|
Syukur
ISLAM - Keislaman
Pemahaman dan Tafsir Al-Quran
|
|
Kata "syukur" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata ini dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1) rasa terima kasih
kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega, senang, dan
sebagainya).
Pengertian kebahasaan ini tidak sepenuhnya sama dengan pengertiannya
menurut asal kata itu (etimologi) maupun menurut penggunaan Al-Quran
atau istilah keagamaan.
Dalam Al-Quran kata "syukur" dengan berbagai bentuknya ditemukan
sebanyak enam puluh empat kali. Ahmad Ibnu Faris dalam bukunya Maqayis
Al-Lughah menyebutkan empat arti dasar dari kata tersebut yaitu,
a. Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh.
Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit sekalipun,
karena itu bahasa menggunakan kata ini (syukur) untuk kuda yang gemuk
namun hanya membutuhkan sedikit rumput. Peribahasa juga memperkenalkan
ungkapan Asykar min barwaqah (Lebih bersyukur dari tumbuhan barwaqah).
Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh subur, walau dengan awan
mendung tanpa hujan.
b. Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur dilukiskan dengan
kalimat syakarat asy-syajarat.
c. Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit).
d. Pernikahan, atau alat kelamin.
Agaknya kedua makna terakhir ini dapat dikembalikan dasar pengertiannya
kepada kedua makna terdahulu. Makna ketiga sejalan dengan makna pertama
yang mengambarkan kepuasan dengan yang sedikit sekalipun, sedang makna
keempat dengan makna kedua, karena dengan pernikahan (alat kelamin)
dapat melahirkan banyak anak.
Makna-makna dasar tersebut dapat juga diartikan sebagai penyebab dan
dampaknya, sehingga kata "syukur" mengisyaratkan "Siapa yang merasa puas
dengan yang sedikit, maka ia akan memperoleh banyak, lebat, dan subur."
Ar-Raghib Al-Isfahani salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa
Al-Quran menulis dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, bahwa kata
"syukur" mengandung arti "gambaran dalam benak tentang nikmat dan
menampakkannya ke permukaan." Kata ini --tulis Ar-Raghib-- menurut
sementara ulama berasal dari kata "syakara" yang berarti "membuka",
sehingga ia merupakan lawan dari kata "kafara" (kufur) yang berarti
menutup --(salah satu artinya adalah) melupakan nikmat dan
menutup-nutupinya.
Makna yang dikemukakan pakar di atas dapat diperkuat dengan beberapa
ayat Al-Quran yang memperhadapkan kata syukur dengan kata kufur, antara
lain dalam QS lbrahim (14): 7:
Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku)
untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih. (QS
lbrahim (14): 7)
Demikian juga dengan redaksi pengakuan Nabi Sulaiman yang diabadikan
Al-Quran:
Ini adalah sebagian anugerah Tuhan-Ku, untuk mengujiku
apakah aku bersyukur atau kufur (QS An-Naml [27]: 40).
Hakikat syukur adalah "menampakkan nikmat," dan hakikat kekufuran adalah
menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti
menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh
pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah:
Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau
menyebut-nyebut (QS Adh-Dhuha [93]: ll).
Nabi Muhammad saw pun bersabda: "Allah senang melihat bekas (bukti)
nikmat-Nya dalam penampilan hamba-Nya (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi)".
Sementara ulama ketika menafsirkan firman Allah,
"Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat)-Ku" (QS Al-Baqarah [2]: 152)
Menjelaskan bahwa ayat ini mengandung perintah untuk mengingat Tuhan
tanpa melupakannya, patuh kepada-Nya tanpa menodainya dengan
kedurhakaan. Syukur orang demikian lahir dari keikhlasan kepada-Nya, dan
karena itu, ketika setan menyatakan bahwa, "Demi kemuliaan-Mu, Aku akan
menyesatkan mereka (manusia) semuanya" (QS Shad [38]: 82), dilanjutkan
dengan pernyataan pengecualian, yaitu, "kecuali hamba-hamba-Mu yang
mukhlash di antara mereka" (QS Shad [38]: 83). Dalam QS Al-A'raf (7): 17
Iblis menyatakan, "Dan Engkau tidak akan menemukan kebanyakan dari
mereka {manusia) bersyukur." Kalimat "tidak akan menemukan" di sini
serupa maknanya dengan pengecualian di atas, sehingga itu berarti bahwa
orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang mukhlish (tulus
hatinya).
Dengan demikian syukur mencakup tiga sisi:
a. Syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas anugerah.
b. Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan memuji pemberinya.
c. Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh
sesuai dengan tujuan penganugerahannya.
Uraian Al-Quran tentang syukur mencakup sekian banyak aspek. Berikut
akan dikemukakan sebagian di antaranya.
