akan berselisih".
<br /><br />
Hadis di atas seringkali dirangkaikan dengan ungkapan yang dikenal luas
dalam literatur keagamaan: "Burung-burung akan bergabung dengan
jenisnya".
<br />
Hadis ini, sekali lagi tidak membicarakan apa yang disebut ruh tersebut?
Dia hanya mengisyaratkan tentang keanekaragamannya, dan bahwa manusia
mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda, dan setiap pemilik
kecenderungan jiwanya akan bergabung dengan sesamanya.
<br /><br />
Demikian kembali kita bertanya, "Apa ruh itu dan bagaimana ia?"
Katakanlah, "Ruh adalah urusan Tuhan-Ku." Kamu tidak diberi pengetahuan
kecuali sedikit.
<br /><br />
<a href="" id="8" name="8"></a>
<div class="ay2">
'Aql (Akal)</div>
Kata 'aql (akal) tidak ditemukan dalam Al-Quran, yang ada adalah bentuk
kata kerja --masa kini, dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada
mulanya berarti tali pengikat, penghalang. Al-Quran menggunakannya bagi
"sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam
kesalahan atau dosa." Apakah sesuatu itu? Al-Quran tidak menjelaskannya
secara eksplisit, namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan akar
kata 'aql dapat dipahami bahwa ia antara lain adalah:
<br /><br />
<b>a. Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, seperti firman-Nya
dalam QS Al-'Ankabut (29): 43. </b>
<br /><br />
<div class="ayq">
Demikian itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami
berikan kepada manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali
orang-orang alim (berpengetahuan) (QS Al-'Ankabut [29]: 43) </div>
<br />
Daya manusia dalam hal ini berbeda-beda. Ini diisyaratkan Al-Quran
antara lain dalam ayat-ayat yang berbicara tentang kejadian langit dan
bumi, silih bergantinya malam dan siang, dan lain-lain. Ada yang
dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah SWT bagi "orang-orang
berakal" (QS Al-Baqarah [2]: 164), dan ada juga bagi Ulil Albab yang
juga dengan makna sama, tetapi mengandung pengertian lebih tajam dari
sekadar memiliki pengetahuan.
<br />
Keanekaragaman akal dalam konteks menarik makna dan menyimpulkannya
terlihat juga dari penggunaan istilah-istilah semacam nazhara, tafakkur,
tadabbur, dan sebagainya yang semuanya mengandung makna mengantar
kepada pengertian dan kemampuan pemahaman.
<br /><br />
<b>b. Dorongan moral, seperti firman-Nya,</b>
<br /><br />
<div class="ayq">
... dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan
keji, baik yang nampak atau tersembunyi, dan jangan kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah dengan sebab yang benar. Demikian itu diwasiatkan
Tuhan kepadamu, semoga kamu memiliki dorongan moral untuk
meninggalkannya (QS Al-'Anam [6]: 151). </div>
<br />
<b>c. Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta "hikmah"</b>
<br /><br />
Untuk maksud ini biasanya digunakan kata rusyd. Daya ini menggabungkan
kedua daya di atas, sehingga ia mengandung daya memahami, daya
menganalisis, dan menyimpulkan, serta dorongan moral yang disertai
dengan kematangan berpikir. Seseorang yang memiliki dorongan moral,
boleh jadi tidak memiliki daya nalar yang kuat, dan boleh jadi juga
seseorang yang memiliki daya pikir yang kuat, tidak memiliki dorongan
moral, tetapi seseorang yang memiliki rusyd, maka dia telah
menggabungkan kedua keistimewaan tersebut. Dari sini dapat dimengerti
mengapa penghuni neraka di hari kemudian berkata,
<br /><br />
<div class="ayq">
Seandainya kami mendengar dan berakal maka pasti kami
tidak termasuk penghuni neraka (QS Al-Mulk [67]: l0) </div>
<br />
Demikian sekilas tentang pengertian kata-kata yang boleh jadi dapat
menggambarkan sekilas tentang manusia dalam pandangan Al-Quran. Prof.
Dr. M. Quraish Shihab sepenuhnya sadar bahwa uraian di atas amat
terbatas. Uraian yang memadai mungkin dapat diperoleh dengan kerja sama
pakar-pakar Al-Quran dengan Pakar dalam berbagai disiplin ilmu lain.
<br /><br /><br />
<a href="" id="9" name="9"></a>
<div class="ay2">
Referensi</div>
<ul>
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
<li>M. Nashiruddin Al-Albani, <i>Ringkasan Shahih Bukhari</i>,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
</li>
<li>Al-Bayan, <i>Shahih Bukhari Muslim</i>, Jabal, Bandung, 2008.
</li>
<li>Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, <i>Kemudahan dari Allah, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir</i>, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani,
Jakarta, 1999.
</li>
</ul>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<center>
</center></td></tr>
</tbody></table>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-90929553840997324982012-02-18T06:56:00.001-08:002012-02-18T06:56:36.122-08:00Masjid<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Masjid</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>ISLAM - Keislaman</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
Kata masjid terulang sebanyak dua puluh delapan kali di dalam Al-Quran.
Dari segi bahasa, <b>kata masjid terambil dari akar kata sajada-sujud,
yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takzim.</b>
<br />
Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut, dan kaki ke bumi, yang kemudian
dinamai sujud oleh syariat, adalah bentuk lahiriah yang paling nyata
dari makna-makna di atas. itulah sebabnya mengapa bangunan yang
dikhususkan untuk melaksanakan shalat dinamakan masjid, yang artinya
"tempat bersujud."
<br /><br />
Dalam pengertian sehari-hari, masjid merupakan bangunan tempat shalat
kaum Muslim. Tetapi, karena akar katanya mengandung makna tunduk dan
patuh, <b>hakikat masjid adalah tempat melakukan segala aktivitas yang
mengandung kepatuhan kepada Allah semata</b>. Karena itu Al-Quran sural
Al-Jin (72): 18, misalnya, menegaskan bahwa,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah,
karena janganlah menyembah selain Allah sesuatu pun. (QS. Al-Jin (72):
18)</div>
<br />
Rasul saw bersabda: "Telah dijadikan untukku (dan untuk umatku) bumi
sebagai masjid dan sarana penyucian diri". (HR Bukhari dan Muslim
melalui Jabir bin Abdullah).
<br />
Jika dikaitkan dengan bumi ini, masjid bukan hanya sekadar tempat sujud
dan sarana penyucian. Di sini kata masjid juga tidak lagi hanya berarti
bangunan tempat shalat, atau bahkan bertayamum sebagai cara bersuci
pengganti wudu tetapi kata masjid di sini berarti juga tempat
melaksanakan segala aktivitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada
Allah SWT
<br /><br />
Dengan demikian, masjid menjadi pangkal tempat Muslim bertolak,
sekaligus pelabuhan tempatnya bersauh.
<br /><br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
SUJUD</div>
Al-Quran menggunakan kata sujud untuk berbagai arti. Sekali diartikan
sebagai penghormatan dan pengakuan akan kelebihan pihak lain, seperti
sujudnya malaikat kepada Adam pada Al-Quran surat Al-Baqarah (2): 34.
<br />
Di waktu lain sujud berarti kesadaran terhadap kekhilafan serta
pengakuan kebenaran yang disampaikan pihak lain, itulah arti sujud di
dalam firman-Nya,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Lalu para penyihir itu tersungkur dengan bersujud (QS
Thaha [20]: 70). </div>
<br />
Sujud juga berarti mengikuti maupun menyesuaikan diri dengan ketetapan
Allah yang berkaitan dengan alam raya ini, yang secara salah kaprah dan
populer sering dinamakan hukum-hukum alam.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Bintang dan pohon keduanya bersujud (QS Al-Rahman [55]:
6). </div>
<br />
Dari sunnatullah diketahui bahwa kemenangan hanya tercapai dengan
kesungguhan dan perjuangan. Kekalahan diderita karena kelengahan dan
pengabaian disiplin, dan sukses diraih dengan perencanaan dan kerja
keras, dan sebagainya, sehingga seseorang tidak disebut bersujud,
apabila tidak mengindahkan hal-hal tersebut.
<br /><br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
FUNGSI MASJID</div>
Al-Quran menyebutkan fungsi masjid antara lain di dalam firman-Nya:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Bertasbihlah kepada Allah di masjid-masjid yang telah
diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya pada
waktu pagi dan petang, orang-orang yang tidak dilalaikan oleh
perniagaan, dan tidak (pula) oleh jual-beli, atau aktivitas apa pun dan
mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, membayarkan zakat, mereka
takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi
guncang (QS An-Nur [24]: 36-37). </div>
<br />
Tasbih bukan hanya berarti mengucapkan Subhanallah, melainkan lebih luas
lagi, sesuai dengan makna yang dicakup oleh kata tasbih beserta
konteksnya. Sedangkan arti dan konteks-konteks tersebut dapat
disimpulkan dengan kata taqwa.
<br /><br />
Ketika Rasulullah saw berhijrah ke Madinah, langkah pertama yang beliau
lakukan adalah membangun masjid kecil yang berlantaikan tanah, dan
beratapkan pelepah kurma. Dari sana beliau membangun masjid yang besar,
membangun dunia ini, sehingga kota tempat beliau membangun itu
benar-benar menjadi Madinah, (seperti namanya) yang arti harfiahnya
adalah 'tempat peradaban', atau paling tidak, dari tempat tersebut lahir
benih peradaban baru umat manusia.
<br /><br />
Masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah saw adalah Masjid Quba',
kemudian disusul dengan Masjid Nabawi di Madinah. Terlepas dari
perbedaan pendapat ulama tentang masjid yang dijuluki Allah sebagai
masjid yang dibangun atas dasar takwa (QS Al-Tawbah [9]: 108), yang
jelas bahwa keduanya --Masjid Quba dan Masjid Nabawi-- dibangun atas
dasar ketakwaan, dan setiap masjid seharusnya memiliki landasan dan
fungsi seperti itu. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah Saw meruntuhkan
bangunan kaum munafik yang juga mereka sebut masjid, dan menjadikan
lokasi itu tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang, karena di
bangunan tersebut tidak dijalankan fungsi masjid yang sebenarnya, yakni
ketakwaan.
<br /><br />
<b>Fungsi masjid antara lain sebagai :
</b><br /><b>
1. Tempat ibadah (shalat, zikir). </b><br /><b>
2. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial budaya). </b><br /><b>
3. Tempat pendidikan. </b><br /><b>
4. Tempat santunan sosial.</b><br /><b>
5. Tempat pengobatan, khususnya para korban bencana alam. </b><br /><b>
6. Pusat penerangan atau pembelaan agama. </b>
<br /><br />
Masjid, khususnya masjid besar, harus mampu melakukan keenam peran tadi.
Paling tidak melalui uraian para pembinanya guna mengarahkan umat pada
kehidupan duniawi dan ukhrawi yang lebih berkualitas.
<br />
Apabila masjid dituntut berfungsi membina umat, tentu sarana yang
dimilikinya harus tepat, menyenangkan dan menarik semua umat, baik
dewasa, kanak-kanak, tua, muda, pria, wanita, yang terpelajar maupun
tidak, sehat atau sakit, serta kaya dan miskin.
<br /><br />
Di dalam Muktamar Risalatul Masjid di Makkah pada 1975, hal ini telah
didiskusikan dan disepakati, bahwa suatu masjid baru dapat dikatakan
berperan secara baik apabila memiliki ruangan, dan peralatan yang
memadai untuk:
<br /><br />
<b>a. Ruang shalat yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
</b><br /><b>
b. Ruang-ruang khusus wanita yang memungkinkan mereka keluar masuk tanpa
bercampur dengan pria baik digunakan untuk shalat, maupun untuk
Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
</b><br /><b>
c. Ruang pertemuan dan perpustakaan.
</b><br /><b>
d. Ruang poliklinik, dan ruang untuk memandikan dan mengkafankan mayat.
