|
Masyarakat
Manusia dan Masyarakat
Pemahaman dan Tafsir Al-Quran
|
|
Walaupun Al-Quran bukan kitab ilmiah --dalam pengertian umum-- namun
Kitab Suci ini banyak sekali berbicara tentang masyarakat. Ini
disebabkan karena fungsi utama Kitab Suci ini adalah mendorong lahirnya
perubahan-perubahan positif dalam masyarakat, atau dalam istilah
Al-Quran: litukhrija an-nas minazh-zhulumati ilan nur (mengeluarkan
manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang benderang). Dengan alasan
yang sama, dapat dipahami mengapa Kitab Suci umat Islam ini
memperkenalkan sekian banyak hukum-hukum yang berkaitan dengan bangun
runtuhnya suatu masyarakat. Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
Al-Quran merupakan buku pertama yang memperkenalkan hukum-hukum
kemasyarakatan.
Manusia adalah "makhluk sosial". Ayat kedua dari wahyu pertama
yang diterima Nabi Muhammad saw, dapat dipahami sebagai salah satu ayat
yang menjelaskan hal tersebut. Khalaqal insan min 'alaq bukan saja
diartikan sebagai "menciptakan manusia dari segumpal darah" atau
"sesuatu yang berdempet di dinding rahim", tetapi juga dapat dipahami
sebagai "diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung kepada
pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri." Ayat lain dalam konteks
ini adalah surat Al-Hujurat ayat 13. Dalam ayat tersebut secara tegas
dinyatakan bahwa manusia diciptakan terdiri dari lelaki dan
perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling
mengenal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, menurut Al-Quran,
manusia secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat
merupakan satu keniscayaan bagi mereka.
Tingkat kecerdasan, kemampuan, dan status sosial manusia menurut
Al-Quran berbeda-beda:
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami
yang membagi antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia ini.
Dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa tingkat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang
lain, dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (QS
Al-Zukhruf [43]: 32).
Seperti terbaca di atas, perbedaan-perbedaan tersebut bertujuan agar
mereka saling memanfaatkan (sebagian mereka dapat memperoleh manfaat
dari sebagian yang lain) sehingga dengan demikian semua saling
membutuhkan dan cenderung berhubungan dengan yang lain. Ayat ini, di
samping menekankan kehidupan bersama, juga sekali lagi menekankan bahwa
bermasyarakat adalah sesuatu yang lahir dari naluri alamiah
masing-masing manusia.
CIRI KHAS SETIAP MASYARAKAT
Setiap masyarakat mempunyai ciri khas dan pandangan hidupnya. Mereka
melangkah berdasarkan kesadaran tentang hal tersebut. Inilah yang
melahirkan watak dan kepribadiannya yang khas. Dalam hal ini, Al-Quran
menyatakan:
Demikianlah, Kami jadikan indah (di mata) setiap
masyarakat perbuatan mereka (QS A1-An'am [6]: 108).
Suasana kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya
mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat itu. Jika sistem
nilai atau pandangan mereka terbatas pada "kini dan di sini" maka upaya
dan ambisinya menjadi terbatas pada kini dan di sini pula. Allah
menjanjikan masyarakat ini --bila memenuhi sunnatullah-- akan mencapai
sukses, tetapi sukses yang terbatas pada "kini dan di sini" dan setelah
itu, mereka akan jenuh, mandek, akibat rutinitas, kemudian menemui
ajalnya.
Al-Quran menekankan kebersamaan anggota masyarakat seperti gagasan
sejarah bersama, tujuan bersama, catatan perbuatan bersama, bahkan
kebangkitan, dan kematian bersama. Dari sini lahir gagasan amar ma'ruf
dan nahi munkar, serta konsep fardhu kifayah dalam arti semua anggota
masyarakat memikul dosa bila sebagian mereka tidak melaksanakan
kewajiban tertentu.
Meskipun Al-Quran menisbahkan watak, kepribadian, kesadaran, kehidupan
dan kematian kepada masyarakat, namun Al-Quran tetap mengakui peranan
individu, agar setiap orang bertanggung jawab atas diri dan
masyarakatnya. Banyak sekali kisah-kisah Al-Quran yang menguraikan
penampilan satu individu untuk membangun masyarakatnya atau menentang
kebejatannya. Keberhasilan mereka pun berdasarkan satu hukum
kemasyarakatan yang pasti.