SIAPA YANG HARUS DISYUKURI
Pada prinsipnya segala bentuk kesyukuran harus ditujukan kepada Allah
SWT Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk bersyukur setelah menyebut
beberapa nikmat-Nya,
Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula
kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari
(nikmat)-Ku (QS Al-Baqarah [2]: 152).
Dalam QS Luqman (31): 12 dinyatakan:
Dan sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada Luqman hikmah, yaitu:
"Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada
Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (manfaat) dirinya sendiri."
Namun demikian, walaupun kesyukuran harus ditujukan kepada Allah, dan
ucapan syukur yang diajarkan adalah "alhamdulillah" dalam arti "segala
puji (hanya) tertuju kepada Allah," namun ini bukan berarti bahwa kita
dilarang bersyukur kepada mereka yang menjadi perantara kehadiran nikmat
Allah. Al-Quran secara tegas memerintahkan agar mensyukuri Allah dan
mensyukuri kedua orang tua (yang menjadi perantara kehadiran kita di
pentas dunia ini.) Surat Luqman (31): 14 menjelaskan hal ini, yaitu
dengan firman-Nya:
Bersyukurlah kepada-Ku, dan kepada dua orang ibu
bapakmu; hanya kepada-Kulah kembalimu.
Walaupun Al-Quran hanya menyebut kedua orangtua --selain Allah-- yang
harus disyukuri, namun ini bukan berarti bahwa selain mereka tidak boleh
disyukuri.
Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka dia tidak mensyukuri Allah
(Begitu bunyi suatu riwayat yang disandarkan kepada Rasul Saw).
MANFAAT SYUKUR BUKAN UNTUK TUHAN
Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa manfaat syukur kembali kepada
orang yang bersyukur, sedang Allah SWT sama sekali tidak memperoleh
bahkan tidak membutuhkan sedikit pun dari syukur makhluk-Nya.
Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang kufur
(tidak bersyukur), maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya (tidak membutuhkan
sesuatu) lagi Mahamulia (QS An-Naml [27]: 40)
Karena itu pula, manusia yang meneladani Tuhan dalam sifat-sifat-Nya,
dan mencapai peringkat terpuji, adalah yang memberi tanpa menanti syukur
(balasan dari yang diberi) atau ucapan terima kasih.
Al-Quran melukiskan bagaimana satu keluarga (menurut riwayat adalah Ali
bin Abi Thalib dan istrinya Fathimah putri Rasulullah saw) memberikan
makanan yang mereka rencanakan menjadi makanan berbuka puasa mereka,
kepada tiga orang yang membutuhkan dan ketika itu mereka menyatakan
bahwa,
Sesungguhnya kami memberi makanan untukmu hanyalah
mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan darimu, dan
tidak pula pujian (ucapan terima kasih) (QS Al-Insan [76]: 9).
Walaupun manfaat syukur tidak sedikit pun tertuju
kepada Allah, namun karena kemurahan-Nya, Dia menyatakan diri-Nya
sebagai Syakirun 'Alim (QS Al-Baqarah [2]: 158), dan Syakiran Alima (QS
An-Nisa' [4]: 147), yang keduanya berarti, Maha Bersyukur lagi Maha
Mengetahui, dalam arti Allah akan menganugerahkan tambahan nikmat
berlipat ganda kepada makhluk yang bersyukur. Syukur Allah ini antara
lain dijelaskan oleh firman-Nya dalam surat Ibrahim (14): 7 yang dikutip
di atas.
BAGAIMANA CARA BERSYUKUR
Di atas telah dijelaskan bahwa ada tiga sisi dari syukur, yaitu
dengan hati, lidah, dan anggota tubuh lainnya. Berikut akan dirinci
penjelasan tentang masing-masing sisi tersebut.
a. Syukur dengan hati
Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat
yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Ilahi.
Syukur dengan hati mengantar manusia untuk menerima anugerah dengan
penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan betapapun kecilnya nikmat
tersebut. Syukur ini juga mengharuskan yang bersyukur menyadari betapa
besar kemurahan, dan kasih sayang Ilahi sehingga terlontar dari lidahuya
pujian kepada-Nya. Qarun yang mengingkari keberhasilannya atas
bantuan Ilahi, dan menegaskan bahwa itu diperolehnya semata-mata karena
kemampuannya, dinilai oleh Al-Quran sebagai kafir atau tidak mensyukuri
nikmat-Nya (Baca kisahnya dalam surat Al-Qashash (28): 76-82).
Seorang yang bersyukur dengan hatinya saat ditimpa mala petaka pun,
boleh jadi dapat memuji Tuhan, bukan atas malapetaka itu, tetapi karena
terbayang olehnya bahwa yang dialaminya pasti lebih kecil dari
kemungkinan lain yang dapat terjadi. Dari sini syukur --seperti makna
yang dikemukakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikutip di
atas-- diartikan oleh orang yang bersyukur dengan "untung" (merasa lega,
karena yang dialami lebih ringan dari yang dapat terjadi).