</b><br /><b>
e. Ruang bermain, berolahraga, dan berlatih bagi remaja. </b>
<br /><br />
Semua hal di atas harus diwarnai oleh kesederhanaan fisik bangunan,
namun harus tetap menunjang peranan masjid ideal termaktub.
<br />
Hal terakhir ini perlu mendapat perhatian, karena menurut pengamatan
sementara pakar, sejarah kaum Muslim menunjukkan bahwa perhatian yang
berlebihan terhadap nilai-nilai arsitektur dan estetika suatu masjid
sering ditandai dengan kedangkalan, kekurangan, bahkan kelumpuhannya
dalam pemenuhan fungsi-fungsinya. Seakan-akan nilai arsitektur dan
estetika dijadikan kompensasi untuk menutup-nutupi kekurangan atau
kelumpuhan tersebut.
<br /><br />
Masjid adalah milik Allah, karena itu kesuciannya harus dipelihara.
<br />
Salah satu yang ditekankan oleh sebagian ulama sebagai sesuatu yang
tidak wajar terlihat pada masjid (dan sekitarnya) adalah kehadiran para
pengemis,
<br />
Untuk memelihara kesucian masjid, Allah SWT berfirman agar para
pengunjungnya memakai hiasan ketika mengunjungi masjid sebagaimana
firman-Nya dalam QS Al-A'raf (7): 31:
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
<b>Hai anak-anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah
setiap (memasuki) masjid.</b> (QS Al-A'raf (7): 31) </div>
<br />
<b>Rasulullah saw menganjurkan agar memakai wangi-wangian saat
berkunjung ke masjid.</b>
<br />
Masjid harus mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman pada
pengunjung dan lingkungannya, karena itu Rasulullah saw melarang adanya
benih-benih pertengkaran di dalamnya.
<br /><br />
Jadi masjid adalah tempat ibadah dan pendidikan dalam pengertiannya yang
luas (Al-Quran berbicara tentang segala aspek kehidupan manusia).
<br /><br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div>
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahi</i></li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-46357417788914176922012-02-18T06:55:00.001-08:002012-02-18T06:55:22.085-08:00Halal Bihalal<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Halal Bihalal</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Idul Fitri, Minal 'Aidin wal Faizin</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
Al-Quran adalah kitab rujukan untuk memperoleh petunjuk dan bimbingan
agama. Ada tiga cara yang diperkenalkan ulama untuk memperoleh
pesan-pesan kitab suci itu. Pertama, melalui penjelasan Nabi saw, para
sahabat beliau, dan murid-murid mereka. Hal ini dinamai tafsir
bir-riwayah. Kedua, melalui analisis kebahasaan dengan menggunakan nalar
yang didukung oleh kaidah-kaidah ilmu tafsir. Ini, dinamai tafsir
bid-dinyah. Ketiga, melalui kesan yang diperoleh dari penggunaan kosa
kata ayat atau bilangannya, yang dinamai tafsir bir-riwayah.
<br /><br />
Kajian ini akan mencoba mencari substansi halal bihalal melalui Al-Quran
dengan menitikberatkan pandangan pada cara yang ketiga.
<br />
Tulisan ini akan berpangkal pada beberapa istilah yang lumrah digunakan
dalam konteks halal bihalal, yaitu Idul Fitri, halal bihalal, dan Minal
'Aidin wal-Faizin.
<br /><br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
IDUL FITRI</div>
<b>Kata 'Id terambil dari akar kata yang berarti kembali,</b> yakni
kembali ke tempat atau ke keadaan semula. Ini berarti bahwa sesuatu yang
"kembali" pada mulanya berada pada suatu keadaan atau tempat, kemudian
meninggalkan tempat atau keadaan itu, lalu kembali dalam arti ke tempat
dan keadaan semula.
<br /><br />
Apakah keadaan atau tempat semula itu?
<br />
Hal ini dijelaskan oleh <b>kata fithr, yang antara lain berarti asal
kejadian, agama yang benar, atau kesucian. </b>
<br />
Dalam pandangan Al-Quran, asal kejadian manusia bebas dari dosa dan
suci, sehingga <b>'idul fithr antara lain berarti kembalinya manusia
kepada keadaan sucinya,</b> atau keterbebasannya dari segala dosa dan
noda, sehingga dengan demikian ia berada dalam kesucian.
<br />
Dosa memang mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya semula. Baik
kedekatan posisinya terhadap Allah maupun sesama manusia.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Jika hamba-hamba-Ku (yang taat dan menyadari
kesalahannya) bertanya kepadamu tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat, dan
memperkenankan permohonan jika mereka bermohon kepada-Ku (QS Al-Baqarah
[2]: 186). </div>
<br />
Kesadaran manusia terhadap kesalahannya mengantarkan Allah mendekat
kepadanya. Pada gilirannya, hal itu akan menyebabkan manusia bertobat.
Perlu diingat, bahwa tobat secara harfiah berarti kembali.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Walau bukan kembali dalam konteks memohon ampun, namun
dapat diperoleh kesan dari firman-Nya yang menyatakan "Jikalau kamu
kembali Kami pun akan kembali" (QS Al-Isra' [l7]: 8), bahwa Allah selalu
rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya. </div>
<br />
Hadis Nabi saw pun menjelaskan bahwa Allah berfirman antara lain :
"Apabila hamba-Ku mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal, Aku mendekat
kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat
kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan
datang menemuinya dengan berlari." (HR Bukhari dari Anas bin Malik).
<br />
Kegembiraan Allah itu tercermin dari hadis Rasulullah saw yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah saw
bersabda : "Allah lebih gembira karena tobatnya seseorang".
<br /><br />
Dalam konteks hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik kesan
dari penamaan manusia dengan kata al-Insan. Kata ini --menurut sebagian
ulama-- terambil dari kata uns yang berarti senang atau harmonis.
Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa pada dasarnya manusia selalu
merasa senang dan memiliki potensi untuk menjalin hubungan harmonis
antar sesamanya. Dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia, hubungan
tersebut menjadi terganggu dan tidak harmonis lagi. Namun manusia akan
kembali ke posisi semula (harmonis) pada saat ia menyadari kesalahannya,
dan berusaha mendekat kepada siapa yang pernah ia lukai hatinya.
<br /><br />
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa <b>idul fltri mengandung
pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah dan
sesama manusia.</b> Kedekatan tersebut diperoleh antara lain dengan
kesadaran terhadap kesalahan yang telah diperbuat.
<br /><br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
HALAL BIHALAL</div>
Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan haram;
sedangkan haram merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan ancaman
siksa.
<br />
<b>Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu wajib, sunnah, mubah,
makruh dan haram.</b> Empat yang pertama termasuk kelompok halal
(termasuk yang makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk ditinggalkan).
Nabi saw bersabda, "Abghadu al-halal ila Allah, ath-thalaq" (Halal yang
paling dibenci Allah adalah pemutusan hubungan suami-istri).
<br /><br />
Jikalau halal bihalal diartikan dalam konteks hukum, sebaiknya kata
halal pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian
hukum.
<br />
Dalam Al-Quran, kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua di antaranya
pada konteks kecaman, yaitu:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
<b>Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku tentang rezeki
yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan
(sebagiannya) halal. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu ataukah
kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?"</b> (QS Yunus [10]: 59). </div>
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
<b>Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, "Ini halal dan ini haram",
untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang
yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu
adalah) kesenangan sementara yang sedikit, dan bagi mereka siksa yang
pedih </b>(QS Al-Nahl [16]: 116-117). </div>
<br />
Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak, terdapat
kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara yang halal dan yang
haram. Jika yang mencampurbaurkan saja telah dikecam dan diancam dengan
siksa yang pedih, lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya
adalah haram.
<br /><br />
Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Quran mempunyai dua ciri yang
sama, yaitu
<br />
<b>a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),
</b><br /><b>
b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).</b>
<br /><br />
Perhatikan ketiga ayat berikut
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Kulu mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi) (QS Al-Baqarah [2]: 168)
</div>
<div>
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban... (Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang Allah telah
rezekikan kepadamu) (QS Al-Ma-idah [5]: 88) </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah
kepadamu) (QS An-Nahl [16]: 114) </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Kata makan dalam Al-Quran sering diartikan "melakukan aktivitas apa
pun." Ini agaknya disebabkan karena makan merupakan sumber utama
perolehan kalori yang dapat menghasilkan aktivitas. Dengan demikian,
perintah makan dalam ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan
aktivitas, sedangkan aktivitasnya tidak sekadar halal, tetapi juga harus
thayyib (baik). Jika dikembalikan pada empat jenis halal yang
diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak termasuk dalam
kategori halalan thayyiban.
<br /><br />
Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib) sebanyak
delapan belas kali, yang dapat dirinci sebagai berikut:
<br />
Masing-masing sekali untuk at-tawabin (orang yang bertobat),
ash-shabirin (orang-orang sabar) dan shaffan wahida (orang yang berada
dalam satu barisan/kesatuan).
<br />
Masing-masing dua kali terhadap al-mutawakkilin (orang yang berserah
diri kepada Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang yang menyucikan
diri).
<br />
Masing-masing tiga kali terhadap al-muttaqin (orang yang bertakwa) dan
al-muqsithin (orang yang berlaku adil), dan lima kali terhadap
al-muhsinin.
<br /><br />
Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu paling tidak mengisyaratkan
bahwa sikap yang paling disenangi oleh Allah adalah al-muhsinin
(orang-orang yang berbuat baik terhadap mereka yang pernah melakukan
kesalahan). Hal ini sesuai sekali dengan perintah Al-Quran untuk
melakukan perbuatan halal yang baik, tidak sekadar perbuatan halal
(boleh), tetapi tidak menghasilkan kebaikan.
<br /><br />
Dalam Al-Quran surat Ali-'Imran ayat 134 diisyaratkan tingkat-tingkat
terjalinnya keserasian hubungan.
<br />
Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat keadaan mereka senang
(lapang) maupun sulit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan
memaafkan orang-orang yang bersalah (bahkan berbuat baik terhadap
mereka). Sesunguhnya Allah menyukai mereka yang berbuat baik (terhadap
orang yang bersalah).
<br /><br />
Di sini terbaca, bahwa tahap pertama adalah menahan amarah, tahap kedua
memberi maaf, dan tahap berikutnya adalah berbuat baik terhadap orang
yang bersalah.
<br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN</div>
<div style="text-align: justify;">
Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri ada Minal 'Aidin wal
Faizin.
<br /><br />
Kata-kata “Minal Aidin wal Faizin” adalah penggalan sebuah doa dari doa
yang lebih panjang yang diucapkan ketika kita selesai menunaikan ibadah
puasa yakni : “Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Wa Ja’alanallahu Minal
‘Aidin Wal Faizin” yang artinya “Semoga Allah menerima (amalan-amalan)
yang telah aku dan kalian lakukan dan semoga Allah menjadikan kita
termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat)
keberuntungan (kemenangan)”. <br />
Sehingga arti sesungguhnya dari “Minal Aidin wal Faizin” adalah “Semoga
kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat)
keberuntungan (kemenangan)”.
<br /><br />
Dari segi bahasa, minal ‘aidin dapat diartikan dengan “(semoga kita)
termasuk orang-orang yang kembali”. Kembali di sini dimaksudkan kembali
kepada fitrah manusia, yaitu “asal kejadiannya” atau “kesucian”. Bisa
juga berarti “agama yang benar”.<br />
Setelah berlalunya Ramadhan, bulan untuk mengasah dan mengasuh jiwa
dengan berpuasa, kita saling berharap bisa kembali ke asal kejadian
kita, kembali ke dalam keadaan yang suci seperti saat kita dilahirkan
dulu, serta bisa kembali mengamalkan ajaran agama yang benar.
<br /><br />
Sedangkan kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti
orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang berarti
keberuntungan.
Dalam konteks dan maknanya, ayat-ayat yang menggunakan kata fawz,
seluruhnya (kecuali dalam QS 4: 73), berarti “pengampunan dan keridhaan
Allah SWT serta kebahagiaan surgawi”. Karena itu, Wal faizin hendaknya
dipahami sebagai harapan dan doa, semoga kita termasuk orang-orang yang
memperoleh keberuntungan berupa memperoleh ampunan dan ridha Allah swt
sehingga kita semua mendapat kenikmatan surga-Nya.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Penghuni surga adalah orang-orang yang beruntung (QS.