HUKUM-HUKUM KEMASYARAKATAN
Al-Quran sarat dengan uraian tentang hukum-hukum yang mengatur lahir,
tumbuh, dan runtuhnya suatu masyarakat. Sebagian di antaranya telah
disinggung di atas. Hukum-hukum itu --dari segi kepastiannya-- tidak
berbeda dengan hukum-hukum alam. Hukum-hukum itu dinamai oleh
Al-Quran sunnatullah, dan berulang kali dinyatakannya:
Engkau tidak akan mendapatkan perubahan terhadap
sunnatullah (QS Al-Ahzab [33]: 62).
Salah satu hukum kemasyarakatan yang amat populer --walaupun sering
diterjemahkan dan dipahami secara keliru-- adalah firman Allah yang
berbicara tentang hukum perubahan
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang
terdapat pada (keadaan) satu kaum (masyarakat), sehingga mereka mengubah
apa yang terdapat dalam diri (sikap mental) mereka (QS Ar-Ra'd [13]:
11).
Dalam buku Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A., "Membumikan" Al-Quran,
dikemukakan bahwa:
Ayat ini berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku. Pertama,
perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah, dan kedua perubahan
keadaan diri manusia (sikap mental) yang pelakunya adalah manusia.
Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum
masyarakat yang ditetapkan-Nya. Hukum-hukum tersebut tidak memilih kasih
atau membedakan antara satu masyarakat/kelompok dengan
masyarakat/kelompok lain ...
Ma bi anfusihim yang diterjemahkan dengan "apa yang terdapat dalam diri
mereka", terdiri dari dua unsur pokok, yaitu nilai-nilai yang dihayati
dan iradah (kehendak) manusia. Perpaduan keduanya menciptakan kekuatan
pendorong guna melakukan sesuatu.
Ayat di atas berbicara tentang manusia dalam keutuhannya, dan dalam
kedudukannya sebagai kelompok, bukan sebagai wujud individual. Dipahami
demikian, karena pengganti nama pada kata anfusihim (diri-diri mereka)
tertuju kepada qawm (kelompok/masyarakat). Ini berarti bahwa
seseorang, betapapun hebatnya, tidak dapat melakukan perubahan, kecuali
setelah ia mampu mengalirkan arus perubahan kepada sekian banyak orang,
yang pada gilirannya menghasilkan gelombang, atau paling sedikit
riak-riak perubahan dalam masyarakat.
Pentingnya keterkaitan antara pribadi dan masyarakat, serta besarnya
perhatian Al-Quran terhadap lahirnya perubahan-perubahan positif,
mengantar kepada berulangnya ayat-ayatnya yang menekankan tanggung jawab
perorangan dan tanggung jawab kolektif.
Tidak ada satu makhluk (berakal) pun di langit dan di
bumi kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai hamba.
Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka
dengan hitungan gang teliti. Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada
Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri (QS Maryam [19]: 93-95).
Ayat di atas adalah satu dari sekian ayat yang berbicara tentang tanggungjawab
pribadi. Namun di samping itu, terdapat sekian ayat yang berbicara
tentang tanggung jawab kolektif, seperti dalam surat Al-Jatsiyah
(45): 28,
(Di hari kemudian) kamu akan melihat setiap
umat/masyarakat bertekuk lutut, setiap masyarakat diajak untuk membaca
kitab amalnya ...
Al-Quran juga menginformasikan bahwa setiap masyarakat mempunyai usia:
Setiap masyarakat mempunyai ajal (QS Al-A'raf [7]: 34).
Kedua ayat di atas tidak berbicara tentang ajal perorangan, tetapi ajal
masyarakat. Lengah akan adanya usia atau ajal bagi setiap masyarakat,
dapat mengantar kepada kekeliruan penafsiran.
Kehancuran satu masyarakat --atau dengan kata lain: kehadiran ajalnya--
tidak secara otomatis mengakibatkan kematian seluruh penduduknya, bahkan
boleh jadi mereka semua secara individual tetap hidup. Namun,
kekuasaan, pandangan, dan kebijaksanaan masyarakat berubah total,
digantikan oleh kekuasaan, pandangan, dan kebijaksanaan yang berbeda
dengan sebelumnya.
Demikianlah gambaran singkat tentang beberapa aspek dari sekian banyak
aspek yang dikemukakan Al-Quran tentang masyarakat.
Referensi
- Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
- Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
- Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
- Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
|
0 komentar