Dari kesadaran tentang makna-makna di atas, seseorang akan tersungkur
sujud untuk menyatakan perasaan syukurnya kepada Allah.
Sujud syukur adalah perwujudan dari kesyukuran dengan hati, yang
dilakukan saat hati dan pikiran menyadari betapa besar nikmat yang
dianugerahkan Allah. Bahkan sujud syukur dapat dilakukan saat melihat
penderitaan orang lain dengan membandingkan keadaannya dengan keadaan
orang yang sujud. (Tentu saja sujud tersebut tidak dilakukan dihadapan
si penderita itu).
Sujud syukur dilakukan dengan meletakkan semua anggota sujud di lantai
yakni dahi, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua ujung jari
kaki)--seperti melakukan sujud dalam shalat. Hanya saja sujud syukur
cukup dengan sekali sujud, bukan dua kali sebagaimana dalam shalat.
Karena sujud itu bukan bagian dan shalat, maka mayoritas ulama
berpendapat bahwa sujud sah walaupun dilakukan tanpa berwudu, karena
sujud dapat dilakukan sewaktu-waktu dan secara spontanitas. Namun
tentunya akan sangat baik bila melakukan sujud disertai dengan wudu.
b. Syukur dengan lidah
Syukur dengan lidah adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat
adalah Allah sambil memuji-Nya.
Al-Quran, seperti telah dikemukakan di atas, mengajarkan agar pujian
kepada Allah disampaikan dengan redaksi "al-hamdulillah."
Hamd (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji, walaupun ia
tidak memberi apa pun baik kepada si pemuji maupun kepada yang lain.
Kata "al" pada "al-hamdulillah" oleh pakar-pakar bahasa disebut al
lil-istighraq, yakni mengandung arti "keseluruhan". Sehingga kata
"al-hamdu" yang ditujukan kepada Allah mengandung arti bahwa yang paling
berhak menerima segala pujian adalah Allah SWT, bahkan seluruh pujian
harus tertuju dan bermuara kepada-Nya.
Jika kita mengembalikan segala puji kepada Allah, maka itu berarti pada
saat Anda memuji seseorang karena kebaikan atau kecantikannya, maka
pujian tersebut pada akhirnya harus dikembalikan kepada Allah SWT, sebab
kecantikan dan kebaikan itu bersumber dari Allah. Di sisi lain kalau
pada lahirnya ada perbuatan atau ketetapan Tuhan yang mungkin oleh
kacamata manusia dinilai "kurang baik", maka harus disadari bahwa
penilaian tersebut adalah akibat keterbatasan manusia dalam menetapkan
tolok ukur penilaiannya. Dengan demikian pasti ada sesuatu yang luput
dari jangkauan pandangannya sehingga penilaiannya menjadi demikian.
Walhasil, syukur dengan lidah adalah "al- hamdulillah" (segala puji bagi
Allah).
c. Syukur dengan perbuatan
Nabi Daud a.s. beserta putranya Nabi Sulaiman a.s. memperoleh aneka
nikmat yang tiada taranya. Kepada mereka sekeluarga Allah berpesan,
Bekerjalah wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur!
(QS Saba [34]: 13).
Yang dimaksud dengan bekerja adalah menggunakan nikmat yang diperoleh
itu sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahannya.
Ini berarti, setiap nikmat yang diperoleh menuntut penerimanya agar
merenungkan tujuan dianugerahkannya nikmat tersebut oleh Allah. Ambillah
sebagai contoh lautan yang diciptakan oleh Allah SWT Ditemukan dalam
Al-Quran penjelasan tentang tujuan penciptaannya melalui firman-Nya:
Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untuk kamu)
agar kamu dapat memakan darinya daging (ikan) yang segar, dan (agar)
kamu mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu
melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari karunia-Nya
(selain yang telah disebut) semoga kamu bersyukur (QS An-Nahl [16]: 14).
Ayat ini menjelaskan tujuan penciptaan laut, sehingga mensyukuri nikmat
laut, menuntut dari yang bersyukur untuk mencari ikan-ikannya, mutiara
dan hiasan yang lain, serta menuntut pula untuk menciptakan kapal-kapal
yang dapat mengarunginya, bahkan aneka pemanfaatan yang dicakup oleh
kalimat "mencari karunia-~Nya".
Dalam konteks inilah terutama realisasi dan janji Allah,
Apabila kamu bersyukur maka pasti akan Kutambah
(nikmat-Ku) (QS Ibrahim [14]: 7)
Betapa anugerah Tuhan tidak akan bertambah, kalau setiap jengkal tanah
yang terhampar di bumi, setiap hembusan angin yang bertiup di udara,
setiap tetes hujan yang tercurah dan langit dipelihara dan dimanfaatkan
oleh manusia?