Al-Hasyr [59]: 20).
<br />
Barangsiapa yang dijauhkan --walaupun sedikit-- dari neraka, dan
dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh dia telah beruntung (QS Ali
'Imran [3]: 185). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Jadi, minal ‘aidin wal faizin adalah doa untuk kita semua, agar kita
dapat kembali menemukan jati diri kita dan agar kita bersama memperoleh
keberuntungan berupa ampunan, ridha, dan kenikmatan surgawi.
<br /><br />
<a href="" id="4" name="4"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
PENGAMPUNAN</div>
<div style="text-align: justify;">
Terdapat beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menyebutkan
pengampunan (pembebasan dosa), dan upaya menjalin hubungan serasi antara
manusia dengan Tuhannya, antara lain taba (tobat), 'afa (memaafkan),
ghafara (mengampuni), kaffara (menutupi), dan shafah.
<br /><br />
Masing-masing istilah digunakan untuk tujuan tertentu dan memberikan
maksud yang berbeda.
<br /><br />
<a href="" id="5" name="5"></a>
<span style="font-size: medium;"><b>a. Taubat (Tobat)</b></span>
<br /><br />
Ada dua macam tobat (kembalinya) Allah. Pertama, lahir sebelum lahirnya
tobat manusia secara aktual. Ketika itu ia baru dalam bentuk keinginan
dan kesadaran tentang dosa-dosanya. Tobat pertama Tuhan ini antara lain
tercermin dari firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 186,
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku,
maka sesungguhnya Aku dekat... (QS. Al-Baqarah [2]: ayat 186)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /><br />
Kata 'ibadi (hamba-hamba-Ku) baik yang ditulis dengan memakai huruf Ya'
(sebanyak 17 kali) maupun tidak (4 kali), semuanya digunakan untuk
menunjukkan hamba Allah yang taat atau yang bergelimang di dalam dosa
tetapi berkeinginan kembali kepada-Nya.
br>
Perhatikan firman-Nya:
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah
ke dalam surga-Ku (QS Al-Fajr [89]: 29-30). </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Wahai hamba-hamba-Ku yang bergelimang dalam dosa (dan
telah menyadari dosanya sehingga ingin kembali), janganlah kamu berputus
asa dari rahmat Allah (QS Al-Zumar [39]: 53) </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Surat Al-Baqarah ayat 186 di atas menjelaskan bahwa Allah dekat dengan
hamba-hamba-Nya, walaupun mereka masih bergelimang dalam dosa dan
maksiat tetapi telah memiliki kesadaran untuk bertobat (untuk kembali).
<br />
Allah membuka pintu tobat-Nya, dan memberi taufik kepada mereka yang
berdosa, yang terketuk hatinya untuk kembali. Langkah pertama dari tobat
Allah ini, antara lain dipahami pula dari redaksi-redaksi fashilat
(penutup) ayat-ayat yang berbicara tentang tobat-Nya.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Allah hendak menerangkan kepada kamu dan mengantarmu ke
jalan orang-orang sebelum kamu (para Nabi dan orang-orang saleh) dan
hendak menerima tobatmu. Allah Maha Mengetahui lagi Bijaksana (QS
Al-Nisa' [4]: 261. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Maka barangsiapa bertobat sesudah melakukan
kejahatannya, dan memperbaiki diri, sesungguhnya Allah bertobat
kepadanya (menerima tobatnya). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang (QS Al-Ma-idah [5]: 39). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Penutup surat An-Nisa ayat 26 mengisyaratkan langkah pertama tobat
Allah, yang dilakukan-Nya kepada mereka yang diketahui terketuk hatinya
atau memiliki kesadaran terhadap dosanya. Langkah tersebut dilakukan
oleh Allah karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk
bisikan-bisikan hati manusia, dan karena Dia Maha Bijaksana. Dalam
posisi inilah Allah memberi petunjuk kepada Adam dengan kalimat-kalimat
yang wajar diucapkan untuk memohon ampun, karena betapapun, manusia
selalu membutuhkan petunjuk-Nya, lebih-lebih pada saat ia jauh dari
Allah SWT
<br /><br />
Penutup surat Al-Ma-idah juga berbicara tentang tobat Allah, tetapi kali
ini dia benar-benar telah "tobat" (kembali) ke posisi semula. Namun
harus disadari bahwa hal ini baru terjadi jika sang hamba yang berdosa
bertobat dan memperbaiki diri. Allah mendekatkan diri dan kembali ke
posisi semula, disebabkan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
<br /><br />
<a href="" id="6" name="6"></a>
<span style="font-size: medium;"><b>b. Al-'Afw (Maaf)</b></span>
<br /><br />
Kata al-'afw terulang dalam Al-Quran sebanyak 34 kali. Kata ini pada
mulanya berarti berlebihan, seperti firman-Nya:
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Mereka bertanya kepadamu tentang hal yang mereka
nafkahkan (kepada orang). Katakanlah, "al-'afw" (yang berlebih dari
keperluan) (QS Al-Baqarah [2]: 219). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Yang berlebih seharusnya diberikan agar keluar. Keduanya menjadikan
sesuatu yang tadinya berada di dalam (dimiliki) menjadi tidak di dalam
dan tidak dimiliki lagi. Akhirnya kata al-'afw berkembang maknanya
menjadi keterhapusan. Memaafkan, berarti menghapus luka atau bekas-bekas
luka yang ada di dalam hati.
<br /><br />
Membandingkan ayat-ayat yang berbicara tentang tobat dan maaf, ditemukan
bahwa kebanyakan ayat tersebut didahului oleh usaha manusia untuk
bertobat. Sebaliknya, tujuh ayat yang menggunakan kata 'afa, dan
berbicara tentang pemaafan semuanya dikemukakan tanpa adanya usaha
terlebih dahulu dari orang yang bersalah. Perhatikan ayat-ayat berikut:
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Allah mengetahui bahwa kamu tadinya mengkhianati dirimu
sendiri, maka Allah memaafkan kamu (QS Al-Baqarah [2]: 187). </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Allah memaafkan kamu, mengapa engkau memberi izin
kepada mereka, sebelum engkau mengetahui orang-orang yang benar (dalam
alasannya) dan sebelum engkau mengetahui pula para pembohong? (QS
Al-Tawbah [9]: 43). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Balasan terhadap kejahatan adalah pembalasan yang
setimpal, tetapi barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik,
ganjarannya ditanggung oleh Allah (QS Al-Syura [42]: 40). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Hendaklah mereka memberi maaf dan melapangkan dada
Tidakkah kamu ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur [24): 22). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Kesan yang disampaikan oleh ayat-ayat ini adalah anjuran untuk tidak
menanti permohonan maaf dari orang yang bersalah, melainkan hendaknya
memberi maaf sebelum diminta. Mereka yang enggan memberi maaf pada
hakikatnya enggan memperoleh pengampunan dan Allah SWT. Tidak ada alasan
untuk berkata, "Tiada maaf bagimu", karena segalanya telah dijamin dan
ditanggung oleh Allah SWT
<br /><br />
Perlu dicatat pula, bahwa pemaafan yang dimaksud bukan hanya menyangkut
dosa atau kesalahan kecil, tetapi juga untuk dosa dan
kesalahan-kesalahan besar.
<br /><br />
<a href="" id="7" name="7"></a>
<span style="font-size: medium;"><b>c. Al-Shafh (Lapang Dada)</b></span>
<br /><br />
Kata al-shafh dalam berbagai bentuk terulang sebanyak delapan kali dalam
Al-Quran. Kata ini pada mulanya berarti lapang. Halaman pada sebuah
buku dinamai shafhat karena kelapangan dan keluasannya.
<br />
Dari sini, al-shafh dapat diartikan kelapangan dada. Berjabat tangan
dinamai mushafahat karena melakukannya menjadi perlambang kelapangan
dada.
<br />
Dari delapan kali bentuk al-shafh yang dikemukakan, empat di antaranya
didahului oleh perintah memberi maaf.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apabila kamu memaafkan, dan melapangkan dada serta
melindungi, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang (QS
Al-Thaghabun [64]: 14). </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Hendaklah mereka memaafkan dan melapangkan dada! Apakah
kamu tidak ingin diampuni oleh Allah? (QS Al-Nur [24]: 22) . </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Maafkanlah mereka dan lapangkan dada. Sesungguhnya
Allah senang kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang
melakukan kesalahan kepadanya) (QS Al-Ma-idah [5]: l3. Juga baca surat
Al-Baqarah [2]: lO9). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ulama-ulama Al-Quran seperti Ar-Raghib Al-Isfahani menyatakan bahwa
al-shafa lebih tinggi kedudukannya dari al-'afw (maaf). Pernyataan yang
dikemukakan itu dapat dipahami melalui alasan kebahasaan seperti berikut
ini.
<br /><br />
Seperti dikemukakan terdahulu dari kata al-shafh lahirlah shafhat yang
berarti halaman. Jika Anda memiliki selembar kertas yang ditulisi suatu
kesalahan, lantas kesalahan itu ditulis dengan pensil, Anda tentu dapat
mengambil penghapus karet untuk menghapusnya. Seperti demikianlah ketika
Anda melakukan 'afw (memberi maaf). Seandainya kesalahan pada kertas
itu ditulis dengan tinta, tentu Anda akan menghapusnya dengan Tipp Ex
agar tidak terlihat lagi, dan di sini Anda melakukan takfir seperti yang
akan dijelaskan kemudian. Betapapun Anda menghapus bekas kesalahan,
namun pasti sedikit banyak, lembaran tersebut tidak lagi sama sepenuhnya
dengan lembaran baru. Malah barangkali kertas itu menjadi kusut. Nah,
di sinilah letak perbedaan antara al-shafh yang mengandung arti lapang
dan lembaran baru dengan takfir. Al-Shafh menuntut seseorang untuk
membuka lembaran baru hingga sedikit pun hubungan tidak ternodai, tidak
kusut, dan tidak seperti halaman yang telah dihapus kesalahannya.
<br /><br />
Mushafahat (jabat tangan) adalah lambang kesediaan seseorang untuk
membuka lembaran baru, dan tidak mengingat atau menggunakan lagi
lembaran lama. Sebab, walaupun kesalahan telah dihapus, kadang-kadang
masih saja ada kekusutan masalah.
<br /><br />
Tadi telah dikemukakan bahwa memberi maaf dilanjutkan dengan perintah
al-shafh. Perintah memaafkan tetap diperlukan, karena tidak mungkin
membuka lembaran baru dengan membiarkan lembar yang telah ada
kesalahannya tanpa terhapus. Itu sebabnya ayat-ayat yang memerintahkan
al-shafh tetapi tidak didahului oleh perintah memberi maaf, dirangkaikan
dengan jamil yang berarti indah. Selain itu, al-shafh juga dirangkaikan
dengan perintah menyatakan kedamaian dan keselamatan bagi semua pihak
(perhatikan firman-Nya dalam Al-Quran surat Al-Hijr [15]: 85, serta
Al-Zukhruf [43]: 89):
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Berlapang dadalah terhadap mereka dengan cara yang baik
(QS. Al-Hijri [15]: 85).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a href="" id="8" name="8"></a>
<span style="font-size: medium;"><b>d. Al-Ghufran</b></span>
<br /><br />
Al-ghufran terambil dari kata kerja ghafara yang pada mulanya berarti
menutup. Rambut putih yang disemir hingga tertutup putihnya disebutkan
dengan ghafara asy-sya'ra. Dari akar kata yang sama, lahir kata
ghifarah, yang berarti sepotong kain yang menghalangi kerudung sehingga
tidak ternodai oleh minyak rambut. Maghfirah Ilahi adalah
"perlindungan-Nya dari siksa neraka."
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Katakanlah, "Jika kamu benar-benar mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan menutupi dosa-dosamu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali Imran
(3): 31)</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertakwa
kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan (petunjuk
membedakan yang hak dan yang batil), dan menghapuskan
kesalahan-kesalahan kamu, serta yaghfir lakum (melindungi kamu dari
siksa). Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Al-Anfal (8): 29)</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Ayat-ayat tersebut memperlihatkan bahwa ghufran (pengampunan atau
perlindungan) tidak dapat diperoleh kecuali setelah memenuhi
syarat-syarat tertentu.
<br />
Syarat penutupan dosa dan perlindungan dari siksa adalah berbuat
kebajikan. Di sini terlihat salah satu perbedaan antara al-'afw (maaf)
dengan ghufran. Karena itu, ditemukan ayat yang menggabungkan keduanya,
yakni:
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Hapuskanlah dosa kami, lindungilah kami, dan rahmatilah
kami (QS Al-Baqarah [2]: 286). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<a href="" id="9" name="9"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
TAKFIR</div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk menutup dosa dengan pekerjaan tertentu, Al-Quran juga menggunakan
istilah takfir. Kata ini, terambil dari kata kaffara yang berarti
menutup.
<br />
Al-Quran menggunakan kata kaffara dengan berbagai bentuknya sebanyak 14
kali (kecuali kaffarat).
<br />
Yang empat kali selalu digandengkan dengan syarat melakukan amal-amal
saleh, atau upaya meninggalkan dosa-dosa besar.
<br /><br />
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apabila kamu menghindari dosa-dosa besar yang dilarang
untuk melakukannya, akan Kami tutupi kesalahan-kesalahanmu (QS Al-Nisa'
[4]: 3l). </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Orang-orang yang beriman dengan beramal saleh pasti
Kami tutupi kesalahan-kesalahan mereka ... (QS Al-'Ankabut [29]: 7) </div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal
saleh, ditutupi kesalahan-kesalahannya (QS Al-Taghabun [64]: 9). </div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Dari sini dapat dipahami bahwa dosa-dosa kecil seseorang dapat
ditoleransi oleh Allah SWT akibat adanya amal-amal saleh yang
menutupinya .
<br /><br />
Dalam konteks ini Nabi saw berpesan: "Bertakwalah kepada Allah di mana
pun kamu berada, dan susulkanlah kesalahan dengan kebaikan, niscaya
kebaikan itu menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang
baik." (HR At-Tirmidzi melalui sahabat Nabi Abu Dzar).
<br /><br />
Demikian sedikit kesan yang dapat diperoleh dari ayat-ayat Al-Quran
berkaitan dengan halal-bihalal/maaf memaafkan.
<br /><br /><br />
<a href="" id="10" name="10"></a>
</div>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-91347880624744854232012-02-18T06:54:00.001-08:002012-02-18T06:54:41.051-08:00Lailatul Qadar<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Lailatul Qadar</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>ISLAM - Keislaman</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
Berbicara tentang <b>Lailat Al-Qadar (Lailatul Qadar, malam kemuliaan)</b>
mengharuskan kita berbicara tentang surat Al-Qadar.
<br />
<b>Surat Al-Qadar adalah surat ke-97 menurut urutannya dalam Mushaf,
ditempatkan sesudah surat Iqra'</b>. Para ulama Al-Quran menyatakan
bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surat Iqra'. Bahkan sebagian di
antara mereka menyatakan bahwa surat Al-Qadar turun setelah Nabi saw
berhijrah ke Madinah.
<br /><br />
Penempatan urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah
Allah SWT, dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang
mengagumkan.
<br />
Kalau dalam surat Iqra' Nabi saw (demikian pula kaum Muslim)
diperintahkan untuk membaca, dan yang dibaca itu antara lain adalah
Al-Quran, maka wajar jika surat sesudahnya yakni surat Al-Qadar ini
berbicara tentang turunnya Al-Quran, dan <b>kemuliaan malam yang
terpilih sebagai malam Nuzul Al-Quran.</b>
<br />
Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan, salah satunya adalah
<b>Lailat Al-Qadar, suatu malam yang oleh Al-Quran "lebih baik dari
seribu bulan."</b>
<br /><br />
Tetapi apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni
malam ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu, atau terjadi
setiap bulan Ramadhan sepanjang masa? Bagaimana kedatangannya, apakah
setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya, dan benarkah ada
tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti
membekunya air, heningnya malam, dan menunduknya pepohonan dan
sebagainya)? Bahkan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan sering
muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu.
<br /><br />
Yang pasti dan harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan
Al-Quran bahwa, "Ada suatu malam yang bernama Lailat Al-Qadar, dan bahwa
malam itu adalah malam yang penuh berkah, di mana dijelaskan atau
ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan."
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
<b>Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada
suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada
malam itu dijelaskan semua urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang
besar di sisi Kami </b>(QS Al-Dukhan [44]: 3-5). </div>
<br />
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci
menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan (QS
Al-Baqarah [2]: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr [97]: 1).
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada
lailatul qadar (malam kemuliaan). (QS Al-Qadr [97]: 1). </div>
<br />
Malam tersebut adalah malam mulia. Tidak mudah diketahui betapa besar
kemuliannnya. Hal ini disyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk
pengagungan, yaitu:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS
Al-Qadr [97]: 2) </div>
<br />
Tiga belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran, sepuluh di
antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang berkait dengan hari
kemudian, seperti: Ma adraka ma yaum al-fashl, dan sebagainya.
Kesemuanya merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran
manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. Tiga kali ma adraka
sisa dari angka tiga belas itu adalah:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?
(QS Al-Thariq [86]: 2) <br />
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (QS Al-Balad
[90]: 12) <br />
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS Al-Qadr [97]: 2) </div>
<br />
Pemakaian kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan dengan objek
pertanyaan yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat, dan sulit
dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia.
<br />
Walaupun demikian, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma
adraka dan ma yudrika yang juga digunakan Al-Quran dalam tiga ayat.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah
dekat waktunya? (QS Al-Ahzab [33]: 63)<br />
Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat? (QS Al-Syura
[42]: 17)<br />
Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan dosa)? (QS
'Abasa [80]: 3). </div>
<br />
Dua ayat pertama di atas mempertanyakan dengan ma yudrika menyangkut
waktu kedatangan kiamat, sedang ayat ketiga berkaitan dengan kesucian
jiwa manusia. Ketiga hal tersebut tidak mungkin diketahui manusia.
<br /><br />
Secara gamblang Al-Quran --demikian pula As-Sunnah-- menyatakan bahwa
Nabi saw tak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, tidak pula
mengetahui tentang perkara yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika
digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walau
oleh Nabi saw sendiri, sedang wa ma adraka, walau berupa pertanyaan
namun pada akhirnya Allah SWT menyampaikannya kepada Nabi saw sehingga
informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Demikian perbedaan kedua
kalimat tersebut.
<br /><br />
Ini berarti bahwa persoalan Lailat Al-Qadar, harus dirujuk kepada
Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw, karena disanalah kita dapat
memperoleh informasinya.
<br />
Kembali kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa arti
malam Qadar, dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di sini ditemukan
berbagai jawaban.
<br /><br />
Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
<br /><br />
<b>1. Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai
malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia.</b>
<br /><br />
Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah dalam surat
Ad-Dukhan ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama yang memahami
penetapan itu dalam batas setahun). Al-Quran yang turun pada malam
Lailat Al-Qadar, diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT mengatur dan
menetapkan khithah dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad saw, guna
mengajak manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan
menetapkan perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai individu maupun
kelompok.
<br /><br />
<b>2. Kemuliaan.</b>
<br /><br />
Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena
terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran, serta karena ia menjadi titik
tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadar yang berarti
mulia ditemukan dalam surat Al-An'am (6): 91 yang berbicara tentang kaum
musyrik:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang
semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu
pun kepada masyarakat.(QS. Al-An'am (6): 91)</div>
<br />
<b>3. Sempit.</b>
<br /><br />
Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang
turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril)
dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (QS. Al-Qadr (97):4)</div>
<br />
Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara lain dalam
surat Al-Ra'd (13): 26:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan
mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya). (QS. Al-Ra'd (13): 26)</div>
<br />
Ketiga arti tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar, karena
bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila diraih maka ia
menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu
malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan. Namun
demikian, sebelum kita melanjutkan bahasan tentang Laitat Al-Qadar, maka
terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang kehadirannya adakah
setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Quran lima
belas abad yang lalu.
<br /><br />
Dari Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa <b>wahyu-wahyu Allah itu
diturunkan pada Lailat Al-Qadar.</b> Akan tetapi karena umat sepakat
mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu
setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, maka atas dasar logika itu, ada yang
berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi.
Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih
menjadi waktu turunnya Al-Quran.
<br />
Pakar hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di
atas yang menyatakan bahwa Nabi saw pernah bersabda bahwa malam qadar
sudah tidak akan datang lagi.
<br /><br />
Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang
kepada teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis yang
menunjukkan bahwa Lailat Al-Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan.
Bahkan Rasululllah saw menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa
menyambut malam mulia itu, secara khusus pada malam-malam ganjil setelah
berlalu dua puluh Ramadhan.
<br /><br />
Memang turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam
Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan berarti bahwa ketika itu saja malam
mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya
disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor
intern pada malam itu sendiri.
<br />
Pendapat di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja
mudhari' (present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti
kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.
<br /><br />
Apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang
terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat
Islam yang menduganya demikian. Namun dugaan itu menurut Quraish Shihab
keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan
adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain
berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat
fisik-material, sedangkan riwayat-riwayat demikian, tidak dapat
dipertanggungjawabkan kesahihannya.
<br /><br />
Seandainya, sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka
itu pun takkan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri
dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan
menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh Lailat
Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu
saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang
menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di sana
mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan
kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya.
<br /><br />
Demikian juga dengan Lailat Al-Qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan
menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian
jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada
sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan
jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah
mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam
mulia itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul saw
menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung
di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
<br /><br />
Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat
Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam kehadirannya
menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah
hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah
saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan
di akhirat kelak. Dan sejak saat itu, malaikat akan turun guna menyertai
dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya
yang baru kelak di hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna
Al-Qadar yang dikemukakan di atas!).
<br /><br />
Syaikh Muhammad 'Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang
kehadiran malaikat dalam diri manusia. 'Abduh memberi ilustrasi berikut
ini.
<br />
Setiap orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan,
baik dan buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya,
seakan apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke
satu sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau
yang ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang
memutuskan sesuatu.
<br /><br />
Yang membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedang yang membisikkan
keburukan adalah setan atau paling tidak, kata 'Abduh, penyebab adanya
bisikan tersebut adalah malaikat atau setan. Turunnya malaikat pada
malam Lailatul Al-Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri
menyambutnya, menjadikan yang bersangkutan akan selalu disertai oleh
malaikat. Sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan
kebaikan-kebaikan, dan dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa
aman dan damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadar,
tapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian
kelak.
<br /><br />
Di atas telah di kemukakan bahwa Nabi saw menganjurkan sambil
mengamalkan i'tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian
jiwa. Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas kebajikan bermula di
masjid. Di masjid pula seseorang diharapkan merenung tentang diri dan
masyarakatnya, serta dapat menghindar dari hiruk pikuk yang menyesakkan
jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengkayaan
iman. Itu sebabnya ketika melaksanakan i'tikaf, dianjurkan untuk
memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran, atau bahkan bacaan-bacaan lain
yang dapat memperkaya iman dan takwa. Tentu saja setiap bacaan tersebut
seharusnya juga dimengerti/difahami artinya/maknanya.
<br /><br />
Malam Qadar yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah
ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan
masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Ar-Ruh
(Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah
perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup
umat manusia. Karena itu pula beliau mengajarkan kepada umatnya, dalam
rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar itu, antara lain adalah
melakukan i'tikaf.
<br /><br />
Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu berapa lama
saja, bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walau sesaat selama
dibarengi oleh niat yang suci, namun Nabi saw selalu melakukannya pada
sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau
bertadarus dan merenung sambil berdoa.