Di sisi lain, lanjutan ayat di atas menjelaskan bahwa "Kalau kamu kufur
(tidak mensyukuri nikmat atau menutupinya tidak menampakkan nikmatnya
yang masih terpendam di perut bumi, di dasar laut atau di angkasa), maka
sesungguhnya siksa-Ku amat pedih."
Suatu hal yang menarik untuk disimak dari redaksi ayat
ini adalah kesyukuran dihadapkan dengan janji yang pasti lagi tegas dan
bersumber dari-Nya langsung (QS Ibrahim [14):7) Tetapi akibat kekufuran
hanya isyarat tentang siksa; itu pun tidak ditegaskan bahwa ia pasti
akan menimpa yang tidak bersyukur(QS Ibrahim [14]:7).
Siksa dimaksud antara lain adalah rasa lapar, cemas, dan takut.
Allah telah membuat satu perumpamaan (dengan) sebuah
negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya
melimpah ruah dari segenap penjuru, tetapi (penduduknya) kufur (tidak
bersyukur atau tidak bekerja untuk menampakkan) nikmat-nikmat Allah
(yang terpendam). Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka mengenakan
pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan oleh perbuatan (ulah) yang
selalu mereka lakukan (QS An-Nahl [16]: 112).
Pengalaman pahit yang dilukiskan Allah ini, telah terjadi terhadap
sekian banyak masyarakat bangsa, antara lain, kaum Saba --satu suku
bangsa yang hidup di Yaman dan yang pernah dipimpin oleh seorang Ratu
yang amat bijaksana, yaitu Ratu Balqis Surat Saba (34): 15-19
menguraikan kisah mereka, yakni satu masyarakat yang terjalin persatuan
dan kesatuannya, melimpah ruah rezekinya dan subur tanah airnya. Negeri
merekalah yang dilukiskan oleh Al-Quran dengan baldatun thayyibatun wa
Rabbun Ghafur. Mereka pulalah yang diperintah dalam ayat-ayat tersebut
untuk bersyukur, tetapi mereka berpaling dan enggan sehingga akhirnya
mereka berserak-serakkan, tanahnya berubah menjadi gersang, komunikasi
dan transportasi antar kota-kotanya yang tadinya lancar menjadi
terputus, yang tinggal hanya kenangan dan buah bibir orang saja.
Demikian uraian Al-Quran. Dalam konteks keadaan mereka, Allah berfirman,
Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka
disebabkan kekufuran (keengganan bersyukur) mereka. Kami tidak
menjatuhkan siksa yang demikian kecuali kepada orang-orang yang kufur(QS
Saba [34]: 17).
Itulah sebagian makna firman Allah yang sangat populer:
Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku)
untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih (QS
Ibrahim [14]: ayat 7).
KEMAMPUAN MANUSIA BERSYUKUR
Pada hakikatnya manusia tidak mampu untuk mensyukuri Allah secara
sempurna, baik dalam bentuk kalimat-kalimat pujian apalagi dalam bentuk
perbuatan. Karena itu ditemukan dua ayat dalam Al-Quran yang menunjukkan
betapa orang-orang yang dekat kepada-Nya sekalipun, tetap bermohon agar
dibimbing, diilhami dan diberi kemampuan untuk dapat mensyukuri
nikmat-Nya.
Dia berdoa, "Wahai Tuhanku, berilah aku ilham untuk
mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugerahkan kepadaku dan kepada
kedua orang ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau
ridhai..." (QS An-Naml [27]: 19).
Ia berdoa, "Wahai Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada
ibu-bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang engkau ridhai"
(QS Al-Ahqaf [46]: 15).
Nabi saw juga berdoa dan mengajarkan doa itu untuk dipanjatkan oleh
umatnya : "Wahai Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur
untuk-Mu, dan beribadah dengan baik bagi-Mu."
Permohonan tersebut sangat diperlukan, paling tidak disebabkan oleh dua
hal:
Pertama, manusia tidak mampu mengetahui bagaimana cara yang
sebaik-baiknya untuk memuji Allah, dan karena itu pula Allah mewahyukan
kepada manusia pilihan-Nya kalimat yang sewajarnya mereka ucapkan. Tidak
kurang dari lima kali ditemukan dalam Al-Quran perintah Allah yang
berbunyi. Wa qul' "Alhamdulillah" (Katakanlah, "Alhamdulillah").
Mengapa manusia tidak mampu untuk memuji-Nya? Ini disebabkan karena
pujian yang benar menuntut pengetahuan yang benar pula tentang siapa
yang dipuji. Tetapi karena pengetahuan manusia tidak mungkin menjangkau
hakikat Allah SWT, maka tidak mungkin pula ia akan mampu memuja dan
me~nuji-Nya dengan benar sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya.
Mahasuci Engkau, Kami tidak mampu melukiskan pujian untuk-Mu, karena itu
(pujian) kami sebagaimana pujian-Mu terhadap diri-Mu.
Atas dasar ini, maka seringkali pujian yang dipersembahkan kepada Allah,
didahului oleh kata "Subhana" atau yang seakar dengan kata itu.
Perhatikanlah firman-Nya dalam surat Asy-Syura ayat 5:
Para malaikat bertasbih sambil memuji Tuhan mereka.
Atau dalam surat Ar-Ra'd (13): 13: "Guntur bertasbih sambil memuji-Nya."
Bahkan manusia pun di dalam shalat mendahulukan "tasbih" (pensucian
Tuhan dari segala kekurangan) atas "hamd" (pujian), karena khawatir
jangan sampai pujian yang diucapkan itu tak sesuai dengan keagungan-Nya.
"Subhana Rabbiyal 'Azhim wa bi hamdihi" ketika rukuk, dan "Subhana
Rabbiyal 'Ala wa bi hamdihi" ketika sujud.
Alasan kedua mengapa kita memohon petunjuk-Nya untuk bersyukur
adalah karena setan selalu menggoda manusia yang targetnya antara lain
adalah mengalihkan mereka dari bersyukur kepada Allah. Surat Al-A'raf
ayat 17 menguraikan sumpah setan di hadapan Allah untuk menggoda dan
merayu manusia dari arah depan, belakang, kiri, dan kanan mereka
sehingga akhirnya seperti ucap setan yang diabadikan Al-Quran "Engkau
-(Wahai Allah)- tidak menemukan kebanyakan mereka bersyukur".
Sedikitnya makhluk Allah yang pandai bersyukur ditegaskan berkali-kali
oleh Al-Quran, secara langsung oleh Allah sendiri seperti firman-Nya:
Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia,
tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur (QS Al-Baqarah [2]: 243).
Dalam ayat lain disebutkan:
Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada
Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur (QS Saba'
[34]: 13) .
Hakikat yang sama diakui pula oleh hamba-hamba pilihan-Nya seperti yang
diabadikan Al-Quran dari ucapan Nabi Yusuf a.s.,
Kebanyakan manusia tidak bersyukur (QS Yusuf [12]: 38).
Hakikat di atas tercermin juga dari penggunaan kata syukur sebagai sifat
dari hamba Allah. Hanya dua orang dari mereka yang disebut oleh
Al-Quran sebagai hamba Allah yang telah membudaya dalam dirinya sifat
syukur, yaitu Nabi Nuh a.s. yang dinyatakan-Nya sebagai "Innahu kanna
'abdan syakura" (Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak
bersyukur) (QS Al-Isra' [17]: 3), dan Nabi Ibrahim a.s. dengan
firman-Nya, "Syakiran li an'umihi" (yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah)
(QS An-Nahl [16): 12l).
Al-Quran menggarisbawahi bahwa biasanya kebanyakan manusia hanya
berjanji untuk bersyukur saat mereka menghadapi kesulitan. Al-Quran
menjelaskan sikap sementara orang yang menghadapi gelombang yang dahsyat
di laut:.
Maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengihlaskan
ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata), "Sesungguhnya jika
Engkau menyelamatkan kami dari bencana ini, maka pastilah kami akan
termasuk orang-orang yang bersyukur" (QS Yunus 110]: 22).
Demikian juga dalam surat Al-An'am (6): 63.
Katakanlah, "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu
dari bencana di darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan
berendah dri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan): Sesungguhnya,
jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi
bagian orang-orang yang bersyukur" (QS Al-An'am [6]: 63).
APA YANG HARUS DISYUKURI
Pada dasarnya segala nikmat yang diperoleh manusia harus disyukurinya.
Nikmat diartikan oleh sementara ulama sebagai "segala sesuatu yang
berlebih dari modal Anda". Adakah manusia memiliki sesuatu sebagai
modal? Jawabannya, "Tidak". Bukankah hidupnya sendiri adalah anugerah
dari Allah?
Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari
masa, sedang ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?
(QS Al-Insan [76]: ayat 1).
Nikmat Allah demikian berlimpah ruah, sehingga Al-Quran menyatakan,
Seandainya kamu (akan) menghitung nikmat Allah, niscaya
kamu tidak akan sanggup menghitungnya (QS Ibrahim [14]: 34).