<br />
Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya
adalah:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan
di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami dan siksa neraka
(QS Al-Baqarah [2]: 201). </div>
<br />
Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan
dunia dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk
memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan dimaksud, karena doa
mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu juga
berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh
dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia,
tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.
<br /><br />
Adapun menyangkut tanda alamiah, maka Al-Quran tidak menyinggungnya. Ada
beberapa hadis mengingatkan hal tersebut, tetapi hadis tersebut tidak
diriwayatkan oleh Bukhari, pakar hadis yang dikenal melakukan
penyaringan yang cukup ketat terhadap hadis Nabi saw.
<br />
Muslim, Abu Daud, dan Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan melalui
sahabat Nabi Ubay bin Ka'ab, sebagai berikut : <b>"Tanda kehadiran
Lailat Al-Qadr adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih tanpa
sinar".</b>
<br /><br />
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan: <b>"Tandanya adalah langit bersih,
terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak
pula panas ... ".</b>
<br /><br />
Hadis ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan karena itu kita dapat
berkata bahwa <b>tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailat
Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan.</b> Semoga
malam mulia itu berkenan mampir menemui kita.
<br /><br /><br />
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div>
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
<li>M. Nashiruddin Al-Albani, <i>Ringkasan Shahih Bukhari</i>,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
</li>
<li>Al-Bayan, <i>Shahih Bukhari Muslim</i>, Jabal, Bandung, 2008.
</li>
<li>Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, <i>Kemudahan dari Allah, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir</i>, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani,
Jakarta, 1999.
</li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-14775374187377825582012-02-18T06:53:00.002-08:002012-02-18T06:53:51.431-08:00Puasa<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Puasa</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>ISLAM - Keislaman</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
MARHABAN YA RAMADHAN</div>
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata<b> "marhaban" diartikan sebagai
"kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat
datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang juga dalam kamus tersebut
diartikan "selamat datang."</b>
<br /><br />
Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaannya berbeda.
Para ulama tidak menggunakan ahlan wa sahlan <b>untuk menyambut
datangnya bulan Ramadhan, melainkan "marhaban ya Ramadhan".</b>
<br /><br />
Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga", sedangkan sahlan
berasal dari kata sahl yang berarti mudah. Juga berarti "dataran rendah"
karena mudah dilalui, tidak seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan,
adalah ungkapan selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat
tersirat yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki
di) dataran rendah yang mudah."
<br /><br />
Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau "lapang",
sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan
dada lapang, penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang
luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang
sama dengan "marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti
"ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan
pengendara guna melanjutkan perjalanan.<b>" Marhaban ya Ramadhan
berarti "Selamat datang Ramadhan"</b> mengandung arti bahwa kita
menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan; tidak dengan
menggerutu dan menganggap kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau
suasana nyaman kita.
<br />
Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita
mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan
perjalanan menuju Allah SWT
<br /><br />
Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah
nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan
banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan
tidak melanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat
ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi,
bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang,
dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak
tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk
melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan
kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan
kekasihnya, Allah SWT Demikian kurang lebih perjalanan itu dilukiskan
dalam buku Madarij As-Salikin.
<br /><br />
Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah
Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di
lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita
mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta
siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama,
bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka
lembaran Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.
<br /><br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
PUASA MENURUT AL-QURAN</div>
Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam
arti puasa menurut pengertian hukum syariat. Kata ini juga terdapat
masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan,
sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa adalah
baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria
dan wanita, yaitu ash-shaimin wash-shaimat.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa (shiyamu)sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu
agar kamu bertakwa, (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 183)</div>
<br />
Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata
yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada
"menahan" dan "berhenti" atau "tidak bergerak". Manusia yang berupaya
menahan diri dari satu aktivitas --apa pun aktivitas itu-- dinamai shaim
(berpuasa). Pengertian kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum
syariat, sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dari makan,
minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga
terbenamnya matahari".
<br /><br />
Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan
yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas
seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala
macam dosa.
<br />
Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnya adalah
menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa dipersamakan
dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti
menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa.
<br /><br />
Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasa untuk-Ku, dan Aku
yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh banyak ulama dengan
firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
disempurnakan pahalanya tanpa batas. (QS. Az-Zumar (39): 10)</div>
<br />
Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.
<br /><br />
Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum sebagaimana
disinggung di atas.
<br /><br />
<b>
1. Puasa wajib sebutan Ramadhan. </b><br /><b>
2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau semacamnya. </b><br /><b>
3. Puasa sunnah. </b>
<br /><br />
Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang berkisar pada puasa
bulan Ramadhan.
<br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
PUASA RAMADHAN</div>
Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat Al-Baqarah
(2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan baru
diwajibkan setelah Nabi saw tiba di Madinah, karena ulama Al-Quran
sepakat bahwa surat Al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan
menyatakan bahwa <b>kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan
Allah pada 10 Sya'ban tahun kedua Hijrah.</b>
<br /><br />
Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran selama sebutan
penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran yang seringkali
melakukan penahapan dalam perintah- perintahnya, maka agaknya kewajiban
berpuasa pun dapat dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman
ma'dudat (beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai
tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari kewajiban
berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan turunnya ayat
185.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu agar kamu
bertakwa, (QS. Al-Baqarah (2): 183)
<br /><br />
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Baqarah (2): 184)
<br /><br />
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) <b>bulan Ramadhan,</b> bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.(QS.
Al-Baqarah (2): 185)</div>
<br />
Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan terputus-putus
tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada ketiga ayat puasa Ramadhan
sebagai satu kesatuan, Quraish Shihab lebih cenderung mendukung pendapat
ulama yang menyatakan bahwa Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan.
Memang, tidak mustahil bahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa
sunnah sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagi
tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa sunnah
tertentu.
<br /><br />
Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dimulai
dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam untuk melaksanakannya
dengan baik, tanpa sedikit kekesalan pun.
<br />
Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 183. ia dimulai dengan panggilan mesra,
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa." Di
sini tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan
berapa kewajiban puasa itu, tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa,
"sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika demikian,
maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi tujuan puasa
tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa sendiri yakni "agar kamu
bertakwa (terhindar dari siksa)."
<br /><br />
Kemudian Al-Quran dalam surat Al-Baqarah (2): 184, 185 menjelaskan bahwa
kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya "beberapa hari
tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman
tempat tinggalnya, dan dalam keadaan sehat, sehingga "barangsiapa sakit
atau dalam perjalanan," maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung
berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang
lain. "Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai gantinya)
dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin."
Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa "berpuasa adalah
baik."
<br /><br />
Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan
Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan
tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam
perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan memberikan penegasan mengenai
peraturan berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang
kewajiban puasa Ramadhan ditutup dengan "Allah menghendaki kemudahdn
untuk kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir dan
bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi tentang doa.
Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya dalam uraian Al-Quran
tentang puasa tentu mempunyai rahasia tersendiri. Agaknya ia
mengisyaratkan bahwa berdoa di bulan Ramadhan merupakan ibadah yang
sangat dianjurkan, dan karena itu ayat tersebut menegaskan bahwa "Allah
dekat kepada hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa."
<br /><br />
Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukan hubungan seks
di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang lamanya puasa yang
harus dikerjakan, yakni dari terbitnya fajar sampai terbenamnya
matahari.
<br />
Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari ayat-ayat di atas
berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa. Berikut akan dikemukan
sekelumit baik yang berkaitan dengan hukum maupun hikmahnya, dengan
menggarisbawahi kata atau kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.
<br /><br />
<a href="" id="4" name="4"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA</div>
<b>a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu yang menderita
sakit)</b>
<br /><br />
Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara
garis besar dapat dibagi dua:
<br /><br />
1. Penderita tidak dapat berpuasa; dalam hal ini ia wajib berbuka; dan <br />
2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau
keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan tidak berpuasa.
<br /><br />
Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh
seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu Sirin, pernah
ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan, dengan alasan jari
telunjuknya sakit. Betapa pun, harus dicatat, bahwa Al-Quran tidak
merinci persolan ini. Teks ayat mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut.
Namun demikian agaknya kita dapat berkata bahwa Allah SWT sengaja
memilih redaksi demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia
masing-masing untuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak. Di
sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan alasan
sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan hari-hari ketika ia
tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.
<br /><br /><br />
<b>b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan)</b>
<br /><br />
Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang
yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak
perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut
sekitar 90 kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan jarak
tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar
atau perjalanan, maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan
(rukhshah).
<br /><br />
Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin ini. Apakah karena
adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur keletihan akibat perjalanan.
Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak antara Jakarta-Yogya yang
ditempuh dengan pesawat kurang dari satu jam, serta tidak meletihkan,
apakah ini dapat dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat
atau tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin ini.
<br /><br />
Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan yang
membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak shalat). Apakah
perjalanan tersebut harus bertujuan dalam kerangka ketaatan kepada
Allah, misalnya perjalanan haji, silaturahmi, belajar, atau termasuk
juga perjalanan bisnis dan mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan
sebagainya. Agaknya alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai
membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk
perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak memperoleh izin
untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya.
<br /><br />
Juga diperselisihkan <b>apakah yang lebih utama bagi seorang musafir,
berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi'i menilai bahwa
berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian
besar ulama bermazhab Maliki dan Syafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknya
diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya,
maka itulah yang lebih baik dan utama.</b> Pendapat ini dikuatkan oleh
sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik yang
menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadhan, ada
yang berpuasa dan adapula yang tidak berpuasa. Nabi tidak mencela yang
berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa."
<br /><br />
Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi
orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa
berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah izin Allah. Tidak baik
menolak izin dan <b>seperti penegasan Al-Quran sendiri dalam konteks
puasa, "Allah menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki
kesulitan." </b>
<br /><br />
Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka, antara lain
berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas, yaitu:
<br /><br /><br />
<b>c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari lain).</b>
<br /><br />
Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi
di atas, sehingga terjemahannya lebih kurang berbunyi, "Barangsiapa
yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak berpuasa), maka (wajib
baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain."
<br />
Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang oleh ulama perlu
adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa
dalam perjalanan, sehingga kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan
kepada para musafir dan orang yang sakit tetapi tidak berpuasa.
<br /><br />
Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah, sehingga
dengan demikian menjadi wajib bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan
untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang
lain seperti bunyi harfiah ayat di atas.
<br /><br />
Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus berturut-turut? Ada
sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yang menyatakan demikian. Tetapi
ada riwayat lain melalui Aisyah r.a. yang menginformasikan bahwa memang
awalnya ada kata pada ayat puasa yang berbunyi mutatabi'at, yang
maksudnya memerintahkan penggantian (qadha') itu harus dilakukan
bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang
diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min ayyamin ukhar
mutatabi'at yang berarti berurut atau bersinambung itu, kemudian dihapus
oleh Allah SWT Sehingga akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini,
sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf sekarang.
<br /><br />
Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus
dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat ditangguhkan sampai sebelum
datangnya Ramadhan berikut? Hanya segelintir kecil ulama yang
mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya tidak mengharuskan
ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah,
bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak
sempat menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu? Imam
Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping berpuasa, ia
harus membayar kaffarat berupa memberi makan seorang miskin; sedangkan
imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat dengan alasan tidak dicakup
oleh redaksi ayat di atas.
<br /><br /><br />
<b>d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu miskin </b><br />
(Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).
<br /><br />
Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama tafsir.
Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah SWT memberi alternatif
bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar
fidyah. Ada juga yang be~pendapat bahwa ayat ini berbicara tentang para
musafir dan orang sakit, yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua
kemungkinan: musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka
ketika itu dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka, yang pada
hakikatnya mampu berpuasa, tetapi enggan karena kurang sehat dan atau
dalam perjalanan, maka bagi mereka diperbolehkan untuk berbuka dengan
syarat membayar fidyah.
<br /><br />
Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritas ulama.
Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang orang-orang tua atau
orang yang mempunyai pekerjaan yang sangat berat, sehingga puasa sangat
memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali
pekerjaan itu. Maka dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan
untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian juga halnya
terhadap orang yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan diduga
tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam pesan penggalan
ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan atau menyusui. Dalam hal ini
terdapat rincian sebagai berikut:
<br /><br />
Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan mengganti
puasanya di hari lain, seandainya yang mereka khawatirkan adalah janin
atau anaknya yang sedang menyusui. Tetapi bila yang mereka khawatirkan
diri mereka, maka mereka berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari
lain, tanpa harus membayar fidyah.
<br /><br />
Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari selama ia
tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak setengah sha' (gantang)
atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau kurma (makanan pokok). Ada juga
yang menyatakan satu mud yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi
yang mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku pada
setiap masyarakat.
<br /><br /><br />
<b>e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila nisa'ikum</b><br />
(Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan bersebadan dengan istrimu)
(QS Al-Baqarah [2]: 187)
<br /><br />
Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam hari bulan
Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan, hubungan seks
tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian hubungan seks adalah
"mengeluarkan sperma" dengan cara apa pun. Karena itu walaupun ayat ini
tak melarang ciuman, atau pelukan antar suami-istri, namun para ulama
mengingatkan bahwa hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang
tidak dapat menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma.
Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi saw pernah mencium istrinya saat
berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun selain berhubungan seks,
kemudian ternyata "basah", maka puasanya batal; ia harus menggantinya
pada hari lain. Tetapi mayoritas ulama tidak mewajibkan yang
bersangkutan membayar kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks
(di siang hari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabi
adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka ia
harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka ia harus memberi
makan enam puluh orang miskin.
<br /><br />
Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus mandi
sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi sebelum shalat
subuh, sehingga shalat subuhnya dalam keadaan suci. Demikian pendapat
mayoritas ulama.
<br /><br /><br />
<b>f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal
khaithil aswadi minal fajr</b><br />
(Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam,
yaitu fajar).
<br /><br />
Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga melakukan
hubungan seks) sampai terbitnya fajar.
<br />
Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal mengumandangkan
azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan itu yang dimaksud dengan
fajar yang mengakibatkan larangan di atas. Imsak yang diadakan hanya
sebagai peringatan dan persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas
yang terlarang. Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat
dipertanggungjawabkan selama waktu subuh belum masuk. Jadi batas
sesungguhnya bukan imsak, melainkan waktu subuh (azan subuh).
<br /><br /><br />
<b>g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian sempurnakanlah puasa
itu sampai malam).</b>
<br /><br />
Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan dan minum sampai
dengan datangnya fajar.
<br />
Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan datangnya
malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para ulama adalah
pengertian malam. Ada yang memahami kata malam dengan tenggelamnya
matahari walaupun masih ada mega merah, dan ada juga yang memahami malam
dengan hilangnya mega merah dan menyebarnya kegelapan. Pendapat pertama
didukung oleh banyak hadis Nabi saw, sedang pendapat kedua dikuatkan
oleh pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan "malam". Kata
lail berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yang berwarna hitam
pun dinamai lail.
<br /><br />
Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi saw untuk mempercepat
berbuka puasa, dan memperlambat sahur. Pendapat kedua sejalan dengan
sikap kehatian-hatian karena khawatir magrib sebenarnya belum masuk.
<br />
Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh ayat-ayat
yang berbicara tentang puasa Ramadhan.
<br /><br />
<a href="" id="5" name="5"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
TUJUAN BERPUASA</div>
Secara jelas Al-Quran menyatakan bahwa <b>tujuan puasa adalah untuk
mencapai ketakwaan atau la'allakum tattaqun.</b> Dalam rangka memahami
tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari
Nabi saw misalnya, <b>"Banyak di antara orang yang berpuasa tidak
memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga." </b>
<br /><br />
Ini berarti bahwa <b>menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan
utama dari puasa</b>. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa "Allah
menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan."
<br />
Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, "Semua amal
putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan
Aku yang memberi ganjaran atasnya."
<br /><br />
Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik. Tentu saja
banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan, misalnya bahwa puasa
merupakan rahasia antara Allah dan pelakunya sendiri. Bukankah manusia
yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai
insan, siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau
minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah, kalau
demikian, apa motivasinya menahan diri dan keinginan itu? Tentu bukan
karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat
saja bersembunyi dari pandangan mereka. Di sini disimpulkan bahwa orang
yang berpuasa, melakukannya demi karena Allah SWT Demikian antara lain
penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna hadis qudsi
di atas.
<br /><br />
Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan manusia dengan
berbagai motif, misalnya, protes, turut belasungkawa, penyucian diri,
kesehatan, dan sebagai-nya. Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhan dengan
benar, sesuai dengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia
akan melakukannya karena Allah semata.
<br /><br />
Di sini Anda boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikian dapat
mengantarkan manusia kepada takwa?" Untuk menjawabnya terlebih dahulu
harus diketahui apa yang dimaksud dengan takwa.
<br /><br />
<a href="" id="6" name="6"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
PUASA DAN TAKWA</div>
<b>Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi,
atau menjaga diri.</b> Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah
berarti, "Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah". Makna
ini mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk
menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya, sedangkan "Dia (Allah)
bersama kamu di mana pun kamu berada." Karena itu perlu disisipkan kata
atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang
semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah
untuk <b>"Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari siksa Allah".</b>
<br />
Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.
<br /><br />
<b>a. Siksa di dunia</b> akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan
yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya, "Makan
berlebihan dapat menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri dapat
menjerumuskan kepada bencana", dan hukum-hukum alam dan masyarakat
lainnya.
<br /><br />
<b>b. Siksa di akhirat,</b> akibat pelanggaran terhadap hukum syariat,
seperti tidak shalat, tidak puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia,
dan lain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.
<br /><br />
Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukuman Allah,
diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya
serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini dapat terwujud
dengan rasa takut dari siksaan dan/atau takut dari yang menyiksa (Allah
Swt ). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi
seharusnya ia timbul karena adanya Allah SWT."
<br /><br />
Dengan demikian <b>yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran
Allah SWT setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian
tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah
melihatnya,"</b> sebagaimana bunyi sebuah hadis.
<br /><br />
Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut,
antara lain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti yang dikemukakan di
atas adalah satu ibadah yang unik. Keunikannya antara lain karena ia
merupakan upaya manusia meneladani Allah SWT
<br /><br />
<a href="" id="7" name="7"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH</div>
Beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusia meneladani
sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk. Nabi
saw memerintahkan, "Takhallaqu bi akhlaq Allah" (Berakhlaklah
(teladanilah) sifat-sifat Allah).
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang
menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi
makan...? (QS Al-An'am [6]: 14). </div>
<br />
Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal
mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan
memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan tidak pula
berhubungan seks di pagi-siang-sore hari, walaupun pasangannya ada.
<br /><br />
Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal itu, tetapi
mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan sifat yang kesemuanya
harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan
manusia sebagai makhluk ilahi. Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang,
Mahadamai, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan
ini dapat mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya,
dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam pengertian di atas
dapat pula dicapai.
<br /><br />
Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian kesadaran
tersebut (bukan pada sisi lapar dan dahaga), sehingga dari sini dapat
dimengerti mengapa Nabi saw menyatakan bahwa, <b>"Banyak orang yang
berpuasa, tetapi tidak memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan
dahaga."</b>
<br /><br />
<a href="" id="8" name="8"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
PUASA UMAT TERDAHULU</div>
Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba 'alal
ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas (umat-umat) yang
sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua
agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta
akhlaknya. Ini berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan
Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian, shalat, puasa, zakat,
dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada Allah adalah
prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu
saja cara dan kaifiatnya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.
<br /><br />
Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat
islam dan umat-umat terdahulu?
<br />
Manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah aktivitasnya,
termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan berhubungan seks. Kebebasan
yang dimiliki manusia, bila tidak dikendalikan dapat menghambat
pelaksanaan fungsi dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan
menunjukkan bahwa orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi
kadar yang diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati
makanan atau minuman itu, tetapi relatif mudah terserang penyakit.
<br /><br />
Sebagaimana disinggung di atas, esensi puasa adalah menahan atau
mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik
secara individu maupun kelompok. Latihan dan pengendalian diri itulah
esensi puasa.
<br />
Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin,
pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau masyarakat. Tidak
heran jika puasa telah dikenal oleh umat-umat sebelum umat Islam,
sebagaimana diinformasikan oleh Al-Quran.
<br /><br />
Nabi saw bersabda, "Seandainya umatku mengetahui (semua keistimewaan)
yang dikandung oleh Ramadhan, niscaya mereka mengharap seluruh bulan
menjadi Ramadhan."
<br /><br />
<a href="" id="9" name="9"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN</div>
Dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah
menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan pada ayat
lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malam Qadar,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada
Lailat Al-Qadr. </div>
<br />
Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar itu, yang
menurut Al-Quran lebih baik dari seribu bulan. Para malaikat dan Ruh
(Jibril) silih berganti turun seizin Allah SWT, dan kedamaian akan
terasa hingga terbitnya fajar.
<br />
Di sisi lain bahwa dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan
ayat yang mengandung pesan tentang kedekatan Allah SWT kepada
hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa siapa pun yang
dengan tulus berdoa.
<br /><br /><br />
<a href="" id="10" name="10"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div>
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan y</i></li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2400904338373035983.post-14798984594324862162012-02-18T06:53:00.000-08:002012-02-18T06:53:07.577-08:00Jihad<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table bgcolor="white" border="0" cellpadding="0" style="border-bottom: 1px solid silver; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"><tbody>
<tr><td width="50"><img border="0" height="85" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran3.jpg" /></td>
<td align="center" class="z32" style="font-size: 11pt; padding-bottom: 10px; padding-top: 10px;">
<span style="color: maroon; font-size: large;"><b>Jihad</b></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>ISLAM - Keislaman</b></span><br />
<span style="font-size: x-small;">Pemahaman dan Tafsir Al-Quran</span>
</td>
<td width="50"><img border="0" height="115" src="http://al-quran.bahagia.us/_alquran/quran2.jpg" /></td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
Kebajikan dan keburukan sama-sama bersanding dalam jiwa setiap manusia.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
<b>Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia (jalan)
kefasikan/kedurhakaan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.</b> (QS. Asy-Syams (91):ayat 8,9,10)</div>
<br />
Begitu firman Allah dalam surat Asy-Syams ayat 8,9,10, yang <b>artinya
diri manusia memiliki potensi kebaikan dan keburukan. </b>
<br /><br />
Seperti itu jugalah sifat masyarakat dan negara yang terdiri dari banyak
individu. Keburukan mendorong pada kesewenang-wenangan, sedangkan
kebajikan mengantarkan pada keharmonisan. Saat terjadi
kesewenang-wenangan, kebajikan berseru dan merintih untuk mencegahnya.
Dari sanalah perjuangan, baik di tingkat individu maupun di tingkat
masyarakat dan negara. Demikian itulah ketetapan ilahi.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan segala yang
ada di antara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya hendak membuat
suatu permainan, tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami
menghendaki berbuat demikian (tentulah Kami telah melakukannya).
Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak
itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan
kecelakaan bagi kamu menyifati (Allah dengan sifat yang tidak layak).
(QS Al-Anbiya' [21]: 16-18) </div>
<br />
Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan manusia agar
menghiasi diri dengannya, serta memerintahkan manusia agar
memperjuangkannya hingga mengalahkan kebatilan. Atau seperti bunyi ayat
di atas, melontarkan yang hak kepada yang batil hingga mampu
menghancurkannya. Tapi hal itu tak dapat terlaksana dengan sendirinya,
kecuali melalui perjuangan.
<br /><br />
Istilah Al-Quran untuk menunjukkan <b>perjuangan adalah kata jihad.