Al-Biqa'i dalam tafsirnya terhadap surat Al-Fatihah mengemukakan bahwa
"al-hamdulillah" dalam surat Al-Fatihah menggambarkan segala anugerah
Tuhan yang dapat dinikmati oleh makhluk, khususnya manusia. Itulah
sebabnya --tulisnya lebih jauh-- empat surat lain yang juga dimulai
dengan al-hamdulillah masing-masing menggambarkan kelompok nikmat Tuhan,
sekaligus merupakan perincian dari kandungan nikmat yang dicakup oleh
kalimat al-hamdulillah dalam surat Al-Fatihah itu. Karena Al-Fatihah
adalah induk Al-Quran dan kandungan ayat-ayatnya dirinci oleh ayat-ayat
lain.
Keempat surat yang dimaksud adalah:
1. Al-An'am (surat ke-6) yang dimulai dengan: "Segala
puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan
gelap dan terang".
Ayat ini mengisyaratkan nikmat wujud di dunia ini dengan segala potensi
yang dianugerahkan Allah baik di darat, laut, maupun udara, serta gelap
dan terang.
2. Al-Kahf (surat ke-18), yang dimulai dengan: "Segala
puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab
(Al-Quran), dan tidak membuat kebengkokan (kekurangan) di dalamnya".
Di sini diisyaratkan nikmat-nikmat pemeliharaan Tuhan yang
dianugerahkannya secara aktual di dunia ini. Disebut pula nikmat-Nya
yang terbesar yaitu kehadiran Al-Quran di tengah-tengah umat manusia,
untuk "mewakili" nikmat-nikmat pemeliharaan lainnya.
3. Saba' (surat ke-34), yang dimulai dengan" "Segala
puji bagi Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi, dan bagi-Nya pula segala puji di akhirat. Dan Dialah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetabui".
Ayat ini mengisyaratkan nikmat Tuhan di akhirat kelak, yakni kehidupan
baru setelah mengalami kematian di dunia, di mana dengan kehadirannya di
sana manusia dapat memperoleh kenikmatan abadi.
4. Fathir (surat ke-35), yang dimulai dengan: "Segala
puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat
sebagai utusan-utusan untuk mengurus berbagai macam urusan (di dunia dan
di akhirat), yang mempunyai sayap masing-masing (ada yang) dua, tiga,
dan empat".
Ayat ini adalah isyarat tentang nikmat-nikmat abadi yang akan
dianugerahkan Allah kelak setelah mengalami hidup baru di akhirat.
Setiap rincian yang terdapat dalam keempat kelompok nikmat yang dicakup
oleh keempat surat di atas, menuntut syukur hamba-Nya baik dalam bentuk
ucapan al-hamdulillah, maupun pengakuan secara tulus dari lubuk hati,
serta mengamalkan perbuatan yang diridhai-Nya.
Di atas dikemukakan secara global nikmat-nikmat-Nya yang mengharuskan
adanya syukur. Dalam beberapa ayat lainnya disebut sekian banyak nikmat
secara eksplisit, antara lain:
1. Kehidupan dan kematian
Bagaimana kamu mengkufuri (tidak mensyukuri nikmat)
Allah, padahal tadinya kamu tiada, lalu kamu dihidupkan, kemudian kamu
dimatikan, lalu dihidupkan kembali. (QS Al-Baqarah [2]: 28).
2. Hidayat Allah
Hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur (QS Al-Baqarah [2]: 185).
3. Pengampunan-Nya, antara lain dalam firman-Nya.
Kemudian setelah itu Kami maafkan kesalahanmu agar kamu
bersyukur (QS Al-Baqarah [2]: 52)
4. Pancaindera dan akal
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran,
penglihatan, dan hati, supaya kamu bersyukur (QS An-Nahl [16]: 78).
5. Rezeki
Dan diberinya kamu rezeki yang baik-baik agar kamu
bersyukur (QS Al-Anfal [8]: 26).
6. Sarana dan prasarana antara lain
Dan Dialah (Allah) yang menundukkan lautan (untukmu)
agar kamu dapat memakan daging (ikan) yang segar darinya, dan kamu
mengeluarkan dan lautan itu perhiasan yang kamu pakai, dan kamu melihat
bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dan
karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur (QS An-Nahl [16]: 14) .
7. Kemerdekaan
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, "Hai
kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu ketika Dia mengangkat nabi-nabi
di antaramu, dan dijadikannya kamu orang-orang yang merdeka (bebas dari
penindasan Fir'aun) (QS Al-Maidah [5]: 20)
Masih banyak lagi nikmat-nikmat lain yang secara eksplisit disebut oleh
Al-Quran. Dalam surat Ar-Rahman (surat ke-55), Al-Quran membicarakan
aneka nikmat Allah dalam kehidupan dunia ini dan kehidupan akhirat
kelak. Hampir pada setiap dua nikmat yang disebutkan. Quran mengulangi
satu pertanyaan dengan redaksi yang sama yaitu,
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu ingkari?