Sayangnya, istilah ini sering disalahpahami atau dipersempit artinya.</b>
<br /><br />
<a href="" id="1" name="1"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
MAKNA JIHAD</div>
Kata jihad terulang dalam Al-Quran sebanyak empat puluh satu kali dengan
berbagai bentuknya. Menurut ibnu Faris (w. 395 H) dalam bukunya Mu'jam
Al-Maqayis fi Al-Lughah, "Semua kata yang terdiri dari huruf j-h-d, pada
awalnya mengandung arti kesulitan atau kesukaran dan yang mirip
dengannya."
<br /><br />
Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti "letih/sukar." Jihad
memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa
jihad berasal dari akar kata "juhd" yang berarti "kemampuan". Ini karena
jihad menuntut kemampuan, dan harus dilakukan sebesar kemampuan. Dari
kata yang sama tersusun ucapan "jahida bir-rajul" yang artinya
"seseorang sedang mengalami ujian". <b>Terlihat bahwa kata jihad
mengandung makna ujian dan cobaan,</b> hal yang wajar karena jihad
memang merupakan ujian dan cobaan bagi kualitas seseorang.
<br /><br />
Makna-makna kebahasaan dan maksudnya di atas dapat dikonfirmasikan
dengan beberapa ayat Al-Quran yang berbicara tentang jihad. Firman Allah
berikut ini menunjukkan betapa jihad merupakan ujian dan cobaan:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal
belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara kamu dan (belum
nyata) orang-orang yang sabar (QS Ali 'Imran [3]: 142). </div>
<br />
Demikian terlihat, bahwa <b>jihad merupakan cara yang ditetapkan Allah
untuk menguji manusia.</b> Tampak pula kaitan yang sangat erat dengan
kesabaran sebagai isyarat bahwa <b>jihad adalah sesuatu yang sulit,
memerlukan kesabaran serta ketabahan.</b> Kesulitan ujian atau cobaan
yang menuntut kesabaran itu dijelaskan rinciannya antara lain dalam
surat Al-Baqarah ayat 214:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal
belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya (yang dialami) oleh
orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan
kesengsaraan, serta diguncang aneka cobaan sehingga berkata Rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya. "Bilakah datangnya pertolongan
Allah?" ingatlah pertolongan Allah amat dekat (QS Al-Baqarah [2]: 214).<br />
Dan sungguh pasti kami akan memberi cobaan kepada kamu dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar (QS
Al-Baqarah [2]: 155). </div>
<br />
<b>Jihad juga mengandung arti "kemampuan memberi". Karena itu jihad
adalah pengorbanan, dan dengan demikian sang mujahid tidak menuntut atau
mengambil tetapi memberi semua yang dimilikinya. Ketika memberi, dia
tidak berhenti sebelum tujuannya tercapai atau yang dimilikinya habis.</b>
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Orang-orang munafik mencela orang-orang Mukmin yang
memberi sedekah dengan sukarela dan mencela juga orang-orang yang tidak
memiliki sesuatu untuk disumbangkan (kecuali sedikit) sebesar kemampuan
mereka. Orang-orang munafik menghina mereka. Allah akan membalas
penghinaan mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih (QS Al-Tawbah [9]:
79).</div>
<br />
Jihad merupakan aktivitas yang unik, menyeluruh, dan tidak dapat
dipersamakan dengan aktivitas lain --sekalipun aktivitas keagamaan. <b>Tidak
ada satu amalan keagamaan yang tidak disertai dengan jihad. </b> Paling
tidak, jihad diperlukan untuk menghambat rayuan nafsu yang selalu
mengajak pada kedurhakaan dan pengabaian tuntunan agama.
<br /><br />
Seorang Mukmin pastilah mujahid, dan tidak perlu menunggu izin atau
restu untuk melakukannya. Dan jihad merupakan perwujudan identitas
kepribadian Muslim. Al-Quran menegaskan,
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya
untuk dirinya sendiri (berakibat kemaslahatan baginya) (QS Al-Ankabut
[29]: 6). </div>
<br />
<b>Karena jihad adalah perwujudan kepribadian, maka tidak dibenarkan
adanya jihad yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan.</b> Bahkan
bila jihad dipergunakan untuk memaksa berbuat kebatilan, harus ditolak
sekalipun diperintahkan oleh kedua orangtua.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad
(bersungguh-sungguh hingga letih memaksamu) untuk mempersekutukan Aku
dengan sesuatu, yang tidak ada bagimu pengetahuan tentang itu (apalagi
jika kamu telah mengetahui bahwa Allah tidak boleh dipersekutukan dengan
sesuatu pun), jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di dunia
dengan baik ... (QS Luqman [31]. 15). </div>
<br />
Mereka yang berjihad pasti akan diberi petunjuk dan jalan untuk mencapai
cita-citanya.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Orang-orang yang berjihad di jalan kami, pasti akan
Kami tunjukkan pada mereka jalan-jalan Kami (QS Al-Ankabut [29]: 69). </div>
<br />
Terakhir dan yang terpenting dari segalanya adalah bahwa jihad harus
dilakukan demi Allah, bukan untuk memperoleh tanda jasa, pujian, apalagi
keuntungan duniawi. Berulang-ulang Al-Quran menegaskan redaksi fi
sabilihi (di jalan-Nya). Bahkan Al-Quran surat Al-Hajj ayat 78
memerintahkan:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
<b>Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad
yang sebenar-benarnya.</b> Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah)
agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini,
supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua
menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu,
maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (QS. Al-Hajj
ayat 78)</div>
<br />
<b>Kesimpulannya, jihad adalah cara-cara positif untuk mencapai tujuan
yaitu melaksanakan dan mengamalkan perintah Allah SWT serta menjauhi
larangan-Nya. Jihad tidak mengenal putus asa, menyerah, kelesuan, tidak
pula pamrih.</b> Tetapi jihad tidak dapat dilaksanakan tanpa modal,
karena itu jihad mesti disesuaikan dengan modal yang dimiliki.
<br />
<b>Karena jihad harus dilakukan dengan modal, maka mujahid tidak
mengambil, tetapi memberi.</b> Bukan mujahid yang menanti imbalan selain
dari Allah, karena jihad diperintahkan semata-mata demi Allah. <b>Jihad
menjadi titik tolak seluruh upaya berbuat kebaikan dan beramal;
karenanya jihad adalah puncak segala aktivitas amal dan kebaikan.</b>
<br /><br />
<a href="" id="2" name="2"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
MACAM-MACAM JIHAD</div>
Seperti telah dikemukakan, terjadi kesalahpahaman dalam memahami istilah
jihad. Jihad biasanya hanya dipahami dalam arti perjuangan fisik atau
perlawanan bersenjata. Ini mungkin terjadi karena sering kata itu baru
terucapkan pada saat-saat perjuangan fisik. Memang diakui bahwa <b>salah
satu bentuk jihad terkecil adalah perjuangan fisik/perang, tetapi harus
diingat bahwa banyak jihad yang lebih besar yaitu melakukan berbagai
amal dengan harta yang dimilikinya, dan jihad yang terbesar adalah
melawan hawa nafsu </b>(mengendalikan hawa nafsu); sebagaimana sabda
Rasulullah saw ketika beliau baru saja kembali dari medan pertempuran.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
<b>Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad
terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu.</b></div>
<br />
Kesalahpahaman pengertian dan makna jihad, disuburkan juga oleh
terjemahan yang kurang tepat terhadap ayat-ayat Al-Quran yang berbicara
tentang jihad dengan anfus dan harta benda. Kata anfus sering
diterjemahkan sebagai jiwa Terjemahan Departemen Agama RI pun demikian.
Memang, kata anfus dalam Al-Quran memiliki banyak arti. Ada yang
diartikan sebagai nyawa, di waktu lain sebagai hati, yang ketiga
bermakna jenis, dan ada pula yang berarti "totalitas manusia" tempat
terpadu jiwa dan raganya, serta segala sesuatu yang tidak dapat terpisah
darinya.
<br /><br />
Al-Quran mempersonifikasikan wujud seseorang di hadapan Allah dan
masyarakat dengan menggunakan kata nafs. Jadi tidak salah jika kata itu
dalam konteks jihad dipahami sebagai totalitas manusia, sehingga kata
nafs mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, pikiran, bahkan waktu
dan tempat yang berkaitan dengannya, karena manusia tidak dapat
memisahkan diri dari kedua hal itu. Pengertian ini, diperkuat dengan
adanya perintah dalam Al-Quran untuk berjihad tanpa menyebutkan nafs
atau harta benda (antara lain QS Al-Hajj: 78).
<br /><br />
Rasulullah saw bersabda, <b>"Jahiduw ahwa akum kama tujahiduna 'ada
akum" (Berjihadlah menghadapi nafsumu sebagaimana engkau berjihad
menghadapi musuhmu).</b>
<br /><br />
<b>Dalam banyak ayat di Al-Quran disebutkan musuh-musuh yang dapat
menjerumuskan manusia kedalam kejahatan, yaitu setan dan nafsu manusia
sendiri. Keduanya harus dihadapi dengan perjuangan.</b>
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena
sesungguhnya dia merupakan musuh yang nyata bagimu (QS Al-Baqarah [2]:
168). </div>
<br />
Hawa nafsu pun diperingatkan agar tidak diikuti sekehendak hati.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Siapa lagi yang lebih sesat daripada yang mengikuti
hawa nafsunya, tanpa petunjuk dan Allah? (QS Al-Qashash [28]: 50). </div>
<br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Nabi Yusuf diabadikan Al-Quran ucapannya: Aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya (hawa) nafsu
selalu mendorong kepada kejahatan kecuali yang diberi rahmat oleh
Tuhanku (QS Yusuf [12]: 53) </div>
<br />
Dapat dikatakan bahwa sumber dari segala kejahatan adalah setan yang
sering memanfaatkan kelemahan nafsu manusia. Ketika manusia tergoda oleh
setan, ia menjadi jahat, munafik, dan menderita penyakit-penyakit hati.
<br /><br />
<a href="" id="3" name="3"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
BERJIHAD MENGHADAPI MUSUH (SETAN DAN NAFSU)</div>
Seperti dikemukakan di muka, <b>sumber segala kejahatan adalah setan
yang sering menggunakan kelemahan nafsu manusia. Setan adalah nama yang
paling populer di antara nama-nama si perayu kejahatan. Begitu
populernya sehingga menyebut namanya saja, terbayanglah, kejahatan itu.
Nama setan dikenal dalam ketiga agama samawi: Yahudi, Nasrani, dan
Islam. Konon kata setan berasal dari bahasa ibrani, yang berarti
"lawan/musuh." Tetapi, barangkali juga berasal dari bahasa Arab,
syaththa yang berarti "tepi", dan syatha yang berarti "hancur dan
terbakar", atau syathatha yang berarti "melampaui batas".</b>
<br /><br />
Setan, karena jauh dari rahmat Allah, akan hancur dan terbakar di
neraka. Setan selalu di tepi, memilih yang ekstrem dan melampaui batas.
Bukankah seperti sabda Nabi saw, <b>"Khair al-umur al-wasath"
(Sebaik-baik sesuatu itu adalah yang moderat, yang di tengah)</b>. Serta
banyak ayat dalam Al-Quran yang senantiasa mengingatkan untuk tidak
melampaui batas.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara
yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas. (QS. Al-A'raaf (Al-A'raf) [7] : ayat 55)
<br /><br />
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik
yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
(QS. Al-Maaidah (Al-Maidah) [5] : ayat 87)
<br /><br />
Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak
percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu
lebih berat dan lebih kekal. (QS. Thaahaa (Thaha) [20] : ayat 127)
<br /><br />
Sudah pasti bahwa apa yang kamu seru supaya aku (beriman) kepadanya
tidak dapat memperkenankan seruan apapun baik di dunia maupun di
akhirat. Dan sesungguhnya kita kembali kepada Allah dan sesungguhnya
orang-orang yang melampaui batas, mereka itulah penghuni neraka. (QS.