Pertanyaan tersebut terulang sebanyak tiga puluh satu kali. Para ulama
menyusun semacam "rumus", yaitu siapa yang mampu mensyukuri
nikmat-nikmat Allah, maka ia akan selamat dari ketujuh pintu neraka,
sekaligus dia dapat memilih pintu-pintu mana saja dari kedelapan pintu
surga, baik surga pertama maupun surga kedua, baik Surga (kenikmatan
duniawi) maupun kenikmatan ukhrawi.
WAKTU DAN TEMPAT BERSYUKUR
Segala puji bagi Allah yang memelihara apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi, dan bagi-Nya (pula) segala puji di
akhirat. Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui (QS Saba' [34]:
l).
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT harus disyukuri, baik dalam
kehidupan dunia sekarang maupun di akhirat kelak. Salah satu ucapan
syukur di akhirat adalah dari mereka yang masuk surga yang berkata,
Al-hamdulillah --segala puji bagi Allah-- yang memberi
petunjuk bagi kami (masuk ke surga ini). Kami tidak memperoleh petunjuk
ini, seandainya Allah tidak memberikan kami petunjuk (QS Al-A'raf [7]:
43).
Demikian terlihat bahwa syukur dilakukan kapan dan di mana saja di dunia
dan di akhirat.
Dalam konteks syukur dalam kehidupan dunia ini,
Al-Quran menegaskan bahwa Allah SWT menjadikan malam silih berganti
dengan siang, agar manusia dapat menggunakan waktu tersebut untuk
merenung dan bersyukur, "Dia yang menjadikan malam dan siang silih
berganti, bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang
ingin bersyukur (QS Al-Furqan [25]: 62).
Dalam surat Ar-Rum (30): 17-18 Allah memerintahkan,
Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di
petang hari, dan waktu kamu berada di waktu subuh, dan bagi-Nyalah
segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang
hari dan ketika kamu berada di waktu zuhur.
Segala aktivitas manusia --siang dan malam-- hendaknya merupakan
manifestasi dari syukurnya. Syukur dengan lidah dituntut saat seseorang
merasakan adanya nikmat Ilahi. Itu sebabnya Nabi saw tidak jemu-jemunya
mengucapkan, "Alhamdulillah" pada setiap situasi dan kondisi.
Saat bangun tidur beliau mengucapkan : "Segala puji bagi Allah
yang telah menghidupkan (membangunkan) kami, setelah mematikan
(menidurkan) kami dan kepada-Nya-lah (kelak) kebangkitan".
Atau membaca : "Segala puji bagi Allah yang mengembalikan
kepadaku ruhku, memberi afiat kepada badanku, dan mengizinkan aku
mengingat-Nya.
Ketika bangun untuk ber-tahajjud beliau membaca: "Wahai Allah,
bagimu segala pujian. Engkau adalah pengatur langit dan bumi dan segala
isinya. Bagimu segala puji, Engkau adalah pemilik kerajaan langit dan
bumi dan segala isinya ...".
Ketika berpakaian beliau membaca: "Segala puji bagi Allah yang
menyandangiku dengan (pakaian) ini, menganugerahkannya kepadaku tanpa
kemampuan dan kekuatan (dari diriku)".
Sesudah makan beliau mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang
memberi kami makan dan memberi kami minum dan menjadikan kami (kaum)
Muslim".
Ketika akan tidur, beliau berdoa: "Dengan namamu Ya Allah aku
hidup dan mati. Wahai Allah, bafli-Mu segala puji, Engkau Pemelihara
langit dan bumi".
Demikian seterusnya pada setiap saat, dalam berbagai situasi dan
kondisi.
Apabila seseorang sering mengucapkan al-hamdulillah, maka dari saat ke
saat ia akan selalu merasa berada dalam curahan rahmat dan kasih sayang
Tuhan. Dia akan merasa bahwa Tuhan tidak membiarkannya sendiri. Jika
kesadaran ini telah berbekas dalam jiwanya, maka seandainya pada suatu,
saat ia mendapat cobaan atau merasakan kepahitan, dia pun akan
mengucapkan : "Segala puji bagi Allah, tiada yang dipuja dan dipuji
walau cobaan menimpa, kecuali Dia semata".
Kalimat semacam ini terlontar, karena ketika itu dia sadar bahwa
seandainya apa yang dirasakan itu benar-benar mempakan malapetaka, namun
limpahan karunia-Nya sudah sedemikian banyak, sehingga cobaan dan
malapetaka itu tidak lagi berarti dibandingkan dengan besar dan
banyaknya karunia selama ini.
Di samping itu akan terlintas pula dalam pikirannya, bahwa pasti ada
hikmah di belakang cobaan itu, karena Semua perbuatan Tuhan senantiasa
mulia lagi terpuji.