Al-Mu'min (Al-Mu'min) [40] : ayat 43)
<br /><br />
Dan bahwasanya: orang yang kurang akal daripada kami selalu mengatakan
(perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah, (QS. Al-Jin (Al-Jinn)
[72] : ayat 4)
<br /><br />
Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia
dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab
yang pedih. (QS. Asy-Syuura (Asy-Syura) [42] : ayat 42)
<br /><br />
Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang
yang melampaui batas. (QS. Al-Mu'minuun (Al-Mu'minun) [23] : ayat 7)
<br /><br />
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan
kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah
kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan. (QS. Huud (Hud) [11] : ayat 112)
<br /><br />
Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah
telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali
apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari
manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu
mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih
mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-An'aam (Al-An'am)
[6] : ayat 119) </div>
<br />
Setan terjahat bernama iblis. Sebagian pakar Barat berpendapat bahwa
kata iblis asalnya adalah dari bahasa Yunani Diabolos yang mengandung
arti memasuki dua pihak untuk menghasut dan memecah belah. Diabolos
adalah gabungan Dia yang berarti ketika, dan Ballein yang berarti
melontar. Dari bahasa Arab, iblis diduga terambil dari akar kata ablasa
yang berarti putus harapan, karena iblis telah putus harapannya masuk ke
surga. Demikian tulis Abbas Al-Aqqad dalam bukunya, iblis.
<br /><br />
Yang jelas Allah SWT tidak menciptakan setan secara sia-sia. Sejak
manusia mengenalnya, sejak itu pula terbuka lebar pintu kebaikan bagi
manusia, karena dengan mengenalnya, dan mengetahui sifat-sifatnya,
manusia dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Bahkan dapat mengenal
substansi kebaikan. Kebaikan bukan sekadar sesuatu yang tidak jelek
atau jahat, bukan pula sekadar lawan kejelekan atau kejahatan. Wujud
kebaikan baru nyata pada saat kejahatan yang ada itu diabaikan, lalu
dipilihlah yang baik. Itu sebabnya manusia melebihi malaikat, karena
kejahatan tidak dimiliki malaikat, sehingga mereka tidak dapat tergoda.
Manusia dapat menjadi setan pada saat ia enggan memilih yang baik lalu
merayu yang lain untuk memilih kejahatan.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Ketika iblis (setan) dikutuk Allah, ia bersumpah di
hadapan-Nya: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, maka saya
benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus.
Kemudian saya akan mendatangi (merayu) mereka dari muka dan dan
belakang, dan kanan dan kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur (taat)" (QS Al-A'raf [7]: 16-17). </div>
<br />
Ayat ini mengisyaratkan bahwa setan akan menghadang dan merayu manusia
dari empat penjuru: depan, belakang, kanan dan kiri, sehingga tinggal
dua penjuru yang aman, yaitu arah atas lambang kehadiran Allah SWT, dan
arah bawah lambang kesadaran manusia akan kelemahannya di hadapan Allah
SWT. Manusia harus berlindung kepada Allah, sekaligus menyadari
kelemahannya sebagai makhluk, agar dapat selamat dari godaan dan rayuan
setan.
<br /><br />
Ulama-ulama menggambarkan godaan setan seperti serangan virus, yaitu
seseorang tidak akan terjangkiti olehnya selama memiliki kekebalan
tubuh. Imunisasi menjadi cara terbaik untuk memelihara diri dari
penyakit jasmani. Kekebalan jiwa diperoleh saat berada di arah "atas"
maupun "bawah". Ini menjadi dasar Al-Quran memerintahkan manusia untuk
berta'awwudz memohon perlindungan-Nya saat terasa ada godaan,
sebagaimana dalam berjihad seorang Muslim dianjurkan banyak berzikir..
<br /><br />
Al-Quran surat terakhir menggambarkan setan sebagai al-waswas
al-khannas. Kata al-waswas pada mulanya berarti suara yang sangat halus,
lantas makna ini berkembang hingga diartikan bisikan-bisikan hati.
Biasanya dipergunakan untuk bisikan-bisikan negatif, karena itu sebagian
ulama tafsir memahami kata ini sebagai setan. Menurut mereka setan
sering membisikkan rayuan dan jebakannya ke dalam hati seseorang
<br /><br />
Kata al-khannas terambil dari kata khanasa yang berarti kembali, mundur,
melempem, dan bersembunyi. Dalam surat An-Nas, kata tersebut dapat
berarti:<br />
<b>(a) Setan kembali menggoda manusia pada saat manusia lengah dan
melupakan Allah, atau </b><br /><b>
(b) Setan mundur dan tidak berdaya pada saat manusia berzikir dan
mengingat Allah. </b>
<br /><br />
Pendapat kedua ini didukung hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari
--walaupun dalam bentuk mu'allaq berasal dari ibnu Abbas-- yang berkata
bahwa Nabi saw bersabda: "Sesungguhnya setan itu bercokol di hati putra
Adam. <b>Apabila berzikir, setan itu mundur menjauh, dan bila ia lengah,
setan berbisik</b>".
<br />
Di atas telah dikemukakan bahwa setan, baik dari jenis jin dan manusia
selalu berupaya untuk membisikkan rayuan dan ajakan negatif, yang dalam
surat An-Nas disebut yuwaswisu fi shudurin-nas. Dalam konteks ini,
Al-Quran mengingatkan:
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Dan jika kamu ditimpa godaan setan, berlindunglah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, bila mereka ditimpa waswas
setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat
(menyadari) kesalahan-kesalahannya. (QS Al-A'raf [7]: 200-201) </div>
<br />
Tidak mudah membedakan antara rayuan setan dan nafsu manusia.
Ulama-ulama, khususnya para sufi, menekankan bahwa pada hakikatnya
manusia tidak mengetahui gejolak nafsu dan bisikan hati, kecuali bila
dapat melepaskan diri dari pengaruh gejolak tersebut. Al-Tustari seorang
sufi agung menyatakan: <b>"Tidak mengetahui bisikan syirik kecuali
orang Muslim, tidak mengetahui bisikan kemunafikan kecuali orang Mukmin,
demikian juga bisikan kebodohan kecuali yang berpengetahuan, bisikan
kelengahan kecuali yang ingat, bisikan kedurhakaan kecuali yang taat,
dan bisikan dunia kecuali dengan amalan akhirat". </b>
<br /><br />
Bisikan-bisikan tersebut dapat ditolak dengan jihad, yang dilakukan
dengan menutup pintu-pintu masuknya, atau dengan mematahkan semua
kekuatan kejahatannya. Banyak pintu masuk bisikan negatif ke dalam dada
manusia, antara lain:
<br /><br />
<b>1. Prasangka buruk terhadap Allah SWT dan ambisi yang menggunakan
cara-cara negatif untuk mencapainya.</b><br />
Ini melahirkan budaya mumpung serta kekikiran. Pintu masuk tersebut
dapat ditutupi dengan keyakinan terhadap kemurahan Ilahi (Allah), serta
rasa puas (bersyukur dan ikhlas) terhadap hasil usaha maksimal yang
halal.
<br /><br />
<b>2. Kikir. </b><br />
Pintu ini dapat tertutup dengan menyadari bahwa harta yang kita miliki
sebenarnya titipan (amanah) Allah SWT. Bila kita kikir (tidak
mengamalkannya) maka Allah SWT otomatis "tidak percaya" kepada kita,
sehingga harta tersebut akan diambil kembali oleh-Nya. Sebaliknya bila
kita dermawan maka Allah SWT otomatis "semakin percaya" kepada kita,
sehingga menambah jumlah titipan (harta) tersebut kepada kita, dan
semakin ditambah lagi jika kita mampu mengamalkannya.
<br /><br />
<b>3. Memperkecil dosa atau kebaikan. </b><br />
Sehingga mengantarkan yang bersangkutan melakukan dosa dengan alasan
dosa kecil, atau enggan berbuat baik dengan alasan malu karena amat
sederhana. Ini mesti ditampik dengan menyadari terhadap siapa dosa
dilakukan, yakni terhadap Allah. Juga kesadaran bahwa Allah tidak
menilai bentuk perbuatan semata-mata, tetapi pada dasarnya menilai niat
dan sikap pelaku.
<br /><br />
<b>4. Sombong karena merasa lebih dari orang lain.</b><br />
Pintu masuk ini dapat dikunci dengan kesadaran bahwa kelebihan yang kita
miliki itu hanya titipan (amanah) Allah kepada kita dan sewaktu-waktu
dapat diambil-Nya kembali. Selain itu juga kesadaran bahwa kondisi dan
situasinya bisa berbalik 180 derajat, dalam arti misalkan saat ini kita
lebih dibanding orang lain, maka suatu saat bisa berbalik, orang lain
tersebut yang akan melebihi kita. Tentu saja bila kita senantiasa rendah
hati dan mengamalkan kelebihan tersebut, maka kelebihan tadi akan
semakin bertambah.
<br /><br />
<b>5. Melaksanakan ibadah (amal) bukan karena Allah SWT, tetapi karena
Riya' (ingin dipuji). </b><br />
Hal ini dapat dihindari dengan berusaha selalu ingat kepada Allah setiap
melakukan ibadah (amal) atau aktifitas sehari-hari, sekaligus berusaha
ikhlas dan bersyukur kepada Allah SWT. Dan menyadari bahwa Allah tidak
menerima ibadah (amal) seseorang yang dilakukan bukan karena Allah SWT.
<br /><br />
Sufi besar Al-Muhasibi menjelaskan bahwa setan amat pandai menyesuaikan
bisikannya dengan kondisi manusia yang dirayunya. Orang-orang durhaka
digodanya dengan mendorong yang bersangkutan meninggalkan ketaatan
kepada Allah dan dibisikan kepadanya bahwa perbuatannya (yang buruk)
adalah baik/indah. Upaya setan itu biasanya langsung mendapat sambutan
mangsanya.
<br /><br />
Adapun terhadap orang yang taat kepada Allah, bisikan setan dilakukan
dengan cara mendorong agar meninggalkan amalan-amalan dengan berbagai
dalih, misalnya, jangan terlalu banyak memberi sedekah karena boros;
atau sudah cukup banyak memberi dan jangan ditambah lagi; bahkan
menimbulkan pikiran-pikiran yang dapat mengurangi nilai amal ibadah.
Hal-hal tersebut dapat dicegah dengan selalu mengingat Allah (dzikir),
melaksanakan tuntunan-tuntunannya, serta menyadari kelemahan, dan
kebutuhan manusia kepada-Nya.
<br />
Di sisi lain perlu diingat bahwa kemiskinan, kebodohan, dan penyakit
merupakan senjata~senjata setan sekaligus menjadi iklim yang
mengembangbiakkan virus-virus kejahatan.
<br /><br />
<div class="ayq" style="text-align: justify;">
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan
kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan, sedangkan Allah
menjanjikan kamu ampunan dan karunia. Allah Mahaluas karunia-Nya lagi
Maha Mengetahui (QS Al-Baqarah [2]: 268). </div>
<br />
<b>Kejahatan yang sering tidak disadari manusia adalah "kikir". </b>
<br /><br />
<b>Manusia dituntut berjihad melawan segala macam rayuan setan,</b>
menyiapkan iklim dan lokasi yang sehat untuk menghalangi tersebarnya
wabah dan virus yang diakibatkan olehnya.
<br /><br /><br />
<a href="" id="4" name="4"></a>
<div class="ay2" style="text-align: justify;">
Referensi</div>
<div>
</div>
<ul style="text-align: justify;">
<li>Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., <i>Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat</i>, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
</li>
<li>Dr. Syauqi Abu Khalil, <i>Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto</i>, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. <i>Ensiklopedi Tematis Dunia Islam</i>,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
</li>
<li>Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, <i>Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah</i>, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
</li>
<li>Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), <i>Al-Quran Terjemah Indonesia</i>, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
</li>
<li>Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, <i>Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata,</i> Syaamil
International, 2007.
</li>
<li>alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, <i>Al-Quran
web</i>, PT. Gilland Ganesha, 2008.
</li>
<li>Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, <i>Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim</i>, PT. Bina Ilmu, 1979.
</li>
<li>Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, <i>Ringkasan
Shahih Muslim</i>, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
</li>
<li>M. Nashirud</li>
</ul>
</div>dan ipul climberhttp://www.blogger.com/profile/12553261588603594043noreply@blogger.com0