SIAPA YANG DISYUKURI ALLAH
Al-Quran juga berbicara menyangkut siapa dan bagaimana upaya yang harus
dilakukan sehingga wajar disyukuri. Dua kali kata masykur dalam arti
yang disyukuri terulang dalam Al-Quran.
Pertama adalah,
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami
segerakan baginya di dunia ini apa yang Kami kehendaki bagi orang-orang
yang Kami kehendaki, dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam, ia akan
memasukinya dalam keadaaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang
menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan
sungguh-sungguh sedang ia adalah Mukmin, maka mereka itu adalah
orang-orang yang usahanya disyukuri (dibalas dengan baik). Kepada
masing-masing golongan baik yang ini (menghendaki dunia saja) maupun
yanp itu (yang menghendaki akhirat melalui usaha duniawi), Kami berikan
bantuan dari kemewahan Kami. Dari kemurahan Tuhanmu tidak dapat
dihalangi (QS Al-Isra' [17]: 18-20).
Kedua adalah:
Sesungguhnya ini adalah balasan untukmu, dan usahamu adalah disyukuri
(QS Al-Insan [76]: 22).
Isyarat "ini" dalam ayat di atas adalah berbagai kenikmatan surgawi yang
dijelaskan oleh ayat-ayat sebelumnya, dari ayat 12 sampai dengan ayat
22 surat 76 (Al-Insan).
Surat Al-Isra' ayat 17-20 berbicara tentang dua macam usaha yang lahir
dari dua macam visi manusia. Ada yang visinya terbatas pada "kehidupan
sekarang", yakni selama hidup di dunia ini, tidak memandang jauh ke
depan. "Kehidupan sekarang" diartikan detik dan jam atau hari dekat
hidupnya, boleh jadi juga "sekarang" berarti masa hidupnya di dunia yang
mengantarkannya bervisi hanya puluhan tahun. Ayat di atas menjanjikan
bahwa jika mereka berusaha akan memperoleh sukses sesuai dengan
usahanya; itu pun bila dikehendaki Allah. Tetapi setelah itu mereka akan
merasa jenuh dan mandek, karena keterbatasan visi tidak lagi
mendorongnya untuk berkreasi. Nah, ketika itulah lahir rutinitas yang
pada akhirnya melahirkan kehancuran.
Hakikat ini bisa terjadi pada tingkat perorangan atau masyarakat.
Kejenuhan dengan segala dampak negatif yang dialami oleh anggota
masyarakat bahkan masyarakat secara umum di dunia yang menganut paham
sekularisme --setelah mereka mencapai sukses duniawi-- merupakan bukti
nyata dari kebenaran hakikat yang diungkapkan Al-Quran di atas. Tetapi
jika pandangan kita jauh ke depan, visi seseorang atau masyarakat
melampaui kehidupan dunianya, maka ia tidak pernah akan berhenti-bagai
seseorang yang menggantungkan cita-citanya melampaui ketinggian bintang.
Ketika itu dia akan terus berusaha dan berkreasi, sehingga tidak pernah
merasakan kejenuhan, karena di balik satu sukses masih dapat diraih
sukses berikutnya. Memang Allah menjajikan untuk terus-menerus dan
sementara menambah petunjuk-Nya bagi mereka yang telah mendapat
petunjuk.
Dan Allah sementara menambah petunjuk-Nya bagi
orang-orang yang mendapat petunjuk (QS Maryam [19]: 76).
Orang yang demikian itulah yang semua usahanya disyukuri Allah. Mereka
yang disyukuri itu akan memperoleh surga sebagaimana dilukiskan oleh
kata masykur pada ayat kedua yang menggunakan kata ini, yakni surat
Al-Insan ayat 22.
Demikian sekelumit uraian Al-Quran tentang syukur. Kalaulah kita tidak
mampu untuk masuk dalam kelompok minoritas --orang-orang yang pandai
bersyukur (atau dalam istilah Al-Quran asy-syakirun, yakni orang-orang
yang telah mendarah daging dalam dirinya hakikat syukur dalam ketiga
sisinya: hati, lidah, dan perbuatan)-- maka paling tidak kita tetap
harus berusaha sekuat kemampuan untuk menjadi orang yang melakukan
syukur --atau dalam istilah Al-Quran yasykurun-- betapapun kecilnya
syukur itu. Karena seperti bunyi sebuah kaidah keagamaan,
Sesuatu yang tidak dapat diraih seluruhnya, jangan ditinggalkan sama
sekali.
Referensi
- Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung,
1997.
- Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta
dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
- Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy,
MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr.
Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad
Sukardja, MA.
- Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para
Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para
Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
- Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs.
A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT.
Sari Agung, Jakarta, 2004
- Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil
International, 2007.
- alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran
web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
- Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari
Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
- Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan
Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
- M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari,
Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
- Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
- Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani,
Jakarta, 1999.
|
0 komentar